Dalam menangani seluruh masalah
kehidupan, Islam menekankan sisi moralitas, karena itu hukum-hukum yang
ditetapkan Allah, termasuk dalam aspek ekonomi/bisnis, selalu dikaitkan-Nya
dengan moral yang melahirkan hubungan timbal balik yang harmonis. Peraturan,
syarat yang mengikat, serta sangsi yang menanti merupakan tiga hal yang
berkaitan dengan bisnis, dan di atas ketiga hal tersebut ada etika.
Salah satu etika yang harus dijaga
adalah menjaga hak orang lain demi terpeliharanya persaudaraan. Jika individu
dalam sistem kapitalis tidak mengindahkan hal-hal yang berkaitan dengan etika
seperti tidak megindahkan perasaan orang lain, tidak mengenal akhlak dalam
bidang ekonomi, dan hanya mengejar keuntungan, maka sebaliknya, Islam sangat
memperhatikannya.[1]
Seorang pengusaha Muslim akan
menyegerakan untuk menunaikan hak orang lain, baik itu berupa upah pekerja,
maupun hutang terhadap pihak tertentu. Seorang pekerja harus diberi upah
sebelum keringatnya kering. Sikap orang yang memperlambat pembayaran hutang
merupakan kezhaliman. Adapun orang yang mengingkari hutangnya boleh disebarkan
aibnya dan diberi hukuman.[2]
Dengan demikian, pada suatu usaha
jasa atau badan niaga diharuskan untuk menciptakan suatu sistem yang memiliki
orientasi menyegerakan penunaian hak tersebut, seperti mempercepat pembayaran
dan membayarnya sesuai waktu yang ditentukan. Karena Nabi shallallahu ‘alayhi
wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ
قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.”
(HR. Ibnu Majah)[3]
Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam
juga bersabda,
ثَلَاثَةٌ
أَنَا خَصْمُهُمْ بَوْمَ القِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ
بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى
مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ.
“Ada tiga golongan yang menjadi musuh-Ku pada Hari Kiamat nanti.
Orang yang memberi (jaminan) atas nama-Ku, lalu ia berkhianat, orang yang
menjual orang merdeka lalu memakan hasilnya, dan orang yang menyewa pekerja dan
meminta pekerja itu untuk melaksanakan seluruh tugasnya, namun tidak memberikan
upahnya.” (HR. Bukhari)[4]
Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda,
مُطْلُ الغَنِيِ ظُلْمٌ.
“Sikap orang kaya yang memperlambat pembayaran hutang adalah
kezhaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ
لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَاالدَّيْنِ
“Bagi para shuhada akan dihapuskan seluruh
dosa mereka kecuali utang-piutang (yang belum mereka bayar)”
(HR. Muslim)[5]
Hadith ini menandakan betapa pentingnya memenuhi hak sesame
manusia, terutama dalam masalah uang, sampai mereka yang wafat di jalan Allah
–tingkat tertinggi yang diharapkan setiap mukmin‒ tidak bisa menebus dosanya
jika ia masih berutang, walaupun andaikan ia berulang kali mati shahid.[6]
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang manusia menyalati jenazah orang yang meninggal dunia
dengan meninggalkan utang dan tidak ada harta peninggalan orang itu untuk
melunasinya, juga tidak ada seorang dari kaum muslimin yang menjamin pelunasan
utangnya.[7]
Di antara hak-hak yang harus ditunaikan yang paling utama adalah
hak-hak Allah atas para hamba-Nya yang kaya dalam harta mereka. Yakni dalam
bentuk zakat-zakat wajib, lalu diikuti sedekah dan infak. Semua pengeluaran itu
dapat membersihkan harta dari segala noda shubhat dan dapat menyucikan hati
dari berbagai penyakit yang menyelimutinya seperti rasa kikir, tak mau mengalah
dan egois. Harta tidak akan berkurang karena sedekah. Harta tidak akan hilang
di darat maupun di laut, kecuali karena tidak mau membayar zakat, dan setiap
kali satu kaum menolak membayar zakat, pasti hujan akan tertahan dari langit.
