KEUTAMAAN SABAR

April 17, 2014


            Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata sabar. Misalnya ketika kita mendapat musibah atau ujian, biasanya kita banyak mendapat nasihat agar bersabar terhadap musibah ataupun cobaan yang menimpa. Hal ini sudah sangat maklum, dikerjakan oleh seluruh kaum muslimin. Karena menasihati saudara kita agar bersabar terhadap musibah yang menimpa adalah perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ini sebagaimana terdapat firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

            Sabar menjadi pondasi dalam setiap aktfitas kehidupan kita. Sang da’i bisa terus berdakwah karena sabar, sang guru/dosen bisa terus mengajar karena sabar, kaum muslimin/muslimah bisa terus menjaga shalatnya karena sabar, kaum muslimah bisa istiqamah dengan jilbab syar’inya karena sabar, para ummahat bisa tetap hadir dalam kajian rutin ini karena sabar. Dan seluruh aktifitas yang lainnya bisa tetap berjalan juga karena sabar.

Makna dan Hakikat Sabar

            Secara bahasa (etimologi), sabar berarti melarang/menahan. Adapun secara syari’at (terminology), sabar berarti menahan nafsu dari kekesalan, menahan lisan dari keluhan, dan menahan anggota badan dari ekspresi kesedihan yang berlebihan dan keterlaluan.

            Ada pula yang berkata: “Sabar adalah manjauhi hal-hal yang bertentangan dengan agama, bersikap tenang ketika menghadapi ujian berat, dan menampakkan kecukupan dikala kefakiran datang ke tengah medan kehidupan.”

            Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin mengatakan “Secara syari’at sabar berarti menahan diri dari tiga hal: Pertama, sabar untuk ta’at kepada Alloh. Kedua, sabar dari hal-hal yang diharamkan. Ketiga, sabar terhadap takdir. Itulah macam-macam sabar yang disebutkan oleh ahli ilmu.

            Masalah pertama, hendaknya manusia sabar untuk taat kepada Alloh, karena ketaatan adalah sangat berat dan sulit bagi manusia. Begitu juga berat bagi badan sehingga menjadikan manusia lemah dan capek. Ketaatan juga menimbulkan kesulitan dari aspek keuangan, seperti masalah zakat dan masalah haji.

            Masalah kedua, sabar dari hal-hal yang diharamkan Alloh. Hal ini membutuhkan ketabahan, kesabaran dan kekuatan untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, karena hawa nafsu akan senantiasa mendorong untuk melakukan perbuatan tercela[1].

            Masalah ketiga, sabar terhadap takdir Alloh yang tidak disukai. Takdir Alloh ada yang disukai
dan ada yang tidak disukai. Takdir Alloh yang baik harus disyukuri, dan syukur termasuk ketaatan kepada Allah. Adapun takdir Allah yang tidak disukai oleh manusia seperti, seseorang yang tertimpa musibah pada badan, harta, keluarga, atau masyarakatnya serta musibah-musibah yang bermacam-macam. Manusia diharuskan bersabar atas musibah yang menimpanya, ia tidak boleh melakukan hal-hal yang diharamkan seperti, berkeluh kesah, baik dengan lisan, hati maupun anggota badan.

            Ada empat sikap manusia ketika mendapa musibah; 1). Marah, 2). Sabar, 3). Ridha, 4). Syukur.
-          Sikap pertama, marah baik dengan lisan, hati maupun anggota badan.
Marah dalam hati berarti hatinya marah kepada Allah, dan dia merasa seakan-akan Allah telah berbuat zhalim kepadanya karena musibah itu.
Adapun dengan lisan seperti mengumpat, mencela, berkata kotor, dan sebagainya sehingga menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala.
Marah dengan anggota badan seperti,  memukul pipi sendiri, membenturkan kepala, menggundul rambut, merobek baju dan sebagainya.
-          Sikap kedua, sabar dari musibah, yaitu menahan diri. Kita benci terhadap musibah, tidak menyenanginya serta tidak menginginkan hal itu terjadi, tetapi kita sabar terhadap diri kita, tidak membicarakan dengan lisan kita dan tidak melakukan dengan aggota badan kita sesuatu yang menjadikan Allah murka, serta tidak ada di dalam hati kita sesuatu yang negative terhadap Allah. Kita sabar meskipun kita benci dengan musibah itu.
-          Sikap ketiga, ridha terhadap takdir. Yaitu bersikap lapang dada terhadap musibah dan ridha kepadanya dengan keridhaan yang sempurna seolah-olah tidak terkena musibah.
-          Sikap keempat, bersyukur, sehingga kita bersyukur atas musibah yang menimpa kita. Rasulullah jika mengalami sesuatu yang dibencinya, maka berliau berkata Alhamdulillah ‘ala kulli hall (segala puji bagi Allah dalam keadaan bagaimanapun).

Disebutkan ada sebuah kisah tentang seorang wanita yang terkena musibah pada tangannya, lalu ia memuji Allah atas musibah itu. Orang-orang bertanya kepadanya, “Mengapa kamu memuji Allah, padahal tanganmu terkena musibah?” Wanita ahli ibadah itu menjawab, “Sesungguhnya manisnya pahala atas musibah itu melupakan pahitnya kesabaran.”


