Khutbah Jum'at: KEUTAMAAN SEDEKAH

Juni 27, 2014 2 Comments

Oleh Anas Abdillah Al Cilacapi
Jama’ah shalat Jum’at rahimakumullah…
Harta yang kita miliki, yang Allah berikan kepada kita adalah sebuah ujian. Apakah kita bersikap baik terhadap harta itu ataukah sebaliknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ١٥
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15)

Sebagian manusia ada yang membelanjakan hartanya pada perkara-perkara yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga hartanya semakin menjadikan ia jauh dari Allah. Inilah yang manjadikan hartanya sebagai bencana bagi dirinya, na’udzubillah.

Dan di antara manusia ada juga yang membelanjakan hartanya demi mendapatkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala dengan membelanjakannya pada hal-hal yang sejalan dengan syari’at Allah.

Dan di antara mereka juga ada yang membelanjakan hartanya pada hal-hal yang tidak berfaidah. Tidak pada hal-hal yang diharamkan dan tidak pula pada hal-hal yang disyari’atkan. Orang yang demikian ini hartanya hilang begitu saja. Padahal Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam telah melarang membuang-buang harta dengan sia-sia.

Seseorang yang dianugerahi harta oleh Allah subhanahu wa ta’ala lalu ia gunakan untuk berinfaq di jalan kebenaran dan tidaklah ia infaqkan hartanya melainkan di jalan yang Allah ridhai, maka inilah yang perlu kita ikuti dan kita teladani.

Jama’ah shalat Jum’at rahimakumullah…
Allah subhnahu wa ta’ala sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang dermawan, yang kedua tanganya selalu terbuka lebar untuk memberi kepada orang lain. Orang yang bersedekah dengan suka rela pasti mencintai dan dicintai Allah, karena ia mampu mengalahkan dirinya yang diciptakan dengan kecenderungan sangat mencintai harta. Orang yang ikhlas karena Allah dalam bersedekah, maka kita akan melihatnya melakukan beragam sedekah dan merasa senang dengan pemberiannya itu. Bahkan ia lebih gembira daripada kegembiraan orang yang menerima pemberiannya. Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam melakukannya.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersedekah dan berbuat baik dengan harta, perbuatan dan perkataan beliau. Beliau mengeluarkan hartanya, dan menyuruh orang untuk bersedekah dan memotivasinya untuk bersedekah, baik lewat perbuatan atau perkataannya. Jika melihat orang yang pelit dan kikir, baliau mengajaknya untuk berkorban dan bersedekah.

Jama’ah shalat Jum’at rahimakumullah…
Tidaklah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam menganjurkan sedekah kepada kaum Muslimin, melainkan karena di dalam sedekah banyak sekali terdapat keutamaan. Di antara keutamaan sedekah adalah sebagai berikut:

1. Sedekah adalah bentuk ketundukan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Di antara sifat orang yang beriman dan bertakwa adalah bersegera dalam memenuhi perintah Allah ‘azza wa jalla, sedang sedekah adalah di antara perkara yang diperintahkan oleh Allah, dituntun dan diajurkan oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خِلالٌ ٣
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS. Ibrahim: 31)

Allah Ta’ala juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ ٢٥٤
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 254)

2. Seorang Mukmin berada dalam naungan sedekahnya pada Hari Kiamat kelak.
Yaitu pada hari yang pasti akan di saksikan oleh seluruh makhluk, dimana seorang anak akan beruban, matahari akan mendekat ke kepala manusia, keringat bercucuran hingga menenggelamkan manusia. Pada saat itu manusia sangat membutuhkan naungan yang dapat menaungi dirinya dari teriknya matahari mahsyar, hingga datanglah sedekah lalu menaungi pelakunya. Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
كُلُّ امْرِئٍ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّي يُفْصَلَ بَيْنَ النَّاسِ، أَوْ قَالَ: حَتَّي يُحْكَمَ بَيْنَ النَّاسِ
“Setiap orang berada di bawah naungan sedekahnya hingga diadili (pengadilan Allah),” atau beliau bersabda, “Hingga keputusan di antara manusia ditetapkan (oleh pengadilan Allah).” (HR. Ibnu Khuzaimah, Muhaqqiq berkata, “Sanadnya shahih…)

Seputar Puasa Ramadhan

Juni 21, 2014 Add Comment

Kewajiban Puasa:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٨٣)
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183)

Tafsir Ibnu Katsir:
Alloh subhanahu wa ta’ala mengajak berdialog kepada orang-orang yang beriman dari ummat ini dan memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.

