Penjelasan Hadits Tawassul Yang Sering Disalahartikan

Desember 12, 2015

    Sebagian kaum Muslimin menganggap bahwa para wali atau orang-orang sholih yang telah meninggal dunia dapat menyampaikan permohonan orang yang masih hidup kepada Alloh subhanahu wa ta’ala sehingga mereka banyak berbondong-bondong berziarah ke kuburan-kuburan orang-orang yang mereka anggap sebagai wali Alloh untuk menyampaikan do’a permohonannya. Orang-orang itu merasa dirinya adalah orang yang kotor, banyak dosa, sedangkan para wali yang sudah meninggal adalah orang-orang sholih yang sangat dekat dengan Alloh yang mungkin saja dapat menyampaikan do’a mereka kepada Alloh sehingga terkabul. Mereka sering terkecoh oleh perumpamaan sesat bahwa, “Ibarat mau menghadap presiden, maka orang biasa tidak bisa langsung ketemu presiden, harus melalui ajudannya. Pun begitu juga jika orang-orang awam seperti kita ingin berdo’a kepada Alloh, maka harus melalui orang-orang sholih sehingga do’a kita dapat sampai kepada-Nya. Ketahuilah, sungguh perumpamaan ini adalah perumpamaan yang batil, karena Alloh sendiri berfirman,ادْعٌونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ (berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu).
    Untuk penjelasan lebih detail mengenai hal ini, mari kita simak jawaban dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahulloh terhadap pertanyaan berikut ini:
    Pertanyaan:
    Apakah hadits ini kualitasnya shohih dan menunjukkan bolehnya bertawassul dengan jah (kehormatan) para wali? Hadits dimaksud adalah: Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata,
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِّبِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَاسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِيْنَ. قَالَ: فَيُسْقَوْنَ
“Bahwasanya Umar bin Al-Khoththob radhiyallohu ‘anhu, bila kaum Muslimin ditimpa kekeringan, dia memohon turunnnya hujan melalui perantara Al-Abbas bin Abdul Muththolib sembari berkata, ‘Ya Alloh, sesungguhnya kami pernah bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan untuk kami, dan sesungguhnya kami (sekarang) bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’.” Lalu dia (Anas rodhiyallohu ‘anhu) berkata, “Mereka pun akhirnya diberi curah hujan tersebut.”
    Jawaban:
     Hadits yang dinyatakan oleh si penanya kualitasnya adalah shohih, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori, akan tetapi siapa saja yang mencermatinya, dia akan mendapatkan bahwa justru (hadits tersebut) merupakan dalil atas tidak dibenarkannya bertawassul melalui jah (kehormatan) Nabi shollallohu ‘alayhi wa salam atau melalui orang selain beliau. Hal ini dikarenakan makna tawassul itu sendiri adalah إِتِّخَاذُ وَسِيْلَةٍ (menjadikan suatu sarana). Dan kata الوَسِيْلَةُ (sarana) maknanya ‘sesuatu yang menyampaikan kepada apa yang dimaksud’. Wasilah yang dimaksud di dalam hadits tersebut adalah kalimat dalam ucapan Umar di atas, “…Sesungguhnya kami (sekarang) bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan bagi kami.” Maksudnya di sini adalah bertawassul kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dengan do’a yang dilakukan oleh Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam sebagaimana yang dikatakan oleh seorang laki-laki,
يَا رَسُولَ اللهِ، هَلَكَتِ الأَمْوَالُ وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللهَ يُغِيْثُنَا
“Wahai Rosulullah, harta kami telah musnah dan semua jalan pun telah terputus (tidak ada cara lain yang dapat diupayakan, pent), maka berdo’alah kepada Alloh agar menyelamatkan kami (dengan menurunkan hujan).”
    Demikian pula, karena dalam hadits tersebut, Umar berkata kepada al-Abbas, “Berdirilah wahai al-Abbas! Berdo’alah kepada Alloh”, maka dia pun berdo’a. Bila benar ini adalah dalam rangka bertawassul melalui jah, maka tentunya Umar akan bertawassul melalui jah Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam sebelum bertawassul melalui al-Abbas sebab jah Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam tentunya lebih mulia di sisi Alloh ketimbang jah al-Abbas dan orang selainnya. Juga, andaikata hadits tersebut dalam rangka bertawassul melalui jah, tentunya yang lebih pantas dilakukan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khoththob adalah bertawassul melalui jah Nabi shollallohhu ‘alayhi wa sallam, bukan melalui jah Al-Abbas bin ‘Abdul Muththolib.
 Jual Buku Paket Islami Berkualitas dan Mencerdaskan
    Alhasil, bertawassul kepada Alloh subhanahu wa ta’ala melalui do’a orang yang diharapkan terkabulnya do’a tersebut karena kesholihannya, hukumnya tidak apa-apa. Para shahabat radhiyallohu ‘anhum sendiri bertawassul kepada Alloh melalui do’a Nabi untuk mereka. Demikian pula dengan Ummar radhiyallohu ‘anhu dia bertawassul melalui do’a Al-Abbas bin Abdul Muththolib.
    Jadi tidak apa-apa hukumnya bila Anda melihat seorang laki-laki yang sholih yang diharapkan sekali terkabulnya (do’a) karena makanan, minuman, pakaian serta tempat tinggalnya didapatnya dari cara yang halal dan karena dia dikenal sebagai orang yang ahli ibadah dan takwa, (maka tidak apa-apa) Anda memintanya agar berdo’a kepada Alloh untuk Anda sesuai dengan yang Anda inginkan, asalkan hal itu tidak menimbulkan sikap ghurur (bangga diri berlebihan sehingga menipu dirinya) ke dalam diri orang yang dimintai do’a tersebut, sebab bila hal itu terjadi pada dirinya, maka ketika itu tidak boleh Anda melakukan (yang seakan) membunuh dan membinasakannya melalui permintaan tersebut karena sikap itu membahayakan dirinya.
    Saya juga tegaskan, hal seperti ini adalah boleh hukumnya namun saya tidak mendukungnya. Menurut saya, seseorang hendaknya meminta kepada Alloh subhanahu wa ta’ala melalui dirinya sendiri tanpa menjadikan perantara Antara dirinya dan Alloh sebab yang demikian lebih dapat diharapkan terkabulnya dan lebih dekat kepada sikap khosyyah (rasa takut). Saya juga senang bila seseorang meminta dido’akan oleh saudaranya yang diharapkan do’anya terkabul tersebut agar meniatkan berbuat baik kepadanya (orang yang berdo’a) melalui hal tersebut, bukan karena sekedar menyampaikan hajatnya belaka, sebab bila dia memintanya kerena sekedar menyampaikan hajatnya, berarti dia sama dengan orang yang meminta-minta diberi uang dan semacamnya yang dicela. Sedangkan bila dia bermaksud dengan hal itu agar dapat memberikan manfaat bagi saudaranya, seperti berbuat baik kepadanya di mana perbuatan baik seorang Muslim tentunya akan diberi ganjaran pahala sebagaimana yang telah diketahuinya bersama, maka hal itu adalah lebih utama dan lebih baik. Wallohu waliyy at-Taufiq.
~ Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh ~

Artikel Terkait

Previous
Next Post »