Dalam kehidupan
sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata sabar. Misalnya ketika kita
mendapat musibah atau ujian, biasanya kita banyak mendapat nasihat agar
bersabar terhadap musibah ataupun cobaan yang menimpa. Hal ini sudah sangat
maklum, dikerjakan oleh seluruh kaum muslimin. Karena menasihati saudara kita
agar bersabar terhadap musibah yang menimpa adalah perintah dari Allah subhanahu
wa ta’ala. Ini sebagaimana terdapat firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ
الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS.
Al-‘Ashr: 1-3)
Sabar menjadi
pondasi dalam setiap aktfitas kehidupan kita. Sang da’i bisa terus berdakwah
karena sabar, sang guru/dosen bisa terus mengajar karena sabar, kaum
muslimin/muslimah bisa terus menjaga shalatnya karena sabar, kaum muslimah bisa
istiqamah dengan jilbab syar’inya karena sabar, para ummahat bisa tetap hadir
dalam kajian rutin ini karena sabar. Dan seluruh aktifitas yang lainnya bisa
tetap berjalan juga karena sabar.
Makna dan Hakikat Sabar
Secara bahasa
(etimologi), sabar berarti melarang/menahan. Adapun secara syari’at
(terminology), sabar berarti menahan nafsu dari kekesalan, menahan lisan dari
keluhan, dan menahan anggota badan dari ekspresi kesedihan yang berlebihan dan
keterlaluan.
Ada pula yang
berkata: “Sabar adalah manjauhi hal-hal yang bertentangan dengan agama,
bersikap tenang ketika menghadapi ujian berat, dan menampakkan kecukupan dikala
kefakiran datang ke tengah medan kehidupan.”
Syaikh Muhammad
bin Shalih al ‘Utsaimin mengatakan “Secara syari’at sabar berarti menahan diri
dari tiga hal: Pertama, sabar untuk ta’at kepada Alloh. Kedua,
sabar dari hal-hal yang diharamkan. Ketiga, sabar terhadap takdir.
Itulah macam-macam sabar yang disebutkan oleh ahli ilmu.
Masalah
pertama, hendaknya manusia sabar untuk taat kepada Alloh, karena ketaatan
adalah sangat berat dan sulit bagi manusia. Begitu juga berat bagi badan
sehingga menjadikan manusia lemah dan capek. Ketaatan juga menimbulkan kesulitan
dari aspek keuangan, seperti masalah zakat dan masalah haji.
Masalah kedua,
sabar dari hal-hal yang diharamkan Alloh. Hal ini membutuhkan ketabahan,
kesabaran dan kekuatan untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, karena hawa
nafsu akan senantiasa mendorong untuk melakukan perbuatan tercela[1].
Masalah ketiga,
sabar terhadap takdir Alloh yang tidak disukai. Takdir Alloh ada yang
disukai
dan ada yang tidak disukai. Takdir Alloh yang baik harus disyukuri, dan
syukur termasuk ketaatan kepada Allah. Adapun takdir Allah yang tidak disukai
oleh manusia seperti, seseorang yang tertimpa musibah pada badan, harta,
keluarga, atau masyarakatnya serta musibah-musibah yang bermacam-macam. Manusia
diharuskan bersabar atas musibah yang menimpanya, ia tidak boleh melakukan
hal-hal yang diharamkan seperti, berkeluh kesah, baik dengan lisan, hati maupun
anggota badan.
Ada empat sikap
manusia ketika mendapa musibah; 1). Marah, 2). Sabar, 3). Ridha, 4). Syukur.
-
Sikap pertama, marah baik dengan lisan, hati maupun anggota badan.
Marah dalam
hati berarti hatinya marah kepada Allah, dan dia merasa seakan-akan Allah telah
berbuat zhalim kepadanya karena musibah itu.
Adapun dengan
lisan seperti mengumpat, mencela, berkata kotor, dan sebagainya sehingga
menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala.
