Asal Muasal
Kaum Tsamud
Tsamud adalah
sebuah kabilah yang msyhur. Tsamud adalah nama kakek mereka, saudara Judais. Keduanya
adalah anak Atsir bin Iram bin Sam bin Nuh.
Mereka adalah
bangsa Arab ‘aribah’ (bangsa Arab sebelum masa Isma’il), tinggal di
Hijr, sebuah kawasan terletak di antara Hijaz dan Tabuk. Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam pernah melewati kawasan ini bersama pasukan Muslimin
dalam perjalanan beliau menuju Tabuk.
Tsamud adanya
setelah kaum ‘Ad, mereka menyembah berhala seperti halnya kaum ‘Ad.
Nasab Nabi
Shalih
Allah kemudian
mengirim seorang hamba dan utusan-Nya di tengah-tengah mereka, juga berasal
dari golongan mereka; Shalih bin Ubaid bin Masih bin Ubaid bin Hadir bin Tsamud
bin Atsir bin Iram bin Nuh. Shalih mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah
semata yang tiada memiliki sekutu, meninggalkan seluruh berhala, sekutu dan
tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Sebagian di antara mereka beriman kepada
Shalih, mayoritas mengingkari. Mereka menyakiti Shalih dengan tutur kata dan
perbuatan, bahkan bermaksud membunuhnya. Mereka menyembelih unta yang dijadikan
Allah sebagai hujjah bagi mereka, hingga akhirnya Allah menyiksa mereka dengan
siksaan dari Yang Mahaperkasa lagi Kuasa.
Kisah Nabi Shalih
dalam Al Qur’an
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman dalam surah Al-A’raf, “Dan (Kami telah mengutus)
kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: "Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya
telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini
menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu
mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa
siksaan yang pedih". Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam
kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ´Aad dan memberikan
tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar
dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat
kerusakan. Pemuka-pemuka
yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang
dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu bahwa
Shaleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?". Mereka menjawab:
"Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya". Orang-orang yang
menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak
percaya kepada apa yang kamu imani itu". Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan
mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: "Hai
Shaleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu
termasuk orang-orang yang diutus (Allah)". Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah
mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka. Maka Shaleh
meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya aku telah
menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu,
tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat" (QS. Al-A’raf:
73-79)
Kisah-kisah
tentang penolakan kaum Tsamud terhadap dakwah tauhid Nabi Shalih dan kisah
tentang pembunuhan unta yang dilarang oleh Allah bisa kita lihat dalam Al Qur’an
di antaranya: QS. Hud: 61-68, QS. Al Hijr: 80-84, QS. Al Isra’: 59, QS. As-Syu’ara:
141-159, QS. An-Naml: 45-53, QS. Fushshilat: 17-18, QS. Al Qamar: 23-32, QS.
As-Syams: 11-15.
Allah sering
menyebut ‘Ad dan Tsamud secara berdampingan, seperti yang tertera dalam surah
At-Taubah, Ibrahim, Al Furqan, Shad, Qaf, An-Najm, dan Al Fajr.
Kisah Kaum
Tsamud
Inti tulisan ini
adalah tentang kisah kaum Tsamud; seperti apa keadaan mereka, bagaimana Allah
menyelamatkan Nabi Shalih dan para pengikutnya yang beriman, bagaimana Allah
membinasakan kaum yang berbuat lalim karena ingkar dan semena-mena, serta
menentang rasul mereka, Shalih ‘alayhissalam.
Kaum Tsamud
adalah bangsa Arab, mereka ada setelah kaum ‘Ad namun tidak memetik pelajaran
dari kaum ‘Ad. Karena itu Shalih berkata kepada mereka, “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud
saudara mereka Shaleh. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti
yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu,
maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya
dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang
pedih". Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam
kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ´Aad dan memberikan
tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar
dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat
kerusakan” (QS. Al A’raf: 73-74). Yaitu Allah menjadikan
kalian sebagai khalifah-khalifah setelah mereka, agar kalian bisa memetik
pelajaran dari kisah mereka, dan melakukan sesuatu tidak seperti yagn mereka
lakukan.
Allah
membolehkan kalian membangun istana-istana di tempat datar di bumi. “Dan kamu
pahat sebagian gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin.”
(QS. Asy-Syu’ara: 149). Yaitu pandai dalam membuat, menata dan memperkokoh
rumah-rumah tersebut. Maka balaslah nikmat yang Allah limpahkan pada kalian itu
dengan rasa syukur, amal saleh, dan beribadah hanya pada-Nya semata yang tiada
memiliki sekutu. Jangan sampai kalian menentang dan berpaling dari ketaatan
kepada-Nya, karena pasti akan berakibat tidak baik.
Nabi
Shalih Berdakwah Dengan Kelembutan
Nabi
Shalih menasihati kaumnya, “Adakah
kamu akan dibiarkan tinggal disini (di negeri kamu ini) dengan aman, di dalam
kebun-kebun serta mata air dan
tanam-tanaman dan pohon-pohon korma yang mayangnya lembut”. Yaitu
mayang bertumpuk, indah, bagus dan matang. “Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung
untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin, maka bertakwalah kepada Allah dan
taatlah kepadaku; dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang
melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan
perbaikan" (QS.
Asy-Syu’ara: 149-152)
Shalih juga mengatakan kepada mereka, “Wahai
kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah
menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya.” (QS. Hud:
61). Yaitu Dia-lah yang telah menciptakan kalian dari bumi, dan menjadikan
kalian sebagai pemakmurnya. Dengan kata lain, Dia memberikan bumi itu kepada
kalian, termasuk segala macam tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di
sana. Dia-lah Pencipta dan Pemberi rizki, dan Dia-lah yang berhak untuk diibadahi
semata, bukan yang lain. “Karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya,” yaitu
lepaskan keyakinan dan agama yang kalian anut, segeralah beribadah kepada-Nya,
karena Ia pasti menerima amalan kalian dan memaafkan kesalahan kalian. “Sesungguhnya
Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (do’a hamba-Nya).”.
Mereka mengatakan, “Wahai Shalih! Sungguh,
engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang
diharapkan,” yaitu sebelaum kau ucapkan kata-kata itu, kami berharap kalau
kau adalah orang yang memiliki akal sempurna, maksudnya seruanmu agar kami
hanya beribadah kepada-Nya semata,
meninggalkan sekuru-sekutu yang biasa kami sembah, dan meninggalkan agama nenek
moyang kami. Karena itu mereka mengatakan, “Mengapa engkau melarang kami
menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar
dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engaku serukan kepada
kami.” (QS. Hud: 62)
“Dia (Shalih) berkata, ‘Wahai kaumku! Bagaimana
pendapat kalian jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya
aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapa yang akan menolongku dari (adzab)
Allah jika aku mendurhakai-Nya? Maka kamu hanya akan menambah kerugian
kepadaku.” (QS.
Hud: 63)
Shalih menyampaikan kata-kata ini dengan lembah
lembut dan dengan cara yang baik dalam menyeru kaumnya menuju kebaikan. Artinya,
bagaimana menurut kalian jika apa yang aku sampaiakn dan aku serukan kepada
kalian benar? Apa gerangan alasan yang akan kemukakan di hadapan Allah? Apa yang
bisa melepaskan diri kalian dari hadapan-Nya sementara kalian menginginkan agar
aku tidak lagi menyeru kalian untuk taat pada-Nya? Aku tidak mungkin melakukan
itu, karena sudah menjadi kewajibanku. Andai aku meninggalkan kewajiban ini,
tentu tak seorang pun di antara kalian ataupun selain kalian bisa melindungiku
dari siksa-Nya ataupun menolongku. Aku akan senantiasa menyeru kalian untuk
beribadah kepada Allah semata yang tiada memiliki sekutu, hingga Allah
memutuskan perkara antara aku dan kalian.
Sikap Kaum Tsamud Kepada Nabi Mereka.
Setelah Nabi Shalih menasihati dengan lembut,
kaum Tsamud berkata, “Sesungguhnnya, kamu adalah salah seorang dari orang-orang
yang kena sihir.” (Asy-Syu’ara: 153). Yaitu termasuk orang-orang yang
terkena sihir. Maksud mereka, Shalih terkena sihir, tidak mengerti apa yang
diucapkan kala menyeru kami untuk beribadah kepada Allah semata yang tiada
memiliki sekutu, dan meninggalkan sesembahan-sesembahan lain. Demikian penjelasan
mayoritas ahli tafsir.
Mereka berkata, “Engaku hanyalah manusia
seperti kami.” (QS. Asy-Syu’ara: 154). “Maka datangkanlah sesuatu
mukjizat jika engkau termasuk orang yang benar.” (QS. Asy-Syu’ara: 154).
Mereka meminta agar Shalih menunjukkan mukjizat sebagai bukti kebenaran ajaran
yang ia sampaikan.
“Dia (Shalih) menjawab, “Ini seekor unta
betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan
minum pada hari yang ditentukan. Dan jangan kamu menyentuhnya (unta itu) dengan
suatu kejahatan, nanti kamu akan ditimpa adzab pada hari yang dahsyat.” (QS. Asy-Syu’ara: 155-156). Seperti yang Allah
sampaikan di tempat berbeda, “Sesungguhnya, telah datang kepadamu bukti yang
nyata dari Rabbmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkanlah
ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan
mendapatkan siksaan yang pedih.” (QS. Al-A’raf: 73). “Dan telah Kami
berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat,
tetapi mereka menganiaya unta betina itu.” (QS. Al-Isra: 59)
Permintaan Kaum Tsamud
Para ahli tafsir menyebutkan, suatu ketika kaum
Tsamud berkumpul di suatu tempat perkumpulan, lalu Rasulullah Shalih mendatangi
mereka, menyeru mereka menuju Allah, mengingatkan, memberi nasihat dan menyampaikan
perintah kepada mereka, lalu mereka menentang Shalih, “Jika kau bisa
mengeluarkan seekor unta bunting dengan ciri seperti ini dan itu dari batu
besar ini –mereka menunjuk batu yang ada di sana, menyebutkan sejumlah ciri
yang mereka inginkan. Nabi Shalih kemudian berkata kepada mereka, ‘Baimana
menurut kalian, jika aku penuhi permintaan seperti yang kalian inginkan, apakah
kalian mau beriman kepada kebenaran yagn aku sampaikan dan mempercayai risalah
yang diutuskan kepadaku?’ ‘Ya,’ Jawab mereka. Shalih kemudian mengambil
perjanjian mereka atas hal itu.
Setelah itu Shalih menghampiri tempat shalat,
ia kemudian shalat untuk Allah ‘Azza wa Jalla seperti yang Ia takdirkan
untuknya, setelah itu ia memanjatkan do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar
permintaan mereka dikabulkan. Allah ‘Azza wa Jalla kemudian memerintahkan
bongkahan batu besar tersebut untuk mengeluarkan seekor unta besar dan bunting
dengan ciri-ciri tepat seperti yang mereka inginkan.
Saat melihat mukjizat itu dengan mata kepala
sendiri, mereka melihat suatu hal besar, kuasa, nyata, bukti jelas dan terang,
hingga banyak di antara mereka beriman, namun sebagian besar tetap kafir,
tesesat dan membangkang. Karena itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tetapi mereka menganiaya unta betina itu.” Yaitu mereka mereka
mengingkarinya dan sebagian besar di antara mereka enggan mengikuti kebenenaran
karena mukjizat tersebut.
Di antara tokoh orang-orang yang menyatakan
beriman adalah Junda’ bin Amr bin Muhallah bin Labid bin Jawas, ia termasuk
salah seorang pemimpin kaum Tsamud yang tetap berpegang teguh pada Islam. Yang menghalangi
lainnya untuk beriman adalah Dzuab bin Labid dan Habbab, si pemilik
berhala-berhala kaum Tsamud dan Rabbab bin Sha’ar bin Jalmus. Junda’ mengajak
saudara sepupunya, Syihab bin Khalifah, ia termasuk salah seorang pemuka kaum
Tsamud, untuk masuk Islam. Syihab
bermaksud untuk masuk Islam, tapi dihalang-halangi oleh para pembersar Tsamud
yang masih kafir. Akhirnya, Syihab kembali ke barisan orang-ornag kafir.
Pada mulanya mereka menyepakati unta tersebut
ada di tengah-tengah mereka, mamakn rerumputan di manapun dalam kawasan mereka,
medatangi air hari demi hari. Saat datang ke tempat minum, unta meminum air
sumur kaum Tsamud salama seharian, sementara kaum Tsamud menunda keperluan air
hingga hari berikutnya. Menurut salah satu riwayat, mereka meminum air susu
unta tersebut hingga kebutuhan mereka terpenuhi. Karena itu Shalih mengatakan, “Ini
seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga
berhak mendapatkan minum pada hari yang ditentukan.” (QS. Asy-Syu’ara: 155).
Selanjutnya bisa dilihat dalam; QS. Al Qamar: 27 dan 28.
Konspirasi Untuk Membunuh Unta Nabi Shalih
Setelah situasi ini berlangsung cukup lama,
akhirnya para tokoh kaum Tsamud berkumpul, dan kesepakatan tercapai untuk
menyembelih unta tersebut, agar mereka merasa lega dan tidak lagi terusik, agar
mereka dengan leluasa memenuhi kebutuhan air, dan setan pun menghiasi perbuatan
buruk mereka ini hingga terasa indah bagi mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap
perintah Tuhannya. Mereka berkata, ‘Wahai Shalih! Buktikanlah ancaman kamu
kepada kami, jika benar engkau salah seorang Rasul’.” (QS. Al A’raf:
77)
Eksekutor
penyembelihan unta ini adalah pemimpin kaum Tsamud, ia adalah Qidar bin Salif
bin Junda’, ia berkulit merah bercampur biru dan abu-abu. Ada yang menyebutkan,
ia adalah anak zina yang dilahirkan di tempat tidur Salif. Salif adalah anak
seseorang yang bernama Shaiban. Aksi ini dilakukan atas kesepakatan seluruh
kaum Tsamud. Karena itulah tindakan ini dikaitkan dengan mereka semua.
Ibnu Jarir dan
ulama tafsir lain menyebutkan, ada dua wanita Tsamud, salah satunya bernama
Shaduq binti Mahya bin Zuhair bin Mukhtar, ia terbilang wanita terhormat dan
ditaati. Ia adalah istri seorang lelaki yang masuk Islam lalu dicerai. Ia kemudian
memanggil saudara sepupunya bernama Mashra’ bin Mahraj bin Mahya, dan
menawarkan diri padanya jika Mashra’ bersedia menyembelih unta tersebut. Wanita
yang satunya lagi bernama Unaizah binti Ghunaim bin Majlaz, kuniah-nya
Ummu Ghanamah, ia wanita tua dan kafir. Ia memiliki sejumlah anak perempuan
dari suaminya, Dzuab bin Amr, salah seorang pembesar Tsamud. Ia kemudian menawarkan
empat putrinya kepada Qidar bin bin Salif, jika ia bersedia bersedia
menyembelih unta, ia dipersilahkan memilih manapun di antara putrinya yang ia
mau. Akhirnya, dua pemuda ini bergerak untuk menyembelih unta. Berita ini
segera menyebar di telinga kaum Tsamud. Ada tujuh orang lain yang menerima
ajakan untuk menyembelih unta tersebut, hingga jumlah total mencapai sembilan
orang. Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala
dalam QS. An-Naml: 48. Mereka membujuk kabilah lain untuk menyembelih unta
tersebut, mereka menerima ajakan itu. Akhirnya, semuanya pergi untuk mengintai
unta itu.
Saat unta meninggalkan tempat air, Mashra’
memasang perangkap, lalu ia panah. Setelah itu, ia tikam di kedua lambungnya
dengan maksud untuk mendorong rekan-rekannya melakukan penyerangan. Dan yang
lebih dulu melakukan penyerangan di antara adalah Qidar bin Salif. Qidar
menebaskan pedang ke arah unta itu tepat mengenai urat pada keting (belakang
kaki). Akhirnya, unta tersungkur di tanah, mengeluarkan suara keras hingga
mengeluarkan janin yang ada di perutnya. Qidar kemudian menikam kepalanya lalu
menyembelihnya. Anak unta tersebut berhasil meloloskan diri, naik ke atas
gunung yang kokoh dan mengeluarkan suara keras sebanyak tiga kali.
Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari
seseorang yang mendengar Hasan, ia menuturkan, “Anak unta tersebut mengatakan, ‘Ya
Rabb!! Mana Ibuku?’ Setelah itu ia masuk ke dalam bongkahan batu besar dan
menghilang di sana’.” Menurut sumber yang lain, mereka juga menyembelih anak
unta tersebut. Kisah pembunuhan unta tersebut dapat dilihat dalam QS. Al Qamar:
29-30 dan QS. Asy-Syams: 12-15
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abdullah bin
Numair, dari Hisyam (yakni Abu Urwah), dari ayahnya, dari Abdullah bin Zam’ah,
ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam suatu ketika
berkhutbah, beliau menyebut unta yang disembelih (kaum Tsamud), beliau
menyampaikan, ‘Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.’ Seseorang
yang perkasa, pemimpin tengah-tengah kaumnya bangkit untuk menyembelihnya, ia
seperti Abu Zam’ah’.”.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini
dari Hisyam dengan matan yang sama. ‘Arim artinya perkasa, ‘aziz maksudnya
seorang pemimpin kuat dan ditaati di tengah-tengah kaumnya.
Serangkaian Alasan Diturunkannya Azab
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kemudian
mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya.
Mereka berkata, ‘Wahai Shalih! Buktikanlah ancaman kamu kepada kami, jika benar
engkau salah seorang rasul’.” (QS. Al A’raf: 77). Dengan kata-kata ini,
mereka menumpuk sejumlah kekafiran nyata sebagai berikut:
1). Menentang Allah dan Rasul-Nya dengan
menerjang larangan tegas menyembelih unta yang dijadikan Allah sebagai mukjizat
bagi mereka.
2). Meminta agar siksaan disegerakan dan
menimpa mereka. Karena itu, mereka pantas menerima siksa itu karena dua alasan.
Pertama; seperti yang telah disyaratkan bagi mereka dalam firman-Nya, “Dan
janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu
segera ditimpa (adzab).” (QS. Hud: 64). Penjelasan lain terdapat dalam QS;
Asy-Syu’ara: 156, Al A’raf: 73. Semua ini benar adanya. Alasan kedua; mereka
sendiri yang meminta agar siksa disegerakan.
3). Mendustakan rasul yang nubuwah dan
kebenarannya dikuatkan oleh bukti nyata, mereka sendiri mengetahui bukti
kebenaran itu dengan pasti. Namun kekafiran dan kesesatan jua yang mendorong
mereka untuk membangkang, serta menganggap kebenaran dan siksa sebagai suatu
yang mustahil. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Mereka
menyembelih unta itu, kemudian dia (Shalih) berkata, ‘Bersukarialah kamu semua
di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan’.”
(QS. Hud: 65)
Kisah Pembinasaan Kaum Tsamud
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan
mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya, sedang mereka tidak
menyadari. Maka perhatikanlah bagaimana akibat dari tipu daya mereka, bahwa
Kami membinasakan merka dan kaum mereka semuanya. Maka itulah rumah-rumah mereka
yang runtuh karena kezhaliman mereka. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mengetahui. Dan
Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS.
An-Naml: 50-53)
Allah mengirimkan bebatuan yang menimpa mereka
yang hendak membunuh Nabi Shalih, hingga mereka semua binasa, sebagai siksaan
yang disegerakan sebelum mereka mati. Pada hari Kamis –hari pertama selama masa
penantian selama tiga hari– wajah-wajah kaum Tsamud berubah pucat pasi, tepat
seperti yang diancamkan Nabi Shalih.
Pada hari Ahad pagi, mereka mengenakan kamper,
bersiap-siap, dan duduk menantikan adzab, siksa, dan hukuman apa yang akan
menimpa. Mereka tidak tahu akan diperlakukan seperti apa, dan dari arah mana
siksaan itu tiba.
Saat matahari terbit, datanglah suara
menggemuruh dari langit di atas mereka, bumi yang ada di bawah mereka
berguncang hebat, hingga nyawa mereka melayang, semuanya diam tidak bergerak,
suasana senyap tanpa suara. Terjadilah ancaman yang disampaikan, hingga mereka
bergelimpangan di bawah reruntuhan rumah-rumah mereka. Mereka berubah menjadi
bangkai-bangkai tanpa nyawa dan tidak bergerak. Para ahli tafsir menyebutkan,
tak seorang pun tersisa selain seorang budak wanita lumpuh, namanya Kalbah
binti Salaq –sumber lain menyebutkan namanya Dzari’ah–. Ia sangat ingkar dan
memusuhi Shalih. Saat melihat adzab menimpa, ia menjulurkan kaki dan berdiri,
lalu berlari sekencang mungkin, kemudian mendatangi salah satu perkampungan
Arab dan memberitahukan kejadian yang ia lihat dan siksaan yang menimpa
kaumnya. Ia kemudian meminta air minum kepada mereka, dan setelah minum, ia
mati.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Seolah-olah
mereka belum pernah tinggal di tempat itu,” yaitu mereka seakan-akan belum
pernah menempati negeri itu dengan keleluasaan rezeki dan kekayaan. “Ingatlah,
kaum Tsamud mengingkari Rabb mereka. Ingatlah, binasalah kaum Tsamud.” (QS.
Hud: 68). Yaitu lisan takdir meneriakkan kata-kata ini pada mereka.
Nabi Shalih dan Pengikutnya Meninggalkan
Kampung Halaman
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kemudian
dia (Shalih) pergi meninggalkan mereka sambil berkata, ‘Wahai kaumku! Sungguh,
aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu. Tetapi
kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat’.” (QS. Al-A’raf: 79). Ini kabar
tentang Shalih. Setelah kaumnya binasa, Shalih berkata kepada mereka sambil
berlalu meninggalkan segeri mereka ke tempat lain, “Wahai kaumku! Sungguh,
aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu,” yaitu
aku sudah bersusah payah memberikan petunjuk pada kalian semampuku, dan aku
berusaha keras untuk itu dengan tutur kata, tindakan, dan niat.
“Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi
nasihat,” yaitu
watak kalian memang enggan menerima menerima dan menginginkan kebenaran. Itulah
yang membuat kalian tertimpa siksaan pedih seperti ini, siksaan yang akan terus
menimpa kalian hingga selamanya. Aku sedikit pun tidak memiliki daya dan upaya
untuk menghindarkan kalian dari adzab. Aku hanya berkewajiban menyampaikan
risalah dan nasihat. Dan tugas itu sudah aku tunaikan untuk kalian. Namun Allah
berbuat seperti yang ia kehendaki.
Seperti itu juga kata-kata yang disampaikan
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kepada jenazah para tokoh kafir
Quraisy, tiga malam setelah mereka dilemparkan ke sumur Badar. Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam berdiri di hadapan mereka dengan menunggangi hewan
tunggangan beliau. Beliau memerintahkan untuk segera pulang di akhir malam,
beliau kemudian mengatakan, “Wahai semua yang ada di sumur, apakah kalian
mendapatkan ancaman Rabb kalian benar adanya? Sungguh, aku mendapatkan janji
yang disampaikan Rabb padaku benar adanya.” Di antara kata-kata yang beliau
sampaikan, “Seburuk-buruk kaum seorang nabi adalah kalian ini (atas sikap
kalian) terhadap nabi kalian. Kalian mendustakanku dan justru orang lain
memberiku tempat bernaung. Kalian memerangiku, dan justru orang lain yang
membelaku. Maka seburuk-buruk kaum seorang nabi adalah kalian ini (atas sikap
kalian) terhadap nabi kalian.”
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Wahai
Rasulullah, kau berbicara dengan kaum-kaum yang sudah menjadi bangkai?’ Beliau
menyahut, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak lebih
mendengar kata-kata yang kuucapkan melebihi mereka. Hanya saja mereka tidak
bisa menjawab’.” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Musnad Ahmad).
Menurut salah satu sumber, Shalih pindah ke
Tanah Haram, dan tinggal di sana hingga wafat.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma “Suatu ketika Rasulullah shallallahhu ‘alayhi wa sallam
melintas di lembah Usfan saat menunaikan haji. Beliau bertanya, ‘Hai Abu Bakar!
Lembah apa ini?’ ‘Lembah Usfan,’ Jawab Abu Bakar. Beliau kemudian bersabda, ‘Sungguh,
lembah ini pernah dilalui Hud dan Shalih dengan mengendarai unta jantan milik
mereka. Tali kekang mereka sabut, sarung mereka mantel dan pakaian mereka
adalah kain bergaris (putih hitam). Mereka berkunjung ke Baitul Atiq (untuk
menunaikan ibadah haji)’.” (HR. Ahmad dalam musnad-nya, I/232).
EmoticonEmoticon