Alloh subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa sebagaimana Dia telah mewajibkan puasa itu kepada orang-orang mukmin, Dia pun telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum mereka. Dengan demikian ada suri tauladan bagi mereka dalam hal ini.

Maka hendaklah mereka bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban ini dengan lebih sempurna dibanding apa yang telah dijalankan oleh orang-orang sebelum mereka.

Ketakwaan dapat dicapai karena puasa dapat menyucikan badan dan mempersempit jalan syaithan.

* Ketika Rosululloh solallohu ‘alayhi wa sallam sedang beri’tikaf kemudian beliau keluar menemui istrinya, ada shahabat yang melihatnya dan dia buru-buru pergi, kemudian Rosululloh memanggil shahabat itu seraya bersabda, ‘Tunggu dulu, fainnahaa shafiyyah (dia adalah shafiyyah) fa innasyaithan yajri majraddam (sesungguhnya syaithan mengalir di aliran darah manusia).

Sesuai dengan hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka hendaklah menikah. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena baginya puasa itu merupakan penekan (nafsu syahwat)”.


Kewajiban puasa di dalam hadits: 

بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَي خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ
“Islam dibangun di atas lima perkara: barsaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji.” (Bukhari dan Muslim).


قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ إِفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ فِيْهِ تَفْتَهُ فِيْهِ أبْوَابُ الْجَنَّةِ تَغْلُقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ تُغَلُّ الشَّيَاطِيْنِ وَفِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ وَمَنْ حُرِمَتْ فَقَدْ حُرِمَ (( رَوَاهُ أَحْمَدٌ ))
Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi saw selalu memberi kabar gembira kepada  para shahabatnya:
“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Alloh mewajibkan puasa atas kalian di dalamnya. Pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka jahim ditutup, setan-setan dibelenggu, di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barang siapa yang diharamkan mendapat kebaikan malam itu maka ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/230)


Keutamaan Puasa:

Keagungan ni’mat Romadhon dibuktikan oleh sebuah hadits dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu yang menuturkan:
“Ada dua orang laki-laki dari Negeri Qudha’ah masuk Islam di hadapan Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam. Yang pertama mati syahid, sedang yang kedua wafat setahun sesudahnya.

Thalhah bin Ubaidillah berkata; “Aku bermimpi melihat surga, aku melihat orang yang mati syahid didahului oleh temannya ketika masuk surga, aku heran karenanya.” Keesokan harinya aku sampaikan hal itu kepada Rasululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: “Apakah yang kalian herani dari mimpi tersebut? Bukankah ia telah berpuasa Romadhon setelah kematian temannya, iapun telah shalat enam ribu roka’at atau sekian-sekian roka’at shalat sunnah?”

Para shahabat menjawab; “Benar”, Rasululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Perbedaan kondisi antara keduanya lebih jauh dari pada jarak antara langit dan bumi’” (HR. Ahmad, 2/333. dinyatakan shahih oleh al-Albani)

1. Diampuni dosanya yang telah lalu
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Romadhon karena iman dan ihtisab niscaya dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (Muttafaq ‘alaih). 

Al Hafizh Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud karena iman (di dalam hadits ini -pent) adalah meyakini kebenaran kewajiban puasanya, sedangkan yang dimaksud dengan ihtisab adalah demi mencari pahala dari Alloh Ta’ala (lihat Fathul Baari cet. Daarul Hadits Juz IV hal. 136).

2. Balasan istimewa bagi ibadah puasa
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda,
قَالَ اللَّهُ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
 “Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, “Semua amal anak Adam adalah baginya kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (Muttafaq ‘alaih). 

Al Imam An Nawawi menerangkan firman Alloh Ta’ala, “dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”: Ini menjelaskan betapa besar keutamaannya dan amat banyak pahalanya (lihat Syarah Shohih Muslim jilid IV cet. Daar Ibnu Haitsam hal. 482).

Tafsir mengenai “Puasa itu milik-Ku” Ibnu Rajab berkata:
* Puasa adalah meninggalkan syahwat yang biasanya manusia condong kepadanya, juga meninggalkan hak-hak diri. Semua itu dilakukan karena Alloh Ta’ala. Hal ini tidak terdapat dalam ibadah yang lain selain puasa. 

Misal ihram: meskipun tidak boleh hubungan suami istri tapi masih boleh makan dan minum, I’tikaf juga sama seperti ibadah ihram, Shalat: meskipun tidak boleh makan, minum, hubungan suami istri, tapi waktunya tidaklah lama.

* Puasa adalah rahasia antara hamba dan Robb, tidak ada yang mengetahui selain Dia, Karena puasa terwujud dari niat batin yang hanya diketahui oleh Alloh subhanahu wa ta’ala, dan meninggalkan syahwat yang bisa terpenuhi ketika sendiri.


3. Puasa adalah perisai
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda,
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai, apabila kamu sedang puasa janganlah berkata jorok, janganlah berteriak-teriak dan janganlah berbuat bodoh. Apabila ada seseorang yang mencacinya atau memeranginya maka katakanlah ‘Sesungguhnya aku sedang puasa’ sebanyak dua kali.” (Muttafaq ‘alaih).

*Syaikh Al ‘Utsaimin menerangkan makna puasa adalah perisai yaitu: sebagai tameng dan penghalang yang menjaga orang yang berpuasa dari melakukan perbuatan yang sia-sia dan berkata jorok… dan puasa juga melindunginya dari siksa neraka, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir rodhiyallohu ‘anhu dengan sanad hasan bahwa Nabi bersabda, “Puasa adalah perisai yang digunakan hamba untuk melindungi dirinya dari neraka.” (lihat Majaalis Syahri Romadhon cet Daarul ‘Aqidah hal. 12).

4. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada kasturi
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda,
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
 “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya sungguh bau mulut orang yang sedang puasa itu lebih harum di sisi Alloh pada hari kiamat daripada bau minyak kasturi.” (Muttafaq ‘alaih).

*Syaikh Al ‘Utsaimin menerangkan, “Harumnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Alloh melebihi harumnya minyak kasturi karena ia timbul dari pengaruh puasa, sehingga baunya harum di sisi Alloh Subahanahu wa Ta’ala dan dicintai-Nya.

Ini adalah dalil yang menunjukkan agungnya kedudukan puasa di sisi Alloh sampai-sampai sesuatu yang tidak disenangi dan dirasa kotor di sisi manusia menjadi sesuatu yang dicintai di sisi Alloh serta berbau harum karena ia muncul dari ketaatannya dengan menjalankan puasa.” (lihat Majaalis Syahri Romadhon cet Daarul ‘Aqidah hal. 12).

5. Pintu khusus di surga bagi orang yang berpuasa
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu yang disebut Ar Royyaan, pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa masuk melalui pintu itu, tidak seorangpun yang masuk selain mereka. Apabila mereka telah masuk maka pintu itu ditutup dan tidak ada lagi orang yang masuk melewatinya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan satu hadits dari jalur Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
(( مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ نُودِىَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ ، هَذَا خَيْرٌ . فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلاَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّلاَةِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ » . فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ - رضى الله عنه - بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا عَلَى مَنْ دُعِىَ مِنْ تِلْكَ الأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ ، فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ « نَعَمْ . وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ ))
“Barangsiapa menginfaqkan dua pasangan yang berharga fi sabilillah (di jalan Alloh) maka ia akan dipanggil dari pintu surga. (Wahai hamba Alloh, ini adalah satu kebaikan) Barangsiapa tekun mengerjakan shalat, ia akan diseru dari pintu shalat, dan barangsiapa termasuk ahlul jihad (suka berjihad) maka ia akan diseru dari pintu jihad. Barangsiapa suka bersedekah ia akan diseru dari pintu sedekah dan barangsiapa rajin melaksanakan soum (puasa), ia akan diseru dari pintu Royyan”. Abu Bakar bertanya, “Ya Rosululloh, adakah seseorang yang dipanggil dari semua pintu itu?” Rosululloh menjawab, “Ya, ada. Dan aku berharap engkau salah seorang di antaranya” (HR. Bukhori & Muslim)

* Qadhi Iyadh rohimahulloh berkata: Imam Muslim menyebutkan empat pintu Surga. Sedangkan yang lainnya menyebutkan dalam riwayat mereka, keempat pintu sisanya. Yaitu pintu taubat, pintu menahan amarah, pintu orang-orang yang ridha, dan pintu sebelah kanan yang khusus dimasuki orang-orang yang tiada hisab atas mereka.

6. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda,
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ ، وَإِذَا لَقِىَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan yang dia bergembira dengannya: ketika berbuka dia bergembira dengan bukanya dan ketika berjumpa Robbnya dia bergembira dengan puasanya.” (Muttafaq ‘alaih)

* Orang yang berpuasa bergembira ketika berbuka, sebab jiwa manusia tercipta untuk cenderung kepada makanan, minuman dan hubungan seksual.

Ketika hasrat jiwa itu terlarang untuk dipenuhi pada sebagian waktu, kemudian diperbolehkan kembali di waktu yang lain, ia sangat bergembira atas kebolehan ini.

Terlebih lagi kebutuhan terhadap ketiganya telah memuncak. Kemudian diidzinkan dan disukai oleh Allah Ta’la.

* Pada saat berjumpa dengan Rabbnya adalah ketika kita mendapatkan simpanan pahala puasa dari Alloh . Kita tahu bahwa pahala manjadi sesuatu yang paling kita butuhkan pada saat itu. Dan yang istemewa dari pahala puasa adalah, tidak terhapus karena pemberlakuan qishash atas tindakan kezhaliman kepada orang lain di akhirat. 

Sufyan bin Uyainah rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Pada hari Kiamat, Allah Ta’ala menghisab hamba-hamba-Nya dan memberlakukan qishash atas tindakan kezhaliman yang ia lakukan. Hal itu berlaku untuk seluruh amalnya kecuali puasa, Allah Ta’ala menanggung tindak kezhaliman yang masih tersisa, kemudian Dia masukkan hamba itu ke dalam Surga berkat puasa.”

7. Puasa memberi syafaat kepada pelakunya
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ – رواه احمد
“Sesungguhnya puasa dan Al-Qur’an memberi syafa’at kepada pelakunya pada hari Kiamat. Puasa berkata, “Ya Tuhanku aku telah menahan hasrat makan dan syahwatnya di siang hari, maka berilah aku izin untuk memberikan syafa’at kepadanya. Berkata pula al-Qur’an, ”Wahai Tuhanku, aku telah menahannya dari tidur malam untuk qiyamullail, maka berilah aku izin untuk memberikan syafa’at kepadanya. Nabi bersabda, “Maka keduanya diberikan izin untuk memberi syafaat.” (HR. Ahmad)

8. Sehari berpuasa di jalan Allah akan dijauhkan dari api Neraka
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ إِلاَّبَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
“Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Akhlak Mulia; “Anjuran Berakhlak Mulia Bagi Para Usahawan”

Juni 16, 2014 1 Comment


Akhlak adalah satu bentuk yang kuat di dalam jiwa sebagai sumber perbuatan otomatis dengan suka rela, baik atau buruk, indah atau jelek, sesuai pembawaannya, ia menerima pengaruh pendidikan kepadanya, baik maupun jelek kepadanya.[1]
Bila bentuk di dalam jiwa ini dididik tegas mengutamakan kemuliaan dan kebenaran, cinta kebajikan, gemar berbuat baik, dilatih mencintai keindahan, membenci keburukan sehingga menjadi wataknya, maka keluarlah darinya perbuatan-perbuatan yang indah dengan mudah tanpa keterpaksaan, inilah yang dimaksud akhlak yang baik.[2]
Al-Ḥasan v berkata, “Akhlak yang baik adalah bermuka manis, bersungguh-sungguh dalam berderma dan menahan diri sehingga enggan mengganggu.”[3]
‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Akhlak yang baik terdiri dari tiga hal: Menjauhi yang haram, mencari yang halal dan berlapang hati kepada keluarga.”[4]
Akhlak yang baik adalah ungkapan yang mencakup segala macam kebajikan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam,
البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ وَالإِثْمُ مَاحَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebajikan adalah akhlak yang baik sedangkan dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan di dalam jiwamu sedangkan egkau tidak suka bila orang lain melihatnya.” (HR. Muslim)[5]
Muhammad bin Ṣalih Al-‘Uthaimin rahimahullah berkata,
Termasuk akhlak mulia adalah tidak meremehkan kebaikan sedikit pun walau sekadar memberikan sedikit air ke ember saudaranya, senyum di wajahnya, senanng mendengarkannya, memulai salam, segera menanyakan berita tentang dirinya, keluarganya dan anak-anaknya, turut serta dalam kesenangannya, bersedih karena kesedihannya, bersikap lemah-lembut terhadap kaum Mukminin, mempermudah urusan dunia, mendengar dengan baik sebagaimana ia berbicara dengan baik, tidak cerdik dalam kejahatan dan dalam upaya melakukannya, pintar melupakan kesalahan orang lain, dan tidak mencari-cari kekeliruan orang lain. Di antaranya lagi adalah berupaya menunaikan kebutuhan saudaranya, memberi bantuan yang baik kepadanya, tidak membantu setan dalam menjerumuskannya, menegakkan amar ma`ruf nahi munkar dan menyampaikan nasihat tanpa ada rasa bangga diri.[6]
Di antara budi pekerti yang dimaksud  dalam dunia usaha ini adalah seperti kejujuran, sikap amanah dan legawa, menunaikan janji, bersikap konsekuen dalam membayar hutang dan memiliki toleransi dalam menagih hutang, memberi kelonggaran kepada orang yang berhutang dan kesulitan membayarnya, memahami kekurangan orang lain, memenuhi hak-hak orang lain, menghindari sikap menahan hak, menipu, manipulasi dan sejenisnya.[7]
Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk menyempurnakan akhlak ini, sehingga beliau bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقٍ
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari dan Ahmad)[8]
Akhlak yang baik adalah tonggak Agama dan dunia. Bahkan kebajikan itu adalah akhlak yang baik. Karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia. Orang yang paling baik akhlaknya adalah orang yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan paling dekat dengan majelis Nabi di Hari Kiamat nanti. Orang yang berakhlak baik telah berhasil mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.[9]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
لَمْ يَكُن رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bukan seorang yang keji dalam perkataan atau dalam perbuatan. Bahkan beliau bersabda, ‘Sebaik-baik kalian adalah yang paling bagus akhlak budi pekertinya’.” (Muttafaqun ‘alaih).[10]
Muhammad bin Ṣalih Al-‘Uthaimin rahimahullah berkata,
Hadith di atas menjelaskan akan sifat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau tidak pernah buruk dalam ucapan maupun perbuatan. Yakni, beliau sangat jauh dari berbagai keburukan dalam ucapan ditinjau dari tabiʽat dan usaha. Beliau tidak buruk pada dirinya, tidak pula buruk pada pembawaannya, bahkan beliau itu lembut dan sangat mudah. Beliau juga tidak buruk dalam perbuatan. Yakni, tidak bertabiʽat buruk. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah orang yang paling jauh dari keburukan dalam berbicara atau dalam perbuatannya.[11]
Di sini Islam menjadi penyeru pada akhlak yang baik dan mengajak kepada pendidikan akhlak di kalangan kaum Muslimin, menumbuhkannya di dalam jiwa mereka, dan menilai keimanan seorang dengan kemuliaan akhlaknya.[12] Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
أَكْمَالُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Sesempurna-sempurna iman orang-orang mu`min adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Al.Tirmidzi)[13]
Muhammad bin Ṣalih Al-‘Uthaimin rahimahullah berkata,
Hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa iman itu bertingkat-tingkat dan manusia berbeda-beda dalam hal ini. Sebagian dari mereka lebih sempurna imannya daripada sebagian yang lain ditinjau dari amal-amal yang mereka perbuat. Setiap kali menusia itu bertambah bagus akhlaknya maka bertambah sempurna imannya. Ini adalah perintah yang sangat jelas bahwa manusia harus membangun akhlak mulia sesuai kemampuannya.[14]
Seorang pengusaha muslim selalu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Sikap itu tidak muncul hanya dari sisi kepentingan komersial semata, seperti yang dilakukan kalangan non Muslim. Namun sikap itu muncul dari keyakinan yang kokoh. Porosnya adalah ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam serta mengharapkan pahala dalam hal itu. Kalaupun mereka mendapatkan keuntungan di balik tindakan mereka tersebut, seperti dagangannya yang semakin laris, hal itu terjadi sebagai hasil tujuan sampingan, bukan tujuan utama.[15]
Budi pekerti yang baik bagi kalangan usahawan Muslim berpengaruh amat besar dalam penyebaran Islam di banyak Negara-negara Asia dan Afrika. Kenyataannya bahwa Islam tersebar melalui perantaraan para saudagar yang berdakwah, bukan daʽi yang berniaga.[16]
Namun, hampir tidak pernah habis keheranan kita terhadap perbedaan antara realitas masyarakat barat yang justru sangat ahli di bidang pelayanan menyambut para pelanggan, plus sikap supel dan rendah hati dalam berinteraksi dengan pelanggan, dengan realitas masyarakat Islam yang banyak di antaranya dalam cara mengelola usahanya justru lebih pintar menyakiti pelanggan dan bersikap kasar terhadap mereka. Seolah-olah perbuatan mereka mengatakan kepada para langganan mereka, “Jangan sekali-kali kamu sekalian kembali berhubungan bisnis dengan kami!”[17]
Padahal kalangan barat melakukan semua itu hanya karena dorongan mendapat harta dunia semata. Sementara kaum Muslimin sebagai para pewaris agama Allah yang menyatakan, “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah!” dan juga menyatakan, “Janganlah kalian meremehkan kebajikan sedikitpun, meski hanya sekedar bertemu dengan saudaramu saudaramu dengan wajah ceria.”[18]
Allah Ta’ala berfirman, memeberikan pujian kepada Nabi-Nya,
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)[19]
Ibnu Kathir rahimahullah berkata,

Perintah Membayar Zakat, Infaq dan Sodaqah Bagi Para Pengusaha

Juni 15, 2014 Add Comment
Dalam menangani seluruh masalah kehidupan, Islam menekankan sisi moralitas, karena itu hukum-hukum yang ditetapkan Allah, termasuk dalam aspek ekonomi/bisnis, selalu dikaitkan-Nya dengan moral yang melahirkan hubungan timbal balik yang harmonis. Peraturan, syarat yang mengikat, serta sangsi yang menanti merupakan tiga hal yang berkaitan dengan bisnis, dan di atas ketiga hal tersebut ada etika.
Salah satu etika yang harus dijaga adalah menjaga hak orang lain demi terpeliharanya persaudaraan. Jika individu dalam sistem kapitalis tidak mengindahkan hal-hal yang berkaitan dengan etika seperti tidak megindahkan perasaan orang lain, tidak mengenal akhlak dalam bidang ekonomi, dan hanya mengejar keuntungan, maka sebaliknya, Islam sangat memperhatikannya.[1]
Seorang pengusaha Muslim akan menyegerakan untuk menunaikan hak orang lain, baik itu berupa upah pekerja, maupun hutang terhadap pihak tertentu. Seorang pekerja harus diberi upah sebelum keringatnya kering. Sikap orang yang memperlambat pembayaran hutang merupakan kezhaliman. Adapun orang yang mengingkari hutangnya boleh disebarkan aibnya dan diberi hukuman.[2]
Dengan demikian, pada suatu usaha jasa atau badan niaga diharuskan untuk menciptakan suatu sistem yang memiliki orientasi menyegerakan penunaian hak tersebut, seperti mempercepat pembayaran dan membayarnya sesuai waktu yang ditentukan. Karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)[3]

Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda,
ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ بَوْمَ القِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ.
“Ada tiga golongan yang menjadi musuh-Ku pada Hari Kiamat nanti. Orang yang memberi (jaminan) atas nama-Ku, lalu ia berkhianat, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasilnya, dan orang yang menyewa pekerja dan meminta pekerja itu untuk melaksanakan seluruh tugasnya, namun tidak memberikan upahnya.” (HR. Bukhari)[4]
Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda,
مُطْلُ الغَنِيِ ظُلْمٌ.
“Sikap orang kaya yang memperlambat pembayaran hutang adalah kezhaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَاالدَّيْنِ
“Bagi para shuhada akan dihapuskan seluruh dosa mereka kecuali utang-piutang (yang belum mereka bayar)” (HR. Muslim)[5]
Hadith ini menandakan betapa pentingnya memenuhi hak sesame manusia, terutama dalam masalah uang, sampai mereka yang wafat di jalan Allah –tingkat tertinggi yang diharapkan setiap mukmin‒ tidak bisa menebus dosanya jika ia masih berutang, walaupun andaikan ia berulang kali mati shahid.[6]
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang manusia menyalati jenazah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan utang dan tidak ada harta peninggalan orang itu untuk melunasinya, juga tidak ada seorang dari kaum muslimin yang menjamin pelunasan utangnya.[7]
Di antara hak-hak yang harus ditunaikan yang paling utama adalah hak-hak Allah atas para hamba-Nya yang kaya dalam harta mereka. Yakni dalam bentuk zakat-zakat wajib, lalu diikuti sedekah dan infak. Semua pengeluaran itu dapat membersihkan harta dari segala noda shubhat dan dapat menyucikan hati dari berbagai penyakit yang menyelimutinya seperti rasa kikir, tak mau mengalah dan egois. Harta tidak akan berkurang karena sedekah. Harta tidak akan hilang di darat maupun di laut, kecuali karena tidak mau membayar zakat, dan setiap kali satu kaum menolak membayar zakat, pasti hujan akan tertahan dari langit. Kalau bukan karena binatang, pasti hujan tidak akan turun.[8]
Mars Cinta Remaja Bangsa

Mars Cinta Remaja Bangsa

Juni 07, 2014 Add Comment

MASA BAHAGIA

Masa bahagia kini tlah tiba…
Bersatu berjuang ummat kita…
Kabut malam kini lenyap sudah…
Matahari Islam bercahaya…
Menuju ummat yang perkasa…

          Kini kita tlah bersama-sama…
          Meniti jalan yang termulia…
          Jalan para Nabi dan Rasuula..
          Menebar wahyu Alloh Yang Esa…
          Membangun Islam yang berjaya…

Mari kawan kita trus berjuang…
Berkorban harta dan jiwa raga…
Jangan sampai kita terpedaya…
Tipu duunia yang taak da  artinya…
Menjadi pembela Islama…
         
Masa bahagia kini tlah tiba…
Bersatu berjuang ummat kita…
Kabut malam kini lenyap sudah…
Matahari Islam bercahaya…
Menuju ummat yang perkasa…


Cipt: Syaikh Abdul Karim Al-Katiri

DEFINISI HADITS SHAHIH DAN SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH

Juni 04, 2014 Add Comment

PENGERTIAN HADITS SHAHIH

Shahih menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Ini adalah makna hakiki pada jasmani. Sedangkan dalam penggunaannya pada hadits dan makna-makna yang lain, ia adalah makna majazi.

Shahih menurut istilah ilmu hadits ialah: “Suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang sempurna (dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya (syadz) dan tidak ada ‘illat yang berat.”


Dari definisi tersebut jelaslah bahwa untuk hadits shahih dipersyaratkan adanya 5 syarat berikut:

1.      Sanadnya bersambung: yaitu setiap perawi telah mengambil hadits secara langsung dari gurunya mulai dari permulaan sampai akhir sanad.
2.      Para perawi yang adil: yaitu setiap perawi harus seorang yang muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan berperangai yang baik.
3.      Dhabth yang sempurna, yaitu setiap perawi harus sempurna hafalannya. Dhabth ada dua macam: Dhabth Shadr dan Dhabth Kitab.
Dhabth Shadr adalah bila seorang perawi benar-benar hafal hadits yang telah didengarnya dalam dadanya, dan mampu mengungkapkannya kapan saja.
Dhabth Kitab adalah bila seorang perawi “menjaga” hadits yang telah didengarnya dalam bentuk tulisan.
4.      Tidak ada syudzudz (syadz), yaitu hadits tersebut tidak syadz. Syudzudz adalah jika seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
5.      Tidak ada ‘illat yang berat, yaitu hadits tersebut tidak boleh ada cacat.
‘Illat adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat merusak status keshahihan hadits meskipun zhahirnya tidak nampak ada cacat.

Jika salah satu dari lima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka ia tidak dapat dinamakan sebagai hadits shahih.