Demokrasi Dalam Pandangan Islam

April 14, 2017
Dalam diskursus politik dan ilmu perpolitikan serta wacana kenegaraan, bahkan dalam ruang publik sekalipun, terma demokrasi dan penegakan supremasinya seakan telah menjadi sebuah kata suci dan sakral, nyaris tak terbantahkan.
Sebagian kalangan mengartikulasikan demokrasi sebagai demokrasi normatif yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara, dan sebagai demokrasi empirik yang diwujudkan dalam dunia politik praktis.[1] Atau yang sering diformulasikan sebagai (1) pemerintahan dari rakyat (goverment of the people); (2) pemerintahan oleh rakyat (goverment by the people); dan (3) pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people), dimana ketiganya memiliki kesamaan yang similar, bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi.[2] Lantas, bagaimanakah pandangan Islam terhadap sistem demokrasi tersebut?

Realitas Demokrasi bagi Islam dan Kaum Muslimin
Hingar bingar demokrasi tercermin dalam hiruk pikuknya berbagai kampanye partai politik dalam menarik simpati massa dan seringkali memanaskan konstelasi perpolitikan di berbagai negara. Namun bila diperhatikan dengan sangat cermat, ada satu kesamaan nasib yang akan dialami oleh kaum Muslimin yang berkomitmen untuk menegakkan Islam dan mereka hanyut dalam pusaran demokrasi saat mereka memenangkan “pesta demokrasi” atau pemilu, antara lain (1) diembargo secara ekonomi dan politik oleh negara-negara yang mengaku sebagai “pendekar demokrasi; (2) mengalami kudeta militer; (3) mendapatkan mosi tidak percaya dan sering pemerintahannya tidak stabil; (4) dibatalkan kemenangannya secara sepihak dan diberangus aktifitasnya; (5) mulai menurunkan komitmen Islaminya (mandul menampakkan hukum Islam); (6) atau nasib minimal lainnya, seperti berkompromi secara sembrono dan serampangan dengan menanggalkan identitas Islaminya. Ini adalah fakta, bukan ilusi!

Sorotan dari Kaum Muslimin
Berdasarkan artikulasi demokrasi seperti termaktub di atas, tidak salah bila dalam perspektif kaum Muslimin demokrasi juga didefinisikan sebagai “Suatu sistem (pemerintahan) dimana hukum, kedaulatan, atau kekuasaan membuat undang-undang dan syariatnya menjadi hak rakyat atau umat atau mayoritas dari mereka.”[3] Khusus-nya melalui majelis perwakilan rakyat atau parlemen[4].[5]

Inilah titik tekan yang harus selalu dicamkan, hukum buatan manusia bisa menyamai atau bahkan lebih tinggi dari hukum Alloh Subhanahu wa Ta’ala (syariat), dan kedaulatan berada di tangan rakyat (mayoritas), bukan di tangan-Nya!

Mengapa demikian, karena demokrasi tiada lain merupakan pengejewantahan sistem Sekuler (nizhām ‘almānī) yang berbeda sekali dengan tabiat sistem Islami, baik yang bersifat global maupun terperinci[6], bahkan jelas-jelas memiliki tekad untuk memberangus hukum Islam sebagai konsekuensi logis penerapan sistem Sekuler tersebut.[7]

Di samping itu, dalam sistem Sekuler juga harus diberlakukan ruang publik yang bebas (free public sphere) agar setiap warga negara dapat mengemukakan gagasan dan ekspresinya dalam rangka pengembangan wacana dan kreasi[8], inilah yang seringdiungkapkan sebagai kebebasan berpen-dapat (hurriy-yah al-ra’y atau hurriyyah al-fikr) yang sering berujung kepada “berkufur ria” (hurriyyah al-kufr) bila tidak diasaskan kepada orisinalitas ajaran Islam.[9]

Substansi Demokrasi Dalam Islam dan Sebuah Renungan[10]
Bagi orang yang memahami ajaran Islam –walaupun tidak terlalu mendalam–, yang tegak berdiri dengan berasaskan kepada pengesaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang murni, demokrasi –baik kekuasaan atau kedaulatan tertingginya dipegang oleh seluruh rakyat, atau mayoritasnya, atau oleh satu kelompoktertentu sebagaimana yang terjadi dalam realitas, serta dengan berbagai model yang ada- tiada lain merupakan hukum thāghūtatau hukum jahiliyyah, dimana formulanya dapat dikonsepsikan sebagai Setiap hukum yang menyelisihi atau bertentangan dengan hukum Alloh dan Rosul-Nya.” (kullu hukm yunāqidh hukm Alloh wa Rasūlih).

