SILATURAHIM

Juli 28, 2014 Add Comment

Makna Silaturahim
Kata silaturahim tersusun dari dua kata dari bahasa Arab, yaitu shilah dan ar-rahim. Shilah berarti menyambung dan rahim berarti rahim wanita, -digunakan sebagai bahasa kiasan hubungan kekerabatan‒. Jadi makna silaturahim adalah menyambung hubungan dengan kerabat. Dengan begitu dapat diambil kesimpulan bahwa silaturahim yang sering diartikan dengan sembarang pertemuan dan kunjungan ke sesama teman yang tidak memiliki hubungan kerabat adalah tidak tepat.

MOTIVASI BERSILATURAHIM
Silaturahim merupakan salah satu syari’at Islam yang agung. Ia bukan hanya sekedar adat istiadat atau kebiasaan semata, namun lebih daripada itu silaturahim adalah salah satu perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh sebab itu Allah sangat menekankan agar manusia saling menyambung hubungan kekerabatan atau saling bersilaturahim. Penekanan tersebut terkadang berbentuk perintah secara tegas, ganjaran bagi pelaksananya dan juga terkadang berbentuk ancaman keras terhadap pemutus silaturahim.

Berikut kita simak beberapa fadhilah/keutamaan bagi orang yang menyambung silaturahim:

1.      Silaturahim merupakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagai seorang muslim tentu tidak layak untuk mengabaikan perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Allah yang telah memerintahkan kita shalat, puasa, zakat, haji, jihad dan lain-lain, Allah juga memerintahkan kita untuk menyambung silaturahim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١)
“…Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)

Dalam firman-Nya yang lain, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat baik kepada orang tua dan karib kerabat, dan substansi daripada silaturahim adalah berlaku baik terhadap kaum kerabat. Allah berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا (٣٦)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (QS. An-Nisa: 36)

2.      Silaturahim merupakan pertanda keimanan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala  dan hari Akhir. Dan keduanya ini (beriman kepada Allah dan hari Akhir merupakan pilar-pilar rukun iman yang enam).
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَه
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia bersilaturahim” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

3.      Di antara buah silaturahim adalah keluasan rizki dan umur yang panjang.
Setiap manusia menghendaki rizki yang luas dan umur yang panjang. Karena di dalam rizki yang luas terdapat kebaikan-kebaikan yang melimpah, seperti tercukupinya kebutuhan hidup dan kesempatan beramal jariyah dengan rizki yang Allah karuniakan kepada kita. Sementara umur yang panjang telah memberi kesempatan kepada kita untuk memperbanyak amal shalih sebagai bekal menuju alam Akhirat. Luasnya rizki dan panjang umur akan tercapai dengan bersilaturahim. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang menginginkan untuk diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahim” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik)

4.      Silaturahim akan mengantarkan seorang hamba kepada Surga dan menjauhkan dari Neraka.
Dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari Radhiyallahu ‘nahu:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَارَسُول اللهِ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم: تَعْبُدُ اللهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Seorang pria berkata, ‘Wahai Rasulullah, sampaikan kepadaku suatu amal yang bisa memasukkan diriku ke dalam surga dan menjauhkan diriku dari neraka’. Maka Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Engkau menyembah Allah dan engkau tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya, engkau mendirikan shalat, engkau menunaikan zakat dan engkau menyambung silaturahim.’” (Muttafaqun ‘alayh)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam  menjadikan silaturahim satu dari sejumlah sebab yang dapat memasukkan seseorang ke dalam Surga dan menjauhkannya dari Neraka.
Sesungguhnya orang yang dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga adalah orang telah beruntung[1]. Tidak diragukan lagi bahwa setiap muslim berupaya untuk menjadi orang-orang yang beruntung, yaitu di jauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga. Hal ini dapat dicapai melalui empat perkara berikut:
1)      Engkau menyembah Allah dan engkau tidak mempersekutukan apa pun dengan-Nya. Tidak melakukan syirik kecil maupun syirik besar.
2)      Engkau mendirikan shalat. Engkau menunaikannya dengan sempurna, berkenaan dengan waktunya dan dengan berjama’ah jika Anda adalah seorang pria.
3)      Engkau tunaikan zakat. Engkau menunaikan atas apa yang telah diwajibkan oleh Allah atas diri Anda berupa zakat berkenaan dengan zakat harta Anda yang diberikan kepada para pemiliknya yang berhak menerimanya.
4)      Engkau menyambungkan silaturahim. Dengan memberikan hak-hak para kerabat berupa silaturahim sebagaimana yang umumnya dikenal orang banyak.


Ancaman bagi orang yang memutus silaturahim.

Allah subhanahu wa ta’ala  sangat mencintai orang yang bersilaturahim sehingga Dia memberikan banyak keutamaan padanya. Sebaliknya Allah sangat membenci terhadap orang yang memutus silaturahim, sehingga Dia mengancam orang-orang yang memutus silaturahim. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah sebagai berikut:

Tidak Ada Adzan dan Iqamah Untuk Shalat ‘Id

Juli 26, 2014 Add Comment

Salah satu kekeliruan sering terjadi pada saat pelaksanaan shalat ‘Id adalah mengumandangkan iqamah –meskipun dengan kalimat yang berbeda, seperti ash-shalaatu Jaami’ah  ketika hendak didirikannya shalat ‘Id tersebut. Perbuatan seperti ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan tersebut tidak sejalan dengan sunnah Nabi shallalllahu ‘alayhi wa sallam. Jadi perbuatan yang tidak diajarakan oleh Nabi kemudian manusia menganggapnya baik atau bernilai ibadah, maka itu masuk ke dalam kategori bid’ah. Ingat bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan mengantarkan pelakunya kepada siksa Neraka. 

Berdasarkan praktek shalat ‘Id yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para shahabatnya, maka jelaslah bahwa dalam shalat ‘Id tidak ada adzan dan iqamah.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma, keduanya berkata, “Tidak ada adzan untuk ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha” (Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari 960 dan Muslim 886)

Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah mengerjakan shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha bersama Rasulullah shallallahu ‘alayihi wa sallam bukan cuma sekali atau dua kali, dengan tanpa adzan dan iqamah.” (Shahih, diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan at-Tirmidzi)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam apabila sampai di tempat shalat, beliau langsung shalat tanpa adzan dan iqamah serta tanpa ucapan: Ash-Shalaatu Jaami’ah. Sunnahnya adalah tidak melakukan sesuatu dari hal itu.”

Berdasarkan hal ini, maka seruan untuk mengerjakan shalat ‘Id adalah bid’ah. Wallahu a’lam.

[ Sumber: Kitab Shahih Fiqih Sunnah ]

Tidak Ada Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat ‘Id

Juli 25, 2014 Add Comment

Tidak Ada Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat Id

Ketika kita tiba di tempat shalat pada pelaksanaan shalat ‘Id (lapangan), terkadang kita menyaksikan sebagian dari jama’ah shalat ‘Id mengerjakan shalat dua raka’at sebelum duduk. Jika kita telisik lebih dalam, mungkin shalat yang mereka kerjakan adalah shalat tahiyyatul masjid. Tapi apakah benar ada shalat dua raka’at, baik itu tahiyyatul masjid maupun shalat qabliyah dan ba’diyah shalat ‘Id..??

Ternyata tidak benar! Tidak ada tuntunan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Mari kita simak penjelasan berikut ini:

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengerjakan shalat pada hari ‘Idul Fitri dua rakaat, tanpa mengerjakan shalat sunnah sebelum dan sesudahnya.” (shahih diriwayatkan oleh Bukhari 989, at-Tirmidzi 537, an-Nasa’i III/193 dan Ibnu Majah 1219)

Ibnu Al-‘Arabi rahimahullah berkata,  “Adapun mengerjakan shalat sunnah di Mushalla (tempat shalat ‘Id/ lapangan), seandainya hal itu pernah dilakukan, niscaya riwayat sudah dinukil. Pihak yang membolehkannya memandang bahwa itu adalah waktu mutlak yang dibolehkan mengerjakan shalat. Sementara pihak yang tidak megerjakannya, mereka memandang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah mengerjakannya. Barang siapa yang mengikuti Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka ia telah mendapat petunjuk.”

Al-Hafizh berkata, “Adapun mengerjakan shalat-shalat sunnah secara mutlak, maka tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Kecuali jika itu dilakukan pada waktu-waktu terlarang di semua hari. Wallahu a’lam.

Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim berkata: Sebagian ulama memandang bahwa tempat shalat ‘Id  adalah masjid. Apabila seseorang memasuki masjid, maka ia tidak boleh duduk hingga mengerjakan shalat dua raka’at. Mereka berdalil dengan larangan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kepada wanita haid untuk duduk di tempat itu dan memerintahkan mereka untuk menjauhinya. Namun pendapat ini perlu dikoreksi. Adapun menjadikan larangan wanita haid berdiam di tempat shalat sebagai dalil, maka ini dapat dibantah bahwa yang dimaksud adalah mereka tidak mengerjakan shalat…. Kemudian, bumi ini seluruhnya adalah masjid (tempat shalat), lalu apakah disyari’atkan tahiyyatul Masjid ketika hendak shalat di tempat manapun dari bumi ini? 
Kesimpulannya, seandainya para shahabat mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid di Mushalla (tempat shalat ‘Id), niscaya sudah dinukil, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-‘Arabi (di atas). Wallahu a’lam.

Tetapi jika mereka mengerjakan shalat ‘Id di masjid, maka tidak diragukan lagi tentang disyariatkannya Tahiyyatul Masjid.

[ Sumber: Kitab Shahih Fiqih Sunnah ]

Tata Cara Shalat ‘Id

Juli 25, 2014 Add Comment

Tata Cara Shalat Idul Fitri dan Idul Adha

Shalat ‘Id dua rakaat, berdasarkan hadits Umar radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Shalat safar dua rakaat, shalat ‘Idul Adha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri dua rakaat adalah sempurna bukan qashar, berdasarkan lisan Nabi kalian. (Shahih diriwayatkan oleh Nasa’i III/183, dan Ahmad I/37).


Shalat ‘Id dikerjakan dengan tata cara sebagai berikut:

1. Mulai rakaat pertama –seperti shalat-shalat lainnya‒ dengan takbiratul ihram (mengucapkan Allahu Akbar seraya mengangkat kedua tangan).

2. Sesudah itu bertakbir sebanyak tujuh kali takbir sebelum memulai bacaan. Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau mengangkat tangan setiap kali takbir shalat ‘Id. Tetapi Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma –yang dikenal sebagai orang yang paling komitmen mengikuti sunnah Nabi‒ mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir.” (Zad al-Ma’ad I/441)

3. Tidak ada riwayat yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang menyebutkan dzikir-dzikir tertentu di antara takbir-takbir tersebut. Tetapi Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Di antara tiap-tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah.” (hasan, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi III/291)

4. Kemudian memulai membaca surah Al-Fatihah –setelah takbir-takbir tersebut‒ kemudian membaca surah al-Qur’an. Dianjurkan agar membaca surah Qaf, dan pada rakaat yang kedua membaca surah as-Sajdah, sebagaimana riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. (Shahih diriwayatkan oleh Muslim, An-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Kadang Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam membaca surah al-A’la, dan surah al-Ghasyiyah. (shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya dari jalur Nu’man bin Basyir)
5. Setelah membaca surah, ia melanjutkan yang tersisa dari rakaat tersebut dengan tata cara shalat yang sudah biasa.

6. Bertakbir untuk bangkit ke rakaat kedua.

7. Setelah itu beratkbir lima kali takbir menurut cara yang disebutkan pada rakaat pertama tadi.

8. Membaca surat al-Fatihah dan surah yang disebut di atas.

9. Kemudian ia sempurnakan shalatnya, lalu mengucapkan salam.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan para ulama setelah mereka tentang sifat shalat dua hari raya.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha: pada rakaat pertama tujuh kali takbir dan pada rakaat kedua lima kali takbir, tidak termasuk takbir untuk ruku. (shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud [1150], Ibnu Majah [1280], dan Ahmad [VI/70])

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Id: tujuh kali pada rakaat pertama. Kemudian beliau membaca, kemudian bertakbir dan ruku, kemudian sujud. Kemudian bangkit lalu bertakbir lima kali. Kemudian membaca, kemudian bertakbir dan ruku, kemudian sujud.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
[Sumber: Kitab Shahih Fiqih Sunnah]


Tempat Pelaksanaan Shalat Hari Raya

Juli 25, 2014 Add Comment

Tempat Pelaksanaan Shalat Id

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam keluar pada hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha ke Mushalla (tempat pelaksanaan shalat). Pertama pertama yang beliau kerjakan adalah mengerjakan shalat…” (Shahih, riwayat al-Bukhari 956, Muslim 889, dan Nasa’i III/187)

Sunnah yang berlaku dalam pelaksanaan shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha adalah di mushalla (di padang pasir atau di tanah lapang). Karena Nab shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَاذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلَّا المَسْجِدَ الحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih afdhal daripada seribu shalat di tempat-tempat lainnya, kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim, shahih)

Kemudian meskipun di masjid beliau fadhilahnya sangat besar, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam keluar dan meninggalkannya…” (Al-Madkhal, tulisan Ibnul Hajj II/283)

Kecuali jika ada udzur, seperti hujan dan sejenisnya. Atau sebagian orang tidak  mampu untuk keluar karena sakit, atau karena berusia lanjut, maka tidak ada larangan bagi mereka untuk mengerjakannya di masjid.

Hendaklah diketahui bahwa tujuan dari shalat ini adalah berkumpulnya kaum Muslimin di satu tempat. Oleh karena itu, tidak seharusnya ada banyak tempat shalat di tempat-tempat yang terpisah tanpa ada keperluan, sebagaimana kita lihat di negeri-negeri Islam. 

Faidah:
Paling afdhal adalah shalat ‘Id di Masjidil Haram. Karena para imam, dari dahulu sampai sekarang, mengerjakan shalat ‘Id di Mekah di Masjidil Haram. Masjidil Haram lebih utama daripada keluar ke Mushalla (padang pasir atau tanah lapang)

[ Sumber: Kitab Shahih Fiqih Sunnah ]


 Artikel Terkait:

Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Id

Juli 24, 2014 Add Comment

Waktu Pelaksanaan Shalat Id

Waktu shalat ‘Id dimulai setelah matahari meninggi seukuran tombak (yaitu setelah lewat waktu larangan shalat) dan berakhir ketika tergelincir matahari. Demikianlah pendapat jumhur: Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisr radhiyallahu ‘anhu –seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa ia keluar bersama orang-orang pada hari raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Ia mengingkari lambatnya imam keluar, seraya mengatakan, “Sesungguhnya kami dahulu sudah selesai pada saat seperti ini.” Yaitu, ketika sudah tiba waktu shalat Tasbih (Shalat Dhuha)” (Shahih, diriwayatkan secara Mu’allaq oleh al-Bukhari II/456 dan secara bersambung oleh Abu Dawud 1135, Ibnu Majah 1317, al-Hakim I/295 dan al-Baihaqi III/282)


Faidah:
Paling afdhal adalah mengerjakan shalat ‘Idul Adha di awal waktu agar kaum Muslimin bisa leluasa menyembelih hewan-hewan kurban mereka. Dianjurkan untuk mengakhirkan sedikit dari waktu tersebut pada shalat ‘Idul Fitri, agar orang-orang memiliki waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah mereka.”

Artikel Terkait:


Hukum Shalat Dua Hari Raya

Juli 24, 2014 Add Comment

Para ‘ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat ‘Idain (dua hari raya) dalam tiga pendapat:

Pendapat Pertama:
Hukumnya fardhu ‘ain. Ini madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad. Ini juga pendapat sebagian ulama Malikiyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam. Hujjah mereka adalah:

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar: 2)
Perintah di sini menunjukkan kewajiban.

2. Firman Allah Ta’ala,
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ…
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Perintah untuk bertakbir pada dua hari raya, sudah barangtentu merupakan perintah untuk mengerjakan shalat yang mencakup takbir wajib dan takbir tambahan.

3. Rutinitas Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya dan tidak pernah meninggalkannya sekalipun. Demikian pula rutinitas para khalifahnya dan kaum Muslimin sepeninggalnya.

4. Perintah kepada kaum Muslimin untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat, hingga kaum wanita, gadis-gadis yang berada dalam pingitan dan wanita-wanita yang sedang haid –namun Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kepada mereka agar menjauhi tempat shalat‒. Bahkan wanita yang tidak memiliki jilbab diperintahkan agar mengenakan jilbab saudaranya.

5. Shalat ‘Id merupakan syi’ar Islam yang paling nyata, dan hukumnya wajib sebagaimana shalat Jum’at. Oleh karena itu, wajib memerangi orang-orang yang menolak melakukannya secara keseluruhan.

6. Shalat ‘Id dapat menggugurkan shalat Jum’at, jika bertepatan pada hari yang sama, sebagaimana telah dijelaskan. Sesuatu yang tidak wajib tentu tidak dapat menggugurkan sesuatu yang wajib.

Pendapat Kedua:
Hukumnya fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban tersebut atas sebagian yang lainnya. Ini adalah madzhab Hanbaliyah dan sebagian Syafi’iyyah. Hujjah mereka adalah dalil-dalil yang digunakan oleh pihak pertama, tetapi mereka mengatakan shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, karena tidak disyari’atkan adzan padanya. Jadi, shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, seperti shalat jenazah. Namun, wajib khutbahnya dan wajib mendengarkannya seperti shalat Jum’at.

Pendapat Ketiga:
Hukumnya sunnah muakkadah, bukan wajib. Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi’i dan mayoritas sahabat-sahabatnya. Hujjah mereka sebagai berikut:

1. Perkataan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kepada seorang badui (A’rabi). Ketika beliau menyebut shalat lima waktu, ia bertanya, “Adakah kewajiban atasku selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau mengerjakan yang sunnah.” Dan hadits-hadits yang semakna dengannya.

2. Shalat ‘Id adalah shalat yang memiliki ruku’ dan sujud. Namun tidak disyari’atkan adzan untuknya. Ia tidak wajib berdasarkan syari’at, seperti halnya shalat Dhuha.

Pendapat yang rajih:
Adalah pendapat pertama, beradasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan. Adapun pendapat yang mengatakan shalat ‘Id hukumnya sunnah muakkad adalah pendapat yang sangat lemah. Adapun hadits lelaki Arab badui tersebut bukanlah hujjah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menyebutkan shalat lima waktu secara khusus untuk menegaskan kewajibannya secara berkelanjutan, dan pengulangannya setiap hari. Adapun kewajiban-kewajiban lainnya hukumnya wajib untuk waktu tertentu saja, seperti shalat jenazah, shalat nadzar dan selainnya.

Adapun yang mengatakan fardhu kifayah tidak kuat. Fardhu kifayah adalah untuk perkara-perkara yang mashlahatnya bisa diwakilkan kepada sebagian orang, seperti penguburan mayit dan menundukkan musuh. Sementara ‘Id tidak ada kemashlahatan tertentu yang bisa dilakukan oleh sebagian orang saja. Bahkan pada shalat ‘Id kaum Muslimin lebih disyari’atkan berkumpul dibandingkan hari Jum’at. Karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kaum wanita untuk menghadirinya, dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk menghadiri shalat Jum’at. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengidzinkan mereka untuk mendatangi shalat Jum’at, namun beliau bersabda, “Shalat kalian di rumah-rumah kalian (wahai kaum wanita) adalah lebih baik bagi kalian.” Wallahu a’lam.


[ Sumber: Kitab Shahih Fiqih Sunnah ]

Artikel Terkait:

Hikmah Disyari’atkannya Shalat Dua Hari Raya (‘Idain)

Juli 24, 2014 Add Comment
Setiap kaum memiliki hari dimana mereka berhias pada hari itu, dan mereka keluar dari rumah-rumah dengan membawa segala pernak-pernik perhiasan mereka.

Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tiba di Madinah, penduduk kota tersebut memiliki dua hari dimana mereka bermain-main di dalamnya pada masa jahiliyah. Maka, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الفِطْرِ
“Aku telah datang kepada kalian, sementara kalian memiliki dua hari dimana kalian bermain-main pada kedua hari tersebut di masa jahiliyyah. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik daripadanya, yaitu hari kurban (Nahr, ‘Idul Adha) dan ‘Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad, Al-Baghawi dan selainnya)

Yakni, karena dua hari raya, ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, adalah dua hari yang ditetapkan berdasarkan syari’at Allah subhanahu wa ta’ala dan pilihan-Nya bagi makhluk-Nya. Alasan lainnya, karena keduanya mengiringi pelaksanaan dua rukun yang agung dari rukun-rukun Islam, yaitu haji dan puasa. Pada dua hari itu Allah mengampuni dosa-dosa para jama’ah haji dan orang-orang yang berpuasa, serta Allah menyebarkan rahmat-Nya kepada seluruh makluk-Nya yang taat.

Adapun Nairuz dan Marjan (dua hari raya masyarakat Madinah semasa jahiliyah), maka keduanya berdasarkan pilihan kaum bijaksana pada zaman itu. Karena kedua hari tersebut adalah masa yang teduh, sejuk, dan keistimewaan-keistimewaan yang fana lainnya.

