Akhlak adalah satu bentuk yang kuat
di dalam jiwa sebagai sumber perbuatan otomatis dengan suka rela, baik atau
buruk, indah atau jelek, sesuai pembawaannya, ia menerima pengaruh pendidikan kepadanya,
baik maupun jelek kepadanya.[1]
Bila bentuk di dalam jiwa ini
dididik tegas mengutamakan kemuliaan dan kebenaran, cinta kebajikan, gemar
berbuat baik, dilatih mencintai keindahan, membenci keburukan sehingga menjadi
wataknya, maka keluarlah darinya perbuatan-perbuatan yang indah dengan mudah
tanpa keterpaksaan, inilah yang dimaksud akhlak yang baik.[2]
Al-Ḥasan berkata, “Akhlak yang baik
adalah bermuka manis, bersungguh-sungguh dalam berderma dan menahan diri
sehingga enggan mengganggu.”[3]
‘Abdullah bin Mubarak
rahimahullah berkata, “Akhlak yang baik terdiri dari tiga hal: Menjauhi
yang haram, mencari yang halal dan berlapang hati kepada keluarga.”[4]
Akhlak yang baik adalah ungkapan
yang mencakup segala macam kebajikan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam,
البِرُّ
حُسْنُ الخُلُقِ وَالإِثْمُ مَاحَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ
عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebajikan adalah akhlak yang baik sedangkan
dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan di dalam jiwamu sedangkan egkau tidak
suka bila orang lain melihatnya.” (HR. Muslim)[5]
Muhammad bin Ṣalih Al-‘Uthaimin rahimahullah berkata,
Termasuk akhlak mulia adalah tidak meremehkan kebaikan sedikit pun
walau sekadar memberikan sedikit air ke ember saudaranya, senyum di wajahnya,
senanng mendengarkannya, memulai salam, segera menanyakan berita tentang
dirinya, keluarganya dan anak-anaknya, turut serta dalam kesenangannya,
bersedih karena kesedihannya, bersikap lemah-lembut terhadap kaum Mukminin,
mempermudah urusan dunia, mendengar dengan baik sebagaimana ia berbicara dengan
baik, tidak cerdik dalam kejahatan dan dalam upaya melakukannya, pintar
melupakan kesalahan orang lain, dan tidak mencari-cari kekeliruan orang lain.
Di antaranya lagi adalah berupaya menunaikan kebutuhan saudaranya, memberi
bantuan yang baik kepadanya, tidak membantu setan dalam menjerumuskannya,
menegakkan amar ma`ruf nahi munkar dan menyampaikan nasihat tanpa ada rasa
bangga diri.[6]
Di antara budi pekerti yang
dimaksud dalam dunia usaha ini adalah
seperti kejujuran, sikap amanah dan legawa, menunaikan janji, bersikap
konsekuen dalam membayar hutang dan memiliki toleransi dalam menagih hutang,
memberi kelonggaran kepada orang yang berhutang dan kesulitan membayarnya,
memahami kekurangan orang lain, memenuhi hak-hak orang lain, menghindari sikap
menahan hak, menipu, manipulasi dan sejenisnya.[7]
Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya shallallahu
‘alayhi wa sallam untuk menyempurnakan akhlak ini, sehingga beliau
bersabda,
إِنَّمَا
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقٍ
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia.” (HR. Bukhari
dan Ahmad)[8]
Akhlak yang baik adalah tonggak
Agama dan dunia. Bahkan kebajikan itu adalah akhlak yang baik. Karena Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.
Orang yang paling baik akhlaknya adalah orang yang paling disukai oleh
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan paling dekat dengan majelis
Nabi di Hari Kiamat nanti. Orang yang berakhlak baik telah berhasil mendapatkan
kebaikan dunia dan akhirat.[9]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam bersabda,
لَمْ
يَكُن رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَاحِشًا وَلَا
مُتَفَحِّشًا وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bukan seorang
yang keji dalam perkataan atau dalam perbuatan. Bahkan beliau bersabda,
‘Sebaik-baik kalian adalah yang paling bagus akhlak budi pekertinya’.”
(Muttafaqun ‘alaih).[10]
Muhammad bin Ṣalih Al-‘Uthaimin rahimahullah berkata,
Hadith di atas menjelaskan akan sifat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau tidak pernah buruk dalam ucapan maupun perbuatan.
Yakni, beliau sangat jauh dari berbagai keburukan dalam ucapan ditinjau dari
tabiʽat dan usaha. Beliau tidak buruk pada dirinya, tidak pula buruk pada
pembawaannya, bahkan beliau itu lembut dan sangat mudah. Beliau juga tidak
buruk dalam perbuatan. Yakni, tidak bertabiʽat buruk. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah orang yang paling jauh dari keburukan dalam berbicara atau
dalam perbuatannya.[11]
Di sini Islam menjadi penyeru pada
akhlak yang baik dan mengajak kepada pendidikan akhlak di kalangan kaum
Muslimin, menumbuhkannya di dalam jiwa mereka, dan menilai keimanan seorang
dengan kemuliaan akhlaknya.[12]
Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda,
أَكْمَالُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Sesempurna-sempurna iman orang-orang mu`min
adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR.
Al.Tirmidzi)[13]
Muhammad bin Ṣalih Al-‘Uthaimin rahimahullah berkata,
Hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa iman itu bertingkat-tingkat
dan manusia berbeda-beda dalam hal ini. Sebagian dari mereka lebih sempurna
imannya daripada sebagian yang lain ditinjau dari amal-amal yang mereka
perbuat. Setiap kali menusia itu bertambah bagus akhlaknya maka bertambah
sempurna imannya. Ini adalah perintah yang sangat jelas bahwa manusia harus
membangun akhlak mulia sesuai kemampuannya.[14]
Seorang pengusaha muslim selalu menghiasi diri dengan akhlak yang
mulia. Sikap itu tidak muncul hanya dari sisi kepentingan komersial semata,
seperti yang dilakukan kalangan non Muslim. Namun sikap itu muncul dari
keyakinan yang kokoh. Porosnya adalah ketaatan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala dan mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
serta mengharapkan pahala dalam hal itu. Kalaupun mereka mendapatkan keuntungan
di balik tindakan mereka tersebut, seperti dagangannya yang semakin laris, hal
itu terjadi sebagai hasil tujuan sampingan, bukan tujuan utama.[15]
Budi pekerti yang baik bagi kalangan usahawan Muslim berpengaruh
amat besar dalam penyebaran Islam di banyak Negara-negara Asia dan Afrika.
Kenyataannya bahwa Islam tersebar melalui perantaraan para saudagar yang
berdakwah, bukan daʽi yang berniaga.[16]
Namun, hampir tidak pernah habis keheranan kita terhadap perbedaan
antara realitas masyarakat barat yang justru sangat ahli di bidang pelayanan
menyambut para pelanggan, plus sikap supel dan rendah hati dalam berinteraksi
dengan pelanggan, dengan realitas masyarakat Islam yang banyak di antaranya
dalam cara mengelola usahanya justru lebih pintar menyakiti pelanggan dan
bersikap kasar terhadap mereka. Seolah-olah perbuatan mereka mengatakan kepada
para langganan mereka, “Jangan sekali-kali kamu sekalian kembali berhubungan
bisnis dengan kami!”[17]
Padahal kalangan barat melakukan semua itu hanya karena dorongan
mendapat harta dunia semata. Sementara kaum Muslimin sebagai para pewaris agama
Allah yang menyatakan, “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah!” dan
juga menyatakan, “Janganlah kalian meremehkan kebajikan sedikitpun, meski
hanya sekedar bertemu dengan saudaramu saudaramu dengan wajah ceria.”[18]
Allah Ta’ala berfirman, memeberikan pujian kepada Nabi-Nya,
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS.