Mengapa demikian?
Berdasarkan nash-nash syar’i yang telah dipastikan validitasnya, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, hukum hanya ada dua macam, yaitu:
Pertama, hukum Islamyaitu sistem hukum yang kedaulatan tertingginya ada di tangan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan di tangan makhluk-Nya. Kewajiban makhluk, baik rakyat maupun pemimpinnya adalah mengikuti dan menerapkan (ittibā’)serta tunduk patuh secara totalitas (inqiyād).

Kedua, hukum thāghūt (jahiliah),selain hukum Islam termasuk di dalamnya adalah hukum demokrasi.

Demokrasi adalah sistem yang menjadikan sumber hukum dalam penghalalan dan pengharaman adalah milik rakyat, bukan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dengan cara menggunakan pemilihan umum untuk memilih dewan pembuat syariat dan undang-undang. Dari sini tampak jelas bahwa al-ma’lūh, al-ma’būd, al-muthā’ (yang diper-tuhankan, disembah dan ditaati) adalah manusia, bukan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ini jelas merubah dan sangat bertentangan dengan pokok Islam sebagai agama tauhid.

Demokrasi merupakan sistem yang mengembalikan semua permasalahan antara hakim dan yang dihakimi kepada rakyat, bukan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berarti telah menginjak-injak dan bertentangan dengan firman-Nya tentang kewajiban taat kepada keduanya, antara lain:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian.” (QS.an-Nisa’[4]: 59)

Demokrasi adalah suatu sistem yang menjamin kebebasan dalam berkeyakinan dan beragama. Seorang demokrat (penerap demokrasi) sangat dibebaskan untuk memiliki keyakinan apapun, hak maupun batil, benar ataupun salah. Ia dipersilahkan –jika menginginkan– untuk kafir sekalipun setelah beriman. Ia juga bebas-bebas saja untuk menyimpang dari kebenaran.

Sedang hukum Islam adalah kebalikan dari hal tersebut.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang mengganti agama-nya, maka bunuhlah.”(HR. Bukhori, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i dan Ahmad)
Maksudnya, tidak dibiarkan keluar agama begitu saja.

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan La Ilaha illa Alloh, mengerjakan sholat, dan membayar zakat.” (HR. Bukhori dan Muslim)

“Aku diutus di antara hari kiamat dengan pedang hingga hanya Alloh saja yang disembah oleh umat manusia dan tidak ada yang menyekutukan-Nya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah )

Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat dan berbicara, walaupun berupa ucapan menghina Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam serta mencaci agama. Semua itu menjadi sah-sah saja asalkan peserta demokrasi menyetujuinya. Jadilah semua peserta keluar dari agama yang mulia, yaitu Islam.

Ini merupakan kekufuran yang nyata, sedangkan Islam tidak mengakui kalimat kufur dan syirik, kalimat rusak dan tidak bermanfaat, serta kalimat perpecahan yang menghilangkan persatuan. Semua itu tertolak dalam Islam. Lihat (QS. an-Nisa’ [4]:148 dan at-Taubah [9]: 65-66)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya seseorang ada yang akan berucap dengan satu kalimat yang ia pandang tidak bermasalah, akan tetapi menyebabkan ia tersungkur ke dalam neraka sejauh tujuh puluh tahun.” (HR. Bukhori)

“Barangsiapa yang mampu menjaga apa-apa yang ada di antara dua rahangnya (lidah) dan di antara dua pahanya (kemaluan) dari kejelekan karena Alloh, pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhori)

“Tidak ada yang lebih menjerumuskan wajah-wajah manusia ke dalam neraka kecuali kejahatan lisan-lisan mereka.” (HR. Ahmad)

Lantas, dimanakah posisi demokrasi dari adab-adab mulia yang berasal dari agama yang lurus ini?

Demokrasi adalah sistem atheis (tak kenal agama) dengan beragam dalihnya. Semua agama seolah dijadikan landasan utama dalam negara. Maka semua tempat ibadah bebas berdiri. Gereja, kuil, dan beragam tempat menyembah berhala pun bebas berdiri. Karena itu, walau beribu kali mereka mengaku Muslim, tetapi jika tidak mau berpaling dari kekufuran, tetap saja pengakuan itu tidak ada gunanya.

