KISAH NABI NUH AS

Januari 18, 2017
Nabi Nuh ‘alayhissalam tinggal bersama kaumnya selama 950 tahun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَلَبِثَ فِيهِمۡ أَلۡفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمۡسِينَ عَامٗا فَأَخَذَهُمُ ٱلطُّوفَانُ وَهُمۡ ظَٰلِمُونَ ١٤
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim” (QS. Al-‘Ankabut: 14)

Setiap kali satu generasi berlalu, mereka berpesan kepada generasi berikutnya agar tidak beriman kepada Nuh, harus memerangi dan menentangnya. Ketika anak-anak sudah mulai baligh dan mengerti kata-kata orang tua, mereka sepakat untuk tidak beriman kepada Nuh sepanjang hidup.

Tabiat dan watak mereka enggan untuk beriman dan mengikuti kebenaran. Karena itu Nuh berkata, “Dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.” (QS. Nuh: 27)

Kecuali hanya segelintir orang yang mau beriman kepada Nuh. Allah berfirman, “Dan diwahyukan kepada Nuh, ‘Ketahuilah tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang benar-benar beriman (saja), karena itu janganlah engkau bersedih hati tentang apa yang mereka perbuat.” (QS. Hud: 36)
Firman ini merupakan hiburan bagi Nuh atas perilaku kaumnya. Tidak akan ada yang beriman di antara mereka, selain orang-orang yang telah beriman. Yaitu, jangan sampai situasi yang terjadi membuatmu sedih, karena pertolongan Allah sudah dekat waktunya, dan berita luar biasa akan segera terjadi.

DO’A NABI NUH UNTUK KAUMNYA
“Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engaku bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya, mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Hud: 37)

Setelah putus asa dan mengharapkan kebaikan dan keberuntungan kaumnya, melihat sama sekali tidak ada kebaikan dalam diri mereka, menyakiti, menentang, dan mendustakannya dengan segala cara, baik dengan tindakan maupun tutur kata, akhirnya Nuh memanjatkan do’a karena marah. Allah memperkenankan dan mengabulkan do’anya. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya, Nuh telah berdo’a kepada Kami, maka sungguh, Kamilah sebaik-baik yang memperkenankan do’a. Kami telah menyelamatkan dia dan pengikutnya dari bencana yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 75-76). “Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu, ketika dia berdo’a. Kami perkenankan (do’a)nya, lalu Kami selamatkan dia bersama pengikutnya dari bencana yang besar.” (QS. Al-Anbiya: 76). Lihat do’a-do’a Nabi Nuh untuk kaumnya yang zhalim: dalam QS. Asy-Syu’ara: 117-118, QS. Al-Qamar: 10, QS. Al-Mukminun: 26.
“Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong selain Allah. Dan Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya, jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.” (QS. Nuh: 25-27)

PERINTAH UNTUK MEMBANGUN SEBUAH BAHTERA
Kesalahan-kesalahan berupa pengingakaran, kekejian, dan do’a keburukan Nabi Nuh menumpuk menjad satu pada mereka. Saat itulah, Allah memerintahkan Nuh untuk membuat kapal besar yang belum pernah ada sebelumnya, juga tidak akan ada kapal sebesar itu sesudahnya.

“Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya,” mencemooh Nuh dan menganggap ancaman yang ia sampaikan pada mereka mustahil terjadi. “Dia (Nuh) berkata, ‘Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami)’,” yaitu kamilah yang akan mengejek kalian dan merasa heran pada kalian, karena terus saja kalian mengingkari dan menentang dengan semena-mena, yang akan membuat kalian tertimpa siksa. “Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa adzab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa adzab yang kekal.”

Ingkar, keras, dan membangkang adalah watak yang melekat pada diri mereka di dunia. Bahkan di akhirat pun mereka tetap mengingkari kalau mereka pernah didatangi seorang rasul. Sebagaimana disampaikan Imam Bukhari, “Musa bin Isma’il bercerita kepada kami, Abdul Wahid bin Zanad bercerita kepada kami, A’masy bercerita kepada kami, dari Abu Shalih, dari Abu Sa’id mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Nuh dan umatnya datang (pada hari Kiamat), lalu Allah ‘Azza wa Jalla bertanya, ‘Apakah kau sudah menyampaikan (risalah)?’ ‘Sudah ya Rabb,’ Jawabnya. Allah kemudian bertanya kepada umatnya, ‘Apakah ia (Nuh) sudah menyampaikan (risalah) kepada kalian?’ Mereka manjawab, ‘Tidak, tak seorang nabi pun datang kepada kami.’ Allah bertanyak kepada Nuh, ‘Siapa yang akan menjadi saksi untukmu?’ ‘Muhammad dan umatnya,’ Jawab Nuh. Muhammad dan umatnya kemudian bersaksi bahwa Nuh telah menyampaikan (risalah).” (HR. Bukhari). Itulah maksud firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu’.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Seperti itu kondisi para rasul, bahkan Nuh juga mengingatkan umatnya akan bahaya fitnah Al-Masih Dajjal meski Dajjal dipastikan tidak akan muncul pada zaman mereka, tetapi Nuh sampaikan sebagai peringatan, wujud kasih sayang dan rahmat untuk mereka.

Seperti yang disampaikan Imam Bukhari; Abdan bercerita kepada kami, Abdullah bercerita kepada kami, dari Yunus, dari Zuhri, Salim berkata, “Ibnu umar berkata, ‘Raslullah shallallahu ‘alayhi wa sallam suatu ketika berdiri menyampaikan khotbah, beliau memanjatkan pujian sepatutnya untuk Allah, setelah itu beliau menyebut tentang Dajjal, beliau menyampaikan, ‘Sungguh, aku mengingatkan kalian (pada bahaya fitnah)nya. Setiap nabi selalu mengingatkan kaumnya (akan bahaya fitnah) Dajjal. Nuh telah mengingatkan kaumnya (akan bahaya fitnah) Dajjal. Namun akan aku sampaikan sesuatu pada kalian yang belum pernah disampaikan seorang nabi pun pada kaumnya, ‘Kalian tahu bahwa dia (Dajjal) buta sebelah mata, sedangkan Allah tidak buta sebelah mata’.” (Kitab Shahih, kitab: Fitnah-fitnah, bab: Riwayat tentang Dajjal).

Sebagian ulama salaf menyatakan, “Saat Allah mengabulkan do’a Nuh, Allah memerintahkannya untuk menanam pepohonan sebagai bahan dasar pembuatan kapal. Nuh kemudian menanam pepohonan dan menantikan selama seratus tahun, setelah itu ia potong-potong dan ia jadikan kapal selama seratus tahun berikutnya. Sumber lain menyebutkan 40 tahun. Wallahu a’lam.

Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Tsauri, “Kapal Nuh terbuat dari kayu Jati. Sumber lain menyebutkan kayu cemara, dan inilah yang tertulis dalam kitab Taurat.”

Tsauri mengatakan, “Allah memerintahkan Nuh untuk membuat kapal sepanjang 80 hasta, bagian luar dan dalamnya dicat dengan ter, dan memasang haluan berbentuk cekung yang membelah air.”

Qatadah mengatakan, “Panjang kapal Nuh 300 hasta dengan lebar 50 hasta.” Data ini setahu saya tertera dalam kitab Taurat. Hasan Al-Bashri mengatakan, “Panjangnya 600 hasta dengan lebar 300 hasta.” Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, “Panjangnya 1200 hasta dengan lebar 600 hasta.” Pendapat lain menyebutkan panjangnya 2000 hasta dengan lebar 1000 hasta.

Mereka semua menyatakan tinggi kapal mencapai 30 hasta, terdiri dari tiga tingkat, setiap tingkatnya setinggi sepuluh hasta. Tingkat bawah untuk hewan dan binatang buas, bagian tengah untuk manusia, dan bagian atas untuk burung. Pintu-pintu terpasang sepanjang kapal. Pintu-pintu memiliki penutup dari bagian atas yang bisa menutupi celah pintu dengan rapat.

Allah berfirman: “Dia (Nuh) berdo’a, ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakan aku.’ Lalu Kami wahyukan kepadanya, ‘Buatlah kapal di bawah pengawasan dan petunjuk Kami’.” (QS. Al-Mukminun: 26-27) Yaitu berdasarkan perintah dan pengawasan Kami untuk membuat kapal tersebut. Kami akan terus mengawasi untuk mengarahkan cara yang benar dalam membuatnya.

“Maka apabila perintah Kami datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam (kapal) itu berpasangan dari setiap jenis, juga keluargamu, kecuali orang yang lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa siksaan) di antara mereka. Dan janganlah engkau bicarakan dengan-Ku tentang orang-orang zhalim, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Al-Mukminun: 27)

Ayat di atas, Allah memerintahkan Nuh saat putusan dan siksa-Nya menimpa, untuk memuat semua hewan berpsangan (jantan dan betina), apa pun makanan yang bernyawa sebagai penopang kehidupan agar semua hewan bisa berketurunan, mengangkut keluarganya selain mereka yang telah ditetapkan terkena siksa, yaitu keluarganya yang kafir, karena do’a Nuh yang tak tertolak juga menimpanya. Allah juga memerintahkan Nuh untuk tidak berbicara kepada Allah terkait kaumnya kala ia menyaksikan langsung siksa besar yang menimpa mereka, sebuah ketentuan yang telah dipastikan Allah untuk mereka, dan Allah Maha melakukan apa pun yang Ia kehendaki.

Tannur menurut jumhur maksudnya permukaan bumi, yaitu ketika seluruh penjuru bumi memancarkan air, hingga tungku-tungku yang biasa menjadi tempat api juga memancarkan air. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, tannur adalah sebuah mata air di India. Diriwayatkan dari Sya’bi, sebuah mata air di Kufah (Iraq). Diriwayatkan dari Qatadah, sebuah mata air di Jazirah.

Sebagian menyebutkan –berdasarkan riawayat dari Ibnu ‘Abbas, burung pertama yang masuk ke kapal adalah burung parkit, dan hewan terakhir yang masuk ke kapal adalah keledai. Iblis masuk dengan bergantungan pada ekor keledai.

Ulama berbeda pendapat terkait berapa jumlah orang yang ikut naik dalam kapal Nuh:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, mereka berjumlah 80 orang bersama para istrinya. Diriwayatkan dari Ka’ab Al-Ahbar, mereka berjumlah sembilan puluh dua orang. Pendapat lain menyebut sepuluh orang. Sumber lain menyebut hanya Nuh bersama tiga anaknya, dan Kan’an bersama Yam. Namun Kan’an memisahkan diri dan menyusup meninggalkan kapal dan tidak kembali lagi.   

Ibnu Jarir dan lainnya menyebutkan, banjir besar terjadi pada tanggal 13 bulan Ab menurut kalender kaum Qibthi.

Sekelompok mufassir (ahli tafsir) menyatakan, air menutupi puncak gunung tertinggi di bumi setinggi 15 hasta. Demikian penjelasan yang ada di kalangan Ahli Kitab. Sumber lain menyebut 80 hasta. Air menutup seluruh permukaan bumi, menutupi seluruh lembah dan bukit, menutupi pegunungan, ngarai dan pasir, tak satu pun makhluk hidup di bumi saat itu tersisa, entah yang kecil ataupun yang besar.

Imam Malik meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, ia mengatakan, “Penduduk bumi saat itu memenuhi dataran luas dan pegunungan.” Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, “Setiap wilayah di bumi saat itu sudah ada yang menguasai dan memiliki.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir". Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud: 42-43)

Anak Nuh ini adalah Yam, saudara Sam, Ham dan Yafits. Sumber lain menyebut Kan’an. Ia kafir dan melakukan perbuatan tidak baik. Menentang agama dan paham ayahnya, hingga akhirnya binasa bersama orang-orang kafir lain, di saat orang-orang lain yang tidak memiliki ikatan darah justru selamat bersama ayahnya, karena mereka menganut agama dan paham sang ayah.

“Dan difirmankan, “Wahai bumi! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan)! Berhentilah!’ Dan air pun disurutkan, dan perintah pun diselesaikan dan kapal itu pun berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan, ‘Binasalah orang-orang zhalim’.” (QS. Hud: 44)

Setelah menenggelamkan seluruh penduduk bumi tanpa menyisakan seorang pun yang menyembah selain Allah ‘Azza wa Jalla, Allah memerintahkan bumi untuk menelan air dan memerintahkan langit untuk menghentikan hujan. “Dan air pun disurutkan,” yaitu menyusut setelah sebelumnya meluap, “Dan dikatakan, ‘Binasalah orang-orang zhalim.”.