Al-Qalam: 4)[19]
Ibnu Kathir rahimahullah berkata,
“Allah Ta’ala berfirman, وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Al-‘Aufi berkata menuturkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata, “(Artinya) dan sesungguhnya kamu benar-benar berada di atas agama
yang agung, yakni Islam.” Pernyataan yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Abu
Malik, Al-Suddi, Al-Rabiʽ bin Anas. Juga dikatakan oleh Al-Ḍahhak dan Ibnu
Zaid.[20]
Sa’id bin Abi ‘Arubah menuturkan dari Qatadah, ia berkata,
“Firman-Nya, ‘Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,’
disebutkan kepada kami bahwa Saʽd bin Hisham telah bertanya kepada ‘Aishah
tentang akhlak Rasulullah maka dia berkata, ‘Bukankah kamu membaca
Al-Qur`an?’ Saʽd berkata, ‘Tentu.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya akhlak Rasulullah
shallallahu
‘alayhi wa sallam adalah Al-Qur`an.’”[21]
Itu artinya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
telah menerapkan semua isi Al-Qur`an, baik dalam hal perintah, larangan,
karakter ataupun akhlak. Beliau berakhlak dengan akhlak Al-Qur`an dan
meninggalkan perangai bawaannya. Apa pun yang diperintahkan Al-Qur`an beliau
laksanakan, dan apa pun yang dilarang Al-Qur`an beliau meninggalkannya. Itu
semua dibarengi dengan apa yang Allah anugerahkan kepada beliau berupa akhlak
yang agung, berupa rasa malu, dermawan, keberanian, pemaaf dan lembah lembut
terhadap orang lain.[22]
‘Abdul Rahman bin Naṣir Al-Sa`di rahimahullah berkata,
“Karena itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Maksudnya, agung dan tinggi dengan budi pekerti yang dikaruniakan
Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu. Secara garis besar tentang akhlaknya
yang agung telah dijelaskan oleh Ummaul Mukminin, ‘Asihah radhiyallahu
‘anhuma , ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, ia menjawab, كَانَ
خُلُقُهُ القُرْآنَ “Akhlaknya
adalah Al-Qur`[23]
Al-Qurṭubi rahimahullah berkata,
“Firman Allah subhanahu wa ta’ala: وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Ibnu ‘Abbas dan Mujahid berkata, “(Allah berfirman): لَعَلى
خُلُقٍ
‘benar-benar berbudi pekerti, yakni
berada di atas agama yang agung dari berbagai agama, dimana tidak ada agama
yang lebih disukai dan dirdhai Allah daripada agama itu.”[24]
Dalam Ṣaḥiḥ Muslim diriwayatkan dari ‘Aishah bahwa budi
pekerti beliau adalah Al-Qur`an.[25]
Menurut satu pendapat, budi pekerti itu adalah kelembutan beliau
terhadap ummatnya dan penghormatan beliau terhadap mereka.[26]
Qatadah berkata, “Budi pekerti itu adalah perintah Allah yang
beliau laksanakan dan larangan Allah
yang beliau jauhi.”[27]
Menurut satu pendapat, maksud firman Allah itu adalah ‘Sesungguhnya
engkau mempunyai watak yang mulia.’ Al-Mawardi berkata, “Pendapat inilah
yang kuat. Sebab hakikat Al-Khuluq dalam bahasa Arab adalah etika yang
dimiliki oleh manusia pada dirinya, yang dinamakan dengan khuluq. Sebab
etika ini menjadi seperti fisik (bawaan sejak lahir) pada dirinya.[28]
Adapun etika yang sudah tercap/tertanam kuat pada dirinya, ini
adalah al-khȋm as-sijjiyah (watak) dan aṭ-ṭabiʽah (tabiat). Kata al-khȋm
ini tidak ada bentuk tunggalnya. Khȋm juga merupakan nama sebuah
gunung. Dengan demikia, Al-Khuluq adalah watak buatan (hasil rekayasa),
sedangkan Al-Khȋm adalah watak asli (bawaan sejak lahir).[29]
Al-Qurṭubi rahimahullah juga mengatakan, hadith yang
diriwayatkan dari ‘Aishah dalam Ṣaḥiḥ Muslim itu merupakan pendapat yang
paling kuat. ‘Aishah juga pernah ditanya tentang Khuluq beliau, lalu di
membaca firman Allah: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.
(Yaitu) orang-orang yang khushu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan
orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di
balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang
yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.” (QS.
