Akhlak Mulia; “Anjuran Berakhlak Mulia Bagi Para Usahawan”

Juni 16, 2014


Akhlak adalah satu bentuk yang kuat di dalam jiwa sebagai sumber perbuatan otomatis dengan suka rela, baik atau buruk, indah atau jelek, sesuai pembawaannya, ia menerima pengaruh pendidikan kepadanya, baik maupun jelek kepadanya.[1]
Bila bentuk di dalam jiwa ini dididik tegas mengutamakan kemuliaan dan kebenaran, cinta kebajikan, gemar berbuat baik, dilatih mencintai keindahan, membenci keburukan sehingga menjadi wataknya, maka keluarlah darinya perbuatan-perbuatan yang indah dengan mudah tanpa keterpaksaan, inilah yang dimaksud akhlak yang baik.[2]
Al-Ḥasan v berkata, “Akhlak yang baik adalah bermuka manis, bersungguh-sungguh dalam berderma dan menahan diri sehingga enggan mengganggu.”[3]
‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Akhlak yang baik terdiri dari tiga hal: Menjauhi yang haram, mencari yang halal dan berlapang hati kepada keluarga.”[4]
Akhlak yang baik adalah ungkapan yang mencakup segala macam kebajikan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam,
البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ وَالإِثْمُ مَاحَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebajikan adalah akhlak yang baik sedangkan dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan di dalam jiwamu sedangkan egkau tidak suka bila orang lain melihatnya.” (HR. Muslim)[5]
Muhammad bin Ṣalih Al-‘Uthaimin rahimahullah berkata,
Termasuk akhlak mulia adalah tidak meremehkan kebaikan sedikit pun walau sekadar memberikan sedikit air ke ember saudaranya, senyum di wajahnya, senanng mendengarkannya, memulai salam, segera menanyakan berita tentang dirinya, keluarganya dan anak-anaknya, turut serta dalam kesenangannya, bersedih karena kesedihannya, bersikap lemah-lembut terhadap kaum Mukminin, mempermudah urusan dunia, mendengar dengan baik sebagaimana ia berbicara dengan baik, tidak cerdik dalam kejahatan dan dalam upaya melakukannya, pintar melupakan kesalahan orang lain, dan tidak mencari-cari kekeliruan orang lain. Di antaranya lagi adalah berupaya menunaikan kebutuhan saudaranya, memberi bantuan yang baik kepadanya, tidak membantu setan dalam menjerumuskannya, menegakkan amar ma`ruf nahi munkar dan menyampaikan nasihat tanpa ada rasa bangga diri.[6]
Di antara budi pekerti yang dimaksud  dalam dunia usaha ini adalah seperti kejujuran, sikap amanah dan legawa, menunaikan janji, bersikap konsekuen dalam membayar hutang dan memiliki toleransi dalam menagih hutang, memberi kelonggaran kepada orang yang berhutang dan kesulitan membayarnya, memahami kekurangan orang lain, memenuhi hak-hak orang lain, menghindari sikap menahan hak, menipu, manipulasi dan sejenisnya.[7]
Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk menyempurnakan akhlak ini, sehingga beliau bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقٍ
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari dan Ahmad)[8]
Akhlak yang baik adalah tonggak Agama dan dunia. Bahkan kebajikan itu adalah akhlak yang baik. Karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia. Orang yang paling baik akhlaknya adalah orang yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan paling dekat dengan majelis Nabi di Hari Kiamat nanti. Orang yang berakhlak baik telah berhasil mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.[9]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
لَمْ يَكُن رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bukan seorang yang keji dalam perkataan atau dalam perbuatan. Bahkan beliau bersabda, ‘Sebaik-baik kalian adalah yang paling bagus akhlak budi pekertinya’.” (Muttafaqun ‘alaih).[10]
Muhammad bin Ṣalih Al-‘Uthaimin rahimahullah berkata,
Hadith di atas menjelaskan akan sifat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau tidak pernah buruk dalam ucapan maupun perbuatan. Yakni, beliau sangat jauh dari berbagai keburukan dalam ucapan ditinjau dari tabiʽat dan usaha. Beliau tidak buruk pada dirinya, tidak pula buruk pada pembawaannya, bahkan beliau itu lembut dan sangat mudah. Beliau juga tidak buruk dalam perbuatan. Yakni, tidak bertabiʽat buruk. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah orang yang paling jauh dari keburukan dalam berbicara atau dalam perbuatannya.[11]
Di sini Islam menjadi penyeru pada akhlak yang baik dan mengajak kepada pendidikan akhlak di kalangan kaum Muslimin, menumbuhkannya di dalam jiwa mereka, dan menilai keimanan seorang dengan kemuliaan akhlaknya.[12] Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
أَكْمَالُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Sesempurna-sempurna iman orang-orang mu`min adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Al.Tirmidzi)[13]
Muhammad bin Ṣalih Al-‘Uthaimin rahimahullah berkata,
Hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa iman itu bertingkat-tingkat dan manusia berbeda-beda dalam hal ini. Sebagian dari mereka lebih sempurna imannya daripada sebagian yang lain ditinjau dari amal-amal yang mereka perbuat. Setiap kali menusia itu bertambah bagus akhlaknya maka bertambah sempurna imannya. Ini adalah perintah yang sangat jelas bahwa manusia harus membangun akhlak mulia sesuai kemampuannya.[14]
Seorang pengusaha muslim selalu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Sikap itu tidak muncul hanya dari sisi kepentingan komersial semata, seperti yang dilakukan kalangan non Muslim. Namun sikap itu muncul dari keyakinan yang kokoh. Porosnya adalah ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam serta mengharapkan pahala dalam hal itu. Kalaupun mereka mendapatkan keuntungan di balik tindakan mereka tersebut, seperti dagangannya yang semakin laris, hal itu terjadi sebagai hasil tujuan sampingan, bukan tujuan utama.[15]
Budi pekerti yang baik bagi kalangan usahawan Muslim berpengaruh amat besar dalam penyebaran Islam di banyak Negara-negara Asia dan Afrika. Kenyataannya bahwa Islam tersebar melalui perantaraan para saudagar yang berdakwah, bukan daʽi yang berniaga.[16]
Namun, hampir tidak pernah habis keheranan kita terhadap perbedaan antara realitas masyarakat barat yang justru sangat ahli di bidang pelayanan menyambut para pelanggan, plus sikap supel dan rendah hati dalam berinteraksi dengan pelanggan, dengan realitas masyarakat Islam yang banyak di antaranya dalam cara mengelola usahanya justru lebih pintar menyakiti pelanggan dan bersikap kasar terhadap mereka. Seolah-olah perbuatan mereka mengatakan kepada para langganan mereka, “Jangan sekali-kali kamu sekalian kembali berhubungan bisnis dengan kami!”[17]
Padahal kalangan barat melakukan semua itu hanya karena dorongan mendapat harta dunia semata. Sementara kaum Muslimin sebagai para pewaris agama Allah yang menyatakan, “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah!” dan juga menyatakan, “Janganlah kalian meremehkan kebajikan sedikitpun, meski hanya sekedar bertemu dengan saudaramu saudaramu dengan wajah ceria.”[18]
Allah Ta’ala berfirman, memeberikan pujian kepada Nabi-Nya,
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)[19]
Ibnu Kathir rahimahullah berkata,


“Allah Ta’ala berfirman, وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Al-‘Aufi berkata menuturkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “(Artinya) dan sesungguhnya kamu benar-benar berada di atas agama yang agung, yakni Islam.” Pernyataan yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Abu Malik, Al-Suddi, Al-Rabiʽ bin Anas. Juga dikatakan oleh Al-Ḍahhak dan Ibnu Zaid.[20]
Sa’id bin Abi ‘Arubah menuturkan dari Qatadah, ia berkata, “Firman-Nya, ‘Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,’ disebutkan kepada kami bahwa Saʽd bin Hisham telah bertanya kepada ‘Aishah tentang akhlak Rasulullah n maka dia berkata, ‘Bukankah kamu membaca Al-Qur`an?’ Saʽd berkata, ‘Tentu.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya akhlak Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah Al-Qur`an.’”[21]
Itu artinya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah menerapkan semua isi Al-Qur`an, baik dalam hal perintah, larangan, karakter ataupun akhlak. Beliau berakhlak dengan akhlak Al-Qur`an dan meninggalkan perangai bawaannya. Apa pun yang diperintahkan Al-Qur`an beliau laksanakan, dan apa pun yang dilarang Al-Qur`an beliau meninggalkannya. Itu semua dibarengi dengan apa yang Allah anugerahkan kepada beliau berupa akhlak yang agung, berupa rasa malu, dermawan, keberanian, pemaaf dan lembah lembut terhadap orang lain.[22]
‘Abdul Rahman bin Naṣir Al-Sa`di rahimahullah berkata,
“Karena itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Maksudnya, agung dan tinggi dengan budi pekerti yang dikaruniakan Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu. Secara garis besar tentang akhlaknya yang agung telah dijelaskan oleh Ummaul Mukminin, ‘Asihah radhiyallahu ‘anhuma , ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, ia menjawab, كَانَ خُلُقُهُ القُرْآنَ “Akhlaknya adalah Al-Qur`[23]
Al-Qurubi rahimahullah berkata,
“Firman Allah subhanahu wa ta’ala: وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Ibnu ‘Abbas dan Mujahid berkata, “(Allah berfirman): لَعَلى خُلُقٍ ‘benar-benar berbudi pekerti, yakni berada di atas agama yang agung dari berbagai agama, dimana tidak ada agama yang lebih disukai dan dirdhai Allah daripada agama itu.”[24]
Dalam Ṣaḥiḥ Muslim diriwayatkan dari ‘Aishah bahwa budi pekerti beliau adalah Al-Qur`an.[25]
Menurut satu pendapat, budi pekerti itu adalah kelembutan beliau terhadap ummatnya dan penghormatan beliau terhadap mereka.[26]
Qatadah berkata, “Budi pekerti itu adalah perintah Allah yang beliau laksanakan dan larangan  Allah yang beliau jauhi.”[27]
Menurut satu pendapat, maksud firman Allah itu adalah ‘Sesungguhnya engkau mempunyai watak yang mulia.’ Al-Mawardi berkata, “Pendapat inilah yang kuat. Sebab hakikat Al-Khuluq dalam bahasa Arab adalah etika yang dimiliki oleh manusia pada dirinya, yang dinamakan dengan khuluq. Sebab etika ini menjadi seperti fisik (bawaan sejak lahir) pada dirinya.[28]
Adapun etika yang sudah tercap/tertanam kuat pada dirinya, ini adalah al-khȋm as-sijjiyah (watak) dan aṭ-ṭabiʽah (tabiat). Kata al-khȋm ini tidak ada bentuk tunggalnya. Khȋm juga merupakan nama sebuah gunung. Dengan demikia, Al-Khuluq adalah watak buatan (hasil rekayasa), sedangkan Al-Khȋm adalah watak asli (bawaan sejak lahir).[29]
Al-Qurṭubi rahimahullah juga mengatakan, hadith yang diriwayatkan dari ‘Aishah dalam Ṣaḥiḥ Muslim itu merupakan pendapat yang paling kuat. ‘Aishah juga pernah ditanya tentang Khuluq beliau, lalu di membaca firman Allah: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khushu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.” (QS. Al-Mu`minun: 1-10)[30]
‘Aishah radhiyallahu ‘anha juga berkata, “Tidak ada seorangpun yang budi pekertinya lebih baik daripada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Tidak seorangpun dari sahabatnya atau keluarganya memanggilnya kecuali dia menjawab: Aku memenuhi panggilanmu. Oleh karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Dalam firman Allah ini) tidak disebutkan: budi pekerti yang terpuji, sebab Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mempunyai bagian yang sangat besar terhadapnya.[31]
Demikian juga Allah berfirman,
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا (٨٣)
“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 83)[32]
Ibnu Kathir rahimahullah berkata,
“Firman Allah, وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” Maksudnya, ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik dan sikap yang lembut. Termasuk di dalamnya adalah menyuruh untuk berbuat baik dan mencegah kemunkaran dengan cara yang baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Ḥasan Al-Baṣri rahimahullah tentang firman ini: “Termasuk ucapan yang baik adalah menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan yang munkar, bersabar, memaafkan, serta berbicara kepada manusia dengan kata-kata yang baik sebagaimana yang difirmankan oleh Allah. Yaitu setiap akhlak baik yang diridhai oleh Allah.[33]
‘Abdul Rahman bin Naṣir Al-Sa`di rahimahullah berkta,
“Allah memerintahkan manusia untuk berbuat baik secara umum dengan Firman-Nya, وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” Dan di antara perkataan yang baik adalah memerintah mereka kepada yang maʽruf dan mencegah mereka dari perbuatan munkar, serta mengajarkan ilmu kepada mereka, menyebarkan salam dan wajah berseri, dan lain sebagainya dari perkataan-perkataan yang baik. Dan ketika tidaksemua manusia mampu berbuat baik dengan hartanya, maka mereka diperintahkan dengan suatu hal yang mereka mampu melakukannya untuk berbuat baik kepada setiap makhluk, yaitu berbuat baik dengan perkataan. Dengan demikian termasuk dalam kandungan hal itu juga adalah larangan dari perkataan yang buruk kepada manusia hingga kepada kaum kafir.[34]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
البَيْعَانِ بِالخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا، أَوْ قَالَ: حَتَّي يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا. وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang yang melakukan akad jual beli boleh saling menyatakan pilihan, sebelum mereka berpisah –atau beliau bersabda sampai mereka berpisah‒ (dari lokasi penjualan). Kalau keduanya jujur dan berterus terang, maka jual beli mereka diberkahi. Kalau mereka berdusta dan saling menyembunyikan (aib barang), pasti dihapus keberkahan jual beli tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)[35]
Para ulama Salaf terdahulu berpandangan bahwa memperlihatkan cacat barang itu termasuk nasihat yang merupakan intisari Agama Islam, di mana Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga membaiʽat para sahabat beliau untuk melakukan kebajikan itu. Mereka sendiri ketika melakukan perbuatan tersebut tidak merasa sedang melakukan perbuatan sunnah semata.[36]
Bagi orang yang melakukan kecurangan dan menjual barang yang cacat dengan harga normal, hendaklah dia bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’la serta menyesali perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi. Dan hendaklah dia meminta maaf kepada orang yang dicurangi serta berdamai dengannya untuk mengembalikan apa yang menjadi hak orang yang dicurangi tersebut.[37]
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّقِيْنَ والشُّهَدَاءِ
“Seorang pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan dikumpulkan bersama para nabi, para ṣiddiq dan orang-orang yang mati shahid.” (HR. Al-Tirmidzi, Al-Darimi dan Al-Hakim)[38]
Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda,
رَحِمَ اللهُ رَجُلًا سَمَحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى
“Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang mudah memberi kelonggaran kepada orang lain ketika menjual, membeli atau menagih hutang.” (HR. Bukhari)[39]
Contoh sikap ihsan dalam dunia perdagangan adalah dengan mempermudah proses jual beli, tidak akan menipu saudaranya yang Muslim (begitu juga dengan yang non Muslim) sebagaimana dia bersikap dalam kehidupannya yang lain. Juga tidak akan menaikkan harga dagangannya yang diperjual belikan itu dalam nilai yang sangat tinggi dan tidak wajar.[40]
Termasuk bentuk ihsan juga, adalah memberikan kemudahan, toleran terhadap pemenuhan harga dari pihak pembeli, kala memenuhi tanggungan hutang-piutang. Pada suatu waktu, dia bisa bersikap toleran, bahkan menghapuskan sebagian hutang dari si penghutang, dan pada waktu yang lain dia memberikan tenggang waktu atau penundaan kepada yang bersangkutan.[41]
Oleh karena itu, hendaknya seorang Muslim bisa meraih kesempatan untuk mendapatkan rahmat, seperti yang didoʽakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tersebut. Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga pernah bersabda,
اسْمَح يُسْمَحْ لَكَ
“Toleranlah (kepada orang lain), niscaya (mereka akan) toleran kepadamu.” (HR. Ahmad)
سَهِّل يُسَهَّل عَلَيْكَ
“Permudahlah (urusan orang lain), tentu (urusan) kamu akan dipermudah.”[42]
Demikian juga bagi seorang pembeli, jika membeli barang dari orang yang lemah atau miskin, hendaknya tidak melakukan tindakan yang mengandung unsur penipuan (kecurangan) pada barang yang dibelinya. Pun sebaliknya, jika ia membeli barang dari seorang pedagang kaya. Pada posisi ini, unsur penipuan (kecurangan) yang akan dia tanggung tidaklah terpuji.[43]
Di antara wujud sikap ihsan lainnya adalah menerima kembali barang yang dikembalikan oleh si pembeli. Penjual yang baik adalah yang mau menerima barang dikembalikan oleh si pembeli. Pada hakikatnya, seorang pembeli tidak akan mengembalikan barang yang dia beli, kecuali setelah ia merasa menyesal, atau merasa bahwa barang tersebut membahayakannya.[44]
Nah, seorang penjual yang baik tidak rela dirinya menjadi penyebab bahaya bagi saudaranya seiman. Pedagang yang seperti ini akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa menerima pembatalan transaksi dari seorang muslim, maka Allah akan membatalkan (menghapus) dosa-dosanya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim)[45]

Akhlak yang baik merupakan sifat para nabi, rasul dan kaum Mu`minȋn pilihan. Mereka tidak membalas keburukan dengan keburukan, tetapi mereka memaafkan dan berbuat baik, meskipun mendapat keburukan.[46]
Jadi salah satu karakteristik pelaku ekonomi Islam adalah dia berakhlak mulia dalam setiap aktifitias perekonomiannya dan dalam hal-hal yang lainnya.
* Semoga bermanfaat…!!


Oleh: Anas Abdillah Al-Cilacapi



[1] Abu Bakar Jabir Al-Jaza`iri, Minhaj Al-Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam (Jakarta, Dar Al-Haq) 2006, hlm. 189
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Adil ‘Abdullah Al-Laili Ash-Shuwaikh, Bersama Kereta Dakwah, Sukses Berdakwah di Era Keterbukaan (Jakarta, Robbani Press) 2006, hlm. 228-229
[6] Ibid.
[7] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan ‘Abdullah Al-Muṣliḥ, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 2
[8] Abu Bakar Jabir Al-Jaza`iri, Minhaj Al-Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam (Jakarta, Dar Al-Haq) 2006, hlm. 190
[9] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan ‘Abdullah Al-Muṣliḥ, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 2
[10] Muhammad bin Şaliḥ Al-ʽUthaimin, Syarh Riyaḍ Aṣ-Ṣȃlihȋn (Jakarta, Dar Al-Falaḥ) 2008, hlm. 699-700
[11] Ibid.
[12] Abu Bakar Jabir Al-Jaza`iri, Minhaj Al-Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam (Jakarta, Dar Al-Haq) 2006, hlm. 189
[13] Muhammad bin Şaliḥ Al-ʽUthaimin, Syarh Riyaḍ Aṣ-Ṣȃlihȋn (Jakarta, Dar Al-Falaḥ) 2008, hlm. 703
[14] Ibid, hlm. 705
[15] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan ‘Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 3
[16] Ibid
[17] Ibid, hlm 3-4.
[18] Ibid, hlm 4.
[19] Ibid.

[20] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir) 2009, Jilid 5, hlm. 222
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] ‘Abdul Rahman bin Naṣir Al-Sa`di, Taisir Al-Kalȃm Ar-Rahman fȋ Tafsir Al-Kalam Al-Mannan. (Jakarta, Dar Al-Haq) 2012, jilid 7, hlm 354
[24] Al-Qurṭubi, Al-Jȃmiʽ Li Aḥkȃmi Al-Qur`an (Jakarta, Pustaka Azam) 2009, hlm. 66
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan  Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 4
[33] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir) 2009, Jilid 1, hlm. 316
[34] ‘Abdul Rahman bin Naṣir Al-Sa`di, Taisir Al-Kalȃm Ar-Rahman fȋ Tafsir Al-Kalam Al-Mannan. (Jakarta, Dar Al-Haq) 2012, jilid 1 hlm 166

[35] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan  Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 4
[36] Ibid, hlm. 392
[37] Ahmad bin ʽAbdul Raḥman Al-Duwaish, Fatwa-fatwa Jual Beli (Jakarta, Pustaka Imam Syafiʽi) 2005, hlm. 222
[38] Şalah Aṣ-Ṣahwi dan  Abdullah Al-Muṣlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta, Darul Haq), 2013, hlm. 5
[39] Ibid.
[40] Dakhil bin Gunawan Al-Awwad, Kepada Para Pedagang, Untaian Nasihat Seputar Adab Jual-Beli (Solo, Aqwam) 2007, hlm. 40
[41] Ibid. hlm 41-42
[42] Ibid.
[43] Ibid, hlm.
[44] Ibid.
[45] Ibid.
[46] Ibnu Daqiq Al-Id, Syarah Arbaʽin Al-Nawawi (Jakarta, Dar Al-Haq), 2011, hlm. 183

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
Unknown
AUTHOR
11 Juli 2017 pukul 15.51 delete

Halo,
Nama saya Wulan Sari dari Jakarta di Indonesia, saya ingin menggunakan media ini untuk memberi saran kepada semua orang untuk berhati-hati dalam mendapatkan pinjaman di sini, saya mengajukan pinjaman sekitar 220 juta dari seorang wanita di Turki dan saya kehilangan sekitar 10 juta Tanpa mengeluarkan pinjaman, mereka berkali-kali meminta bayaran, saya membayar hampir 10 juta uang jadi saya tidak mendapat pinjaman, ada yang menunjukkan kepada saya sekitar 4 kali dua wanita yang berbeda di Filipina, saya harap saya akan bertemu dengan benar. Orang, tapi aku tidak.

Tuhan adalah kemuliaan, saya bertemu dengan seorang teman yang baru saja mengajukan pinjaman, dan dia mendapat pinjaman tanpa tekanan, jadi dia mengenalkan saya pada pinjaman Mrs.Loana George, CEO GUARD TRUST LOAN, dan saya mengajukan 150 juta, saya Pikir itu adalah lelucon dan penipuan, tapi saya mendapat pinjaman saya dalam waktu kurang dari 24 jam hanya 2% tanpa agunan. Saya sangat senang karena saya selamat dari kemiskinan
Jadi saya saran semua orang di sini yang membutuhkan pinjaman untuk dihubungi
Nyonya Loana George melalui email: loanageorge11@gmail.com

Anda masih bisa menghubungi saya jika Anda memerlukan informasi lebih lanjut melalui email: sariwulan3600@gmail.com

Sekali lagi terimakasih untuk membaca kesaksian saya, dan semoga Tuhan terus memberkati kita semua dan memberi kita umur panjang dan kemakmuran

Reply
avatar