Kalau bukan karena binatang, pasti hujan tidak akan turun.[8]
Allah Ta’ala berfiman,
وَالَّذِينَ
فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (٢٤)لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (٢٥)
“Dan orang-orang yang
dalam hartanya tersedia bagian tertentu,
bagi orang (miskin) yang meminta dan orang
yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Maʽarij: 24-25)
Ibnu Kathir berkata:
“Firman-Nya, وَالَّذِينَ
فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
apa-apa (yang tidak mau meminta).” Yakni mereka
menunaikan hak-hak hartanya bagi orang-orang yang membutuhkan.[9]
Allah Ta’ala
berfirman,
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١٠٣)
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” (QS. Al-Taubah: 103)[10]
Ibnu Kathir rahimahullah berkata,
“Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya
agar mengambil dari harta benda mereka zakat untuk membersihkan dan mensucikan
mereka dengannya. Ini berlaku umum, meskipun sebagian ahli tafsir mengambilkan ḍamir (kata
ganti) dalam kalimat أَمْوَالِهِمْ kepada
orang-orang yang telah mengakui dosa mereka dan mencampuradukkan amal shalih
mereka dengan amal buruk mereka. Oleh karena itu ada sebagian orang dari
penduduk perkampungan-perkampungan Arab pedalaman yang menolak membayar zakat.
Mereka berkeyakinan bahwa tidak wajib membayar zakat kepada Imam (pemimpin kaum
muslimin). Mereka menganggap bahwa hal ini hanya berlaku khusus kepada
Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wa sallam.
Mereka beralasan dengan firman Allah, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً “Ambillah
(wahai Muhammad), zakat dari sebagian harta mereka.” Penafsiran dan pemahaman mereka
yang rusak ini telah dibantah oleh Abu Bakar Aṣ-Ṣiddiq dan segenap para sahabat.
Beliau memerangi mereka sampai mereka mau menyerahkan zakat kepada khalifah,
sebagaimana dahulu mereka menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Sampai-sampai Abu Bakar berkata:
“Demi Allah, seandainya mereka menolak untuk membayarkan satu ekor anak
kambing, yang dahulu mereka membayarkannya kepada Rasulullah, niscaya akan aku
perangi mereka, disebabkan penolakannya.”[11]
Orang yang menolak membayar zakat
karena mengingkari kewajibannya, ia adalah kafir. Sedangkan orang yang menolak
membayarnya karena kikir tetapi ia mengakui kewajibannya, sesungguhnya ia telah
berdosa, dan zakat harus diambil darinya secara paksa dengan memberikan teguran
kepadanya. Jika ia membangkang tidak mau membayar zakat, perangilah ia sampai
tunduk pada perintah Allah dan menunaikan zakat.[12]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wa sallam bersabda,
مَا مِنْ صَاحِبِ كَنْزٍ لَايُؤَدِّيْ
زَكَاتَهُ إِلَّاأُحْمِيَ عَلَيْهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُجْعَلَ صَفَائِحُ، فَيُكْوَى
بِهِ جَنْبَاهُ وَجَبِيْنَهُ، حَتَّي يَحْكُمَ اللهُ بَيْنَ عِبَادِهِ فِيْ يَوَمٍ
كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، ثُمَّ يُرَى سَبِيْلُهُ، إِمَّا
إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Setiap pemilik harta yang tidak menunaikan zakatnya, pasti akan
Allah panaskan harta itu di Neraka Jahannam, terus dijadikan lempengan untuk
kemudian disetrikakan ke kening dan badannya, sampai Allah memutuskan hukuman
bagi para hamba-Nya pada suatu hari yang ukurannya lima puluh ribu tahun,
kemudian ia akan melihat jalannya; akankah ke neraka atau ke surga.”
(HR. Muslim)[13]
Rasulullah
juga bersabda,
مَنْ آتَاهُ
اللهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًاأَقْرَعَ
لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوِّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِ
مَتَيْهِ ‒يَعْنِي:
شِدْقَيْهِ‒
ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا مَالِكْ، أَنَا كَنْزُكْ، ثُمَّ تَلَا: وَلَا يَحْسَبَنَّ
الّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ...
“Barangsiapa yang diberikan harta oleh Allah, lalu tidak
menunaikan zakatnya, pada Hari Kiamat nanti harta itu akan diubah menjadi ular
botak yang memiliki dua taring. Ular itu akan membelitnya, menggigitnya dengan
kedua rahangnya –yaitu dua tulang rahangnya‒Lalu ular itu berkata, ‘Saya adalah
hartamu, saya adalah simpananmu dulu.’ Kemudian beliau membaca Firman Allah,
‘…dan janganlah orang-orang yang berbuat kikir itu menyangka…’.” (HR.
Al-Bukhari)[14]
Ular
yang dimaksud adalah ular jantan, dalam Bahasa Arabnya adalah Shujaʽ
yang arti lainnya adalah “pemberani”. Botak di situ berarti rontok rambutnya
akibat banyaknya bisa ular tersebut.[15]
Zakat adalah bukti kejujuran keimanan pelakunya. Karena harta
merupakan kepemilikan yang paling dicintai oleh jiwa. Orang yang mencintai harta
tidak akan memberikannya kecuali untuk mendapatkan kecintaan yang sepadan
dengannya atau lebih besar. Karena itulah, dinamakan dengan sedekah
(kejujuran), karena ia menunjukkan kejujuran pemiliknya untuk menggapai ridha
Allah azza wa jalla.[16]
Zakat akan menjadikan masyarakat muslim seolah-olah satu keluarga.
Orang yang mampu, memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu, dan orang
kaya akan memberikan kepada orang miskin. Sehingga seseorang merasakan bahwa
dia memiliki kewajiban untuk berbuat baik kepada saudara-saudaranya sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadanya.[17]
Zakat membersihkan harta, maksudnya menumbuhkan harta, baik dari
sisi makna dan zatnya. Jika seseorang mengeluarkan zakat hartanya, maka hal itu
akan menjaganya dari berbagai bahaya. Boleh jadi Allah azza wa jalla
akan membukakan untuknya tambahan rizki karena sedekahnya. Karena itu
disebutkan dalam hadith:
مَانَقَصَتْ
صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah itu, pada hakikatnya tidak akan
mengurangi harta.” (HR. Muslim)[18]
Zakat mengeluarkan pelakunya dari golongan orang-orang yang bakhil
dan memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang dermawan. Zakat dan
melapangkan dadanya, karena jika seseorang mengeluarkan zakat hartanya, dengan
kerelaan dan kemurahan hatinya, maka ia akan merasakan kelapangan dalam
jiwanya.[19]
Harta yang dizakatkan itu dipelihara Allah, dapat diturunkan kepada
anak cucu, memperoleh keberkahan dan kesucian, dapat perlindungan Allah Yanag
Maha Kuasa.[20]
Adapun harta yang tiada dikeluarkan zakatnya, tidak mendapat
perlindungan Allah. Harta-harta itu, akan lenyap dengan segera dari permukaan
bumi. Allah akan membinasakannya dengan bencana yang beraneka ragam macamnya.
Harta itu, tiada akan terpakai untuk pekerjaan yang memberikan keuntungan bagi
pemiliknya di akhirat.[21]
Zakat merupakan manifestasi dari kegotong-royongan antara para
hartawan dengan para fakir miskin. Pengeluaran zakat merupakan perlindungan
bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik
fisik maupun mental. Masyarakat yang terpelihara dari bencana-bencana tersebut
menjadi masyarakat yang hidup, subur dan berkembang keutamaan di dalamnya.[22]
Zakat dapat membantu orang-orang
fakir dan orang-orang yang membutuhkan. Yaitu menggandeng tangan mereka untuk
memulai usaha baru dan semangat baru, jika mereka orang-orang yang mampu, dan
mambantu mereka menjalani hidup yang mulia, jika mereka orang-orang yang lemah.
Zakat melindungi masyarakat dari penyakit kemiskinan, dan melindungi Negara
dari kemerosotan dan kelemahan.[23]
Di antara berkah zakat yang paling
kentara terlihat di tengah masyarakat adalah munculnya ketentraman, kestabilan
keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat ketimpangan sesial dan
ekonomi sudah bisa dihilangkan dari hati kaum papa. Rahmat dan sikap menolong
juga mengalir deras ke dalam jiwa orang-orang kaya yang memiliki kelapangan
harta. Sehingga seluruh masyarakat turut mendapatkan karunia dengan adanya
sikap saling menyangi, saling bahu membahu sehingga muncul kemapanan sosial.[24]
Adapun hak Allah yang lain atas
hamba-hamba-Nya adalah infaq dan shadaqah.
Seorang muslim harus
menginfaqkan sebagian dari hartanya yang
paling baik dan ia juga harus menginfaqkan sebagaian hartanya yang ia cintai.