“Dan perintah pun diselesaikan,” yaitu siksaan yang telah ditetapkan dalam ilmu dan kuasa Allah sebelumnya yang menimpa mereka itu.

“Dan dikatakan, ‘Binasalah orang-orang zhalim’,” yaitu diserukan kepada mereka melalui lisan kuasa ilahi, “Jauh sekali mereka dari rahmat dan ampunan.”

Beberapa ayat yang berbicara tentang kisah Nuh AS:
QS. Al-A’raf: 64, QS. Yunus: 73, QS. Al-Anbiya: 77, QS. Asy-Syu’ara: 110-121, 66, QS. Al-Qamar: 15-17, QS. Nuh: 25-27. Dan ayat-ayat lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Nuh tinggal di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang 50 tahun, menanam pohon selama seratus tahun. Pepohonan kemudian tumbuh besar dan bertebaran di mana-mana, setelah itu Nuh memotong-motong (kayunya) lalu membuat kapal. Setiap kali kaumnya melintas, mereka mencemoohnya, mereka mengatakan, ‘Kau membuat kapal di darat? Bagaimana bisa berlabuh?’ Nuh menjawab, ‘Kelak kalian pasti tahu.’

Seusai membuat kapal, air memancar dan memenuhi jalanan, seorang ibu mengkhawatirkan keselamatan anaknya, ia begitu mencintainya. Si ibu keluar membawanya ke gunung hingga sampai ke tengah-tengahnya. Saat air mencapai tenggorokan, ia mengangkat anak dengan kedua tangannya, keduanya kemudian tenggelam. Andai Allah merahmati seseorang di antara mereka, tentu ia merahmati ibu anak tersebut’.” (Hadits ini gharib. Kisah serupa juga diriwayatkan dari Ka’ab Al-Ahbar, Mujahid dan lainnya. Hadits ini lebih tepatnya mauquf (sanadnya hanya sampai sahabat saja), dan bersumber dari Ka’ab Al-Ahbar. Wallahu a’lam

NABI NUH DAN PARA PENGIKUTNYA SELAMAT DARI ADZAB ALLAH
Disebutkan dalam riwayat Ahli Kitab, Allah berfirman kepada Nuh, “Keluarlah dari kapal, keluarkan pula istri, anak-anakmu, supaya semuanya berkembang dan menjadi banyak di bumi.” Mereka semua keluar, kemudian Nuh mendirikan tempat penyembelihan hewan kurban untuk Allah ‘Azza wa Jalla, lalu mengambil sebagian dari seluruh hewan dan burung yang halal, lalu ia sembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Allah kemudian berjanji pada Nuh untuk tidak menimpakan lagi banjir bah kepada penduduk bumi.

Sebagai pengingat akan janji itu, Allah memberikan tanda kepada Nuh berupa pelangi di awan, yang menurut riwayat Ibnu Abbas sebagai jaminan aman dari banjir bah. Sebagian menyatakan, ini mengisyaratkan bahwa pelangi adalah busur panah tanpa senar. Intinya, awan tempat pelangi berada tidak akan mendatangkan banjir lagi seperti yang pernah terjadi.

Sekelompok orang bodah dari Persia dan India mengingkari adanya banjir bah ini, sementara sebagian lainnya mengakui. Mereka berkata, “Banjir tersebut hanya menimpa bumi Babilonia dan tidak sampai ke tempat kami.” Mereka juga mengatakan, “Kami mewarisi kerajaan secara turun temurun, dari seorang pembesar ke pembesar berikutnya, sejak Komores (maksudnya Adam) hingga saat ini.”

Pernyataan ini diungkapkan kaum Majusi penyembah api dan para pengikut setan. Pernyataan ini tidak lain hanya sophisme, pengingkaran dan kebodohan luar biasa, penentangan terhadap hal-hal nyata, dan pendustaan terhadap Rabb bumi dan langit.