Al-Mu`minun: 1-10)[30]
‘Aishah radhiyallahu ‘anha juga berkata, “Tidak ada
seorangpun yang budi pekertinya lebih baik daripada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Tidak seorangpun dari sahabatnya atau keluarganya memanggilnya
kecuali dia menjawab: Aku memenuhi panggilanmu. Oleh karena itulah Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman, وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Dalam firman Allah ini) tidak disebutkan: budi pekerti yang
terpuji, sebab Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam mempunyai
bagian yang sangat besar terhadapnya.[31]
Demikian juga
Allah berfirman,
وَقُولُوا
لِلنَّاسِ حُسْنًا (٨٣)
“Serta ucapkanlah
kata-kata yang baik kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 83)[32]
Ibnu Kathir rahimahullah berkata,
“Firman Allah, وَقُولُوا
لِلنَّاسِ حُسْنًا “Dan
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” Maksudnya, ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik dan sikap yang lembut. Termasuk di dalamnya adalah menyuruh
untuk berbuat baik dan mencegah kemunkaran dengan cara yang baik. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Al-Ḥasan Al-Baṣri rahimahullah tentang firman ini:
“Termasuk ucapan yang baik adalah menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan
yang munkar, bersabar, memaafkan, serta berbicara kepada manusia dengan
kata-kata yang baik sebagaimana yang difirmankan oleh Allah. Yaitu setiap
akhlak baik yang diridhai oleh Allah.[33]
‘Abdul Rahman bin Naṣir Al-Sa`di rahimahullah
berkta,
“Allah memerintahkan manusia untuk
berbuat baik secara umum dengan Firman-Nya, وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada manusia.” Dan
di antara perkataan yang baik adalah memerintah mereka kepada yang maʽruf dan
mencegah mereka dari perbuatan munkar, serta mengajarkan ilmu kepada mereka,
menyebarkan salam dan wajah berseri, dan lain sebagainya dari
perkataan-perkataan yang baik. Dan ketika tidaksemua manusia mampu berbuat baik
dengan hartanya, maka mereka diperintahkan dengan suatu hal yang mereka mampu
melakukannya untuk berbuat baik kepada setiap makhluk, yaitu berbuat baik
dengan perkataan. Dengan demikian termasuk dalam kandungan hal itu juga adalah
larangan dari perkataan yang buruk kepada manusia hingga kepada kaum kafir.[34]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
البَيْعَانِ
بِالخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا، ‒أَوْ قَالَ:
حَتَّي يَتَفَرَّقَا‒ فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ
لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا. وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua
orang yang melakukan akad jual beli boleh saling menyatakan pilihan, sebelum
mereka berpisah –atau beliau bersabda sampai mereka berpisah‒ (dari lokasi
penjualan). Kalau keduanya jujur dan berterus terang, maka jual beli mereka
diberkahi. Kalau mereka berdusta dan saling menyembunyikan (aib barang), pasti
dihapus keberkahan jual beli tersebut.” (HR. Bukhari
dan Muslim)[35]
Para ulama Salaf terdahulu berpandangan bahwa memperlihatkan cacat
barang itu termasuk nasihat yang merupakan intisari Agama Islam, di mana
Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam juga membaiʽat para
sahabat beliau untuk melakukan kebajikan itu. Mereka sendiri ketika melakukan
perbuatan tersebut tidak merasa sedang melakukan perbuatan sunnah semata.[36]
Bagi orang yang melakukan kecurangan dan menjual barang yang cacat
dengan harga normal, hendaklah dia bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’la
serta menyesali perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi. Dan hendaklah dia
meminta maaf kepada orang yang dicurangi serta berdamai dengannya untuk
mengembalikan apa yang menjadi hak orang yang dicurangi tersebut.[37]
Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda,
التَّاجِرُ
الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّقِيْنَ والشُّهَدَاءِ