Sehingga ia telah bertindak jujur dengan memepersembahkan apa-apa yang dicintai
oleh Allah azza wa jalla dan apa-apa yang cenderung kepadanya hawa
nafsunya.[25]
Orang yang bersedekah dengan suka
rela pasti mencitai dan dicintai Allah, karena ia mampu mengalahkan dirinya
yang diciptakan dengan kecenderungan sangat mencintai harta. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman saat menjelaskan watak manusia:
وَإِنَّهُ
لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (٨)
“Dan Sesungguhnya
Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta”
(QS. Al-‘Adiyȃt: 8)[26]
Ketika
seseorang berinfak karena mengutamakan cinta kepada Rabbnya di atas kecintaan
pada dirinya, disertai rasa takut miskin di dunia yang menghalanginya untuk
berinfak, maka Allah akan memberinya rasa aman di akhirat dari rasa takut.[27]
Allah
mencitai hamba-Nya yang dermawan, yang kedua tangannya selalu terbuka lebar
untuk memberi. Karena itu, Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang
bersedekah.[28]
Selain
mendatangkan kecintaan terhadap Allah subhanahu wa ta’la, sedekah sunnah
juga jadi penghalang dari api neraka dan amarah-Nya, serta menjadi penyelamat
dari berbagai dosa. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wa sallam:
وَالصَّدَقَةُ
تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ
“Sedekah
akan menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Al-Nasa`i dan Al-Tirmidzi)[29]
Kepemilikan harta semata-mata hanya
di Tangan Allah, manusia hanya dipercaya untuk mengelola dan mengembangkannya sesuai
dengan tuntutan-Nya (sebagai amanah). Sebagai pengelola ia akan dihadapkan
kepada pertanggungjawaban terhadap kebijakannya. Untuk itulah agar kelak dapat
mempertanggungjawabkan amanatnya, manusia dituntut untuk mematuhi segala
perintah-Nya dan zakat, infak, sedekah merupakan beberapa di antara perintah
Allah subhanahu wa ta’ala itu.[30]
Bagi pelaku ekonomi Islam, wajib
menunaikan hak-hak orang lain atas dirinya. Di antara hak-hak tersebut ada
dihukumi wajib dan ada pula yang sunnah. Di antara hak orang lain yang wajib
ditunaikan oleh pelaku ekonomi adalah zakat. Sedangkan infak dan sedekah, maka
hukumnya adalah sunnah yang sangat ditekankan.
Oleh: Anas Abdillah Al-Cilacapi
[1] Yusuf Qarḍawi,
Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta, Gema Insani Press) 1997, hlm.
192
[2] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 7
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Yusuf Qarḍawi,
Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta, Gema Insani Press) 1997, hlm.
149
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 8
[9] Ibnu Katsir, Shahih
Tafsir Ibnu Katsir (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir) 2009, Jilid 9, hlm. 286
[10] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 9
[11] Ibnu Katsir, Shahih
Tafsir Ibnu Katsir (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir) 2009, Jilid 4, hlm. 303
[12] Abu Bakar
Jabir Al-Jaza`iri, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam
(Jakarta, Darul Haq), hlm, 356.
[13] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 9
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Muhammad bin Ṣaliḥ
Al-‘Uthaimin, Halal dan Haram dalam Islam (Jakarta, Ummul Qura) 2014,
hlm 281
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Abu Malik
Kamal bin As-Sayyid Salim, Ṣaḥȋḥ Fikih Sunnah (Jakarta, Pustaka
Al-Tazkia) 2006, jilid 3 hlm. 8
[20] Teungku
Muhammad Habshi Al-Ṣiddȋq, Pedoman Zakat (Semarang, Pustaka Rizki Putra)
1999, hlm. 8
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Abu Malik
Kamal bin As-Sayyid Salim, Ṣaḥȋḥ Fikih Sunnah (Jakarta, Pustaka
Al-Tazkia) 2006, jilid 3 hlm. 8-9
[24] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 9
[25] Muhammad bin Ṣaliḥ
Al-‘Uthaimin, Sharḥ Riyaḍ Al-Ṣaliḥȋn (Jakarta, Darul Haq), 2008, jilid
2, hlm. 185
[26] ‘Abdul ‘Aziz
Musṭafa, Agar Dicintai Allah (Jakarta, Pustaka Al-Tazkia), 2005, hlm. 55
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm. 56
[29] Ibid.
[30] Ali Yofie, Menjawab
Seputar Zakat, Infak dan Sedekah (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada) 2000,
hlm. 7
EmoticonEmoticon