Perbedaan kedua keistimewaan tersebut sangat nyata bagi yang memperhatikannya.

[ Sumber: Kitab Shahih Fiqih Sunnah ]

Artikel Terkait:


Bagaimana Setelah Ramadhan..??

Juli 23, 2014 Add Comment
Istiqamah Setelah Ramadhan
Pembaca yang budiman, setelah Ramadhan meninggalkan kita ada hal-hal yang penting bagi kita yang bisa kita kerjakan untuk menambah amal shalih kita sebagai bekal di kehidupan akhirat. Tentunya hal-hal yang harus kita lakukan setelah Ramadhan adalah:

ü  Ikuti puasa Ramadha ini dengan puasa enam hari di bulan Syawal.

Membayar Zakat Kepada Orang Tua

Juli 23, 2014 Add Comment


Sebagian kaum muslimin menganggap bahwa memberikan zakat kepada orang tua sendiri itu tidak mengapa alias sah-sah saja atau bahkan ada yang menganggap bahwa itu adalah lebih afdhal. Benarkah pernyataan ini…??

Mari kita lihat jawaban dari Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah terhadap pertanyaan berikut ini:

Pertanyaan:

Apakah saya boleh menyerahkan sejumlah harta kepada ibu saya dan menganggapnya sebagai zakat? Perlu diketahui bahwa ayah saya masih memberi nafkah kepadanya dan keadaannya juga baik-baik saja, Alhamdulillah?
Demikian pula saya mempunyai seorang saudara laki-laki yang mampu bekerja dan belum menikah, sementara dai tidak menjaga shalat lima waktu, apakah saya boleh menyerahkan zakat kepadanya? Berilah saya jawaban semoga Allah senantiasa menjaga Anda.

Jawaban:

Anda tidak boleh menyerahkan zakat Anda tersebut kepada ibu Anda, sebab ibu bapak tidak termasuk orang berhak menerima zakat. Dan juga ibu Anda tersebut telah tercukupi kebutuhannya oleh bapak Anda.

Sementara saudara laki-laki Anda itu, maka tidak boleh menyerahkan zakat kepadanya selama ia masih meninggalkan shalat. Sebab shalat merupakan rukun Islam yang terpenting setelah dua kalimat syahadat. Dan juga orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja kufur hukumnya. Ditambah lagi ia seorang yang berkemampuan dan sanggup berusaha. Bilamana ia membutuhkan nafkah, maka orang tuanyalah yang berhak memenuhinya, sebab orang tuanyalah yang bertanggungjawab atas dirinya dalam hal nafkah selama mereka berkemampuan. Semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan membimbingnya kepada jalan yang benar serta melindunginya dari keburukan dirinya, dari godaan setan dan teman-teman yang jahat.


# Syaikh Ibnu Baz, Fatawa Az-Zakah, (Fatwa-fatwa Terkini, hlm. 279-280)

Ramadhan Sebentar Lagi Berlalau: "Bagaimana Melepas Ramadhan"

Juli 19, 2014 2 Comments

Allah telah menetapkan bulan Ramadhan dalam durasi waktu yang tertentu, yaitu selama satu bulan (29 hari atau 30 hari). Bahkan dikatakan dalam al-Qur’an bahwa bulan itu hanya beberapa hari yang tertentu. Bulan ramadhan memiliki batas waktu, maka ada awal pasti ada akhir dan ada pertemuan pasti ada perpisahan.

Bulan Ramadhan adalah bagian dari umur kita, maka dengan berlalunya bulan Ramadhan tak  ubahnya berlalunya sebagian dari kita. Hasan Al-Bashri[1]  berkata:
يَا بْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ كُلَّمَا  ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai anak Adam, engkau tidak lain adalah kumpulan hari-hari. Setiap satu hari berlalu, maka berlalu pula sebagian darimu.” Dan seorang penyair berkata: “Denyut jantung seseorang berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kehidupan hanyalah kumpulan menit dan himpunan detik.

Adapun orang yang berbahagia adalah mereka yang menutup bulan Ramadhan dengan kebaikan dan menutup hidupnya atau mengakhiri usianya dengan husnul khotimah. Hal ini sesuai dengan hadits yang mengatakan “Sesungguhnya amalan itu ditentukan dengan penutupnya”, maka berbahagialah orang yang menutup bulan Ramadhan ini dengan amal-amal kebaikan. Dan kita berharap semoga Alloh  menganugerahkan kepada kita husnul khotimah.

Kepergian Ramadha Melahirkan Dua Golongan

1.       Al-Faizun (orang-orang yang beruntung)
Yaitu mereka yang amal shalihnya di bulan Ramadhan diterima oleh Alloh . Sehingga selepas bulan Ramadhan dosa-dosa mereka diampuni oleh Alloh  dan mendapatkan janji dari Alloh  berupa Surga dengan melalui pintu Ar-Rayyan.

2.      Al-Khosirun (orang-orang yang merugi)
Yaitu mereka yang amalnya tidak diterima, berpisah dengan Ramadhan sementara dosa-dosanya tidak diampuni dan dia terusir dari rahmat Alloh  karena telah  berlaku buruk di dalam bulan Ramadhan, menyia-nyiakan bulan Ramadhan dan menyia-nyiakan hak Alloh  dan Alloh pun menyia-nyiakannya. Rasululloh  pernah mengaminkan do’a Malaikat Jibril ketika Jibril  berkata: “Wahai Muhammad, siapa yang mendatangi bulan Ramadhan dan bulan Ramadhan berlalu darinya sementara dosa-dosa tidak terampuni, maka semoga Alloh menjauhkan orang itu (menjauhkan dari rahmat-Nya)- dalam riwayat lain: terhina dan rugilah orang itu-, maka ucapkanlah amiin wahai Muhammad. Maka Rasululloh  mengucapkan Amiin.”

