Inilah Jawaban Kebimbangan Anda Mengenai Cara Shalat Witir

Juni 02, 2017

Tata Cara Shalat Witir Sesuai Sunnah

Witir dengan tiga rakaat memang ada banyak variasinya di kalangan para ulama. Setidaknya kita kenal ada tiga cara.

1. Cara Pertama
Shalat witir dikerjakan dua rakaat terlebih dahulu lalu disudahi dengan salam, kemudian dikerjakan satu rakaat lagi, sehingga menjadi tiga rakaat dengan dua salam. Cara ini oleh para ulama sering disebut dengan istilah fashl (dipisahkan).

Cara ini adalah pendapat hampir semua mazhab kecuali mazhab Al-Hanafiyah. Bahkan mazhab Al-Malikiyah memakruhkan shalat witir kecuali dengan tata cara seperti ini, kecuali bila seseorang terpaksa karena dia menjadi makmum.

Dalil atas cara seperti ini adalah hadits nabawi berikut ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ  أَنَّهُ قَال : كَانَ النَّبِيُّ  يَفْصِل بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمَةٍ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memisahkan antara rakaat yang genap dengan rakaat yang ganjil dengan salam. (HR. Ahmad)

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ  كَانَ يُسَلِّمُ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ
Bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu mengucapkan salam di antara dua rakaat, sehingga beliau memerintahkan beberapa kebutuhannya.

Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa ketika shalat witir dikerjakan dua rakaat terlebih dahulu dengan salam, maka dari segi niatnya haruslah disebutkan sebagai niat shalat sunnah dari witir (سنة الوتر) atau muqaddimah witir (مقدمة الوتر).

2. Cara Kedua
Shalat witir dikerjakan langsung tiga rakaat dengan satu salam, tanpa diselingi dengan salam di rakaat kedua. Cara ini disebut dengan washl (bersambung).

Cara ini didasarkan dari hadits berikut :
كَانَ وتِرُ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ إِلاَّ فِي آخِرِهَا

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah shalat witir dengan lima rakaat tanpa duduk tahiyat kecuali di bagian akhir. (HR. Muslim)

Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah membolehkan cara seperti ini, namun mazhab Al-Malikiyah memakruhkannya.

3. Cara Ketiga
Shalat witir dikerjakan langsung tiga rakaat dengan satu salam, tetapi di rakaat kedua duduk sejenak untuk melakukan duduk tasyahhud awal dan membaca do’anya.

Cara seperti ini nyaris mirip dengan shalat Maghrib, kecuali bedanya ketika di dalam rakaat ketiga tetap disunnahkan untuk membaca ayat Al-Quran setelah membaca surat Al-Fatihah.

Dasar dari pendapat ini adalah perkataan Abu Al-‘Aliyah :
عَلَّمَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ  أَنَّ الْوِتْرَ مِثْل صَلاَةِ الْمَغْرِبِ فَهَذَا وِتْرُ اللَّيْل وَهَذَا وِتْرُ النَّهَارِ
Para shahabat Nabi SAW mengajari kami bahwa shalat witir itu serupa dengan shalat Maghrib. Yang ini (shalat witir) adalah shalat witir malam dan yang itu (shalat Maghrib) adalah shalat witir siang.

Cara shalat witir seperti ini adalah yang menjadi pendapat dari mazhab Al-Hanafiyah.

Pendapat itu semua ada hadisnya, dan semua sifat-sifat yang digambarkan dalam hadits witir bersifat تخيير (pilihan) dalam arti boleh dipilih salah satunya karena perbedaan riwayat ini bersifat تنوع (beraneka ragam) bukan تضاد (berlawanan), seperti yang dikatakan Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid:

 وَالْحَقُّ فِي هَذَا : أَنَّ ظَاهِر هَذِهِ الأَحَادِيثِ يَقْتَضِي التَّخْيِيرِ فِي صِفَةِ الْوِتْرِ مِنَ الْوَاحِدَةِ إِلَى التِّسْعِ عَلَى مَا رُوِيَ ذَلِكَ مِنْ فِعْلِ رَسُولِ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم

Jadi yang benar yang mana ?
Manakah yang lebih rajih dari pendapat ini ?
Kok ngga ditarjih?

