Perintah Membayar Zakat, Infaq dan Sodaqah Bagi Para Pengusaha

Juni 15, 2014
Dalam menangani seluruh masalah kehidupan, Islam menekankan sisi moralitas, karena itu hukum-hukum yang ditetapkan Allah, termasuk dalam aspek ekonomi/bisnis, selalu dikaitkan-Nya dengan moral yang melahirkan hubungan timbal balik yang harmonis. Peraturan, syarat yang mengikat, serta sangsi yang menanti merupakan tiga hal yang berkaitan dengan bisnis, dan di atas ketiga hal tersebut ada etika.
Salah satu etika yang harus dijaga adalah menjaga hak orang lain demi terpeliharanya persaudaraan. Jika individu dalam sistem kapitalis tidak mengindahkan hal-hal yang berkaitan dengan etika seperti tidak megindahkan perasaan orang lain, tidak mengenal akhlak dalam bidang ekonomi, dan hanya mengejar keuntungan, maka sebaliknya, Islam sangat memperhatikannya.[1]
Seorang pengusaha Muslim akan menyegerakan untuk menunaikan hak orang lain, baik itu berupa upah pekerja, maupun hutang terhadap pihak tertentu. Seorang pekerja harus diberi upah sebelum keringatnya kering. Sikap orang yang memperlambat pembayaran hutang merupakan kezhaliman. Adapun orang yang mengingkari hutangnya boleh disebarkan aibnya dan diberi hukuman.[2]
Dengan demikian, pada suatu usaha jasa atau badan niaga diharuskan untuk menciptakan suatu sistem yang memiliki orientasi menyegerakan penunaian hak tersebut, seperti mempercepat pembayaran dan membayarnya sesuai waktu yang ditentukan. Karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)[3]

Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda,
ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ بَوْمَ القِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ.
“Ada tiga golongan yang menjadi musuh-Ku pada Hari Kiamat nanti. Orang yang memberi (jaminan) atas nama-Ku, lalu ia berkhianat, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasilnya, dan orang yang menyewa pekerja dan meminta pekerja itu untuk melaksanakan seluruh tugasnya, namun tidak memberikan upahnya.” (HR. Bukhari)[4]
Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda,
مُطْلُ الغَنِيِ ظُلْمٌ.
“Sikap orang kaya yang memperlambat pembayaran hutang adalah kezhaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَاالدَّيْنِ
“Bagi para shuhada akan dihapuskan seluruh dosa mereka kecuali utang-piutang (yang belum mereka bayar)” (HR. Muslim)[5]
Hadith ini menandakan betapa pentingnya memenuhi hak sesame manusia, terutama dalam masalah uang, sampai mereka yang wafat di jalan Allah –tingkat tertinggi yang diharapkan setiap mukmin‒ tidak bisa menebus dosanya jika ia masih berutang, walaupun andaikan ia berulang kali mati shahid.[6]
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang manusia menyalati jenazah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan utang dan tidak ada harta peninggalan orang itu untuk melunasinya, juga tidak ada seorang dari kaum muslimin yang menjamin pelunasan utangnya.[7]
Di antara hak-hak yang harus ditunaikan yang paling utama adalah hak-hak Allah atas para hamba-Nya yang kaya dalam harta mereka. Yakni dalam bentuk zakat-zakat wajib, lalu diikuti sedekah dan infak. Semua pengeluaran itu dapat membersihkan harta dari segala noda shubhat dan dapat menyucikan hati dari berbagai penyakit yang menyelimutinya seperti rasa kikir, tak mau mengalah dan egois. Harta tidak akan berkurang karena sedekah. Harta tidak akan hilang di darat maupun di laut, kecuali karena tidak mau membayar zakat, dan setiap kali satu kaum menolak membayar zakat, pasti hujan akan tertahan dari langit. Kalau bukan karena binatang, pasti hujan tidak akan turun.[8]


