Diposkan oleh Anas Abdillah Al Cilacapi, 29 Juni 2013
Puasa
merupakan salah satu rukun Islam. Rosululloh bersabda,
بُنِيَ الْإِسْلَامُ
عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara, persaksian bahwa tidak ada sesembahan
yang haq kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh,
menegakkan sholat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa Romadhon.” (Muttafaq
‘alaihi)
Umat Islam
telah bersepakat tentang wajibnya puasa Romadhon dan merupakan salah satu rukun
Islam yang dapat diketahui dengan pasti merupakan bagian dari agama.
Barangsiapa yang mengingkari tentang wajibnya puasa Romadhon maka dia kafir,
keluar dari Islam (lihat Al Wajiz).
Oleh
karenanya setiap muslim hendaknya mempelajari ilmu yang terkait dengan
pelaksanaan ibadah yang agung ini. Karena ilmu itu lebih didahulukan daripada
ucapan dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhori di dalam
kitab Shohihnya. Beliau berdalil dengan firman Alloh Ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada yang berhak disembah dengan benar kecuali
Alloh dan mintalah ampunan terhadap dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Al Bukhori
berdalil dengan ayat ini
untuk menunjukkan kewajiban memulai dengan ilmu sebelum berucap dan berbuat,
ini merupakan dalil atsari (berdasarkan penukilan -pent) yang menunjukkan
seorang insan mengetahui terlebih dahulu baru kemudian mengamalkan, di sana juga
terdapat dalil ‘aqli nadhari (berdasarkan pemikiran dan perenungan -pent) yang
menunjukkan ilmu itu didahulukan sebelum ucapan dan amalan. Yaitu dikarenakan
ucapan dan amalan tidak akan menjadi benar dan diterima hingga bersesuaian
dengan aturan syari’at, dan seorang insan tidak mungkin mengetahui apakah
amalannya itu sesuai dengan syari’at kecuali dengan ilmu…” (Syarah
Tsalatsatul Ushul, hal. 27-28).
Puasa Adalah Ibadah
Ibadah memiliki pengertian yang amat luas dan jelas yaitu, “Segala sesuatu
yang dicintai dan diridhoi Alloh, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang
nampak maupun yang tersembunyi.” (lihat perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
yang dinukil di Fathul Majid). Dan puasa termasuk diantaranya, puasa
adalah amalan yang dicintai Alloh, buktinya Alloh mewajibkan puasa kepada
hamba-hamba-Nya. Alloh berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
agar kalian bertakwa.” (QS. Al Baqoroh: 183). Dan tidak mungkin Alloh mewajibkan sesuatu
kecuali sesuatu itu pasti dicintai dan diridhoi-Nya, meskipun sebagian manusia
ada yang merasa tidak suka dengannya. Cobalah perhatikan ketika Alloh
mewajibkan kaum muslimin untuk berperang. Alloh berfirman,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ
لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Telah diwajibkan kepada kalian berperang padahal itu kalian benci, bisa
jadi kalian membenci sesuatu padahal sebenarnya itu baik bagi kalian, dan bisa
jadi kalian menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagi kalian. Alloh lah
yang lebih tahu dan kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Baqoroh: 216).
Dan dalam menentukan apakah sesuatu amalan itu termasuk ibadah atau bukan
bukanlah akal yang menentukan, akan tetapi firman Alloh dan sabda Rosul-Nya.
Sebagaimana kaidah yang sudah amat masyhur di kalangan ulama’ bahwa hukum asal
ibadah (ritual) itu terlarang/haram sampai tegak dalil yang mensyari’atkannya.
Ibadah Hanya untuk Alloh
Apabila kita telah mengetahui bahwa puasa adalah ibadah maka ketahuilah
saudaraku bahwasanya ibadah itu hanya boleh ditujukan kepada Alloh, karena
barangsiapa yang memalingkan ibadah kepada selain Alloh dia telah terjerumus
dalam kesyirikan dan kekafiran. Sebagaimana sholat akan menjadi batal dan
rusak apabila pelakunya terkena hadats, maka demikian pula ibadah akan menjadi
batal dan rusak apabila tercampuri kesyirikan. Sebagaimana sholat tidak sah
tanpa thoharoh maka demikian pula ibadah tidak akan sah tanpa tauhid. (lihat
Al Qowa’idul Arba’ karya Asy Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab
rohimahulloh).
Alloh Ta’ala
berfirman,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ
لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan
sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Alloh maka janganlah kamu menyeru
disamping Alloh sesuatupun.” (QS. Al Jin: 18). Syaikh Al ‘Utsaimin
rohimahulloh menerangkan, “Alloh Ta’ala melarang seorang insan
menyeru/beribadah disamping Alloh sesuatupun, dan Alloh tidaklah melarang dari
sesuatu kecuali karena Dia Yang Maha suci lagi Maha tinggi tidak meridhoinya.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِنْ تَكْفُرُوا
فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ
تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“Jika kamu kufur sesungguhnya Alloh tidak membutuhkan kamu, dan Alloh tidak
ridho kekafiran bagi hamba-Nya dan jika kamu bersyukur niscaya Dia ridho
kepadamu.” (QS. Az Zumar: 7) … dan apabila ternyata Alloh tidak meridhoi kekufuran dan kesyirikan maka
sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk tidak ridho dengan keduanya,
karena seorang mukmin itu keridhoan dan kemarahannya mengikuti keridhoan dan
kemurkaan Alloh, sehingga dia akan marah terhadap sesuatu yang dimurkai Alloh
dan akan ridho terhadap sesuatu yang diridhoi Alloh ‘Azza wa Jalla, maka
demikian pula apabila Alloh tidak meridhoi kekufuran dan kesyirikan maka tidak
semestinya seorang mukmin justru ridho terhadap keduanya.” (Syarah
Tsalatsatul Ushul hal. 33-34).
Maka cobalah kita renungkan keadaan kaum muslimin sekarang ini yang
sebagian di antara mereka (semoga kita tidak termasuk di dalamnya) bergelimang
kesyirikan sementara mereka tidak menyadarinya bahkan membela dan
melestarikannya dengan mengatasnamakan tradisi. Bagaimana bisa mereka melalaikan
masalah besar ini ?! Apalah artinya mereka berpuasa menahan lapar dan dahaga
jika kesyirikan masih melekat dalam hati, ucapan dan amalan mereka. Tidakkah
mereka ingat firman Alloh Ta’ala,
وَلَقَدْ أُوحِيَ
إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan kepada orang-orang
sebelummu, ‘Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu
dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65). Maka marilah kita pelajari tauhid lebih serius
lagi, jangan-jangan kita terjerumus dalam syirik dalam keadaan tidak menyadari.
Bagaimana
mungkin seseorang bisa berkata ‘Saya bersih dari syirik’ sementara pengertian
dan macam-macamnya pun dia tidak mengenalnya. Tetapi siapakah gerangan yang mau
memperhatikannya ??
Syarat
Diterimanya Ibadah
Suatu amalan
akan diterima di sisi Alloh apabila memenuhi dua syarat: ikhlash dan
showab/benar. Alloh Ta’ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو
لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka
barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah Dia
mengerjakan amal sholih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam
beribadah kepada Robbnya.” (QS. Al Kahfi: 110). Al Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya, “Dan dua
hal inilah rukun amalan yang diterima; harus didasari keikhlashan kepada Alloh
serta showab/benar yaitu sesuai dengan syari’at Rosululloh .” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim juz V hal.
154).
Barangsiapa yang niatnya tidak ikhlash karena Alloh maka ibadahnya tidak
diterima, Nabi bersabda, “Alloh berfirman yang artinya,
أَنَا أَغْنَى
الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي
تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
‘Aku adalah Dzat yang tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa mengerjakan
suatu amal yang dicampuri kesyirikan kepada-Ku maka Aku tinggalkan dia beserta
kesyirikannya itu.’” (HR. Muslim)
Barangsiapa yang beramal tidak sesuai tuntunan Nabi maka ibadahnya tidak
diterima, Nabi bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari
kami maka tertolak.” (HR.
Muslim).
Jadi kedua syarat ini harus terpenuhi, apabila salah satu saja tidak terpenuhi
maka ibadah itu tidak akan diterima oleh Alloh.
Tujuan Puasa
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Tujuan dari
puasa bukanlah sekedar mengekang tubuh dalam rangka menahan haus dan lapar
serta kesulitan, akan tetapi tujuannya adalah menundukkan jiwa dengan
meninggalkan sesuatu yang dicintai demi meraih keridhoan Dzat yang dicintai. Adapun
perkara dicintai yang ditinggalkan adalah makan, minum dan jima’, inilah nafsu
syahwat. Adapun sesuatu yang dicintai yang dicari keridhoan-Nya adalah Alloh
‘Azza wa Jalla. Maka kita harus senantiasa menghadirkan niat ini bahwasanya
kita meninggalkan pembatal-pembatal puasa ini demi mencari keridhoan Alloh
‘Azza wa Jalla.” (Tsamaniyatu Wa Arba’uuna Su’aalan Fish Shiyaam hal. 10).
Puasa
Menghimpun 3 Macam Sabar
Puasa adalah
ibadah yang paling utama karena ketiga macam sabar terhimpun di dalamnya,
yaitu:
1.Sabar dalam
melaksanakan ketaatan kepada Alloh.
2.Sabar dalam
menahan diri dari terjerumus dalam maksiat kepada-Nya.
3.Sabar dalam
menghadapi takdir Alloh yang terasa menyakitkan.
Juga karena
Alloh menyandarkan ganjaran puasa kepada Diri-Nya sendiri, Alloh menjanjikan
balasan puasa dari sisi-Nya. Puasa merupakan rahasia antara Robb dan hamba-Nya
sehingga ia menjadi amanat paling agung yang harus dijaga (lihat Taisirul
‘Allaam juz I hal. 351).
Hikmah Ibadah Puasa
Sebenarnya cukuplah bagi seorang hamba mengetahui bahwa Alloh memerintahkan
untuk berpuasa itu menjadikan keutamaan yang besar yang akan diraihnya dengan
menjalankan perintah itu. Karena dia menyadari bahwa Alloh yang maha penyayang pasti tidak
menginginkan untuk mencelakakan hambaNya. Sehingga
apa yang diperintahkan-Nya pasti mengandung kebaikan meskipun dia belum
mengetahuinya. Meskipun demikian, tidak ada salahnya kita mengetahui
hikmah-hikmah di balik ibadah selama kita tidak menjadikannya sebagai syarat
untuk beramal. Semoga dengan mengetahui hikmahnya keyakinan dan keimanan kita
bertambah.
Syaikh Abdulloh Ali Bassaam hafizhahulloh menyebutkan beberapa hikmah yang
tersimpan di balik pensyari’atan puasa, diantaranya yaitu:
-
Puasa termasuk ibadah dan ketundukan kepada Alloh, sehingga puasa itu
menjadikan orang yang berpuasa hanya mengahadapkan dirinya kepada Alloh, tunduk
dan khusyuk di hadapan-Nya tatkala dia harus menolak kekuasaan syahwat.
-
Bersatunya ummat dalam menjalankan satu ibadah dalam satu waktu dan menempa
kesabaran mereka semua baik orang-orang yang kuat maupun lemah, terpandang
maupun tidak, kaya maupun miskin guna bersama-sama menanggung kewajiban ini
yang akan membuahkan keterikatan hati dan ruh mereka serta bersatunya kalimat
mereka. Puasa juga
menjadi sebab terjalinnya kasih sayang antara ummat ini satu sama lain.
Sehingga orang yang kaya turut merasakan lapar dan dahaga yang dialami
saudaranya yang tidak berada.
-
Puasa melatih kesabaran,
mengokohkan tekad dan kemauan, menempa jiwa dalam menghadapi kesulitan yang
ditemui, menundukkannya dan membuatnya menjadi terasa ringan (lihat Taisirul
‘Allaam juz I hal. 351-352).
Hikmah
Diwajibkannya Puasa
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Hikmah
diwajibkannya puasa terhadap ummat ini telah diterangkan oleh Alloh subhanahu
wa ta’ala dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, telah
diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana telah diwajibkan pula kepada
orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” (QS. Al Baqoroh: 183).
Kata la’alla (agar) di sini berfungsi untuk menunjukkan alasan,
artinya supaya kalian bertaqwa kepada Alloh, sehingga engkau pun meninggalkan
apa yang diharamkan oleh Alloh dan engkau menegakkan apa yang diwajibkan oleh
Alloh. Dalam hadits shohih Nabi pernah bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ
قَوْلَ الزُّورِ وَالْجَهْلَ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَا حَاجَةَ لِلَّهِ فِي أَنْ
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, berbuat dengannya dan
juga tindakan bodoh maka Alloh tidak membutuhkan perbuatannya meninggalkan makan
dan minumnya.” (HR Al Bukhori). Maksudnya Alloh
tidaklah menghendaki kita sekedar meninggalkan makanan dan minuman,
sesungguhnya Alloh menghendaki dari kita agar meninggalkan perkataan dusta,
berbuat dengannya atau bertindak bodoh. Oleh karena itulah bagi orang yang
berpuasa apabila ada orang yang mencacinya ketika dia dalam keadaan puasa maka
disunnahkan baginya untuk mengatakan: Sesungguhnya aku sedang puasa, dan tidak
membalas kejelekan itu; karena seandainya dibalasnya niscaya orang yang
mencacinya akan balik melawan, kemudian diapun kembali melawan lagi untuk yang
kedua kalinya sehingga yang dicacipun membantah yang mencaci demikian
seterusnya sehingga menimbulkan seluruh waktu puasanya berubah menjadi dipenuhi
dengan cacian dan perseteruan. Akan tetapi jika dia justeru berkata, ‘Sesungguhnya
aku sedang puasa’ itu artinya dia memberitahu kepada orang yang mencela atau
memusuhinya bahwa sesungguhnya bukan berarti dia tidak mampu membalasnya,
tetapi yang menahannya dari membalas adalah karena dia sedang puasa dan ketika
itu orang yang mencaci akan menahan diri dan malu serta tidak jadi meneruskan
cacian dan perseteruan.” (Tsamaniyatu Wa Arba’uuna Su’aalan Fish Shiyaam
hal. 11).
Ikuti artikel penting terkait:
EmoticonEmoticon