Nabi Nuh ‘alayhissalam tinggal bersama kaumnya selama 950
tahun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدۡ
أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَلَبِثَ فِيهِمۡ أَلۡفَ سَنَةٍ إِلَّا
خَمۡسِينَ عَامٗا فَأَخَذَهُمُ ٱلطُّوفَانُ وَهُمۡ ظَٰلِمُونَ ١٤
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka
ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka
ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim” (QS. Al-‘Ankabut: 14)
Setiap kali satu generasi berlalu,
mereka berpesan kepada generasi berikutnya agar tidak beriman kepada Nuh, harus
memerangi dan menentangnya. Ketika anak-anak sudah mulai baligh dan mengerti
kata-kata orang tua, mereka sepakat untuk tidak beriman kepada Nuh sepanjang
hidup.
Tabiat dan watak mereka enggan untuk
beriman dan mengikuti kebenaran. Karena itu Nuh berkata, “Dan mereka hanya
akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.” (QS. Nuh:
27)
Kecuali hanya segelintir orang yang
mau beriman kepada Nuh. Allah berfirman, “Dan diwahyukan kepada Nuh,
‘Ketahuilah tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang benar-benar
beriman (saja), karena itu janganlah engkau bersedih hati tentang apa yang
mereka perbuat.” (QS. Hud: 36)
Firman ini merupakan hiburan bagi Nuh
atas perilaku kaumnya. Tidak akan ada yang beriman di antara mereka, selain
orang-orang yang telah beriman. Yaitu, jangan sampai situasi yang terjadi
membuatmu sedih, karena pertolongan Allah sudah dekat waktunya, dan berita luar
biasa akan segera terjadi.
DO’A NABI NUH UNTUK KAUMNYA
“Dan buatlah kapal itu dengan
pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engaku bicarakan dengan Aku
tentang orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya, mereka itu akan ditenggelamkan.”
(QS. Hud: 37)
Setelah putus asa dan mengharapkan
kebaikan dan keberuntungan kaumnya, melihat sama sekali tidak ada kebaikan
dalam diri mereka, menyakiti, menentang, dan mendustakannya dengan segala cara,
baik dengan tindakan maupun tutur kata, akhirnya Nuh memanjatkan do’a karena
marah. Allah memperkenankan dan mengabulkan do’anya. Allah berfirman: “Dan
sesungguhnya, Nuh telah berdo’a kepada Kami, maka sungguh, Kamilah sebaik-baik
yang memperkenankan do’a. Kami telah menyelamatkan dia dan pengikutnya dari
bencana yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 75-76). “Dan (ingatlah kisah)
Nuh, sebelum itu, ketika dia berdo’a. Kami perkenankan (do’a)nya, lalu Kami
selamatkan dia bersama pengikutnya dari bencana yang besar.” (QS.
Al-Anbiya: 76). Lihat do’a-do’a Nabi Nuh untuk kaumnya yang zhalim: dalam QS.
Asy-Syu’ara: 117-118, QS. Al-Qamar: 10, QS. Al-Mukminun: 26.
“Disebabkan kesalahan-kesalahan
mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak
mendapat penolong selain Allah. Dan Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau
biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.
Sesungguhnya, jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang
jahat dan tidak tahu bersyukur.” (QS.
Nuh: 25-27)
PERINTAH UNTUK MEMBANGUN SEBUAH
BAHTERA
Kesalahan-kesalahan berupa
pengingakaran, kekejian, dan do’a keburukan Nabi Nuh menumpuk menjad satu pada
mereka. Saat itulah, Allah memerintahkan Nuh untuk membuat kapal besar yang
belum pernah ada sebelumnya, juga tidak akan ada kapal sebesar itu sesudahnya.
“Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal.
Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya,” mencemooh Nuh dan menganggap ancaman
yang ia sampaikan pada mereka mustahil terjadi. “Dia (Nuh) berkata, ‘Jika
kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek
(kami)’,” yaitu kamilah yang akan mengejek kalian dan merasa heran pada
kalian, karena terus saja kalian mengingkari dan menentang dengan semena-mena,
yang akan membuat kalian tertimpa siksa. “Maka kelak kamu akan mengetahui
siapa yang akan ditimpa adzab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa
adzab yang kekal.”
Ingkar, keras, dan membangkang adalah
watak yang melekat pada diri mereka di dunia. Bahkan di akhirat pun mereka
tetap mengingkari kalau mereka pernah didatangi seorang rasul. Sebagaimana
disampaikan Imam Bukhari, “Musa bin Isma’il bercerita kepada kami, Abdul Wahid
bin Zanad bercerita kepada kami, A’masy bercerita kepada kami, dari Abu Shalih,
dari Abu Sa’id mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
‘Nuh dan umatnya datang (pada hari Kiamat), lalu Allah ‘Azza wa Jalla bertanya,
‘Apakah kau sudah menyampaikan (risalah)?’ ‘Sudah ya Rabb,’ Jawabnya. Allah kemudian
bertanya kepada umatnya, ‘Apakah ia (Nuh) sudah menyampaikan (risalah) kepada
kalian?’ Mereka manjawab, ‘Tidak, tak seorang nabi pun datang kepada kami.’
Allah bertanyak kepada Nuh, ‘Siapa yang akan menjadi saksi untukmu?’ ‘Muhammad
dan umatnya,’ Jawab Nuh. Muhammad dan umatnya kemudian bersaksi bahwa Nuh telah
menyampaikan (risalah).” (HR. Bukhari). Itulah maksud firman Allah: “Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu’.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Seperti itu kondisi para rasul, bahkan
Nuh juga mengingatkan umatnya akan bahaya fitnah Al-Masih Dajjal meski Dajjal
dipastikan tidak akan muncul pada zaman mereka, tetapi Nuh sampaikan sebagai
peringatan, wujud kasih sayang dan rahmat untuk mereka.
Seperti yang disampaikan Imam Bukhari;
Abdan bercerita kepada kami, Abdullah bercerita kepada kami, dari Yunus, dari
Zuhri, Salim berkata, “Ibnu umar berkata, ‘Raslullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
suatu ketika berdiri menyampaikan khotbah, beliau memanjatkan pujian sepatutnya
untuk Allah, setelah itu beliau menyebut tentang Dajjal, beliau menyampaikan,
‘Sungguh, aku mengingatkan kalian (pada bahaya fitnah)nya. Setiap nabi selalu
mengingatkan kaumnya (akan bahaya fitnah) Dajjal. Nuh telah mengingatkan
kaumnya (akan bahaya fitnah) Dajjal. Namun akan aku sampaikan sesuatu pada
kalian yang belum pernah disampaikan seorang nabi pun pada kaumnya, ‘Kalian
tahu bahwa dia (Dajjal) buta sebelah mata, sedangkan Allah tidak buta sebelah
mata’.” (Kitab Shahih, kitab:
Fitnah-fitnah, bab: Riwayat tentang Dajjal).
Sebagian
ulama salaf menyatakan, “Saat Allah mengabulkan do’a Nuh, Allah
memerintahkannya untuk menanam pepohonan sebagai bahan dasar pembuatan kapal. Nuh
kemudian menanam pepohonan dan menantikan selama seratus tahun, setelah itu ia
potong-potong dan ia jadikan kapal selama seratus tahun berikutnya. Sumber lain
menyebutkan 40 tahun. Wallahu a’lam.
Muhammad
bin Ishaq meriwayatkan dari Tsauri, “Kapal Nuh terbuat dari kayu Jati. Sumber
lain menyebutkan kayu cemara, dan inilah yang tertulis dalam kitab Taurat.”
Tsauri
mengatakan, “Allah memerintahkan Nuh untuk membuat kapal sepanjang 80 hasta,
bagian luar dan dalamnya dicat dengan ter, dan memasang haluan berbentuk cekung
yang membelah air.”
Qatadah
mengatakan, “Panjang kapal Nuh 300 hasta dengan lebar 50 hasta.” Data ini
setahu saya tertera dalam kitab Taurat. Hasan Al-Bashri mengatakan, “Panjangnya
600 hasta dengan lebar 300 hasta.” Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, “Panjangnya
1200 hasta dengan lebar 600 hasta.” Pendapat lain menyebutkan panjangnya 2000
hasta dengan lebar 1000 hasta.
Mereka
semua menyatakan tinggi kapal mencapai 30 hasta, terdiri dari tiga tingkat,
setiap tingkatnya setinggi sepuluh hasta. Tingkat bawah untuk hewan dan
binatang buas, bagian tengah untuk manusia, dan bagian atas untuk burung.
Pintu-pintu terpasang sepanjang kapal. Pintu-pintu memiliki penutup dari bagian
atas yang bisa menutupi celah pintu dengan rapat.
Allah
berfirman: “Dia (Nuh) berdo’a, ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku karena
mereka mendustakan aku.’ Lalu Kami wahyukan kepadanya, ‘Buatlah
kapal di bawah pengawasan dan petunjuk Kami’.” (QS.
Al-Mukminun: 26-27) Yaitu berdasarkan perintah dan pengawasan Kami untuk
membuat kapal tersebut. Kami akan terus mengawasi untuk mengarahkan cara yang
benar dalam membuatnya.
“Maka
apabila perintah Kami datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah
ke dalam (kapal) itu berpasangan dari setiap jenis, juga keluargamu, kecuali
orang yang lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa siksaan) di antara mereka. Dan
janganlah engkau bicarakan dengan-Ku tentang orang-orang zhalim, sesungguhnya
mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Al-Mukminun: 27)
Ayat di
atas, Allah memerintahkan Nuh saat putusan dan siksa-Nya menimpa, untuk memuat
semua hewan berpsangan (jantan dan betina), apa pun makanan yang bernyawa
sebagai penopang kehidupan agar semua hewan bisa berketurunan, mengangkut
keluarganya selain mereka yang telah ditetapkan terkena siksa, yaitu
keluarganya yang kafir, karena do’a Nuh yang tak tertolak juga menimpanya.
Allah juga memerintahkan Nuh untuk tidak berbicara kepada Allah terkait kaumnya
kala ia menyaksikan langsung siksa besar yang menimpa mereka, sebuah ketentuan
yang telah dipastikan Allah untuk mereka, dan Allah Maha melakukan apa pun yang
Ia kehendaki.
Tannur menurut
jumhur maksudnya permukaan bumi, yaitu ketika seluruh penjuru bumi memancarkan
air, hingga tungku-tungku yang biasa menjadi tempat api juga memancarkan air.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, tannur adalah
sebuah mata air di India. Diriwayatkan dari Sya’bi, sebuah mata air di Kufah
(Iraq). Diriwayatkan dari Qatadah, sebuah mata air di Jazirah.
Sebagian
menyebutkan –berdasarkan riawayat dari Ibnu ‘Abbas, burung pertama yang masuk
ke kapal adalah burung parkit, dan hewan terakhir yang masuk ke kapal adalah
keledai. Iblis masuk dengan bergantungan pada ekor keledai.
Ulama
berbeda pendapat terkait berapa jumlah orang yang ikut naik dalam kapal Nuh:
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas, mereka berjumlah 80 orang bersama para istrinya. Diriwayatkan
dari Ka’ab Al-Ahbar, mereka berjumlah sembilan puluh dua orang. Pendapat lain
menyebut sepuluh orang. Sumber lain menyebut hanya Nuh bersama tiga anaknya,
dan Kan’an bersama Yam. Namun Kan’an memisahkan diri dan menyusup meninggalkan
kapal dan tidak kembali lagi.
Ibnu Jarir
dan lainnya menyebutkan, banjir besar terjadi pada tanggal 13 bulan Ab menurut
kalender kaum Qibthi.
Sekelompok mufassir
(ahli tafsir) menyatakan, air menutupi puncak gunung tertinggi di bumi setinggi
15 hasta. Demikian penjelasan yang ada di kalangan Ahli Kitab. Sumber lain
menyebut 80 hasta. Air menutup seluruh permukaan bumi, menutupi seluruh lembah
dan bukit, menutupi pegunungan, ngarai dan pasir, tak satu pun makhluk hidup di
bumi saat itu tersisa, entah yang kecil ataupun yang besar.
Imam Malik
meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, ia mengatakan, “Penduduk bumi saat itu
memenuhi dataran luas dan pegunungan.” Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
mengatakan, “Setiap wilayah di bumi saat itu sudah ada yang menguasai dan
memiliki.” (HR. Ibnu Abi Hatim)
“Dan
bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh
memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil:
"Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada
bersama orang-orang yang kafir". Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan
ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak
ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha
Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah
anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud:
42-43)
Anak Nuh
ini adalah Yam, saudara Sam, Ham dan Yafits. Sumber lain menyebut Kan’an. Ia kafir
dan melakukan perbuatan tidak baik. Menentang agama dan paham ayahnya, hingga
akhirnya binasa bersama orang-orang kafir lain, di saat orang-orang lain yang
tidak memiliki ikatan darah justru selamat bersama ayahnya, karena mereka
menganut agama dan paham sang ayah.
“Dan
difirmankan, “Wahai bumi! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan)! Berhentilah!’
Dan air pun disurutkan, dan perintah pun diselesaikan dan kapal itu pun
berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan, ‘Binasalah orang-orang zhalim’.” (QS. Hud:
44)
Setelah menenggelamkan
seluruh penduduk bumi tanpa menyisakan seorang pun yang menyembah selain Allah ‘Azza
wa Jalla, Allah memerintahkan bumi untuk menelan air dan memerintahkan langit
untuk menghentikan hujan. “Dan air pun disurutkan,” yaitu
menyusut setelah sebelumnya meluap, “Dan dikatakan, ‘Binasalah orang-orang
zhalim.”.
“Dan
perintah pun diselesaikan,” yaitu siksaan yang telah ditetapkan dalam ilmu dan
kuasa Allah sebelumnya yang menimpa mereka itu.
“Dan
dikatakan, ‘Binasalah orang-orang zhalim’,” yaitu diserukan kepada mereka
melalui lisan kuasa ilahi, “Jauh sekali mereka dari rahmat dan ampunan.”
Beberapa ayat
yang berbicara tentang kisah Nuh AS:
QS. Al-A’raf:
64, QS. Yunus: 73, QS. Al-Anbiya: 77, QS. Asy-Syu’ara: 110-121, 66, QS.
Al-Qamar: 15-17, QS. Nuh: 25-27. Dan ayat-ayat lainnya.
Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda, “Nuh tinggal di tengah-tengah kaumnya
selama seribu tahun kurang 50 tahun, menanam pohon selama seratus tahun. Pepohonan
kemudian tumbuh besar dan bertebaran di mana-mana, setelah itu Nuh
memotong-motong (kayunya) lalu membuat kapal. Setiap kali kaumnya melintas,
mereka mencemoohnya, mereka mengatakan, ‘Kau membuat kapal di darat? Bagaimana bisa
berlabuh?’ Nuh menjawab, ‘Kelak kalian pasti tahu.’
Seusai membuat
kapal, air memancar dan memenuhi jalanan, seorang ibu mengkhawatirkan
keselamatan anaknya, ia begitu mencintainya. Si ibu keluar membawanya ke gunung
hingga sampai ke tengah-tengahnya. Saat air mencapai tenggorokan, ia mengangkat
anak dengan kedua tangannya, keduanya kemudian tenggelam. Andai Allah merahmati
seseorang di antara mereka, tentu ia merahmati ibu anak tersebut’.” (Hadits ini
gharib. Kisah serupa juga diriwayatkan dari Ka’ab Al-Ahbar, Mujahid dan
lainnya. Hadits ini lebih tepatnya mauquf (sanadnya
hanya sampai sahabat saja), dan bersumber dari Ka’ab Al-Ahbar. Wallahu
a’lam
NABI NUH
DAN PARA PENGIKUTNYA SELAMAT DARI ADZAB ALLAH
Disebutkan
dalam riwayat Ahli Kitab, Allah berfirman kepada Nuh, “Keluarlah dari kapal,
keluarkan pula istri, anak-anakmu, supaya semuanya berkembang dan menjadi
banyak di bumi.” Mereka semua keluar, kemudian Nuh mendirikan tempat
penyembelihan hewan kurban untuk Allah ‘Azza wa Jalla, lalu mengambil sebagian
dari seluruh hewan dan burung yang halal, lalu ia sembelih untuk mendekatkan
diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Allah kemudian berjanji pada Nuh untuk tidak
menimpakan lagi banjir bah kepada penduduk bumi.
Sebagai pengingat
akan janji itu, Allah memberikan tanda kepada Nuh berupa pelangi di awan, yang
menurut riwayat Ibnu Abbas sebagai jaminan aman dari banjir bah. Sebagian menyatakan,
ini mengisyaratkan bahwa pelangi adalah busur panah tanpa senar. Intinya, awan
tempat pelangi berada tidak akan mendatangkan banjir lagi seperti yang pernah
terjadi.
Sekelompok orang
bodah dari Persia dan India mengingkari adanya banjir bah ini, sementara sebagian
lainnya mengakui. Mereka berkata, “Banjir tersebut hanya menimpa bumi Babilonia
dan tidak sampai ke tempat kami.” Mereka juga mengatakan, “Kami mewarisi
kerajaan secara turun temurun, dari seorang pembesar ke pembesar berikutnya,
sejak Komores (maksudnya Adam) hingga saat ini.”
Pernyataan ini
diungkapkan kaum Majusi penyembah api dan para pengikut setan. Pernyataan ini
tidak lain hanya sophisme, pengingkaran dan kebodohan luar biasa, penentangan
terhadap hal-hal nyata, dan pendustaan terhadap Rabb bumi dan langit.
Seluruh
pemeluk agama yang menukil riwayat dari para utusan Allah, di samping
riwayat-riwayat mutawatir sebagian besar orang sepanjang zaman sepakat menyebut
terjadinya banjir ini. Banjir ini merata di seluruh permukaan bumi, dan Allah
tidak menyisakan seorang kafir pun, sebagai jawaban atas do’a nabi-Nya yang
dikuatkan dengan pertolongan dan terjaga dari kesalahan serta dosa, di samping
sebagai perwujudan dari takdir yang telah ditetapkan sebelumnya.
SEKELUMIT
KABAR TENTANG PRIBADI NUH AS
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya,
dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS.
Al-Isra: 3) diriwayatkan, Nuh senantiasa memuji Allah atas nikmat makanan,
minuman, pakaian, dan segala sesuatunya.
Imam Ahmad
menuturkan, “Abu Usamah bercerita kepada kami, Zakarariya bin Abu Zaidah Tsanaa,
dari Sa’id bin Abu Burdah, dari Anas bin Malik, ia menuturkan, ‘Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Sungguh, Allah ridha terhadap seorang
hamba yang memakan suatu makanan lalu memuji Allah atas makanan itu, atau
meminum suatu minuman lalu memuji Allah atas minuman itu’.”
Hadits yang
sama juga diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari hadits Abu
Usamah.
Secara lahir,
syukur itulah yang menggerakkan amalan hati, lisan dan perbuatan, karena syukur
harus diungkapkan secara lahir dan batin, seperti pujangga katakan:
“Tiga
hal sebagai ungkapan rasa syukurku pada-Mu. Tangan, lisan dan hati yang tiada
terlihat.”
PUASA NABI NUH
Ibnu Majah
menyebutkan; bab puasa Nuh AS; Sahal bin Abu Sahal bercerita kepada kami, Sa’id
bin Abu Maryam bercerita kepada kami, dari Ibnu Lahi’ah, dari Ja’far bin Rabi’ah,
dari Abu Firas, ia mendengar Abdullah bin Amr mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Nuh berpuasa sepanjang tahun, kecuali
pada hari Idul Fitri dan Idul Adha’.”
Seperti itu
juga yang diriwayatkan Ibnu Majah dari jalur Abdullah bin Lahi’ah dengan sanad dan
bentuk matannya. (HR. Ibnu Majah).
Thabrani
menuturkan, “Abu Zanba’ Rauh bin Faraj bercerita kepada kami, Umar bin Khalid
Al-Harani bercerita kepada kami, Ibnu Lahi’ah bercerita kepada kami, dari Abu
Qatadah, dari Yazid, dari Rabbah bin Abu Faras, ia mendengar Abdullah bin Umar
mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam bersabda, ‘Nuh berpuasa sepanjang tahun, kecuali pada hari Idul Fitri dan
Idul Adha. Dawud berpuasa separuh tahun. Dan Ibrahim berpuasa tiga hari setiap
bulan, ia berpuasa sepanjang tahun dan berbuka sepanjang tahun’.”.
IBADAH HAJI
NUH AS
Al-Hafizh
Abu Ya’la menuturkan, “Sufyan bin Waki’ bercerita kepada kami, ayahku bercerita
kepada kami, dari Zam’ah bin Abu Shalih dari Salamah bin Dahran, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, ia menuturkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam pergi untuk menunaikan ibadah haji, saat tiba di lembah Usfan, beliau
bertanya, ‘Hai Abu Bakar! Lembah apa ini?’ ‘Lembah Usfan,’ Jawab Abu Bakar.
(Usfan adalah sebuah lembah terletak di antara Mekkah dan Madinah. [Mu’jam
Buldan, III/121]).
Beliau
kemudian bersabda, ‘Sungguh, lembah ini pernah dilalui Nuh, Hud, dan Ibrahim
dengan mengendarai unta jantan milik mereka, tali kekang mereka sabut, sarung
mereka mantel dan pakaian mereka adalah kain bergaris (putih hitam), mereka
berkunjung ke Baitul Atiq (untuk menunaikan ibadah haji)’. (HR. Ahmad dalam
Musnad-nya (I/232)) Hadits ini gharib.
ARTIKEL TERKAIT:
EmoticonEmoticon