Allah Ta’ala berfiman,
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (٢٤)لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (٢٥)
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Maʽarij: 24-25)
Ibnu Kathir v berkata:
“Firman-Nya, وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ  Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” Yakni mereka menunaikan hak-hak hartanya bagi orang-orang yang membutuhkan.[9]
Allah Ta’ala berfirman,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١٠٣)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Taubah: 103)[10]
Ibnu Kathir  rahimahullah berkata,
“Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengambil dari harta benda mereka zakat untuk membersihkan dan mensucikan mereka dengannya. Ini berlaku umum, meskipun sebagian ahli tafsir mengambilkan amir (kata ganti) dalam kalimat أَمْوَالِهِمْ kepada orang-orang yang telah mengakui dosa mereka dan mencampuradukkan amal shalih mereka dengan amal buruk mereka. Oleh karena itu ada sebagian orang dari penduduk perkampungan-perkampungan Arab pedalaman yang menolak membayar zakat. Mereka berkeyakinan bahwa tidak wajib membayar zakat kepada Imam (pemimpin kaum muslimin). Mereka menganggap bahwa hal ini hanya berlaku khusus kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Mereka beralasan dengan firman Allah, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً “Ambillah (wahai Muhammad), zakat dari sebagian harta mereka.” Penafsiran dan pemahaman mereka yang rusak ini telah dibantah oleh Abu Bakar Aṣ-Ṣiddiq dan segenap para sahabat. Beliau memerangi mereka sampai mereka mau menyerahkan zakat kepada khalifah, sebagaimana dahulu mereka menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Sampai-sampai Abu Bakar berkata: “Demi Allah, seandainya mereka menolak untuk membayarkan satu ekor anak kambing, yang dahulu mereka membayarkannya kepada Rasulullah, niscaya akan aku perangi mereka, disebabkan penolakannya.”[11]
Orang yang menolak membayar zakat karena mengingkari kewajibannya, ia adalah kafir. Sedangkan orang yang menolak membayarnya karena kikir tetapi ia mengakui kewajibannya, sesungguhnya ia telah berdosa, dan zakat harus diambil darinya secara paksa dengan memberikan teguran kepadanya. Jika ia membangkang tidak mau membayar zakat, perangilah ia sampai tunduk pada perintah Allah dan menunaikan zakat.[12]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ صَاحِبِ كَنْزٍ لَايُؤَدِّيْ زَكَاتَهُ إِلَّاأُحْمِيَ عَلَيْهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُجْعَلَ صَفَائِحُ، فَيُكْوَى بِهِ جَنْبَاهُ وَجَبِيْنَهُ، حَتَّي يَحْكُمَ اللهُ بَيْنَ عِبَادِهِ فِيْ يَوَمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، ثُمَّ يُرَى سَبِيْلُهُ، إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Setiap pemilik harta yang tidak menunaikan zakatnya, pasti akan Allah panaskan harta itu di Neraka Jahannam, terus dijadikan lempengan untuk kemudian disetrikakan ke kening dan badannya, sampai Allah memutuskan hukuman bagi para hamba-Nya pada suatu hari yang ukurannya lima puluh ribu tahun, kemudian ia akan melihat jalannya; akankah ke neraka atau ke surga.” (HR. Muslim)[13]
Rasulullah juga bersabda,
مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًاأَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوِّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِ مَتَيْهِ يَعْنِي: شِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا مَالِكْ، أَنَا كَنْزُكْ، ثُمَّ تَلَا: وَلَا يَحْسَبَنَّ الّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ...
“Barangsiapa yang diberikan harta oleh Allah, lalu tidak menunaikan zakatnya, pada Hari Kiamat nanti harta itu akan diubah menjadi ular botak yang memiliki dua taring. Ular itu akan membelitnya, menggigitnya dengan kedua rahangnya –yaitu dua tulang rahangnya‒Lalu ular itu berkata, ‘Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu dulu.’ Kemudian beliau membaca Firman Allah, ‘…dan janganlah orang-orang yang berbuat kikir itu menyangka…’.” (HR. Al-Bukhari)[14]
Ular yang dimaksud adalah ular jantan, dalam Bahasa Arabnya adalah Shujaʽ yang arti lainnya adalah “pemberani”. Botak di situ berarti rontok rambutnya akibat banyaknya bisa ular tersebut.[15]
Zakat adalah bukti kejujuran keimanan pelakunya. Karena harta merupakan kepemilikan yang paling dicintai oleh jiwa. Orang yang mencintai harta tidak akan memberikannya kecuali untuk mendapatkan kecintaan yang sepadan dengannya atau lebih besar. Karena itulah, dinamakan dengan sedekah (kejujuran), karena ia menunjukkan kejujuran pemiliknya untuk menggapai ridha Allah azza wa jalla.[16]
Zakat akan menjadikan masyarakat muslim seolah-olah satu keluarga. Orang yang mampu, memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu, dan orang kaya akan memberikan kepada orang miskin. Sehingga seseorang merasakan bahwa dia memiliki kewajiban untuk berbuat baik kepada saudara-saudaranya sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadanya.[17]