Hukum Sabar

            Imam Ibnul Qayyim rh menyebutkan bahwa sabar hukumnya wajib menurut ijma’ para ulama. Yang dimaksud oleh beliau adalah bentuk sabar yang wajib, karena sabar terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1.      Wajib. Yakni sabar dalam rangka menunaikan ketaatan, meninggalkan hal-hal yang diharamkan, dan dalam menghadapi musibah yang bukan karena ulah tangan manusia, seperti penyakit, kafakiran, kehilangan jiwa, harta dan semisalnya.
2.      Sunnah. Yakni sabar dari hal-hal yang makruh, dan hal yang disunnahkan dalam syar’at.
3.      Haram. Yakni sabar terhadap hal-hal yang diharamkan, seperti orang yang sabar menahan diri dari makan dan minum hingga ia mati.
4.      Makruh. Seperti orang yang bersabar dari makan dan minum hingga menyebabkan sedikit kerusakan pada badannya.
5.      Mubah. Yaitu sabar dari setiap perbuatan yang tidak mengandung keburukan ketika ditinggalkan ataupun dilakukan.

            Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk sabar dan memuji pelakunya sebagaimana yang difirmankan-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٢٠٠)
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)

            Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan segala kemuliaan iman mereka agar sabar dengan tiga bahkan empat macam perintah, yaitu; bersabarlah, dan kuatkanlah kesabaran, tetaplah bersikap siaga dan bertakwalah kepada Allah. Yaitu kesabaran dari kemaksiatan, menguatkan kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tetap bersiap siaga dengan memperbanyak perbuatan baik, dan bertakwa yang mencakup seluruhnya.

            Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa menjalankan keempat perintah ini menjadi sebab keberuntungan. Allah berfirman dalam ayat tersebut “Agar kalian beruntung”. Keberuntungan merupakan kata yang bersifat umum yang mencakup dua hal; mendapatkan apa yang diharapkan dan selamat dari apa yang ditakutkan. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya harapannya terkabulkan dan selamat dari sesuatu yang ditakutkan[2].

            Selanjutnya Imam Nawawi menyebutkan firman Allah,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 155)

            Penjelasan:
            “Dengan sedikit ketakutan.” Bukan semua ketakutan, tapi sedikit saja darinya, karena semua ketakutan akan dapat menghancurkan dan merusak.

            Ketakutan adalah hilangnya rasa aman, dan itu lebih besar daripada kelaparan. Maka dari itu Allah mendahulukan ketakutan daripada kelaparan, karena orang yang kelaparan bisa disembuhkan walaupun dengan meminta-minta atau memakan pelepah pohon. Sedangkan orang yang ketakutan, ia tidaka kan merasa tenang, baik di rumah, di pasar, atau di tempat yang lain.
            “Dan kelaparan”. Atau diuji dengan kelaparan. Ujian dengan kelaparan ini mempunyai dua pengertian:
1.      Allah menurunkan wabah kelaparan kepada manusia, yakni manusia itu makan, tapi tidak bisa kenyang. Hal ini telah terjadi pada manusia zaman ini. Bahkan di suatu Negara telah terjadi kelaparan sehingga oleh orang awam tahun itu disebut tahun kelaparan. Mereka makan banyak tetapi tidak kenyang.
2.      Kelaparan terjadi karena paceklik akibat kurangnya hujan sehingga tanaman tidak bisa tumbuh. Inilah yang disebut dengan paceklik.

Sedangkan kalimat dalam ayat di atas “Kekurangan harta” artinya kurang secara ekonomi sehingga ummat ini kekurangan materi, miskin, ekonominya tertinggal dan pemerintahnya terjerat hutang yang banyak, yang terjadi karena takdir Allah kepada mereka sebagai ujian dan cobaan.

Firman Allah, “Jiwa” atau kematian yang menimpa manusia akibat wabah penyakit yang membinasakan mereka. Di Najed pernah terjadi suatu wabah besar, sehingga orang-orang menamakan tahun tersebut sebagai tahun sial. Jika wabah ini masuk ke rumah orang, maka tak seorangpun yang selamat darinya (mati). Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, “Pernah seseorang bercerita kepada kami ketika dia berkunjung di masjid Jami’ di Unaizah. Dulu kota itu adalah kota kecil yang tidak banyak orangnya seperti sekarang. Pada waktu wabah itu melanda, di masjid itu, setiap waktu shalat dihadirkan tujuh hingga delapan mayat setiap hari.

Firman Allah, “Dan buah-buahan” Maksudnya bukan tidak ada buah-buahan, tetapi buah-buahannya berkurang dan tidak ada barakahnya. Tumbuh-tumbuhannya berkurang, biji-bijian, dan pohon-pohon lainnya.

Manusia menghadapi semua musibah itu dengan cara dan tingkat yang bermacam-macam, ada yang marah, ada yang sabar, ada yang ridha, dan ada yang bersyukur.
Kemudian firman Allah:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (١٠)
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

            Pahala kesabaran dilipatgandakan tanpa batas dari sisi Allah. Ini menunjukkan bahwa pahalanya sangat besar. Manusia tidak mungkin menggambarkan pahala ini karena jumlahnya tidak terbatas, tetapi diketahui oleh Allah dan Dia tidak perlu menghitungnya. Maka tidak dikatakan misalnya, kebaikannya sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.
Wallahu a’lam bishawab




[1]  إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ (٥٣)
“..karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. Yusuf: 53)

[2]   إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ (٥٤)فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ (٥٥)
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang berkuasa.” (QS. Al Qamar: 54-55)
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (٧١)ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا (٧٢)
“Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam Keadaan berlutut.” (Maryam: 71-72)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »