Arti dari
iftiroq atau perpecahan dalam konteks ini adalah meninggalkan garis lurus
sirotulmustaqim dan mengikuti garis-garis sesat yang banyak dan
bercabang-cabang.
Dengan kata
lain, iftiroq berarti memilih jalan-jalan lain (alternatif) dalam
memahami dan menerapkan Islam, selain dari jalan Rosululloh sholallohu ‘alayhi
wa sallam dan para sahabatnya.
Mereka “menolak”, baik sengaja ataupun tidak manhaj ittiba’, yaitu jalan
pengikutan kepada Rosululloh sholallohu ‘alayhi wa sallam.
B. Sebab-Sebab Penyimpangan.
Sebab utama dari
perpecahan tersebut adalah karena hawa nafsu dan kejahilan (kebodohan)
Pengikutan kepada hawa nafsu (terutama hawa nafsu berpendapat) dan kejahilan,
telah menimbulkan sebab-sebab perpecahan lainnya yang banyak sekali.
C. Sejarah Awal Perpecahan.
Firoq dollah
berarti golongan-golongan yang sesat, dalam arti salah memilih jalan dalam
menempuh Islam. Kesesatan bisa berarti bid’ah dan juga bisa berarti kekafiran.
Tetapi dalam
konteks ini, yang dimaksud dengan kesesatan adalah bid’ah, yaitu salah memilih
jalan dalam meniti Islam. Yang seharusnya mereka memilih jalan yang telah
ditempuh oleh Rosululloh sholallohu ‘alayhi wa sallam dan para sahabatnya, yaitu jalan Sunnah,
tetapi mereka malah memilih jalan lainnya yang tercampur padanya hal-hal yang
bukan berasal dari Sunnah Rosululloh sholallohu ‘alayhi wa sallam. Adapun
mereka yang sudah keluar dari Islam, maka walaupun mereka adalah
golongan-golongan sesat pada umumnya, tetapi mereka bukanlah orang-orang yang
dimaksud dalam pembahasan ini. Seperti yang dikabarkan oleh Rosululloh dalam hadits-hadits yang lalu, bahwa firqoh
dollah tersebut akan bermunculan sampai bilangannya mencapai 72 (tujuh puluh
dua) golongan.
Begitulah yang
mulai terjadi pada masa-masa terakhir khulafa’urrosyidin (empat kholifah yang
mendapat petunjuk). Walaupun bibit-bibit furqoh (perpecahan) dan firoq (kelompok-kelompok)
sudah mulai bersemi sebelum kekhilafahan ‘Ali bin Abi Tolib rodhiyallohu ‘anhu, akan tetapi munculnya golongan sesat pertama
yang mengkristal sebagai sebuah kelompok, baru terjadi pada zaman kekhilafahan
beliau. ‘Ali bin Abi Tolib rodhiyallohu ‘anhu diangkat menjadi kholifah setelah terbunuhnya
kholifah ‘Utsman bin ‘Affan rodhiyallohu ‘anhu di tangan segerombolan ahlul fitnah pada
tahun 35 H. Ketika itu terjadilah perselisihan pendapat tentang cara
penyelesaian bagi kasus pembunuhan tersebut, antara ‘Ali bin Abi Tolib rodhiyallohu
‘anhu sebagai kholifah dan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan rodhiyallohu ‘anhu, yang pada waktu itu menjabat sebagai
gubernur Syam (Syiria dan sekitarnya). Perselisihan tersebut bertambah runcing
hingga terjadi peperangan di antara kedua pihak. Manhaj Ahlus Sunnah dalam hal
perselisihan di antara para sahabat adalah tidak mencampuri apa-apa yang
terjadi di antara mereka, bahkan kita harus mendoakan kebaikan bagi mereka
semua.
Dalam suatu
pertempuran antara pendukung ‘Ali bin Abi Tolib rodhiyallohu ‘anhu dan
pendukung Mu’awiyah rodhiyallohu ‘anhu, terjadi suatu kesepakatan untuk
berunding menyelesaikan masalah tersebut dengan damai. Maka diangkatlah dari
setiap pihak seorang hakim untuk menerapkan hukum Alloh subhanahu wa ta’ala dalam menyelesaikan masalah yang pelik ini.
Di sinilah munculnya firqoh sesat pertama yang keluar dari jalan Sunnah dan
keluar dari Jama’ah kaum muslimin. Firqoh ini dinamakan Khowarij, yang berarti
orang-orang yang keluar. Mereka keluar dari Sunnah dan Jama’ah, tidak lagi
sebagai bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ketika mereka memahami masalah
yang ada dari dalil al-Qur’an tentangnya bukan dengan manhaj Ahlus Sunnah.
Mereka menyatakan bahwa dengan mengangkat seorang hakim, ‘Ali bin Abi Tolib rodhiyallohu
‘anhu telah memberi hak tasyri’
(membuat hukum) kepada makhluk, yang berarti suatu kesyirikan yang nyata. Maka
mulailah mereka mengkafirkan ‘Ali bin Abi Tolib
rodhiyallohu ‘anhu dan para sahabat pendukungnya. Pada hakikatnya
kedua hakim tersebut tidak diberi mandat untuk membuat suatu hukum, tetapi
hanya diangkat untuk menghakimi kedua pihak dengan hukum Alloh subhanahu wa
ta’ala. Sebenarnya masalah pengangkatan kedua hakim tersebut sangat
sederhana dan dapat dipahami dengan mudah. Oleh karena itu, selain karena
kebodohan yang nyata pada mayoritas mereka (kaum Khowarij pada waktu itu),
disinyalir pula ada niat buruk dari sebagian pemimpin mereka yang menggerakkan
keluarnya mereka dari jama’atul muslimin. Ketika mereka keluar dan berkumpul di
suatu tempat yang dikenal dengan nama Haruro (dari tempat ini pula mereka
dinamakan haruriyin), bertambah luaslah kesesatan mereka dengan adanya saling
isi-mengisi kesesatan di antara mereka. Setelah melalui waktu yang cukup
panjang dan dari kurun ke kurun, manhaj ini pun mulai berkembang dan mencakup
hampir seluruh segi agama.
Di antara
kesalahan yang termasyhur dari manhaj Khowarij adalah pengkafiran para pelaku
dosa besar. Sebagai reaksi dari kesalahan ini (paham Khowarij), muncullah
pemahaman yang menolak hubungan antara amal dan kekufuran. Manhaj ini dinamakan
manhaj irja’ (penganutnya dinamakan Murji’, pluralnya adalah Murji’ah), mereka
menyatakan bahwa iman seseorang tidak berkaitan dengan amal. Jadi bagaimanapun
buruknya perbuatan seseorang, orang itu tidak akan menjadi kafir selama di
dalam hatinya masih ada kepercayaan dan lisannya masih mengucapkan dua kalimat
syahadat. Kedua kelompok tadi enggan mengikuti manhaj sahabat yang pada waktu
itu banyak yang masih hidup, maka sesatlah mereka.
Pada waktu
bersamaan dengan munculnya Khowarij, benih-benih Syi’ah sebenarnya sudah ada.
Bahkan penggagas firqoh Syi’ah, ‘Abdulloh bin Saba’ seorang Yahudi yang
pura-pura masuk Islam, sudah bekerja di bawah tanah dengan gigih di masa
khilafah ‘Utsman bin ‘Affan rodhiyallohu
‘anhu. Yahudi inilah yang menjadi pemimpin gerakan pembunuhan terhadap
‘Utsman rodhiyallohu ‘anhu. Firqoh Syi’ah yang dicetuskan oleh ‘Abdulloh
bin Saba’ adalah firqoh sesat yang kesesatannya sampai pada taraf kesyirikan,
yaitu dengan menuhankan ‘Ali bin Abi Tolib
rodhiyallohu ‘anhu. Sedangkan firqoh-firqoh Syi’ah yang pada
akhirnya seakan-akan berkembang dengan merayap, pada mulanya hanya terbatas
pada sikap mengutamakan ‘Ali bin Abi Tolib rodhiyallohu ‘anhu atas Abu Bakar dan ‘Umar
rodhiyallohu ‘anhu. Hal ini bertentangan dengan manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan urutan afdoliyah (keutamaan) mereka sama
persis seperti urutan kekilafahan mereka. ‘Ali bin Abi Tolib rodhiyallohu ‘anhu
sendiri sebagai salah satu pelopor Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyetujui
tentang lebih diutamakannya beliau atas Abu Bakar dan ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu, bahkan beliau akan
menghukum cambuk orang-orang yang berpendirian demikian. Hingga batas pemahaman
seperti ini, Syi’ah pada waktu itu hanya sebagai suatu kelompok politik yang
mendukung kholifah ‘Ali bin Abi Tolib rodhiyallohu ‘anhu dan anak-anak keturunannya. Arti kata Syi’ah
sendiri adalah pendukung. Tetapi kesalahan pemahaman yang kelihatannya sepele
ini kemudian mulai mengembang sampai pada kesesatan yang sangat mengerikan
bahkan pada banyak kelompok-kelompok Syi’ah, ada yang sampai pada kekufuran
yang nyata sekali.
Kemudian
setelahnya, bermunculanlah firqoh-firqoh sesat lain yang menyandarkan manhaj
mereka kepada produk-produk akal mereka dan filsafat Yunani serta menjauhkan
diri dari manhaj sahabat yang mulia.
Di waktu yang
sama, sahabat dan para pengikut mereka yang setia, yaitu tabi’in dan
tabi’ut-tabi’in pun senantiasa gigih mendakwahkan manhaj Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Tidak ada satu pun dari sahabat yang masuk ke dalam salah satu
firqoh-firqoh tersebut. Istilah Ahlus Sunnah, pengikutan pada sunnah dan yang
semisalnya, sebelum itu pun sudah menjadi istilah resmi di antara para penuntut
ilmu. Tetapi tidak dimaksudkan sebagai firqoh tersendiri dalam tubuh kaum
muslimin, sebab seluruh kaum muslimin pada waktu itu adalah Ahlus Sunnah.
Tetapi ketika firqoh-firqoh yang meninggalkan manhaj Sunnah dan keluar dari
Jama’ah mulai bermunculan, maka salafussoleh pun memakai nama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah sebagai identitas resmi dan nama bagi firqotunnajiyah (golongan
selamat), golongan yang senantiasa komitmen dalam mengikuti jejak Rosululloh sholallohu
‘alayhi wa sallam dan para sahabatnya.
Sebab utama dari
penyimpangan firoq dôllah pada waktu itu sebenarnya berakar pada dua hal,
yaitu:
1. Tidak mengikuti metode sahabat dalam
memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Berpedoman kepada sumber-sumber lain
selain kepada al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah dalam mengambil hukum-hukum
Islam, seperti bersandar kepada akal, mimpi, filsafat dan lain-lainnya.
Kedua sebab
tersebut dilahirkan oleh hawa nafsu dan kejahilan (kebodohan), yang kemudian
bercabang menjadi sebab-sebab yang banyak.
2 komentar
Write komentarIZIN SHARE MATERI
ReplyAss wr wb
Mohon izin share , Ustadz.
Jazakallah khair
Wass wr wb
Silahkan..
ReplyWa iyyakum..
EmoticonEmoticon