Zakat membersihkan harta, maksudnya menumbuhkan harta, baik dari sisi makna dan zatnya. Jika seseorang mengeluarkan zakat hartanya, maka hal itu akan menjaganya dari berbagai bahaya. Boleh jadi Allah azza wa jalla akan membukakan untuknya tambahan rizki karena sedekahnya. Karena itu disebutkan dalam hadith:
مَانَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah itu, pada hakikatnya tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)[18]
Zakat mengeluarkan pelakunya dari golongan orang-orang yang bakhil dan memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang dermawan. Zakat dan melapangkan dadanya, karena jika seseorang mengeluarkan zakat hartanya, dengan kerelaan dan kemurahan hatinya, maka ia akan merasakan kelapangan dalam jiwanya.[19]
Harta yang dizakatkan itu dipelihara Allah, dapat diturunkan kepada anak cucu, memperoleh keberkahan dan kesucian, dapat perlindungan Allah Yanag Maha Kuasa.[20]
Adapun harta yang tiada dikeluarkan zakatnya, tidak mendapat perlindungan Allah. Harta-harta itu, akan lenyap dengan segera dari permukaan bumi. Allah akan membinasakannya dengan bencana yang beraneka ragam macamnya. Harta itu, tiada akan terpakai untuk pekerjaan yang memberikan keuntungan bagi pemiliknya di akhirat.[21]
Zakat merupakan manifestasi dari kegotong-royongan antara para hartawan dengan para fakir miskin. Pengeluaran zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental. Masyarakat yang terpelihara dari bencana-bencana tersebut menjadi masyarakat yang hidup, subur dan berkembang keutamaan di dalamnya.[22]
              Zakat dapat membantu orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan. Yaitu menggandeng tangan mereka untuk memulai usaha baru dan semangat baru, jika mereka orang-orang yang mampu, dan mambantu mereka menjalani hidup yang mulia, jika mereka orang-orang yang lemah. Zakat melindungi masyarakat dari penyakit kemiskinan, dan melindungi Negara dari kemerosotan dan kelemahan.[23]     
              Di antara berkah zakat yang paling kentara terlihat di tengah masyarakat adalah munculnya ketentraman, kestabilan keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat ketimpangan sesial dan ekonomi sudah bisa dihilangkan dari hati kaum papa. Rahmat dan sikap menolong juga mengalir deras ke dalam jiwa orang-orang kaya yang memiliki kelapangan harta. Sehingga seluruh masyarakat turut mendapatkan karunia dengan adanya sikap saling menyangi, saling bahu membahu sehingga muncul kemapanan sosial.[24]
              Adapun hak Allah yang lain atas hamba-hamba-Nya adalah infaq dan shadaqah.
              Seorang muslim harus menginfaqkan  sebagian dari hartanya yang paling baik dan ia juga harus menginfaqkan sebagaian hartanya yang ia cintai. Sehingga ia telah bertindak jujur dengan memepersembahkan apa-apa yang dicintai oleh Allah azza wa jalla dan apa-apa yang cenderung kepadanya hawa nafsunya.[25]
              Orang yang bersedekah dengan suka rela pasti mencitai dan dicintai Allah, karena ia mampu mengalahkan dirinya yang diciptakan dengan kecenderungan sangat mencintai harta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman saat menjelaskan watak manusia:
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (٨)
“Dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta” (QS. Al-‘Adiyȃt: 8)[26]
              Ketika seseorang berinfak karena mengutamakan cinta kepada Rabbnya di atas kecintaan pada dirinya, disertai rasa takut miskin di dunia yang menghalanginya untuk berinfak, maka Allah akan memberinya rasa aman di akhirat dari rasa takut.[27]
              Allah mencitai hamba-Nya yang dermawan, yang kedua tangannya selalu terbuka lebar untuk memberi. Karena itu, Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang bersedekah.[28]
              Selain mendatangkan kecintaan terhadap Allah subhanahu wa ta’la, sedekah sunnah juga jadi penghalang dari api neraka dan amarah-Nya, serta menjadi penyelamat dari berbagai dosa. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam:
وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ
“Sedekah akan menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Al-Nasa`i dan Al-Tirmidzi)[29]
Kepemilikan harta semata-mata hanya di Tangan Allah, manusia hanya dipercaya untuk mengelola dan mengembangkannya sesuai dengan tuntutan-Nya (sebagai amanah). Sebagai pengelola ia akan dihadapkan kepada pertanggungjawaban terhadap kebijakannya. Untuk itulah agar kelak dapat mempertanggungjawabkan amanatnya, manusia dituntut untuk mematuhi segala perintah-Nya dan zakat, infak, sedekah merupakan beberapa di antara perintah Allah subhanahu wa ta’ala itu.[30]
Bagi pelaku ekonomi Islam, wajib menunaikan hak-hak orang lain atas dirinya. Di antara hak-hak tersebut ada dihukumi wajib dan ada pula yang sunnah. Di antara hak orang lain yang wajib ditunaikan oleh pelaku ekonomi adalah zakat. Sedangkan infak dan sedekah, maka hukumnya adalah sunnah yang sangat ditekankan.