Semua pertanyaan di atas sering terdengar ketika memberikan penjelasan pendapat masing-masing madzhab fiqih tentang suatu masalah yang memang tidak lepas dari perbedaan pendapat. Yang bertanya seakan memaksa harus ada tarjiih dan tidak puas dengan apa yang dijelaskan oleh para imam madzhab yang memang punya kapasitas untuk itu.

Padahal sebenarnya kalau pertanyaan sekedar mana yang rajih dan kuat, tentu jawabannya yang benar adalah bahwa semua sudah rajih dan semua sudah kuat. Setidaknya, menurut madzhab masing-masing, pendapat mereka sudah rajih dan sudah kuat.

Akan tetapi jika pertanyaan berubah menjadi tuntutan untuk menjadi seorang murajjih (pelaku tarjih) yang me-rajih-kan satu pendapat dan me-marjuh­-kan pendapat lain, tentu akan lain ceritanya.

Masalah pertama adalah bahwa kita harus sadar diri, sebenarnya siapa sih kita ini?

Bukan apa-apa, tetapi yang kita tahu bahwa tarjih tidak boleh dilakukan oleh orang yang ilmunya pas-pasan. Sebab pada dasarnya proses tarjih tidak lain adalah berupa pemindaian beberapa pendapat dan mengeluarkan pendapat yang terkuat di antara lainnya, lalu mengamalkan pendapat yang telah dinilai tersebut. Yang tidak rajih (kuat) berarti itu marjuuh (tidak kuat).

Masalahnya, siapa lah kita ini dibandingkan dengan para fuqaha dan mujtahidin itu, sampai berani-beraninya mengatakan pendapat imam madzhab itu tidak kuat?

Sejak zaman Imam Al-Syafi’i sampai Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi, semua ulama paham dan mengerti bahwa salah satu rukun tarjih adalah murajjih, dan murajjih ialah yang mempunyai kapastisan malakah ilmiah  yang kuat dan mampu menentukan dengan keilmuannya mana yang unggul dan mana yang tidak unggul. Dan itu semua ada pada diri seorang mujtahid, bukan muqallid.

Dan pertanyaan sekarang ada ustadz-ustadz yang memaksakan pendapat dan menggangap sholat witir 2 - 1 pendapat keliru dengan segala versi tarjih mereka? Apakah mereka seorang mujtahid hanya karena ustadz tersebut kebetulan mudah diakses di internet atau terkenal di salah satu cannel TV, lulusan Madinah, dan bergelar Doktor pula, ataukah kenyataan mereka jauh dari syarat-syarat seorang mujtahid atau minimal Fuqohaa (ahli fiqih)?

Mungkin ada yang bertanya kemudian, jadi nantinya kalau perbedaan itu tidak ditarjih, apakah itu jadinya membingungkan?

Sejatinya, tidak adanya tarjih atau ada beberapa asatidz yang memang tidak mentarjih dan hanya memaparkan perbedaan pendapat itu bukan bermaksud untuk membingungkan apalagi membuat rancu.

Tapi mereka semua sadar diri bahwa mereka bukanlah seorang mujathid yang layak mentarjiih salah satu pendapat para imam madzhab yang derajat keilmuannya tentu jauh lebih tinggi.

Mereka, para asatidz itu hanya bertugas menyampaikan apa yang mereka dapat dari kitab-kitab turats, dan mengkonversikan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa yang bisa dipahami dan dimengerti oleh para pembaca.

Nah, sekarang tinggal memilih dari pendapat-pendapat tersebut, pendapat mana yang memang cocok dengan kita. Dan perlu dipahami lagi, sejatinya perbedaan yang ada itu bukan sesuatu yang berbahaya, maka tidak perlu takut dan ragu untuk mengambil salah satunya.


Dan sesama muqallid hendaklah menghormati dan saling menghargai pilihan masing-masing. Bukan memaksakan apalagi sampai menghina dan mengejek muqallid lain yang memilih fatwa dari mujathid yang berbeda dari pilihannya.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »