Musyawarah Dalam Perspektif Islam

Juli 09, 2017

Pengertian Musyawarah

Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia adalah syura yang berarti menampakan sesuatu atau mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain.

Syura berasal dari kata syawwara - yusyawwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara, (berunding saling tukar pendapat), Syawir (minta pendapat) musyawarah dan mustasyir (minta pendapat orang lain). Jadi Syura adalah menjelaskan, menyatakan atau mengajukan pendapat  yang baik, disertai dengan menaggapi dengan baik pula  pendapat tersebut.

Musyawarah menurut bahasa berarti "berunding" dan "berembuk", sedangkan Pengertian musyarawarah menurut istilah adalah perundingan bersama antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan keputusan yang terbaik.

Musyawarah ialah suatu proses kunsultasi secara Islam di antara mereka yang mengetahui masalah-masalah yang dibicarakan, dan paling baik diperoleh melalui diskusi di antara mereka yang menyadari situasi yang dihadapi. Musyawarah ialah salah satu prinsip organisasi pelembagaan yang terpenting dalam Islam.

Al-Qur’an memerintahkan pemimpin Islam agar mengatur permasalahan umatnya melalui perundingan di antara mereka. Hal ini mendorong mereka mengeluarkan pendapat secara terbuka dan jujur.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali Imran: 159)

Tafsir Ibnu Katsir:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;
فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ “Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam selalu bermusyawarah dengan apra Shahabatnya dalam memutuskan masalah yang terjadi di antara mereka. Hal ini bertujuan agar hati mereka senang dan lebih bersemangat dalam melakukannya. Nabi mengajak mereka bermusyawarah pada perang Badar untuk memutuskan keberangkatan mereka guna menghadang pasukan orang-orang kafir. Para shahabat pun berkata, “Ya Rasulullah, seandainya engkau menyeberangi lautan, niscaya kami akan turut bersamamu. Dan andaikan engkau memerintahkan kami untuk pergi ke Barkil Ghimad (ujung negeri Yaman), kami pasti akan berjalan bersamamu. Kami tidak akan mengatakan seperti yang dikatakan kaum Nabi Musa kepadanya: ‘Berangkatlah engkau bersama Rabb-mu dan berperanglah, kami akan duduk-duduk di sini saja.’ Tetapi kami katakan kepadamu: ‘Berangkatlah! Kami selalu bersamamu, di depan, di kanan dan kirimu untuk ikut berperang.’”

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pun mengajak mereka bermusyawarah untuk memutuskan di mana harus berkemah, sehingga al-Mundzir bin ‘Amr (yang dijuluki dengan) al-mu’niq liyamut (orang yang bersegera menyongsong kematiannya) menyarakannya untuk berkemah di hadapan musuh.

Menjelang perang Uhud, beliau pun bermusyawarah untuk memutuskan apakah akan tetap bertahan di Madinah atau pergi menyongsong musuh. Ternyata sebagian besar Sahabat menyarankan untuk pergi menyongsong musuh. Maka beliau pun bersama mereka menghadapi musuh.

Demikian juga pada perang Khandaq, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengajak para Sahabat untuk memusyawarahkan tawaran perdamaian kepada al-Ahzab (Yakni orang-orang Quraisy bersama sekutu-sekutunya, yakni bani Asad, Asyja’, Fauzarah, Murrah, Kinanah, Sulaim, dan bani Ghathfan)

Dalam kisah ifki (tuduhan zina yang dilancarkan orang-orang munafik terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) beliau berkata:
أَشِيْرُوا عَلَيَّ مَعْشَرَ المُسْلِمِيْنَ فِي قَوْمِ أَبَنُوا أَهْلِي وَرَمَوْهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَعَمِلْتُ عَلَى أَهْلِي مِنْ سُوءٍ وَأَبَنُوهُمْ بِمَنْ؟ وَاللهِ مَاعَمِلْتُ عَلَيْهِ إِلَّا خَيْرًا
“Berilah  aku saran wahai sekalian kaum muslimin tentang orang-orang yang menuduh keluargaku dan memfitnahnya. Demi Allah, aku tidak mengetahui keburukan pada keluargaku. Mereka telah memfitnahnya dengan seseorang, yang demi Allah, aku tidak mengetahui tentang dirinya kecuali orang yang baik.” (HR. Al-Bukhari [4757])

Beliau bermusyawarah dengan ‘Ali dan Usamah tentang (rancana) perceraian dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (dan beliau tidak sampai menceraikannya –pent-). Beliau biasa bermusyawarah dengan para Shahabat tentang masalah peperangan dan masalah lainnya.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bawa beliau bersabda:
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ
“Orang yang diajak bermusyawarah itu haruslah orang yang dipercaya.” (HR. Ibnu Majah, shahih)


Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣٨
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Ar-Ra’du: 38)

Sunnah Rasul penuh dengan contoh-contoh perundingan yang dilakukan beliau dengan para shahabatnya. Abu Hurairah menegaskan perkara ini dengan berkata, “Aku tidak pernah melihat orang lain yang lebih banyak meminta pandangan kepada para pengiktunya, melainkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Rasulullah meminta pendapat kepada para sahabatnya dalam masalah-masalah keduniaan, dan hanya meninggalkan metode ini apabila beliau menerima wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 MIZAR

Artikel Terkait

Previous
Next Post »