Oleh: Anas Abdillah Al-Cilacapi



[1] Yusuf Qarḍawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta, Gema Insani Press) 1997, hlm. 192
[2] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan  Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 7
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Yusuf Qarḍawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta, Gema Insani Press) 1997, hlm. 149
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan  Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 8
[9] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir) 2009, Jilid 9, hlm. 286
[10] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan  Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 9

[11] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir) 2009, Jilid 4, hlm. 303

[12] Abu Bakar Jabir Al-Jaza`iri, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam (Jakarta, Darul Haq), hlm, 356.
[13] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan  Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 9
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Muhammad bin Ṣaliḥ Al-‘Uthaimin, Halal dan Haram dalam Islam (Jakarta, Ummul Qura) 2014, hlm 281
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Ṣaḥȋḥ Fikih Sunnah (Jakarta, Pustaka Al-Tazkia) 2006, jilid 3 hlm. 8
[20] Teungku Muhammad Habshi Al-Ṣiddȋq, Pedoman Zakat (Semarang, Pustaka Rizki Putra) 1999, hlm. 8
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Ṣaḥȋḥ Fikih Sunnah (Jakarta, Pustaka Al-Tazkia) 2006, jilid 3 hlm. 8-9
[24] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan  Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 9
[25] Muhammad bin Ṣaliḥ Al-‘Uthaimin, Sharḥ Riyaḍ Al-Ṣaliḥȋn (Jakarta, Darul Haq), 2008, jilid 2, hlm. 185
[26] ‘Abdul ‘Aziz Musṭafa, Agar Dicintai Allah (Jakarta, Pustaka Al-Tazkia), 2005, hlm. 55
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm. 56
[29] Ibid.
[30] Ali Yofie, Menjawab Seputar Zakat, Infak dan Sedekah (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada) 2000, hlm. 7

Artikel Terkait

Previous
Next Post »