Akar kata musyawarah yang sudah
menjadi bahasa Indonesia adalah syura yang berarti menampakan sesuatu
atau mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu
yang semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain.
Syura berasal dari kata syawwara - yusyawwiru yang
berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk
lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara,
(berunding saling tukar pendapat), Syawir (minta pendapat) musyawarah
dan mustasyir (minta pendapat orang lain). Jadi Syura
adalah menjelaskan, menyatakan atau mengajukan pendapat yang baik, disertai dengan menaggapi dengan
baik pula pendapat tersebut.
Musyawarah menurut bahasa berarti
"berunding" dan "berembuk", sedangkan Pengertian
musyarawarah menurut istilah adalah perundingan bersama antara dua orang
atau lebih untuk mendapatkan keputusan yang terbaik.
Musyawarah ialah suatu proses kunsultasi secara Islam di antara mereka yang
mengetahui masalah-masalah yang dibicarakan, dan paling baik diperoleh melalui
diskusi di antara mereka yang menyadari situasi yang dihadapi. Musyawarah ialah
salah satu prinsip organisasi pelembagaan yang terpenting dalam Islam.
Al-Qur’an
memerintahkan pemimpin Islam agar mengatur permasalahan umatnya melalui
perundingan di antara mereka. Hal ini mendorong mereka mengeluarkan pendapat
secara terbuka dan jujur.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ
فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ
وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ
عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali Imran: 159)
Tafsir Ibnu Katsir:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;
فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ
وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ “Karena itu
ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu.” Karena itulah
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam selalu bermusyawarah dengan
apra Shahabatnya dalam memutuskan masalah yang terjadi di antara mereka. Hal
ini bertujuan agar hati mereka senang dan lebih bersemangat dalam melakukannya.
Nabi mengajak mereka bermusyawarah pada perang Badar untuk memutuskan
keberangkatan mereka guna menghadang pasukan orang-orang kafir. Para shahabat
pun berkata, “Ya Rasulullah, seandainya engkau menyeberangi lautan, niscaya
kami akan turut bersamamu. Dan andaikan engkau memerintahkan kami untuk pergi
ke Barkil Ghimad (ujung negeri Yaman), kami pasti akan berjalan bersamamu. Kami
tidak akan mengatakan seperti yang dikatakan kaum Nabi Musa kepadanya:
‘Berangkatlah engkau bersama Rabb-mu dan berperanglah, kami akan duduk-duduk di
sini saja.’ Tetapi kami katakan kepadamu: ‘Berangkatlah! Kami selalu bersamamu,
di depan, di kanan dan kirimu untuk ikut berperang.’”
Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wa sallam pun mengajak mereka bermusyawarah untuk memutuskan di mana harus
berkemah, sehingga al-Mundzir bin ‘Amr (yang dijuluki dengan) al-mu’niq
liyamut (orang yang bersegera menyongsong kematiannya) menyarakannya untuk
berkemah di hadapan musuh.
Menjelang perang Uhud, beliau pun
bermusyawarah untuk memutuskan apakah akan tetap bertahan di Madinah atau pergi
menyongsong musuh. Ternyata sebagian besar Sahabat menyarankan untuk pergi
menyongsong musuh. Maka beliau pun bersama mereka menghadapi musuh.
Demikian juga pada perang Khandaq,
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengajak para Sahabat untuk memusyawarahkan
tawaran perdamaian kepada al-Ahzab (Yakni orang-orang Quraisy bersama
sekutu-sekutunya, yakni bani Asad, Asyja’, Fauzarah, Murrah, Kinanah, Sulaim,
dan bani Ghathfan)
Dalam kisah ifki (tuduhan
zina yang dilancarkan orang-orang munafik terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha) beliau berkata:
أَشِيْرُوا عَلَيَّ مَعْشَرَ المُسْلِمِيْنَ فِي قَوْمِ
أَبَنُوا أَهْلِي وَرَمَوْهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَعَمِلْتُ عَلَى أَهْلِي مِنْ
سُوءٍ وَأَبَنُوهُمْ بِمَنْ؟ وَاللهِ مَاعَمِلْتُ عَلَيْهِ إِلَّا خَيْرًا
“Berilah aku saran wahai sekalian kaum muslimin
tentang orang-orang yang menuduh keluargaku dan memfitnahnya. Demi Allah, aku
tidak mengetahui keburukan pada keluargaku. Mereka telah memfitnahnya dengan
seseorang, yang demi Allah, aku tidak mengetahui tentang dirinya kecuali orang
yang baik.” (HR. Al-Bukhari [4757])
Beliau bermusyawarah dengan ‘Ali
dan Usamah tentang (rancana) perceraian dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
(dan beliau tidak sampai menceraikannya –pent-). Beliau biasa bermusyawarah
dengan para Shahabat tentang masalah peperangan dan masalah lainnya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bawa
beliau bersabda:
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ
“Orang yang diajak
bermusyawarah itu haruslah orang yang dipercaya.” (HR. Ibnu Majah, shahih)
Dan Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
٣٨
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka.” (QS. Ar-Ra’du: 38)
Sunnah Rasul
penuh dengan contoh-contoh perundingan yang dilakukan beliau dengan para
shahabatnya. Abu Hurairah menegaskan perkara ini dengan berkata, “Aku tidak
pernah melihat orang lain yang lebih banyak meminta pandangan kepada para pengiktunya,
melainkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Rasulullah meminta
pendapat kepada para sahabatnya dalam masalah-masalah keduniaan, dan hanya
meninggalkan metode ini apabila beliau menerima wahyu dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
EmoticonEmoticon