Beberapa Perkara Yang Tidak Membatalkan Wudhu

Januari 04, 2014

Ini adalah perkara-perkara yang diperselisihkan ulama tentang batalnya wudhu karenanya. Namun setelah diperiksa ternyata ini tidak membatalkan wudhu. Di antaranya adalah:

1.      Laki-laki Menyentuh Wanita Dengan Tanpa Alas
Dalam masalah ini ada tiga penadapat ulama:
a)      Laki-laki bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah penadapat Asy-Syafi’i dan diakui oleh Ibnu Hazm. Ini juga pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum.
b)      Tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah madzhab Abu Hanifah dan Muhammad bin Al-Hasan asy-Syaibani. Ini juga pendapat Ibnu Abbas, Thawus, Al-Hasan, ‘Atha, dan pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Inilah pendapat yang rajih.
c)      Menyentuh wanita membatalkan wudhu jika diiringi dengan syahwat. Ini adalah madzhab Malik dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur darinya.

Penulis (Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim) berkata: Dalil yang dijadikan sandaran oleh mereka yang berpendapat batalnya wudhu karena menyentuh wanita, adalah firman Allah Ta’ala:
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا (٦)
“…atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka betayamumlah…” (QS. Al-Maidah: 6)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Al Mass, al-Lams dan Mubasyarah bermakna jima’. Tetapi Allah Ta’ala menyebut kinayah sesuatu dengan sesuatu yang dikehendaki-Nya[1]. Tafsir Ibnu Abbas lebih didahulkan daripada tafsir yang lainnya.

Penulis berkata: Diantara dalil-dalil yang menguatkan bahwa menyentuh wanita itu tidak membatalkan wudhu, ialah sebagai berikut:
a)      Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Aku kehilangan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam dari tempat tidurnya pada suatu malam. Aku mencarinya ternyata tanganku mengenai bagian bawah kedua telapak kaki beliau, sedangkan beliau berada di masji, dan kedua telapak kaki beliau tegak berdiri sambil mengucapkan:
اللهُمَّ إِنِي أَعُوذُبِكَ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَتِكَ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan ridha-Mu dari murka-Mu’.” (Shahih diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
b)      Diriwayatkan dari juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,ia berkata: “Aku tidur di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, dan kedua kakiku di arah kiblat beliau. Ketika bersujud, beliah memegang kakiku dan aku pun menarik keuda kakiku. Ketika beliau bangkut, aku meluruskannya lagi.” Aisyah menlanjutkan, “Ketika itu rumah-rumah belum memiliki lampu.”[2] Dalam redaksi lain dinyatakan, “Hinggak ketika hendak witir, beliau menyentuhku dengan kakinya (untuk membangunkan aku)
c)      Kaum muslimin selalu menyentuh istri-istri mereka, dan tidak ada seorang pun yang menukil dari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau pernah memerintahkan kaum muslimin berwudhu karena menyentuh istri mereka. Tidak ada dinukil dari para shahabat semasa hidupnya bahwa mereka berwudhu karena menyentuh istrinya. Tidak pula dinukil dari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau berwudhu karena menyentuh istrinya.


2.      Keluarnya Darah dari Tempat yang Tidak Biasanya, Baik karena Luka atau karena Bekam, Baik Sedikit ataupun Banyak.
Hal ini tidak membatalkan wudhu menurut satu dari dua pendapat ulama yang paling shahih. Ini adalah madzhab asy-Syafi’i dan Malik. Sementara Abu Hanifah berpendapat batal, dan ini juga madzhab Hambaliyah, jika darah yang keluar itu banyak. Pendapat pertamalah yang paling rajih, berdasarkan perkara-perkara berikut ini:
a.       Bahwa hadits-hadits yang mewajibkan wudhu karena keluarnya darah tidak ada yang shahih.
b.      Hukum asal sesuatu adalah suci. Seseorang yang berwudhu dengan benar tidak dapat menjadi batal, kecuali berdasarkan nash atau ijma’
c.       Diriwayatkan secara shahih, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu –setelah terkena tikaman- terus shalat sementara lukanya mengeluarkan darah.
d.      Diriwayatkan secara mutawatir, para mujahid fi sabilillah mengalami luka-luka dan tidak ada seorangpun yang dapat menahan aliran darah dari luka-luka mereka dan mengotori pakaian mereka. Namun demikian mereka tetap mengerjakan shalat dengan kondisi seperti itu, dan tidak pernah dinukil dari Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau memerintahkan mereka keluar dari shalat atau melarang mengerjakan shalat. Karena itu al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sejak dahulu kaum Muslimin mengerjakan shalat dengan luka-luka yang ada pada tubuh mereka.” (HR. Bukhari)

3.      Muntah dan Sejenisnya
Pendapat yang benar muntah tidak membatalkan wudhu karena tidak ada satu dalil shahihpun yang menyatakan wajibnya berwudhu karena muntah. Tambahan lagi, karean hukum asal segala sesuatu adalah suci.

4.      Tertawa Terbahak-bahak di Dalam atau di Luar Shalat
Para ulama sepakat bahwa tertawa di luar shalat tidaklah membatalkan thaharah dan tidak mewajibkan wudhu. Mereka juga sepakat tertawa di dalam shalat dapat membatalkan shalat. Tapi mereka berselisih pendapat tentang batalnya wudhu jika tertawa dalam shalat.
Telah shahih hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu secara mauquf bahwa dia ditanya tentang seseorang yang tertawa dalam shalatnya? Maka dia menajwab, “Ia mengulangi shalatnya dan tidak mengulangi wudhunya.” (HR. Bukhari, al-Baihaqi dan ad-Daruqutni). Ini adalah pendapat yang benar, dan ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Malik, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur.

5.      Menandikan Jenazah dan Mengusungnya
Siapa saja yang memandikan jenazah atau mengusungnya, maka wudhunya tidak batal, menurut pendapat yang rajih. Namun sebagian ulama menganjurkan bagi siapa saja yang memandikan jenazah agar mandi, dan bagi yang mengusung jenazah agar berwudhu. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallah ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Barang siapa memandikan jenazah, hendaklah ia mandi dan barang siapa yang mengusung jenazah, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Sanad hadits hasan, tapi secara zhahir hadits ini perlu diperiksa kembali, dan sebagian ulama menilai ber’illat)

6.      Keraguan Orang yang Berwudhu Akan Suatu Hadats
Barang siapa berwudhu dengan wudhu yang benar, lalu ia ragu apakah ia berhadats atau tidak, maka dia tetap pada hukum asal yang diyakininya, yaitu suci hingga ia yakin bahwa ia benar-benar berhadats. Jika ia ragu tentang suatu hadats saat sedang shalat, maka ia tidak perlu berpaling hingga ia yakin benar-benar berhadats.
Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Zaid, ia berkata: Dilaporkan kepada Nabi tentang seorang yang seakan-akan merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabada:
لَايَنْصَرِفْ حَتَّي يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْيَجِدَ رِيْحًا
“Janganlah ia batalkan shalatnya hingga ia mendengar bunyinya dan mencium baunya.”
Al Baghawi rahimahullah dalam asy-Syarh as-Sunnah (I/353) berkata, “Artinya, hingga ia yakin telah berhadats. Karena mendengar bunyinya dan mencium baunya adalah suatu kepastian.”




[1] Sanadnya shahih diriwayatkan oleh Ath-Thabari (9581) dan Ibnu Abu Syaibah (I/166)
[2] Shahih diriwayatkan oleh al Bukhari, Muslim dan selain keduanya.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »