Dalam
diskursus politik dan ilmu perpolitikan serta wacana kenegaraan, bahkan dalam
ruang publik sekalipun, terma demokrasi dan penegakan supremasinya seakan telah
menjadi sebuah kata suci dan sakral, nyaris tak terbantahkan.
Sebagian
kalangan mengartikulasikan demokrasi sebagai demokrasi normatif yang
secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara, dan sebagai demokrasi
empirik yang diwujudkan dalam dunia politik praktis.[1]
Atau yang sering diformulasikan sebagai (1) pemerintahan dari rakyat (goverment
of the people); (2) pemerintahan oleh rakyat (goverment by the people);
dan (3) pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people), dimana
ketiganya memiliki kesamaan yang similar, bahwa rakyat adalah pemegang
kedaulatan tertinggi.[2]
Lantas, bagaimanakah pandangan Islam terhadap sistem demokrasi tersebut?
Realitas
Demokrasi bagi Islam dan Kaum Muslimin
Hingar
bingar demokrasi tercermin dalam hiruk pikuknya berbagai kampanye partai
politik dalam menarik simpati massa dan seringkali memanaskan konstelasi
perpolitikan di berbagai negara. Namun bila diperhatikan dengan sangat cermat,
ada satu kesamaan nasib yang akan dialami oleh kaum Muslimin yang berkomitmen
untuk menegakkan Islam dan mereka hanyut dalam pusaran demokrasi saat mereka memenangkan
“pesta demokrasi” atau pemilu, antara lain (1) diembargo secara ekonomi dan
politik oleh negara-negara yang mengaku sebagai “pendekar demokrasi; (2) mengalami
kudeta militer; (3) mendapatkan mosi tidak percaya dan sering pemerintahannya
tidak stabil; (4) dibatalkan kemenangannya secara sepihak dan diberangus
aktifitasnya; (5) mulai menurunkan komitmen Islaminya (mandul menampakkan hukum
Islam); (6) atau nasib minimal lainnya, seperti berkompromi secara sembrono dan
serampangan dengan menanggalkan identitas Islaminya. Ini adalah fakta, bukan
ilusi!
Sorotan dari
Kaum Muslimin
Berdasarkan artikulasi demokrasi
seperti termaktub di atas, tidak salah bila dalam perspektif kaum Muslimin
demokrasi juga didefinisikan sebagai “Suatu sistem (pemerintahan)
dimana hukum, kedaulatan, atau kekuasaan membuat undang-undang dan syariatnya
menjadi hak rakyat atau umat atau mayoritas dari mereka.”[3] Khusus-nya
melalui majelis perwakilan rakyat atau parlemen[4].[5]
Inilah titik
tekan yang harus selalu dicamkan, hukum buatan manusia bisa menyamai atau
bahkan lebih tinggi dari hukum Alloh Subhanahu wa Ta’ala (syariat), dan
kedaulatan berada di tangan rakyat (mayoritas), bukan di tangan-Nya!
Mengapa
demikian, karena demokrasi tiada lain merupakan pengejewantahan sistem Sekuler
(nizhām ‘almānī) yang berbeda sekali dengan tabiat sistem Islami, baik
yang bersifat global maupun terperinci[6],
bahkan jelas-jelas memiliki tekad untuk memberangus hukum Islam sebagai
konsekuensi logis penerapan sistem Sekuler tersebut.[7]
Di samping
itu, dalam sistem Sekuler juga harus diberlakukan ruang publik yang bebas (free
public sphere) agar setiap warga negara dapat mengemukakan gagasan dan
ekspresinya dalam rangka pengembangan wacana dan kreasi[8],
inilah yang seringdiungkapkan sebagai kebebasan berpen-dapat (hurriy-yah
al-ra’y atau hurriyyah al-fikr) yang sering berujung kepada “berkufur ria”
(hurriyyah al-kufr) bila tidak diasaskan kepada orisinalitas ajaran
Islam.[9]
Substansi
Demokrasi Dalam Islam dan Sebuah Renungan[10]
Bagi orang
yang memahami ajaran Islam –walaupun tidak terlalu mendalam–, yang tegak
berdiri dengan berasaskan kepada pengesaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang
murni, demokrasi –baik kekuasaan atau kedaulatan tertingginya dipegang oleh
seluruh rakyat, atau mayoritasnya, atau oleh satu kelompoktertentu sebagaimana
yang terjadi dalam realitas, serta dengan berbagai model yang ada- tiada
lain merupakan hukum thāghūtatau hukum jahiliyyah, dimana
formulanya dapat dikonsepsikan sebagai Setiap hukum yang menyelisihi
atau bertentangan dengan hukum Alloh dan Rosul-Nya.” (kullu hukm yunāqidh hukm
Alloh wa Rasūlih).
Mengapa
demikian?
Berdasarkan
nash-nash syar’i yang telah dipastikan validitasnya, baik dari al-Qur’an maupun
as-Sunnah, hukum hanya ada dua macam, yaitu:
Pertama, hukum Islam, yaitu
sistem hukum yang kedaulatan tertingginya ada di tangan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan di tangan
makhluk-Nya. Kewajiban makhluk, baik rakyat maupun pemimpinnya adalah mengikuti
dan menerapkan (ittibā’)serta tunduk patuh secara totalitas (inqiyād).
Kedua, hukum thāghūt (jahiliah),selain
hukum Islam termasuk di dalamnya adalah hukum demokrasi.
Demokrasi
adalah sistem yang menjadikan sumber hukum dalam penghalalan dan pengharaman
adalah milik rakyat, bukan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dengan cara menggunakan
pemilihan umum untuk memilih dewan pembuat syariat dan undang-undang. Dari sini
tampak jelas bahwa al-ma’lūh, al-ma’būd, al-muthā’ (yang
diper-tuhankan, disembah dan ditaati) adalah manusia, bukan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ini jelas merubah
dan sangat bertentangan dengan pokok Islam sebagai agama tauhid.
Demokrasi
merupakan sistem yang mengembalikan semua permasalahan antara hakim dan yang
dihakimi kepada rakyat, bukan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan
Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berarti telah
menginjak-injak dan bertentangan dengan firman-Nya tentang kewajiban taat
kepada keduanya, antara lain:
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Alloh dan taatilah Rosul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian.
Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman
kepada Alloh dan hari kemudian.” (QS.an-Nisa’[4]: 59)
Demokrasi
adalah suatu sistem yang menjamin kebebasan dalam berkeyakinan dan beragama.
Seorang demokrat (penerap demokrasi) sangat dibebaskan untuk memiliki keyakinan
apapun, hak maupun batil, benar ataupun salah. Ia dipersilahkan –jika
menginginkan– untuk kafir sekalipun setelah beriman. Ia juga bebas-bebas saja
untuk menyimpang dari kebenaran.
Sedang hukum
Islam adalah kebalikan dari hal tersebut.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa
yang mengganti agama-nya, maka bunuhlah.”(HR. Bukhori, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i dan Ahmad)
Maksudnya,
tidak dibiarkan keluar agama begitu saja.
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan La Ilaha illa
Alloh, mengerjakan sholat, dan membayar zakat.” (HR. Bukhori dan Muslim)
“Aku diutus di antara hari kiamat
dengan pedang hingga hanya Alloh saja yang disembah oleh umat manusia dan
tidak ada yang menyekutukan-Nya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah )
Demokrasi
menjamin kebebasan berpendapat dan berbicara, walaupun berupa ucapan menghina
Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya shallallahu ‘alayhi wa
sallam serta mencaci agama. Semua itu menjadi sah-sah saja asalkan
peserta demokrasi menyetujuinya. Jadilah semua peserta keluar dari agama yang
mulia, yaitu Islam.
Ini
merupakan kekufuran yang nyata, sedangkan Islam tidak mengakui kalimat kufur
dan syirik, kalimat rusak dan tidak bermanfaat, serta kalimat perpecahan yang
menghilangkan persatuan. Semua itu tertolak dalam Islam. Lihat (QS.
an-Nisa’ [4]:148 dan at-Taubah [9]: 65-66)
Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
seseorang ada yang akan berucap dengan satu kalimat yang ia pandang tidak
bermasalah, akan tetapi menyebabkan ia tersungkur ke dalam neraka sejauh tujuh
puluh tahun.” (HR.
Bukhori)
“Barangsiapa
yang mampu menjaga apa-apa yang ada di antara dua rahangnya (lidah) dan di
antara dua pahanya (kemaluan) dari kejelekan karena Alloh, pasti akan masuk
surga.” (HR. Bukhori)
“Tidak ada
yang lebih menjerumuskan wajah-wajah manusia ke dalam neraka kecuali
kejahatan lisan-lisan mereka.” (HR. Ahmad)
Lantas, dimanakah posisi demokrasi
dari adab-adab mulia yang berasal dari agama yang lurus ini?
Demokrasi
adalah sistem atheis (tak kenal agama) dengan beragam
dalihnya. Semua agama seolah dijadikan landasan utama dalam negara. Maka semua
tempat ibadah bebas berdiri. Gereja, kuil, dan beragam tempat menyembah berhala
pun bebas berdiri. Karena itu, walau beribu kali mereka mengaku Muslim, tetapi
jika tidak mau berpaling dari kekufuran, tetap saja pengakuan itu tidak ada
gunanya.
Demokrasi
merupakan sistem yang menjamin kebebasan pribadi. Seseorang yang beragama
dengan demokrasi, boleh melakukan apa saja sesuai kehendaknya. Baik perbuatan
keji, kemungkaran, hingga kekufuran. Persis dengan apa yang dianut oleh
orang-orang zindiq di masa lalu hingga sekarang.
Demokrasi
adalah sistem dimana seorang yang kafir, zindiq, murtad dari agama Alloh
sekalipun dipersilahkan untuk mengatur sebuah negara yang didiami kaum
Muslimin.
Demokrasi
merupakan sistem yang menyamakan semua orang dalam hal hak dan kewajiban.
Menyamakan kedudukan antara orang berdosa dengan orang beriman, orang bodoh
dengan orang yang berilmu. Dalam Islam, kedudukan orang-orang tersebut tidak
sama, bahkan sangat jauh berbeda. Namun dalam demokrasi semua itu sama.
Demokrasi mempersilahkan semua
bentuk fitnah berkembang pesat, tergantung kehendak rakyat. Yang syirik, yang
munafik, yang fasiq, yang murtad, semua dipersilahkan, tak boleh ada yang
menghentikan.
Demokrasi
menganut faham mayoritas. Segala sesuatu kalau mayoritas, harus dipegang teguh,
tanpa peduli apakah benar atau batil, dari manapun sumbernya. Sedangkan Islam
mengajarkan agar berpegang hanya pada kebenaran, meskipun kebenaran itu diakui
oleh sedikit orang. Kebenaran yang dimaksud adalah yang bersumber dari
al-Qur’an dan as-Sunnah. Dari sini nampak jelas bahwa Islam dan demokrasi
adalah dua hal yang berlawanan.
Akhirnya..
Demokrasi yang mencengkeram umat dengan sangat kuat pada hari ini, tidaklah
lahir spontan begitu saja. Akan tetapi demokrasi ini adalah hasil kerja keras
musuh-musuh Islam dan pengikutnya yang menyumbangkan jiwa dan raga mereka di
atas kesia-siaan. Telah gugur, kalau boleh dikatakan “pahlawan demokrasi”,
ribuan bahkan jutaan. Lantas, akankah kita biarkan sistem jahiliyah yang kafir
ini menelan korban-korban berikutnya?
Jawabnya, tentu tidak!!
[Sumber: web
hasmi.org]
-------*****------
[1] Lihat Dede
Rosyada, et.al., Demokrasi, Hak Asasi dan Masyarakat Madani,
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003, hlm. 110.
[3]
Muhammad Syākir al-Syarīf, Haqīqah
al-Dīmuqrāthiyyah, Riyadh: Mu’assasah al-Jarīsī, 1412 H, hlm. 10.
[4]
WAMY, al-Mausū’ah
al-Muyassarah fī al-Adyān wa al-Madzāhib wa al-Ahzāb al-Mu’āshirah, Riyadh:
Dār al-Nadwah, 1418 H, vol. 2, hlm. 1066-1067 & hlm. 996-997.
[5]
Beragam artikulasi lain dari
demokrasi, lihat Muhammad Ahmad ‘Alī Muftī, Naqdh al-Judzūr
al-Fikriyyah li al-Dīmuqrāthiyyah al-Gharbiyyah, Riyadh: Maktab Majallah
al-Bayān, 2002, hlm. 13-27.
[6]
Lihat Sa’d al-Dīn al-Sayyid Shālih, Ihdzarū
al-Asālīb al-Hadītsah fī Muwājahah al-Islām, Uni Emirat Arab: Maktabah
al-Shahābah, 1998, hlm. 168-184.
[7] Lihat al-Syarīf, al-‘Ilmāniyyah
wa Tsimāruhā al-Khabītsah, Riyadh: Dār al-Wathan, 1411 H, hlm. 21.
[8]
Lihat Hasyim Muhammad, Tafsir
Tematis al-Qur’an & Masyarakat Madani: Membangun Demokrasi dalam Peradaban
Nusantara, Yogyakarta: TERAS, 2007, hlm. 104.
[9]
Lihat ‘Abd al-‘Azīz ibn Sa’īd
al-Zahrānī, Hurriyyah al-Fikr am Hurriyyah al-Kufr, Riyadh: Dār
al-Qāsim, 1420 H, khususnya hlm. 14-26 dan hlm. 86-93.
[10]
Lihat al-Syarīf, Haqīqah
al-Dīmuqrāthiyyah, hlm. 16-70; dan Muftī, Naqdh al-Judzūr
al-Fikriyyah li al-Dīmuqrāthiyyah al-Gharbiyyah, hlm. 69-103.
EmoticonEmoticon