Panduan Para Pekerja

Mei 28, 2014
Definisi Bekerja

Bekerja secara etimologi artinya adalah profesi atau pekerjaan dalam bentuk umum.
Secara terminologis sering digunakan untuk semua jenis pekerjaan manusia dan aktivitasnya, seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ (١٠٥)
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. Al-Taubah: 105)

Namun terkadang digunakan untuk arti khusus, yakni keterampilan, profesi atau mencari rizki, seperti dalam sabada Nabi shalallohu ‘alayhi wa sallam,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطٌ خَيْرٌ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang labih baik dan makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Dawud makan dari hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)

Bekerja dalam Islam dibatasi dengan dua hal: Keikhlasan dan ittibaʽ atau mengikuti Rasulullah shalallohu ‘alayhi wa sallam. Yakni bahwa usahanya itu hendaknya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah dan hendaknya usahanya itu sesuai dengan Sunnah Rasulullah shalallohu ‘alayhi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi: 110)

Kebenaran suatu usaha tentu saja dilihat dari kesesuaian usaha itu dengan syariʽat. Sementara Allah tidak akan memberikan pahala pada suatu amalan kecuali jika bila bertujuan mengharapkan keridhaan-Nya.

Hukum Bekerja

            Bekerja yang menentukan tegaknya hidup manusia, hukumnya faru ʽain. Sementara usaha yang menentukan tegaknya kehidupan bersama, hukumnya adalah faru kifayah. Mendirikan usaha dan perindustrian dilihat dari kebutuhan umat secara kolektif hukumnya adalah faru kifayah. Bertawakal kepada Allah tidak berarti menggugurkan dan meninggalkan usaha, karena yang demikian itu adalah tawakal yang tercela. Sesungguhnya Rasulullah shalallohu ‘alayhi wa sallam tidak pernah memerintahkan umat manusia meninggalkan usaha mencari rizki dan mencari penhidupan. Bahkan beliau mengakui cara mencari rizki yang Allah riai. Oleh sebab itu, tidak ada alas an mencela jalur-jalur usaha yang disyariʽatkan. Yang dicela adalah yang menyebabkan pelakunya lupa kepada Allah dan menghalanginya untuk beramal ibadah kepada-Nya, sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ (٣٧)
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah…” (QS. Al-Nur: 37)

            Ilmu dan amal dalam Islam tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, orang yang beramal atau berusaha harus mempelajari hukum-hukum syariʽat yang berkaitan dengan bidang usahanya sehingga tidak tergelincir dan terjerumus dalam keharaman. Seorang pebisnis hendaknya mempelajari bagian ilmu fikih yang berkaitan dengan berbagai aktifitas bisnis yang diharamkan.

            Sebagaimana seorang pekerja wajib mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bidang usahanya dari hukum-hukum syariʽat, ia juga harus menekuni dan mengerjakan pekerjaannya itu dengan baik, serta melakukan berbagai cara yang dapat menolongnya menyelesaikan pekerjaannya, dengan melatih dan mengajarkan ilmu-nya atau dengan cara lain. Terkecuali bila ia menipu kaum Muslimin. Nabi bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami maka ia bukan termasuk dari kami.” (HR. Muslim, no. 101)

Orang yang bekerja sebagai dokter tetapi tidak mengenal ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab.


Sumber: 
Fikih Ekonomi Islam (Prof. Dr. Shalah Ash-Shawi & Prof. Dr. Abdullah Mushlih


Artikel Terkait

Previous
Next Post »