Sebagai makhluk sosial, manusia
membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Begitu juga para pemuda, mereka
membutuhkan teman dalam menjalani masa mudanya. Satu sama lain saling
membutuhkan dan saling melengkapi karena memang begitulah manusia tak mungkin
hidup menyendiri di muka bumi ini. Meskipun demikian, bukan berarti kita bebas
bergaul dan menjalin kedekatan dengan sembarang orang. Sebagai seorang muslim,
kita dituntut selektif dalam memilih teman bergaul. Sebab, teman akrab akan
sangat mempengaruhi akhlak dan kepribadian seseorang. Hal ini sebagaimana sabda
Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam
الرَّجُلُ عَلَى
دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu
tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah seorang dari kalian
hendaknya memperhatikan siapa yang akan dia jadikan teman.” (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi)
Seorang muslim dengan muslim yang
lainnya terikat oleh satu ikatan yang sangat kokoh, yaitu ikatan ukhuwah
(persaudaraan) dalam agama. Di atas persaudaraan inilah seorang pemuda muslim
hendaknya membangun rasa solidaritas terhadap sesamanya. Alloh subhanahu wa
ta’ala berfirman:
إِنَّمَا
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ … ١٠
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara…” (QS. Al
Hujurot: 10). Yaitu semua orang yang beriman adalah bersaudara dalam agama
sebagaimana yang disabdakan oleh Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam:
المُسْلِمُ
أَخُو المُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ
“Orang muslim adalah saudara orang muslim
(lainnya), tidak menzhaliminya dan tidak pula membiarkannya dizhalimi.” (HR.
Bukhari)
Rosululloh shallallahu ‘alayhi
wa sallam mengumpamakan
rasa solidaritas antar sesama muslim bagaikan satu tubuh yang apabila salah
satu anggota tubuh mengalami sakit, maka seluruh tubuhnya akan merasakan sakit
yang sama. Beginilah hendaknya seorang pemuda muslim dengan saudara muslim yang
lainnya senantiasa membangun rasa solidaritas yang tinggi. Rosululloh shallallahu ‘alayhi
wa sallam bersabda:
مَثَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَوَاصُلِهِمْ كَمَثَلِ
الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam
cinta-mencintai, kasih-mengasihi dan sayang menyayangi adalah seperti satu
tubuh, apabila ada salah satu anggotanya merasa sakit, maka seluruh tubuhnya
juga akan merasakan rasa sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR.
Muslim)
Perasaan setia kawan tersebut akan
mendatangkan banyak kebaikan bagi pelakunya dan bagi saudaranya. Seseorang yang
berbuat baik kepada temannya akan mendapatkan pahala atas perbuatan baiknya,
sedangkan orang yang mendapat perlakuan baik darinya akan mendapat manfaat yang
dapat dirasakannya. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَمَن
يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ ٧
“Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya” (QS. Az-Zalzalah: 7)
Solidaritas antar sesama adalah
salah satu prinsip utama dalam Islam. Alloh subhanahu wa ta’ala
menghendaki hamba-hamba-Nya untuk saling setia kawan, tolong menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
…وَتَعَاوَنُواْ
عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ … ٢
“..Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa..” (QS.
Al-Maidah: 2)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat tersebut berkata; Alloh
subhanahu wa ta’ala memerintahkan para hamba-Nya yang beriman agar
saling tolong menolong dalam melakukan berbagai kebajikan. Dan itulah yang
dimaksud dengan kata al-birr (kebaktian). Dan tolong menolonglah kalian
dalam meninggalkan berbagai kemungkaran. Dan inilah yang dimaksud dengan takwa
(dalam arti sempit, yakni menjaga untuk tidak melakukan kemungkaran).
Solidaritas antar sesama jauh-jauh
hari telah dicontohkan oleh generasi terbaik dari ummat ini, yaitu para
shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum. Mereka adalah kaum terbaik dalam
membangun rasa solidaritas terhadap sesama dan tak akan pernah ada yang mampu
menandinginya. Kisah-kisah menakjubkan tentang mereka telah tercatat dalam
tinta emas sejarah yang tak akan luntur oleh rentanya zaman. Kebaikan-kebaikan
mereka terhadap sesamanya menjadi teladan bagi generasi setelahnya. Bukankah
kita senantiasa mendengar tentang rasa setia kawan mereka terhadap saudaranya
yang lain? Bukankah kisah mereka dalam mendahulukan temannya masih terngiang di
telinga kita dan terbayang di mata-mata kita? Dalam keadaan terluka parah
bersimbah darah di medan jihad ‘Ikrimah radhiyallahu ‘anhu menolak diberi minum karena mendahulukan
saudaranya yang juga membutuhkannya, begitu juga orang kedua lebih mendahulukan
saudaranya, menolak diberi minum dan memberikan kepada orang ketiga dan
seterusnya sampai akhirnya ia meninggal karena kehausan. Alloh subhanahu wa
ta’ala pun mengabadikan rasa solidaritas mereka di dalam firman-Nya:
…وَيُؤۡثِرُونَ
عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ… ٩
“…Dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka dalam kesusahan…” (QS. Al-Hasyr: 9)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dari
Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, ia
menceritakan bahwa seseorang mendatangi Rosululloh shallallahu ‘alayhi
wa sallam seraya berkata,
“Wahai Rosululloh, saya tertimpa kesulitan.” Maka beliau pun mengutus seseorang
kepada isterinya. Ketika tidak mendapatkan apa-apa, maka Rosululloh shallallahu ‘alayhi
wa sallam bersabda: “Ketahuilah, siapa yang bersedia
menjamunya malam ini, maka Alloh akan memberikan rahmat kepadanya?”
Seorang laki-laki dari Anshor
bangkit dan berkata, “Saya, ya Rosululloh.” Dia pun pergi memberitahu
keluarganya dan berkata kepada istirnya, “Dia adalah tamu Rosululloh, jadi
jangan menyembunyikan makanan apapun.” Sang istri berkata, “Demi Alloh, kita
hanya punya makanan untuk anak kita.” Sang suami berkata, “Apa bila anak kita
ingin makan malam, maka tidurkanlah dia. Kemarilah kamu, matikanlah lampu dan
kita berpuasa malam ini.” Sang istri pun menurutinya. Keesokan harinya
laki-laki itu menghadap Rosululloh, maka beliau bersabda:
لَقَدْ عَجَبَ اللهُ عزوجل –أَوْ
ضَحِكَ- مِنْ فُلَانٍ وَ فُلَانَةٍ
“Sungguh
Alloh telah takjub – atau tertawa – (rawi ragu antara dua kata tersebut) dengan
fulan dan fulanah.” (HR. Bukhari) Yakni Alloh subhanahu wa ta’ala takjub
terhadap dua orang suami dan istri tersebut yang telah menunjukkan rasa
solidaritas yang sangat tinggi kepada saudaranya seiman.
Para pemuda muslim pun selayaknya
meneladani mereka dalam memupuk rasa solidaritas terhadap sesama. Dalam sikap
solidaritas terhadap sesama, ada beberapa manfaat besar yang akan diperoleh.
EmoticonEmoticon