“Seorang pedagang yang jujur dan dapat
dipercaya akan dikumpulkan bersama para nabi, para ṣiddiq dan orang-orang yang
mati shahid.” (HR. Al-Tirmidzi, Al-Darimi dan Al-Hakim)[38]
Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda,
رَحِمَ
اللهُ رَجُلًا سَمَحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى
“Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada
orang yang mudah memberi kelonggaran kepada orang lain ketika menjual, membeli
atau menagih hutang.” (HR. Bukhari)[39]
Contoh sikap ihsan dalam dunia perdagangan adalah dengan
mempermudah proses jual beli, tidak akan menipu saudaranya yang Muslim (begitu
juga dengan yang non Muslim) sebagaimana dia bersikap dalam kehidupannya yang
lain. Juga tidak akan menaikkan harga dagangannya yang diperjual belikan itu
dalam nilai yang sangat tinggi dan tidak wajar.[40]
Termasuk bentuk ihsan juga, adalah memberikan kemudahan, toleran
terhadap pemenuhan harga dari pihak pembeli, kala memenuhi tanggungan
hutang-piutang. Pada suatu waktu, dia bisa bersikap toleran, bahkan
menghapuskan sebagian hutang dari si penghutang, dan pada waktu yang lain dia
memberikan tenggang waktu atau penundaan kepada yang bersangkutan.[41]
Oleh karena itu, hendaknya seorang Muslim bisa meraih kesempatan
untuk mendapatkan rahmat, seperti yang didoʽakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tersebut. Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam
juga pernah bersabda,
اسْمَح
يُسْمَحْ لَكَ
“Toleranlah (kepada orang lain), niscaya
(mereka akan) toleran kepadamu.” (HR. Ahmad)
سَهِّل
يُسَهَّل عَلَيْكَ
Demikian juga bagi seorang pembeli, jika membeli barang dari orang
yang lemah atau miskin, hendaknya tidak melakukan tindakan yang mengandung
unsur penipuan (kecurangan) pada barang yang dibelinya. Pun sebaliknya, jika ia
membeli barang dari seorang pedagang kaya. Pada posisi ini, unsur penipuan
(kecurangan) yang akan dia tanggung tidaklah terpuji.[43]
Di antara wujud sikap ihsan lainnya adalah menerima kembali barang
yang dikembalikan oleh si pembeli. Penjual yang baik adalah yang mau menerima
barang dikembalikan oleh si pembeli. Pada hakikatnya, seorang pembeli tidak
akan mengembalikan barang yang dia beli, kecuali setelah ia merasa menyesal,
atau merasa bahwa barang tersebut membahayakannya.[44]
Nah,
seorang penjual yang baik tidak rela dirinya menjadi penyebab bahaya bagi
saudaranya seiman. Pedagang yang seperti ini akan mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa
menerima pembatalan transaksi dari seorang muslim, maka Allah akan membatalkan
(menghapus) dosa-dosanya pada hari kiamat.” (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim)[45]
Akhlak yang baik merupakan sifat para nabi, rasul dan kaum Mu`minȋn
pilihan. Mereka tidak membalas keburukan dengan keburukan, tetapi mereka
memaafkan dan berbuat baik, meskipun mendapat keburukan.[46]
Jadi salah satu karakteristik pelaku ekonomi Islam adalah dia
berakhlak mulia dalam setiap aktifitias perekonomiannya dan dalam hal-hal yang
lainnya.
* Semoga bermanfaat…!!
Oleh: Anas
Abdillah Al-Cilacapi
[1] Abu Bakar
Jabir Al-Jaza`iri, Minhaj Al-Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam
(Jakarta, Dar Al-Haq) 2006, hlm. 189
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Adil ‘Abdullah
Al-Laili Ash-Shuwaikh, Bersama Kereta Dakwah, Sukses Berdakwah di Era
Keterbukaan (Jakarta, Robbani Press) 2006, hlm. 228-229
[6] Ibid.
[7] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan ‘Abdullah Al-Muṣliḥ, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013,
hlm. 2
[8] Abu Bakar
Jabir Al-Jaza`iri, Minhaj Al-Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam
(Jakarta, Dar Al-Haq) 2006, hlm. 190
[9] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan ‘Abdullah Al-Muṣliḥ, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013,
hlm. 2
[10] Muhammad bin
Şaliḥ Al-ʽUthaimin, Syarh Riyaḍ Aṣ-Ṣȃlihȋn (Jakarta, Dar Al-Falaḥ) 2008,
hlm. 699-700
[11] Ibid.