Saudaraku kaum Muslimin.. di golongan manakah kita?, apakah kita termasuk golongan yang beruntung?, apakah amal ibadah kita telah diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala?, ataukah kita termasuk ke dalam golongan yang merugi yang terusir dari rahmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala?. Tentu rasa ingin tahu kita sangat besar, sehingga kita akan bergembira dan bersyukur kepada Alloh  jika kita termasuk orang-orang yang beruntung. Dan kita akan bertaubat, akan menangis dan memohon ampunan kepada Alloh apabila kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi.

Kepergian Ramadhan sangat berat dan sangat pahit terasa baik bagi golongan yang beruntung maupun golongan yang merugi. Kepahitan tersebut terasa karena hari-hari di bulan Ramadhan yang akan segera meninggalkan kita adalah hari-hari yang sangat indah, siangnya adalah sabar dan shiyam, malamnya adalah tilawah dan qiyam, udara sorenya adalah dzikir dan do’a, serta wewangiannya adalah tetesan air mata. Hari-hari yang membawa ampunan dari Alloh dan hari-hari pembebasan dari Neraka itu berlalu, sungguh sangat menyedihkan. Dan yang menambah kesedihan bagi kita adalah karena kita tidak tahu di golongan manakah kita berada?, dan yang membuat pilu hati kita adalah karena kita tidak tahu apakah kita masih dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan yang akan datang ataukah tidak??

Sesungguhnya penyempurnaan balasan amal-amal kita adalah di akhirat kelak.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ (١٨٥)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

Dan janji Alloh terhadap orang yang diterima puasanya adalah benar. Di antara janji tersebut adalah:
~  Diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
~  Alloh  sendiri yang akan memberikan balasan bagi orang yang berpuasa.
~   Alloh menjajikan Surga dengan pintu Ar-Rayyan.
~  Pada setiap malam pada malam-malam bulan Ramadhan Alloh membebaskan hamba-hamba-Nya dari api Neraka.
~  Mendapat syafa’at dari ibadah puasa dan bacaan al-Qur’an di hari kiamat.
~  Mendapat dua kegembiraan, yakni kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Alloh .
   
      Setelah berakhirnya Ramadhan ini akan datang ‘Idul Fitri. Seluruh kaum Muslimin bergembira pada saat itu, karena di dalam Agama kita ada kelapangan. Betapa gembiranya kita karena telah meyelesaikan kewajiban kita secara tuntas. Betapa gembira kita karena ada harapan dosa-dosa kita terampuni dan kita dimerdekakan dari Api Neraka. Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:
وَإِنَمَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَان عِيْدًا لِجَامِعِ الْأُمَّةِ لِأَنَّهُ يُعْتَقُ فِيْهِ أَهْلُ الْكَبَائِرِ مِنَ الصَّائِمِيْنَ مِنَ النَّارِ
Sesungguhnya hari Idul Fitri selepas Ramadhan itu dijadikan hari raya untuk segenap ummat Islam, karena pada hari itu para pendosa-pendosa besar yang telah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dimerdekakan dari api Neraka.

Sebagaimana ‘Idul Adha disebut ‘Idul Akbar, karena sehari sebelum ‘Idul Adha yaitu pada tanggal 9 Zulhijah adalah hari ‘Arafah hari yang tidak pernah Alloh membebaskan hamba-hamba-Nya dari Neraka dengan jumlah yang lebih besar daripada hari itu. Alloh meberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya dan setan tidak pernah terlihat lebih hina dan lebih kerdil daripada di hari ‘Arafah tersebut.

Kegembiraan kaum muslimin pada hari raya tersebut, bukan dengan berfoya-foya, banyak makan dan minum meskipun hal itu diperbolehkan, melainkan dengan berdzikir, bertasbih dan bersyukur kepada Alloh . Alloh  berfirman:
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Kegembiraan kita pada saat itu diwujudkan dengan shalat ‘Idul Fitri. Diriwayatkan dalam suatu atsar (perkataan) dari Ibnu Abbas dan atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi; Ibnu ‘Abbas berkata: “Apabila pada hari Idul Fitri (telah datang Idul Fitri), maka para Malaikat turun ke bumi, mereka berdiri di ujung-ujung jalan seraya menyeru yang didengar oleh seluruh makhluk Alloh kecuali manusia dan jin, para malaikat itu berkata:
يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ أَخْرِجُوْا إِلَي رَبِّ الْكَريْمِ يُأْتِي الجَزِيْمْ وَيَغْفِرُذَنْبَ العَظِيْمِ
Wahai ummat Muhammad, keluarlah kalian menuju Rabb Yang Maha Pemurah, Yang memberi balasan yang banyak dan mengampuni dosa-dosa yang besar.” Maka apabila kaum Muslimin telah keluar menuju tempat-tempat ‘Id, maka Alloh  berkata kepada para Malaikat-Nya:
مَا جَزَاءُ الأَجِيْر إِذَا عَمِلَ عَمَلًا 
Apa balasan seorang buruh jika ia sudah menyelesaikan tugasnya?” Para Malaikat menjawab:
إلَهَنَا وَسَيِّدَنَا أَنْ يُوَفَّى أَجْرُهُ
Wahai Ilah kami dan sayyid kami, balasannya adalah disempurnakannya upah”  Maka Alloh  berfirman:
إِنِي أُشْهِدُكُمْ عَنِّي جَعَلْتُ ثَوَابَهُمْ مِنْ صِيَامِهِمْ وَقِيَامِهِم رِضَائِي وَمَغْفِرَتِي إِرْجِعُوْا مَغْفُرَانَكُمْ
Sesungguhnya Aku mempersaksikan kepada kalian wahai para Malaikat-Ku, sesungguhnya Aku telah memberi balasan mereka dari ibadah shiyam dan qiyam itu adalah ridho-Ku dan ampunan-Ku. Maka pulanglah kalian dalam keadaan terampuni.

Di detik-detik terakhir di bulan Ramadhan ini kita perbanyak istighfar, karena istighfar mempunyai fadhilah (keutamaan) yang sangat banyak. Di antara fadhilah istigfar adalah sebagai berikut:

~ Istighfar menutupi apa yang terkoyak dari amal shalih kita.
~ Istighfar dijadikan penutup bagi amal-amal shalih.
~ Istighfar dijadikan penutup bagi shalat fardhu setelah salam.
~ Istighfar dijadikan penutup bagi ibadah haji.  
~ Istighfar dijadikan penutup bagi shalat malam.
~ Istighfar juga dijadikan penutup bagi majelis-majelis.
   
      Pembaca yang budiman, yang lebih penting bagi kita adalah apa/bagaimana setelah Ramadhan? Tentunya hal-hal yang harus kita lakukan setelah Ramadhan adalah:

# Ikuti puasa Ramadhan ini dengan puasa enam hari di bulan Syawal.
Jadikan sepanjang tahun kita dengan ibadah puasa yaitu dengan cara kita sempurnakan ibadah shoum Ramadhan ini, setelah itu kita lanjutkan dengan enam  hari di bulan Syawal. Disebutkan dalam sebuah hadist shahih:
مَنْ صَا مَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالِ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seolah-olah dia berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim, 1164)

*Keterangan:
Dikatakan seperti satu tahun penuh karena satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipatnya. Puasa bulan Ramadhan sebanding dengan puasa sepuluh bulan dan puasa enam hari Syawal sebanding dengan puasa dua bulan. Jadi, jumlahnya sebanyak dua belas bulan. Sebagaimana dalam hadits Tsaubah dari Nabi , beliau bersabda:
مَنْ صَا مَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّتِ أَيَّامٍ بَعْدَ الفِطْرِفَذَالِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
“Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, maka satu bulan sebanding dengan sepuluh bulan, ditambah puasa enam hari setelah Idul Fitri, berarti genap berpuasa satu tahun penuh.” (Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’I dalam al-Kubra dan Ibnu Majah)

Ada lagi shoum Senin–Kamis
Diriwayatkan dari Aisyah , ia berkata, “Rasulullah  suka melaksanakan puasa Senin dan Kamis” (Shahih diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa’I dan Ibnu Majah)
Usamah bin Zaid  pernah bertanya kepada Rasullah  tentang puasa Senin dan Kamis, beliau menjawab:
ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيْهِمَا الأَعْمَالُ عَلَي رَبِّ العَالَمِيْنَ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَاصَائِمٌ
“Keduan hari itu adalah hari di mana catatan amal diserahkan kepada Rabb semesta alam. Aku suka bila amalku diserahkan dalam keadaan aku sedang berpuasa.” (hasan, diriwayatkan oleh an-Nasa’I, Ahmad, dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab)

Ada juga puasa tiga hari setiap bulannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata, “Kekasihku telah mewasiatkan kepadaku untuk berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, dua rakaat shalat Duha, dan mengerjakan shalat Witir sebelum tidur.” (Shahih diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Puasa tiga hari yang disebut puasa bidh (putih) disunnahkan dilakukan setiap tanggal 13, 14, dan 15 dalam setiap bulannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi .
صِيَامُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ وَأَيَّامُ البِيْضِ صَبِيْحَةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Puasa tiga hari pada setiap bulannya, seperti puasa satu tahun penuh. Puasa Ayyamul Bidh adalah tanggal 13, 14 dan 15.” (An-Nas’i, Abu Ya’la, Ath-Thabrani, dan yang lainnya)

Ada juga puasa satu hari dan berbuka satu hari (puasa nabi Daud)
Ini adalah puasa yang terbaik dan paling dicintai oleh Allah . Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr , ia berkata, Nabi  bersabda:
أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَي اللهِ صَيَامُ دَاوُدَ ... وَكَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطرُ يَوْمًا
“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Nabi Daud , …. …….. Beliau puasa satu hari dan berbuka satu hari.” (Shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Puasa Muharram, terutama tanggal 9 dan 10 (‘Asyura)
Disunnahkan untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram, berdasarkan hadits Abu Hurairah , Nabi  bersabda:
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (Shahih diriwayatkan oleh Muslim dan An Nasa’i)

~ Sebagaimana kita menantikan bulan Ramadhan dengan kerinduan, maka lepaslah bulan Ramadhan ini dengan kesedihan dan ketaatan pula. Dan hari-hari setelah Ramadhan kita isi dengan ketaatan kepada Alloh, karena hari-hari tersebut pun adalah milik Alloh, baik hari-hari di bulan Ramadhan maupun hari-hari di luar Ramadhan.

~ Kita telah berpuasa dan shalat lail di bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala dari Alloh ), maka iman dan ihtisab ini hendaklah senantiasa menyertai kita di luar bulan-bulan Ramadhan. Shalat kita, tilawah kita, belajar kita, shadaqah kita, infaq kita hendaklah ­imanan wahtisaban.

~ Kita telah menjaga shalat kita pada bulan Ramadhan dengan menyempurnakannya dan mengerjakannya dengan khusyu, dengan senantiasa berjama’ah bagi yang laki-laki, maka pertahankanlah shalat kita di luar bulan Ramadhan dengan khusyu, tuma’nina, dengan berjama’ah pada hari-hari selepas Ramadhan, karena iqaamatush shalah (mendirikan shalat) tidak terbatas pada bulan Ramadhan.

~ Kita telah melaksanakan shalat malam pada bulan ramadhan yang penuh barakah ini, telah memakmurkan malam-malam kita dengan shalat tarawih, dengan shalat malam dan kita bersabar karena lamanya berdiri sang imam, maka ini menjadi bukti bahwa sebenarnya kita juga mampu melaksanakan yang seperti itu pada hari-hari di luar Ramadhan. Sebenarnya kita mampu untuk shalat lail sebgaimana kita mampu pada bulan Ramadhan, maka pertahankanlah semua itu, dengan berusaha melaksanakan sunnah-sunnah Rosululloh.

~ Engkau telah mengkhatamkan al-Qur’an, atau hampir khatam, atau bahkan lebih dari sekali, maka pertahankan amal yang baik ini dengan memperbanyak tilawah al-Qur’an, memperbanyak membaca kitabulloh.

~ Dan di bulan ramadhan ini kita telah mampu menjaga untuk tidak berbuat maksiat. Kita telah menjaga penglihatan kita dari memandang yang diharamkan Alloh, kita telah berusaha menjaga telinga kita dari yang diharamkan oleh Alloh, kita telah menjaga marah kita, kita telah menahan emosi kita, kita telah berusaha untuk santun dan sabar, maka pertahankanlah ini selepas bulan ramadhan karena segala maksiat baik mata, lidah, telinga dan yang lainnya tetap diharamkan baik di bulan ramadhan maupun di luar bulan ramadhan.

~ Kita telah berusaha menunjukan akhlaq-akhlaq islami pada bulan ramadhan, (murah hati, sedekah, infaq, memberi hadiah, menyebarkan salam, dll) kemudian telah banyak membasahi bibir kita dengan dzikir kepada Alloh, telah banyak mamanjatkan do’a pada bulan ramadhan, telah banyak melakukan imsak (menahan diri dari memperturutkan hawa nafsu). Maka mengapa kita tidak pertahankan akhlaq yang baik ini, akhlaq yang islami ini di luar bulan ramadhan? Sebab kita dituntut untuk imsak/menahan diri dari sifat yang tercela di sepanjang hari, kita dituntut untuk berakhlaq yang islami, kita dituntut untuk bermurah hati, peduli dengan orang-orang yang lemah, bersedekah, membasahi lisan kita dengan dzikir, memanjatkan do’a kepada Alloh, ini dituntut baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Karena tidak ada sesuatu yang dapat memberatkan mizan (timbangan) di akhirat kelak lebih dari pada akhlaq yang baik.

~ Pada bulan Ramadhan ini dengan karunia Alloh kita dapati diri-diri kita ini menjadi jiwa-jiwa yang hidup, dengan rahmat Alloh hati-hati kita menjadi hidup karena amal shalih, karena merasa diawasi oleh Alloh, karena ibadah di malam dan siang harinya, maka hati-hati ummat Islam menjadi bercahaya dan hidup, pada bulan Ramadhan iman mereka bertambah, ketaatan kita meningkat, maka pesan saya untuk diri saya yang lemah ini dan untuk saudara-saudara kaum muslimin seluruhnya hendaknya kita berjanji dengan diri kita sebelum berpisah dengan bulan Ramadhan bahwa selepas Ramadhan ini kita akan tetap dalam ketaatan kepada Alloh, bahwa selepas Ramadhan ini kita akan tetap meningkatkan ibadah kepada Alloh, bersungguh-sungguh meraih surga-Nya, berusaha keras menjauhi dari murka dan neraka-Nya. Kita berjanji kepada diri kita sendiri dan kepada Alloh untuk tidak akan terbesit ingin kembali kepada perbuatan maksiat serta memperturutkan syahwat.

~ Kesimpulannya adalah kita pertahankan segala amal shaih dan amal ibadah yang banyak kita lakukan di bulan Ramadhan. Kita tingkatkan kualitas taqwa kita kepada Alloh dengan memperbanyak ketaatan kepada-Nya.






[1] Seorang ulama dari kurun tabi’in. Pujian para ulama tentang dirinya, Abu Burdah mengatakan: “Aku tidak melihat seorangpun yang lebih mirip dengan para shahabat Nabi Muhammad  selain al-Hasan”
Abu Qatadah mengatakan, “Pergaulilah syaikh ini secara konsisten, karena aku tidak melihat seorangpun yang lebih mirip pendapatnya dengan umar daripada dia, yakni Al-Hasan”
Anas bin Malik mengatakan, “Bertanyalah kepada al-Hasan, karena dia hafal, sedang kami lupa.”