MAKNA RAMADHAN ADALAH PEMBAKARAN

Juni 10, 2015
Di antara makna-makna yang menyebabkan bulan puasa dinamakan dengan bulan Ramadhan adalah bulan terbakarnya dosa-dosa. Di bulan Ramadhan, dosa-dosa terbakar habis. Kata رَمَضَانُ adalah masdar dari رَمْضَ yang berarti terbakar, kemudian dari kata ini ada الرَمْضَاءُ yang berarti sisa-sisa pembakaran.

Imam al-Qurtubi rahimahullah berkata:
إِنَّمَا سُمّيَ رَمَضَانُ لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوْبَ، أَيْ يَحْرِقُهَا بِالأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ
“Bulan Ramadhan disebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia membakar dosa-dosa dengan amal shalih” (Tafsir al-Qurtubi, 2/291)

Maka bulan puasa ini memiliki kekususan sendiri. Karena hanya dengan berpuasa di bulan tersebut, disertai keimanan dan mencari pahala, dosa-dosa menjadi terbakar. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab niscaya dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (Muttafaq ‘alaih).

Pembakaran dosa-dosa itu semakin besar tatkala seseorang mengerjakan qiyamullail dengan penuh iman dan karena mencari pahala. Karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa shalat malam di bulan Ramadhan karena keimanan dan mencari pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang lalu” (Muttafaqun ‘alaih)

Terbakarnya dosa-dosa itu semakin besar lagi ketika seseorang menghidupkan malam lailatul Qadar . ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang berbunyi:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa menghidupkan Lailatul Qadar karena keimanan dan mencari pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari)

Perlu diketahui di sini bahwa puasa bulan Ramadhan, qiyamulail, dan menghidupkan lailatul Qodar.. dijadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengampuni dosa-dosa kita yang terdahulu, kecuali dosa-dosa besar.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam:
االصَّلَوَاتُ الخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَي الجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَي رَمَضَانِ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَااجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, Jum’at yang satu menuju Jum’at yang lain dan bulan Ramadhan menuju bulan Ramadhan yang lain ada penghapusan dosa-dosa selama seseorang menghindari dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)

Disamping terbakarnya dosa-dosa di bulan Ramadhan karena puasa dan qiyamul lail, dengan usahanya seseorang sangat mungkin memperluas pembakaran dosa-dosanya. Sehingga seluruh dosanya, baik yang besar maupun yang kecil, yang sudah lama maupun yang akan datang akan terbakar.

Dan itu dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat taubat nasuha dari setiap dosa, untuk memenuhi perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا (٨)
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8)

Taubat nashuha adalah dengan meninggalkan dosa sekarang juga, menyesal atas dosa-dosa yang telah lalu dan bertekad kuat tidak mengulangi perbuatan dosa itu di masa depan. Juga dengan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah dizhalimi.

Imam al-Qurthubi rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas dia berkata:
“Taubat nashuha, ada yang mengatakan ia adalah taubat dengan tidak kembali kepada dosa itu, sebagaimana susu tidak kembali ke tempat keluarnya. Qotadah berkata: ‘Tuabat nasuha adalah taubat yang tulus dan murni’. Hasan berkata: “Taubat nasuha adalah jika seseorang membenci dosa yang sebelumnya dia sukai dan beristighfar dari dosa saat mengingatnya.’ Said bin Jubair berkata; ‘Taubat nasuha adalah taubat yang diterima. Dan taubat tidak akan diterima selain dengan tiga syarat; takut tidak diterima, mengharap agar taubatnya diterima, dan ketagihan untuk menlakukan ketaatan.”

Taubat nasuha bisa terpelihara dengan senantiasa mengulang istighfar. Ini seperti yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam beliau senantisasa beristigfar, seperti yang beliau sabdakan;
واللهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
“Demi Allah! Saya beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam satu hari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari)

Ada hal yang istimewa dari istighfar. Istighfar itu memelihara amal ketaatan dari kerusakan. Serta menyucikan amal ketaatan tersebut dari kekurangan-kekurangan. Karena alasan inilah maka istighfar dijadikan sebagai penutup seluruh amal shalih. Shalat diakhiri dengan istighfar. Demikian halnya dengan haji dan qiyamulalil. Majelis juga ditutup dengan istighfar.

Jika majelis itu berisi dzikir maka istighfar menjadi penyempurna dan pelengkapnya. Tapi jika dalam majelis itu ada hal-hal yang sia-sia maka istighfar sebagai penebusnya. Demikian halnya dengan puasa Ramadhan. Ia seharusnya ditutup dengan istighfar.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »