KISAH NABI SHALIH DAN UNTA ALLAH

Oktober 01, 2016
Asal Muasal Kaum Tsamud
Tsamud adalah sebuah kabilah yang msyhur. Tsamud adalah nama kakek mereka, saudara Judais. Keduanya adalah anak Atsir bin Iram bin Sam bin Nuh.

Mereka adalah bangsa Arab ‘aribah’ (bangsa Arab sebelum masa Isma’il), tinggal di Hijr, sebuah kawasan terletak di antara Hijaz dan Tabuk. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah melewati kawasan ini bersama pasukan Muslimin dalam perjalanan beliau menuju Tabuk.
Tsamud adanya setelah kaum ‘Ad, mereka menyembah berhala seperti halnya kaum ‘Ad.

Nasab Nabi Shalih
Allah kemudian mengirim seorang hamba dan utusan-Nya di tengah-tengah mereka, juga berasal dari golongan mereka; Shalih bin Ubaid bin Masih bin Ubaid bin Hadir bin Tsamud bin Atsir bin Iram bin Nuh. Shalih mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah semata yang tiada memiliki sekutu, meninggalkan seluruh berhala, sekutu dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Sebagian di antara mereka beriman kepada Shalih, mayoritas mengingkari. Mereka menyakiti Shalih dengan tutur kata dan perbuatan, bahkan bermaksud membunuhnya. Mereka menyembelih unta yang dijadikan Allah sebagai hujjah bagi mereka, hingga akhirnya Allah menyiksa mereka dengan siksaan dari Yang Mahaperkasa lagi Kuasa.

Kisah Nabi Shalih dalam Al Qur’an
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah Al-A’raf, Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih". Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ´Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan. Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya". Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu". Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: "Hai Shaleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)". Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka. Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat" (QS. Al-A’raf: 73-79)

Kisah-kisah tentang penolakan kaum Tsamud terhadap dakwah tauhid Nabi Shalih dan kisah tentang pembunuhan unta yang dilarang oleh Allah bisa kita lihat dalam Al Qur’an di antaranya: QS. Hud: 61-68, QS. Al Hijr: 80-84, QS. Al Isra’: 59, QS. As-Syu’ara: 141-159, QS. An-Naml: 45-53, QS. Fushshilat: 17-18, QS. Al Qamar: 23-32, QS. As-Syams: 11-15.

Allah sering menyebut ‘Ad dan Tsamud secara berdampingan, seperti yang tertera dalam surah At-Taubah, Ibrahim, Al Furqan, Shad, Qaf, An-Najm, dan Al Fajr.

Kisah Kaum Tsamud
Inti tulisan ini adalah tentang kisah kaum Tsamud; seperti apa keadaan mereka, bagaimana Allah menyelamatkan Nabi Shalih dan para pengikutnya yang beriman, bagaimana Allah membinasakan kaum yang berbuat lalim karena ingkar dan semena-mena, serta menentang rasul mereka, Shalih ‘alayhissalam.

Kaum Tsamud adalah bangsa Arab, mereka ada setelah kaum ‘Ad namun tidak memetik pelajaran dari kaum ‘Ad. Karena itu Shalih berkata kepada mereka, “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih". Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ´Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan” (QS. Al A’raf: 73-74). Yaitu Allah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah setelah mereka, agar kalian bisa memetik pelajaran dari kisah mereka, dan melakukan sesuatu tidak seperti yagn mereka lakukan.

Allah membolehkan kalian membangun istana-istana di tempat datar di bumi. “Dan kamu pahat sebagian gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin.” (QS. Asy-Syu’ara: 149). Yaitu pandai dalam membuat, menata dan memperkokoh rumah-rumah tersebut. Maka balaslah nikmat yang Allah limpahkan pada kalian itu dengan rasa syukur, amal saleh, dan beribadah hanya pada-Nya semata yang tiada memiliki sekutu. Jangan sampai kalian menentang dan berpaling dari ketaatan kepada-Nya, karena pasti akan berakibat tidak baik.

 Program Dauroh Syar'iyyah Dua Bulan

Nabi Shalih Berdakwah Dengan Kelembutan
Nabi Shalih menasihati kaumnya, Adakah kamu akan dibiarkan tinggal disini (di negeri kamu ini) dengan aman, di dalam kebun-kebun serta mata air dan tanam-tanaman dan pohon-pohon korma yang mayangnya lembut”. Yaitu mayang bertumpuk, indah, bagus dan matang. Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku; dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan" (QS. Asy-Syu’ara: 149-152)

Shalih juga mengatakan kepada mereka, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya.” (QS. Hud: 61). Yaitu Dia-lah yang telah menciptakan kalian dari bumi, dan menjadikan kalian sebagai pemakmurnya. Dengan kata lain, Dia memberikan bumi itu kepada kalian, termasuk segala macam tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di sana. Dia-lah Pencipta dan Pemberi rizki, dan Dia-lah yang berhak untuk diibadahi semata, bukan yang lain. “Karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya,” yaitu lepaskan keyakinan dan agama yang kalian anut, segeralah beribadah kepada-Nya, karena Ia pasti menerima amalan kalian dan memaafkan kesalahan kalian. “Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (do’a hamba-Nya).”.

 Minyak Zaitun Ruqyah


Mereka mengatakan, “Wahai Shalih! Sungguh, engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang diharapkan,” yaitu sebelaum kau ucapkan kata-kata itu, kami berharap kalau kau adalah orang yang memiliki akal sempurna, maksudnya seruanmu agar kami hanya beribadah kepada-Nya  semata, meninggalkan sekuru-sekutu yang biasa kami sembah, dan meninggalkan agama nenek moyang kami. Karena itu mereka mengatakan, “Mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engaku serukan kepada kami.” (QS. Hud: 62)
“Dia (Shalih) berkata, ‘Wahai kaumku! Bagaimana pendapat kalian jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapa yang akan menolongku dari (adzab) Allah jika aku mendurhakai-Nya? Maka kamu hanya akan menambah kerugian kepadaku.” (QS. Hud: 63)

Shalih menyampaikan kata-kata ini dengan lembah lembut dan dengan cara yang baik dalam menyeru kaumnya menuju kebaikan. Artinya, bagaimana menurut kalian jika apa yang aku sampaiakn dan aku serukan kepada kalian benar? Apa gerangan alasan yang akan kemukakan di hadapan Allah? Apa yang bisa melepaskan diri kalian dari hadapan-Nya sementara kalian menginginkan agar aku tidak lagi menyeru kalian untuk taat pada-Nya? Aku tidak mungkin melakukan itu, karena sudah menjadi kewajibanku. Andai aku meninggalkan kewajiban ini, tentu tak seorang pun di antara kalian ataupun selain kalian bisa melindungiku dari siksa-Nya ataupun menolongku. Aku akan senantiasa menyeru kalian untuk beribadah kepada Allah semata yang tiada memiliki sekutu, hingga Allah memutuskan perkara antara aku dan kalian.

Sikap Kaum Tsamud Kepada Nabi Mereka.
Setelah Nabi Shalih menasihati dengan lembut, kaum Tsamud berkata, “Sesungguhnnya, kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir.” (Asy-Syu’ara: 153). Yaitu termasuk orang-orang yang terkena sihir. Maksud mereka, Shalih terkena sihir, tidak mengerti apa yang diucapkan kala menyeru kami untuk beribadah kepada Allah semata yang tiada memiliki sekutu, dan meninggalkan sesembahan-sesembahan lain. Demikian penjelasan mayoritas ahli tafsir.

Mereka berkata, “Engaku hanyalah manusia seperti kami.” (QS. Asy-Syu’ara: 154). “Maka datangkanlah sesuatu mukjizat jika engkau termasuk orang yang benar.” (QS. Asy-Syu’ara: 154). Mereka meminta agar Shalih menunjukkan mukjizat sebagai bukti kebenaran ajaran yang ia sampaikan.

“Dia (Shalih) menjawab, “Ini seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan minum pada hari yang ditentukan. Dan jangan kamu menyentuhnya (unta itu) dengan suatu kejahatan, nanti kamu akan ditimpa adzab pada hari yang dahsyat.” (QS. Asy-Syu’ara: 155-156). Seperti yang Allah sampaikan di tempat berbeda, “Sesungguhnya, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkanlah ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan mendapatkan siksaan yang pedih.” (QS. Al-A’raf: 73). “Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu.” (QS. Al-Isra: 59)

Permintaan Kaum Tsamud

Para ahli tafsir menyebutkan, suatu ketika kaum Tsamud berkumpul di suatu tempat perkumpulan, lalu Rasulullah Shalih mendatangi mereka, menyeru mereka menuju Allah, mengingatkan, memberi nasihat dan menyampaikan perintah kepada mereka, lalu mereka menentang Shalih, “Jika kau bisa mengeluarkan seekor unta bunting dengan ciri seperti ini dan itu dari batu besar ini –mereka menunjuk batu yang ada di sana, menyebutkan sejumlah ciri yang mereka inginkan. Nabi Shalih kemudian berkata kepada mereka, ‘Baimana menurut kalian, jika aku penuhi permintaan seperti yang kalian inginkan, apakah kalian mau beriman kepada kebenaran yagn aku sampaikan dan mempercayai risalah yang diutuskan kepadaku?’ ‘Ya,’ Jawab mereka. Shalih kemudian mengambil perjanjian mereka atas hal itu.

Setelah itu Shalih menghampiri tempat shalat, ia kemudian shalat untuk Allah ‘Azza wa Jalla seperti yang Ia takdirkan untuknya, setelah itu ia memanjatkan do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar permintaan mereka dikabulkan. Allah ‘Azza wa Jalla kemudian memerintahkan bongkahan batu besar tersebut untuk mengeluarkan seekor unta besar dan bunting dengan ciri-ciri tepat seperti yang mereka inginkan.

Saat melihat mukjizat itu dengan mata kepala sendiri, mereka melihat suatu hal besar, kuasa, nyata, bukti jelas dan terang, hingga banyak di antara mereka beriman, namun sebagian besar tetap kafir, tesesat dan membangkang. Karena itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tetapi mereka menganiaya unta betina itu.” Yaitu mereka mereka mengingkarinya dan sebagian besar di antara mereka enggan mengikuti kebenenaran karena mukjizat tersebut.

Di antara tokoh orang-orang yang menyatakan beriman adalah Junda’ bin Amr bin Muhallah bin Labid bin Jawas, ia termasuk salah seorang pemimpin kaum Tsamud yang tetap berpegang teguh pada Islam. Yang menghalangi lainnya untuk beriman adalah Dzuab bin Labid dan Habbab, si pemilik berhala-berhala kaum Tsamud dan Rabbab bin Sha’ar bin Jalmus. Junda’ mengajak saudara sepupunya, Syihab bin Khalifah, ia termasuk salah seorang pemuka kaum Tsamud,  untuk masuk Islam. Syihab bermaksud untuk masuk Islam, tapi dihalang-halangi oleh para pembersar Tsamud yang masih kafir. Akhirnya, Syihab kembali ke barisan orang-ornag kafir.

Pada mulanya mereka menyepakati unta tersebut ada di tengah-tengah mereka, mamakn rerumputan di manapun dalam kawasan mereka, medatangi air hari demi hari. Saat datang ke tempat minum, unta meminum air sumur kaum Tsamud salama seharian, sementara kaum Tsamud menunda keperluan air hingga hari berikutnya. Menurut salah satu riwayat, mereka meminum air susu unta tersebut hingga kebutuhan mereka terpenuhi. Karena itu Shalih mengatakan, “Ini seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan minum pada hari yang ditentukan.” (QS. Asy-Syu’ara: 155). Selanjutnya bisa dilihat dalam; QS. Al Qamar: 27 dan 28.

Konspirasi Untuk Membunuh Unta Nabi Shalih

Setelah situasi ini berlangsung cukup lama, akhirnya para tokoh kaum Tsamud berkumpul, dan kesepakatan tercapai untuk menyembelih unta tersebut, agar mereka merasa lega dan tidak lagi terusik, agar mereka dengan leluasa memenuhi kebutuhan air, dan setan pun menghiasi perbuatan buruk mereka ini hingga terasa indah bagi mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya. Mereka berkata, ‘Wahai Shalih! Buktikanlah ancaman kamu kepada kami, jika benar engkau salah seorang Rasul’.” (QS. Al A’raf: 77)

Eksekutor penyembelihan unta ini adalah pemimpin kaum Tsamud, ia adalah Qidar bin Salif bin Junda’, ia berkulit merah bercampur biru dan abu-abu. Ada yang menyebutkan, ia adalah anak zina yang dilahirkan di tempat tidur Salif. Salif adalah anak seseorang yang bernama Shaiban. Aksi ini dilakukan atas kesepakatan seluruh kaum Tsamud. Karena itulah tindakan ini dikaitkan dengan mereka semua.

Ibnu Jarir dan ulama tafsir lain menyebutkan, ada dua wanita Tsamud, salah satunya bernama Shaduq binti Mahya bin Zuhair bin Mukhtar, ia terbilang wanita terhormat dan ditaati. Ia adalah istri seorang lelaki yang masuk Islam lalu dicerai. Ia kemudian memanggil saudara sepupunya bernama Mashra’ bin Mahraj bin Mahya, dan menawarkan diri padanya jika Mashra’ bersedia menyembelih unta tersebut. Wanita yang satunya lagi bernama Unaizah binti Ghunaim bin Majlaz, kuniah-nya Ummu Ghanamah, ia wanita tua dan kafir. Ia memiliki sejumlah anak perempuan dari suaminya, Dzuab bin Amr, salah seorang pembesar Tsamud. Ia kemudian menawarkan empat putrinya kepada Qidar bin bin Salif, jika ia bersedia bersedia menyembelih unta, ia dipersilahkan memilih manapun di antara putrinya yang ia mau. Akhirnya, dua pemuda ini bergerak untuk menyembelih unta. Berita ini segera menyebar di telinga kaum Tsamud. Ada tujuh orang lain yang menerima ajakan untuk menyembelih unta tersebut, hingga jumlah total mencapai sembilan orang. Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. An-Naml: 48. Mereka membujuk kabilah lain untuk menyembelih unta tersebut, mereka menerima ajakan itu. Akhirnya, semuanya pergi untuk mengintai unta itu.

Saat unta meninggalkan tempat air, Mashra’ memasang perangkap, lalu ia panah. Setelah itu, ia tikam di kedua lambungnya dengan maksud untuk mendorong rekan-rekannya melakukan penyerangan. Dan yang lebih dulu melakukan penyerangan di antara adalah Qidar bin Salif. Qidar menebaskan pedang ke arah unta itu tepat mengenai urat pada keting (belakang kaki). Akhirnya, unta tersungkur di tanah, mengeluarkan suara keras hingga mengeluarkan janin yang ada di perutnya. Qidar kemudian menikam kepalanya lalu menyembelihnya. Anak unta tersebut berhasil meloloskan diri, naik ke atas gunung yang kokoh dan mengeluarkan suara keras sebanyak tiga kali.

Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari seseorang yang mendengar Hasan, ia menuturkan, “Anak unta tersebut mengatakan, ‘Ya Rabb!! Mana Ibuku?’ Setelah itu ia masuk ke dalam bongkahan batu besar dan menghilang di sana’.” Menurut sumber yang lain, mereka juga menyembelih anak unta tersebut. Kisah pembunuhan unta tersebut dapat dilihat dalam QS. Al Qamar: 29-30 dan QS. Asy-Syams: 12-15

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abdullah bin Numair, dari Hisyam (yakni Abu Urwah), dari ayahnya, dari Abdullah bin Zam’ah, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam suatu ketika berkhutbah, beliau menyebut unta yang disembelih (kaum Tsamud), beliau menyampaikan, ‘Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.’ Seseorang yang perkasa, pemimpin tengah-tengah kaumnya bangkit untuk menyembelihnya, ia seperti Abu Zam’ah’.”.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dari Hisyam dengan matan yang sama. ‘Arim artinya perkasa, ‘aziz maksudnya seorang pemimpin kuat dan ditaati di tengah-tengah kaumnya.

Serangkaian Alasan Diturunkannya Azab

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya. Mereka berkata, ‘Wahai Shalih! Buktikanlah ancaman kamu kepada kami, jika benar engkau salah seorang rasul’.” (QS. Al A’raf: 77). Dengan kata-kata ini, mereka menumpuk sejumlah kekafiran nyata sebagai berikut:
1). Menentang Allah dan Rasul-Nya dengan menerjang larangan tegas menyembelih unta yang dijadikan Allah sebagai mukjizat bagi mereka.
2). Meminta agar siksaan disegerakan dan menimpa mereka. Karena itu, mereka pantas menerima siksa itu karena dua alasan. Pertama; seperti yang telah disyaratkan bagi mereka dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa (adzab).” (QS. Hud: 64). Penjelasan lain terdapat dalam QS; Asy-Syu’ara: 156, Al A’raf: 73. Semua ini benar adanya. Alasan kedua; mereka sendiri yang meminta agar siksa disegerakan.
3). Mendustakan rasul yang nubuwah dan kebenarannya dikuatkan oleh bukti nyata, mereka sendiri mengetahui bukti kebenaran itu dengan pasti. Namun kekafiran dan kesesatan jua yang mendorong mereka untuk membangkang, serta menganggap kebenaran dan siksa sebagai suatu yang mustahil. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Mereka menyembelih unta itu, kemudian dia (Shalih) berkata, ‘Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan’.” (QS. Hud: 65)

Kisah Pembinasaan Kaum Tsamud

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya, sedang mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah bagaimana akibat dari tipu daya mereka, bahwa Kami membinasakan merka dan kaum mereka semuanya. Maka itulah rumah-rumah mereka yang runtuh karena kezhaliman mereka. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mengetahui. Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. An-Naml: 50-53)

Allah mengirimkan bebatuan yang menimpa mereka yang hendak membunuh Nabi Shalih, hingga mereka semua binasa, sebagai siksaan yang disegerakan sebelum mereka mati. Pada hari Kamis –hari pertama selama masa penantian selama tiga hari– wajah-wajah kaum Tsamud berubah pucat pasi, tepat seperti yang diancamkan Nabi Shalih.

Pada hari Ahad pagi, mereka mengenakan kamper, bersiap-siap, dan duduk menantikan adzab, siksa, dan hukuman apa yang akan menimpa. Mereka tidak tahu akan diperlakukan seperti apa, dan dari arah mana siksaan itu tiba.

Saat matahari terbit, datanglah suara menggemuruh dari langit di atas mereka, bumi yang ada di bawah mereka berguncang hebat, hingga nyawa mereka melayang, semuanya diam tidak bergerak, suasana senyap tanpa suara. Terjadilah ancaman yang disampaikan, hingga mereka bergelimpangan di bawah reruntuhan rumah-rumah mereka. Mereka berubah menjadi bangkai-bangkai tanpa nyawa dan tidak bergerak. Para ahli tafsir menyebutkan, tak seorang pun tersisa selain seorang budak wanita lumpuh, namanya Kalbah binti Salaq –sumber lain menyebutkan namanya Dzari’ah–. Ia sangat ingkar dan memusuhi Shalih. Saat melihat adzab menimpa, ia menjulurkan kaki dan berdiri, lalu berlari sekencang mungkin, kemudian mendatangi salah satu perkampungan Arab dan memberitahukan kejadian yang ia lihat dan siksaan yang menimpa kaumnya. Ia kemudian meminta air minum kepada mereka, dan setelah minum, ia mati.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Seolah-olah mereka belum pernah tinggal di tempat itu,” yaitu mereka seakan-akan belum pernah menempati negeri itu dengan keleluasaan rezeki dan kekayaan. “Ingatlah, kaum Tsamud mengingkari Rabb mereka. Ingatlah, binasalah kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68). Yaitu lisan takdir meneriakkan kata-kata ini pada mereka.

Nabi Shalih dan Pengikutnya Meninggalkan Kampung Halaman

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kemudian dia (Shalih) pergi meninggalkan mereka sambil berkata, ‘Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu. Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat’.” (QS. Al-A’raf: 79). Ini kabar tentang Shalih. Setelah kaumnya binasa, Shalih berkata kepada mereka sambil berlalu meninggalkan segeri mereka ke tempat lain, “Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu,” yaitu aku sudah bersusah payah memberikan petunjuk pada kalian semampuku, dan aku berusaha keras untuk itu dengan tutur kata, tindakan, dan niat.

“Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat,” yaitu watak kalian memang enggan menerima menerima dan menginginkan kebenaran. Itulah yang membuat kalian tertimpa siksaan pedih seperti ini, siksaan yang akan terus menimpa kalian hingga selamanya. Aku sedikit pun tidak memiliki daya dan upaya untuk menghindarkan kalian dari adzab. Aku hanya berkewajiban menyampaikan risalah dan nasihat. Dan tugas itu sudah aku tunaikan untuk kalian. Namun Allah berbuat seperti yang ia kehendaki.

Seperti itu juga kata-kata yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kepada jenazah para tokoh kafir Quraisy, tiga malam setelah mereka dilemparkan ke sumur Badar. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berdiri di hadapan mereka dengan menunggangi hewan tunggangan beliau. Beliau memerintahkan untuk segera pulang di akhir malam, beliau kemudian mengatakan, “Wahai semua yang ada di sumur, apakah kalian mendapatkan ancaman Rabb kalian benar adanya? Sungguh, aku mendapatkan janji yang disampaikan Rabb padaku benar adanya.” Di antara kata-kata yang beliau sampaikan, “Seburuk-buruk kaum seorang nabi adalah kalian ini (atas sikap kalian) terhadap nabi kalian. Kalian mendustakanku dan justru orang lain memberiku tempat bernaung. Kalian memerangiku, dan justru orang lain yang membelaku. Maka seburuk-buruk kaum seorang nabi adalah kalian ini (atas sikap kalian) terhadap nabi kalian.”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Wahai Rasulullah, kau berbicara dengan kaum-kaum yang sudah menjadi bangkai?’ Beliau menyahut, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak lebih mendengar kata-kata yang kuucapkan melebihi mereka. Hanya saja mereka tidak bisa menjawab’.” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Musnad Ahmad).

Menurut salah satu sumber, Shalih pindah ke Tanah Haram, dan tinggal di sana hingga wafat.


Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma “Suatu ketika Rasulullah shallallahhu ‘alayhi wa sallam melintas di lembah Usfan saat menunaikan haji. Beliau bertanya, ‘Hai Abu Bakar! Lembah apa ini?’ ‘Lembah Usfan,’ Jawab Abu Bakar. Beliau kemudian bersabda, ‘Sungguh, lembah ini pernah dilalui Hud dan Shalih dengan mengendarai unta jantan milik mereka. Tali kekang mereka sabut, sarung mereka mantel dan pakaian mereka adalah kain bergaris (putih hitam). Mereka berkunjung ke Baitul Atiq (untuk menunaikan ibadah haji)’.” (HR. Ahmad dalam musnad-nya, I/232).

Artikel Terkait

Previous
Next Post »