Marah dengan
anggota badan seperti, memukul pipi
sendiri, membenturkan kepala, menggundul rambut, merobek baju dan sebagainya.
-
Sikap kedua, sabar dari musibah, yaitu menahan diri. Kita benci terhadap
musibah, tidak menyenanginya serta tidak menginginkan hal itu terjadi, tetapi
kita sabar terhadap diri kita, tidak membicarakan dengan lisan kita dan tidak melakukan
dengan aggota badan kita sesuatu yang menjadikan Allah murka, serta tidak ada
di dalam hati kita sesuatu yang negative terhadap Allah. Kita sabar meskipun
kita benci dengan musibah itu.
-
Sikap ketiga, ridha terhadap takdir. Yaitu bersikap lapang dada terhadap musibah
dan ridha kepadanya dengan keridhaan yang sempurna seolah-olah tidak terkena
musibah.
-
Sikap keempat,
bersyukur, sehingga kita bersyukur atas
musibah yang menimpa kita. Rasulullah jika mengalami sesuatu yang dibencinya,
maka berliau berkata Alhamdulillah ‘ala kulli hall (segala puji bagi
Allah dalam keadaan bagaimanapun).
Disebutkan ada sebuah kisah tentang seorang
wanita yang terkena musibah pada tangannya, lalu ia memuji Allah atas musibah
itu. Orang-orang bertanya kepadanya, “Mengapa kamu memuji Allah, padahal tanganmu
terkena musibah?” Wanita ahli ibadah itu menjawab, “Sesungguhnya manisnya
pahala atas musibah itu melupakan pahitnya kesabaran.”
Hukum Sabar
Imam Ibnul Qayyim
rh menyebutkan bahwa sabar hukumnya wajib menurut ijma’ para ulama. Yang
dimaksud oleh beliau adalah bentuk sabar yang wajib, karena sabar terbagi
menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Wajib. Yakni sabar dalam rangka
menunaikan ketaatan, meninggalkan hal-hal yang diharamkan, dan dalam menghadapi
musibah yang bukan karena ulah tangan manusia, seperti penyakit, kafakiran,
kehilangan jiwa, harta dan semisalnya.
2. Sunnah. Yakni sabar dari hal-hal
yang makruh, dan hal yang disunnahkan dalam syar’at.
3. Haram. Yakni sabar terhadap hal-hal
yang diharamkan, seperti orang yang sabar menahan diri dari makan dan minum
hingga ia mati.
4. Makruh. Seperti orang yang bersabar
dari makan dan minum hingga menyebabkan sedikit kerusakan pada badannya.
5. Mubah. Yaitu sabar dari setiap
perbuatan yang tidak mengandung keburukan ketika ditinggalkan ataupun
dilakukan.
Imam An-Nawawi rahimahullah
menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk sabar
dan memuji pelakunya sebagaimana yang difirmankan-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٢٠٠)
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah
kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan
negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)
Dalam ayat
tersebut Allah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan segala kemuliaan
iman mereka agar sabar dengan tiga bahkan empat macam perintah, yaitu;
bersabarlah, dan kuatkanlah kesabaran, tetaplah bersikap siaga dan bertakwalah
kepada Allah. Yaitu kesabaran dari kemaksiatan, menguatkan kesabaran dalam
menjalankan ketaatan, tetap bersiap siaga dengan memperbanyak perbuatan baik,
dan bertakwa yang mencakup seluruhnya.
Allah subhanahu
wa ta’ala menjelaskan bahwa menjalankan keempat perintah ini menjadi sebab
keberuntungan. Allah berfirman dalam ayat tersebut “Agar kalian beruntung”.
Keberuntungan merupakan kata yang bersifat umum yang mencakup dua hal;
mendapatkan apa yang diharapkan dan selamat dari apa yang ditakutkan. Barang
siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya harapannya terkabulkan dan selamat
dari sesuatu yang ditakutkan[2].
Selanjutnya Imam
Nawawi menyebutkan firman Allah,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 155)
Penjelasan:
“Dengan sedikit ketakutan.” Bukan semua ketakutan,
tapi sedikit saja darinya, karena semua ketakutan akan dapat menghancurkan dan
merusak.
Ketakutan adalah hilangnya rasa aman, dan itu lebih besar
daripada kelaparan. Maka dari itu Allah mendahulukan ketakutan daripada
kelaparan, karena orang yang kelaparan bisa disembuhkan walaupun dengan
meminta-minta atau memakan pelepah pohon. Sedangkan orang yang ketakutan, ia
tidaka kan merasa tenang, baik di rumah, di pasar, atau di tempat yang lain.
“Dan kelaparan”. Atau diuji dengan kelaparan.
Ujian dengan kelaparan ini mempunyai dua pengertian:
1.
Allah menurunkan wabah kelaparan kepada manusia,
yakni manusia itu makan, tapi tidak bisa kenyang. Hal ini telah terjadi pada
manusia zaman ini. Bahkan di suatu Negara telah terjadi kelaparan sehingga oleh
orang awam tahun itu disebut tahun kelaparan. Mereka makan banyak tetapi tidak
kenyang.
2.
Kelaparan terjadi karena paceklik akibat kurangnya
hujan sehingga tanaman tidak bisa tumbuh. Inilah yang disebut dengan paceklik.
Sedangkan
kalimat dalam ayat di atas “Kekurangan harta” artinya kurang secara
ekonomi sehingga ummat ini kekurangan materi, miskin, ekonominya tertinggal dan
pemerintahnya terjerat hutang yang banyak, yang terjadi karena takdir Allah
kepada mereka sebagai ujian dan cobaan.
Firman Allah, “Jiwa”
atau kematian yang menimpa manusia akibat wabah penyakit yang membinasakan
mereka. Di Najed pernah terjadi suatu wabah besar, sehingga orang-orang
menamakan tahun tersebut sebagai tahun sial. Jika wabah ini masuk ke rumah
orang, maka tak seorangpun yang selamat darinya (mati). Syaikh Muhammad bin
Shalih al Utsaimin mengatakan, “Pernah seseorang bercerita kepada kami ketika
dia berkunjung di masjid Jami’ di Unaizah. Dulu kota itu adalah kota kecil yang
tidak banyak orangnya seperti sekarang. Pada waktu wabah itu melanda, di masjid
itu, setiap waktu shalat dihadirkan tujuh hingga delapan mayat setiap hari.
Firman Allah, “Dan
buah-buahan” Maksudnya bukan tidak ada buah-buahan, tetapi buah-buahannya
berkurang dan tidak ada barakahnya. Tumbuh-tumbuhannya berkurang, biji-bijian,
dan pohon-pohon lainnya.
Manusia
menghadapi semua musibah itu dengan cara dan tingkat yang bermacam-macam, ada
yang marah, ada yang sabar, ada yang ridha, dan ada yang bersyukur.
Kemudian firman
Allah:
إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (١٠)
“Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Pahala kesabaran dilipatgandakan tanpa batas dari sisi
Allah. Ini menunjukkan bahwa pahalanya sangat besar. Manusia tidak mungkin
menggambarkan pahala ini karena jumlahnya tidak terbatas, tetapi diketahui oleh
Allah dan Dia tidak perlu menghitungnya. Maka tidak dikatakan misalnya,
kebaikannya sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.
Wallahu a’lam bishawab
“..karena Sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS.
Yusuf: 53)
[2] إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي
جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ (٥٤)فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ (٥٥)
“Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat
yang disenangi di sisi Tuhan yang berkuasa.” (QS. Al Qamar: 54-55)
وَإِنْ
مِنْكُمْ إِلا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (٧١)ثُمَّ
نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا (٧٢)
“Dan tidak
ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. hal itu bagi
Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan
menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim
di dalam neraka dalam Keadaan berlutut.” (Maryam: 71-72)
EmoticonEmoticon