Demokrasi merupakan sistem yang menjamin kebebasan pribadi. Seseorang yang beragama dengan demokrasi, boleh melakukan apa saja sesuai kehendaknya. Baik perbuatan keji, kemungkaran, hingga kekufuran. Persis dengan apa yang dianut oleh orang-orang zindiq di masa lalu hingga sekarang.

Demokrasi adalah sistem dimana seorang yang kafir, zindiq, murtad dari agama Alloh  sekalipun dipersilahkan untuk mengatur sebuah negara yang didiami kaum Muslimin.

Demokrasi merupakan sistem yang menyamakan semua orang dalam hal hak dan kewajiban. Menyamakan kedudukan antara orang berdosa dengan orang beriman, orang bodoh dengan orang yang berilmu. Dalam Islam, kedudukan orang-orang tersebut tidak sama, bahkan sangat jauh berbeda. Namun dalam demokrasi semua itu sama.

Demokrasi mempersilahkan semua bentuk fitnah berkembang pesat, tergantung kehendak rakyat. Yang syirik, yang munafik, yang fasiq, yang murtad, semua dipersilahkan, tak boleh ada yang menghentikan.

Demokrasi menganut faham mayoritas. Segala sesuatu kalau mayoritas, harus dipegang teguh, tanpa peduli apakah benar atau batil, dari manapun sumbernya. Sedangkan Islam mengajarkan agar berpegang hanya pada kebenaran, meskipun kebenaran itu diakui oleh sedikit orang. Kebenaran yang dimaksud adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dari sini nampak jelas bahwa Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berlawanan.

Akhirnya.. Demokrasi yang mencengkeram umat dengan sangat kuat pada hari ini, tidaklah lahir spontan begitu saja. Akan tetapi demokrasi ini adalah hasil kerja keras musuh-musuh Islam dan pengikutnya yang menyumbangkan jiwa dan raga mereka di atas kesia-siaan. Telah gugur, kalau boleh dikatakan “pahlawan demokrasi”, ribuan bahkan jutaan. Lantas, akankah kita biarkan sistem jahiliyah yang kafir ini menelan korban-korban berikutnya?
Jawabnya, tentu tidak!!
[Sumber: web hasmi.org]
-------*****------

 Artikel Lainnya:




[1] Lihat Dede Rosyada, et.al., Demokrasi, Hak Asasi dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003, hlm. 110.
[2] Lihat Ibid., hlm. 111-112.
[3] Muhammad Syākir al-Syarīf, Haqīqah al-Dīmuqrāthiyyah, Riyadh: Mu’assasah al-Jarīsī, 1412 H, hlm. 10.
[4] WAMY, al-Mausū’ah al-Muyassarah fī al-Adyān wa al-Madzāhib wa al-Ahzāb al-Mu’āshirah, Riyadh: Dār al-Nadwah, 1418 H, vol. 2, hlm. 1066-1067 & hlm. 996-997.
[5] Beragam artikulasi lain dari demokrasi, lihat Muhammad Ahmad ‘Alī Muftī, Naqdh al-Judzūr al-Fikriyyah li al-Dīmuqrāthiyyah al-Gharbiyyah, Riyadh: Maktab Majallah al-Bayān, 2002, hlm. 13-27.
[6] Lihat Sa’d al-Dīn al-Sayyid Shālih, Ihdzarū al-Asālīb al-Hadītsah fī Muwājahah al-Islām, Uni Emirat Arab: Maktabah al-Shahābah, 1998, hlm. 168-184.
[7] Lihat al-Syarīf, al-‘Ilmāniyyah wa Tsimāruhā al-Khabītsah, Riyadh: Dār al-Wathan, 1411 H, hlm. 21.
[8] Lihat Hasyim Muhammad, Tafsir Tematis al-Qur’an & Masyarakat Madani: Membangun Demokrasi dalam Peradaban Nusantara, Yogyakarta: TERAS, 2007, hlm. 104.
[9] Lihat ‘Abd al-‘Azīz ibn Sa’īd al-Zahrānī, Hurriyyah al-Fikr am Hurriyyah al-Kufr, Riyadh: Dār al-Qāsim, 1420 H, khususnya hlm. 14-26 dan hlm. 86-93.
[10] Lihat al-Syarīf, Haqīqah al-Dīmuqrāthiyyah, hlm. 16-70; dan Muftī, Naqdh al-Judzūr al-Fikriyyah li al-Dīmuqrāthiyyah al-Gharbiyyah, hlm. 69-103.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »