A. Hak-hak
Suami Terhadap Istri
Landasan
pokok hak-hak ini adalah firman Allah Subahanu wa Ta’ala :
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ
عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ
أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ
لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ
أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا
كَبِيرٗا ٣٤
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa: 34)
Hak suami
terhadap istri sangatlah besar, sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam;
حَقُّ الزَّوْجِ
عَلَى زَوْجَتِهِ، أَنْ لَوْ كَانَ بِهِ قَرْحَةٌ فَلَسَحَتْهُ مَا أَدَّتْ
حَقَّهُ
“Hak
suami terhadap istrinya adalah seandainya mempunyai luka lalu sang istri
menjilatinya, maka ia belum menunaikan haknya.” (HR. Ahmad [XVI/227, no. 247])
لَوْ كُنْتُ آمِرًا
أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْتَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya
aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain,
tentu aku telah perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya.” (HR.
At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi)
Ketaatan istri
kepada suaminya termasuk faktor yang menyebabkannya masuk Surga. Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda;
إِذَا صَلَّتِ
الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ
زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: أُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ
“Bila
seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, memelihara kemaluannya dan mematuhi suaminya, maka
dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.’” (HR. Ibnu
Hibban)
Jika
demikian halnya, maka sudah sepatutnya wanita yang beriman mengetahui hak-hak
suaminya terhadap dirinya, di antaranya:
1. Mematuhi
apa yang ia perintahkan kepadanya
Diriwayatkan
dari Husain bin Muhshin radhiyallahu ‘anhu, dari bibinya, ia berkata:
“Aku menemui
Rasulullah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bertanya, ‘Apa
engkau sudah bersuami?’ Aku jawab, ‘Ya’. Nabi bertanya lagi, ‘Bagaimana sikapmu
terhadapnya?’ Aku tidak meninggalkannya kecuali apa yang aku tidak mampu
memenuhinya.’ Beliau berkata lagi:
فَكَيْفَ أَنْتِ
لَهُ، فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apa
pun sikapmu terhadapnya, maka sesungguhnya ia adalah (penyebab) surga dan
nerakamu.” (HR. An-Nasa’i, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ahmad)
Ketika Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam ditanya tentang sebaik-baik wanita, beliau menjawab:
الَّتِي تُطِيْعُهُ
إِذَا أَمَرَ، وَتَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ ، وَتَجْفَظُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“(Yaitu)
wanita yang mematuhi (suami)nya bila ia menyuruhnya, menyenangkannya bila ia
memandangnya, dan memeliharanya berkenaan dengan (kehormatan) dirinya dan harta
suaminya.” (HR. Nasa’i)
Catatan:
Ketaatan
istri terhadap suaminya tidak bersifat mutlak, tapi disyaratkan selama ketaatan
itu tidak mengandung maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jadi, jika
suami menyuruhnya untuk melakukan satu kemaksiatan, semisal menyuruhnya untuk
menanggalkan hijabnya, meninggalkan shalat, menggaulinya pada saat haid atau
pada bagian duburnya, maka istri tidak boleh mematuhinya. Karena Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam telah bersabda:
لَا طَاعَةَ فِيْ
مِعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak
ada ketaatan dalam kemaksiatan (terhadap Allah), karena ketaatan itu hanyalah
pada kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Tetap
tinggal di dalam rumah dan tidak keluar kecuali darinya kecuali dengan
seizinnya.
Allah Subhanhu
wa Ta’ala berfirman:
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ ... ٣٣
“Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah..” (QS. Al-Ahzab: 33)
Syaikhul
Islam rahimahullah mengatakan, “Tidak dihalalkan seorang istri keluar
dari rumahnya kecuali dengan seizin suaminya.. Jika ia keluar dari rumah suaminya
tanpa seizinnya, maka ia telah durhaka (nusyuz), bermaksiat kepada Allah
dan Rasul-Nya, serta berhak mendapatkan siksa.” (Majmu’ al-Fatawa
[32/281])
3.
Mematuhinya, bila ia mengajaknya ke tempat tidur.
Ketaatan kepada
suami merupakan kewajiban yang paling besar. Sebaliknya, kemaksiatan kepadanya termasuk
kemaksiatan yang paling besar pula.
Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam:
إِذَا دَعَا
الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ، لَعَنَتْهَا
الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika
suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu ia menolak, maka malaikat
melaknatnya hingga pagi hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani
rahimahullah berkata, “Makna zhahir hadits ini menunjukkan, penkhususan
laknat itu, jika (penolakan itu) terjadi pada malam hari, berdasarkan sabada
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ‘hingga pagi hari’.” Namun
pengkhususan laknat pada pagi hari hanya untuk menegaskan ancaman. Bukan berarti
istri boleh menolak pada siang harinya. Tapi dikhususkannya penyebutan pada
malam hari sebab pada waktu itu perbuatan ini sering terjadi.” (Nail
al-Authar, asy-Syaukani [6/630])
Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam :
وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا، فَتَأْبَى
عَلَيْهِ إِلَّا كَانَ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَ
عَنْهَا
“Demi
Allah, yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak
istrinya ke tempat tidur, lalu ia menolak, kecuali yang di langit murka hingga
suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim, no. 1436)
Thalq bin
Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
“Jika suami
mengajak istrinya untuk memenuhi hajatnya maka penuhilah ajakannya sekalipun ia
sedang berada di dapur.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, At-Tirmidzi, At-Thabarni,
an-Nasa’i dan Ibnu Hibban)
B. Hak-hak
Istri Terhadap Suami
Di antara
hak-hak istri terhadap suami adalah sebagai berikut:
1.
Mempergauli istri secara ma’ruf.
Maksudnya
bersikap baik, tidak menyakiti, tidak menunda-nunda haknya padahal mampu
memenuhinya, serta menampakkan kegembiraan dan keceriaan.
Landasan mengenai
hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
bergaullah dengan mereka secara patut.” (QS. An-Nisa: 19)
Dan sabda
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap kelaurganya, dan aku adalah yang
terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu
Hibban, hadits shahih)
2. Memberi
nafkah, pakaian dan tempat tinggal yang patut
Dari Muawiyyah
al-Qusyairi, ia menuturkan, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa hak istri
salah seorang dari kami terhadap suaminya?
Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمُهَا
إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَاتَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا
تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِيْ الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan bila engkau makan, memberinya pakaian bila engkau berpakaian,
tidak memukul pada wajah, tidak menjelek-jelekkannya, dan tidak mengucilkannya
kecuali di dalam rumahnya.’” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa’i)
EmoticonEmoticon