[12] Abu Bakar
Jabir Al-Jaza`iri, Minhaj Al-Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam
(Jakarta, Dar Al-Haq) 2006, hlm. 189
[13] Muhammad bin
Şaliḥ Al-ʽUthaimin, Syarh Riyaḍ Aṣ-Ṣȃlihȋn (Jakarta, Dar Al-Falaḥ) 2008,
hlm. 703
[14] Ibid, hlm. 705
[15] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan ‘Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013,
hlm. 3
[16] Ibid
[17] Ibid, hlm 3-4.
[18] Ibid, hlm 4.
[19] Ibid.
[20] Ibnu Katsir, Shahih
Tafsir Ibnu Katsir (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir) 2009, Jilid 5, hlm. 222
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] ‘Abdul Rahman
bin Naṣir Al-Sa`di, Taisir Al-Kalȃm Ar-Rahman fȋ Tafsir Al-Kalam Al-Mannan.
(Jakarta, Dar Al-Haq) 2012, jilid 7, hlm 354
[24] Al-Qurṭubi, Al-Jȃmiʽ
Li Aḥkȃmi Al-Qur`an (Jakarta, Pustaka Azam) 2009, hlm. 66
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 4
[33] Ibnu Katsir, Shahih
Tafsir Ibnu Katsir (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir) 2009, Jilid 1, hlm. 316
[34] ‘Abdul Rahman
bin Naṣir Al-Sa`di, Taisir Al-Kalȃm Ar-Rahman fȋ Tafsir Al-Kalam Al-Mannan.
(Jakarta, Dar Al-Haq) 2012, jilid 1 hlm 166
[35] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 4
[36] Ibid, hlm. 392
[37] Ahmad bin
ʽAbdul Raḥman Al-Duwaish, Fatwa-fatwa Jual Beli (Jakarta, Pustaka Imam
Syafiʽi) 2005, hlm. 222
[38] Şalah Aṣ-Ṣahwi
dan Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 5
[39] Ibid.
[40] Dakhil bin
Gunawan Al-Awwad, Kepada Para Pedagang, Untaian Nasihat Seputar Adab
Jual-Beli (Solo, Aqwam) 2007, hlm. 40
[41] Ibid. hlm
41-42
[42] Ibid.
[43] Ibid, hlm.
[44] Ibid.
[45] Ibid.
[46] Ibnu Daqiq
Al-Id, Syarah Arbaʽin Al-Nawawi (Jakarta, Dar Al-Haq), 2011, hlm. 183
1 komentar:
Write komentarHalo,
ReplyNama saya Wulan Sari dari Jakarta di Indonesia, saya ingin menggunakan media ini untuk memberi saran kepada semua orang untuk berhati-hati dalam mendapatkan pinjaman di sini, saya mengajukan pinjaman sekitar 220 juta dari seorang wanita di Turki dan saya kehilangan sekitar 10 juta Tanpa mengeluarkan pinjaman, mereka berkali-kali meminta bayaran, saya membayar hampir 10 juta uang jadi saya tidak mendapat pinjaman, ada yang menunjukkan kepada saya sekitar 4 kali dua wanita yang berbeda di Filipina, saya harap saya akan bertemu dengan benar. Orang, tapi aku tidak.
Tuhan adalah kemuliaan, saya bertemu dengan seorang teman yang baru saja mengajukan pinjaman, dan dia mendapat pinjaman tanpa tekanan, jadi dia mengenalkan saya pada pinjaman Mrs.Loana George, CEO GUARD TRUST LOAN, dan saya mengajukan 150 juta, saya Pikir itu adalah lelucon dan penipuan, tapi saya mendapat pinjaman saya dalam waktu kurang dari 24 jam hanya 2% tanpa agunan. Saya sangat senang karena saya selamat dari kemiskinan
Jadi saya saran semua orang di sini yang membutuhkan pinjaman untuk dihubungi
Nyonya Loana George melalui email: loanageorge11@gmail.com
Anda masih bisa menghubungi saya jika Anda memerlukan informasi lebih lanjut melalui email: sariwulan3600@gmail.com
Sekali lagi terimakasih untuk membaca kesaksian saya, dan semoga Tuhan terus memberkati kita semua dan memberi kita umur panjang dan kemakmuran
EmoticonEmoticon