Seluruh pemeluk agama yang menukil riwayat dari para utusan Allah, di samping riwayat-riwayat mutawatir sebagian besar orang sepanjang zaman sepakat menyebut terjadinya banjir ini. Banjir ini merata di seluruh permukaan bumi, dan Allah tidak menyisakan seorang kafir pun, sebagai jawaban atas do’a nabi-Nya yang dikuatkan dengan pertolongan dan terjaga dari kesalahan serta dosa, di samping sebagai perwujudan dari takdir yang telah ditetapkan sebelumnya.

SEKELUMIT KABAR TENTANG PRIBADI NUH AS
 Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya, dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra: 3) diriwayatkan, Nuh senantiasa memuji Allah atas nikmat makanan, minuman, pakaian, dan segala sesuatunya.

Imam Ahmad menuturkan, “Abu Usamah bercerita kepada kami, Zakarariya bin Abu Zaidah Tsanaa, dari Sa’id bin Abu Burdah, dari Anas bin Malik, ia menuturkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Sungguh, Allah ridha terhadap seorang hamba yang memakan suatu makanan lalu memuji Allah atas makanan itu, atau meminum suatu minuman lalu memuji Allah atas minuman itu’.”

Hadits yang sama juga diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari hadits Abu Usamah.

Secara lahir, syukur itulah yang menggerakkan amalan hati, lisan dan perbuatan, karena syukur harus diungkapkan secara lahir dan batin, seperti pujangga katakan:
“Tiga hal sebagai ungkapan rasa syukurku pada-Mu. Tangan, lisan dan hati yang tiada terlihat.”

 PUASA NABI NUH
Ibnu Majah menyebutkan; bab puasa Nuh AS; Sahal bin Abu Sahal bercerita kepada kami, Sa’id bin Abu Maryam bercerita kepada kami, dari Ibnu Lahi’ah, dari Ja’far bin Rabi’ah, dari Abu Firas, ia mendengar Abdullah bin Amr mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Nuh berpuasa sepanjang tahun, kecuali pada hari Idul Fitri dan Idul Adha’.”

Seperti itu juga yang diriwayatkan Ibnu Majah dari jalur Abdullah bin Lahi’ah dengan sanad dan bentuk matannya. (HR. Ibnu Majah).

Thabrani menuturkan, “Abu Zanba’ Rauh bin Faraj bercerita kepada kami, Umar bin Khalid Al-Harani bercerita kepada kami, Ibnu Lahi’ah bercerita kepada kami, dari Abu Qatadah, dari Yazid, dari Rabbah bin Abu Faras, ia mendengar Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Nuh berpuasa sepanjang tahun, kecuali pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Dawud berpuasa separuh tahun. Dan Ibrahim berpuasa tiga hari setiap bulan, ia berpuasa sepanjang tahun dan berbuka sepanjang tahun’.”.

IBADAH HAJI NUH AS
Al-Hafizh Abu Ya’la menuturkan, “Sufyan bin Waki’ bercerita kepada kami, ayahku bercerita kepada kami, dari Zam’ah bin Abu Shalih dari Salamah bin Dahran, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, ia menuturkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pergi untuk menunaikan ibadah haji, saat tiba di lembah Usfan, beliau bertanya, ‘Hai Abu Bakar! Lembah apa ini?’ ‘Lembah Usfan,’ Jawab Abu Bakar. (Usfan adalah sebuah lembah terletak di antara Mekkah dan Madinah. [Mu’jam Buldan, III/121]).

Beliau kemudian bersabda, ‘Sungguh, lembah ini pernah dilalui Nuh, Hud, dan Ibrahim dengan mengendarai unta jantan milik mereka, tali kekang mereka sabut, sarung mereka mantel dan pakaian mereka adalah kain bergaris (putih hitam), mereka berkunjung ke Baitul Atiq (untuk menunaikan ibadah haji)’. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (I/232)) Hadits ini gharib.

[[ Sember: Kitab Qashshul Anbiya (Kisah-kisah Para Nabi, Ibnu Katsir. Penerbit Umul Qura]]

ARTIKEL TERKAIT:

Artikel Terkait

Previous
Next Post »