Al-Qur’an adalah kalamullah
yang suci. Al-Qur’an diturunkan Allah S.W.T. kepada Rasulallah S.A.W. melalui
malaikat Jibril a.s. Membaca al-Qur’an bernilai ibadah dari setiap hurufnya.
Kandungan isinya adalah petunjuk bagi manusia secara umum dan bagi orang-orang
bertakwa secara khusus. Sehingga, seorang muslim dan muslimah dituntut untuk
terus membaca al-Qur’an.
Keutamaan membaca
al-Qur’an sangat agung dalam agama Islam. Di antaranya adalah mendapatkan
syafaat di hari kiamat, mendapatkan pahala berlipat ganda setiap huruf yang
dibaca, dan meraih kedudukan tinggi di Surga. Berkaitan dengan hal ini, berikut
adalah hadits-hadits yang menunjukan hal itu:
عَنْ
أَبي أُمَامَةَ
الْبَاهِلِىّ قَالَ:سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ اقْرَءُوا
الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ
يَأْتِى يَوْمَالْقِيَامَةِ
شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ...
Abu Umamah
al-Bahily mengatakan bahwa ia mendengar Rasulallah S.A.W. bersabda, “Bacalah
oleh kalian al-Qur’an! Karena ia akan menjadi pemberi syafaat bagi pembacanya
pada hari kiamat...” (HR. Muslim)
عَنْ
عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
« مَنْ قَرَأَ
حَرْفًا مِنْ
كِتَابِ اللهِ
فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ ،وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَأَقُولُ الْم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ »
Abdullah bin
Mas’ud mengatakan bahwa Rasulallah S.A.W. bersabda, “Barangsiapa membaca satu
huruf dalam kitabulloh maka baginya satu kebaikan. Setiap satu kebaikan
itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa Ali
Lam Mim itu satu huruf. Tapi alif itu satu huruf, lam satu
huruf, dan mim satu huruf.”(HR. At-Tirmidzi)
Agungnya pahala
membaca al-Qur’an ini harus menjadi motivasi bagi setiap muslim dan muslimah
untuk senantiasa memperbanyak membaca al-Qur’an. Sehingga sepatutnya membaca al-Qur’an
menjadi ibadah rutin dalam kehidupan sehari-hari. Di antara adab dalam membaca al-Qur’an
adalah dalam kondisi suci. Hanya
saja, ada kondisi-kondisi tertentu yang menjadi penghalang dari kesucian khusus
bagi wanita muslimah. Seperti ketika ia dalam keadaan haid. Maka, bolehkah
seorang wanita membaca al-Qur’an ketika dalam kondisi haid?
Sebagian ulama
berpandangan bahwa wanita yang haid tidak boleh membaca al-Qur’an. Di antara
ulama dari kalangan mazhab Hanafi yang berpandangan demikan adalah Imam
al-Kasani dalam kitab Bada’i as-Shona’i dan as-Sarakhsi dalam kitab al-Mabsuth.
Ulama-ulama mazhab Syafi’i
yang berpendapat demikian pun cukup banyak. Di antara mereka adalah Imam
an-Nawawi dalam kitab al-Majmu, Imam Zakaria al-Anshari dalam kitab Asnal
Matholib Syarh Raudhohtu Tholib, Ibnu Hajar al-Haitsami dalam Tuhfah
al-Muhtaj, dan ulama-ulama lainnya.
Dalil yang
digunakan tentang larangan wanita haid membaca al-Qur’an adalah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَقْرَأِ الحَائِضُ، وَلاَ الجُنُبُ
شَيْئًا مِنَ القُرْآنِ.
Ibnu Umar r.a.
meriwayatkan hadits bahwa Nabi S.A.W. bersabda, “Wanita haid dan orang yang
sedang junub janganlah membaca apapun dari al-Qur’an.” (HR. At-Tirmidzi)
Allah S.W.T. berfirman
dalam al-Qur’an surat
al-Waqi’ah ayat 79:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang
disucikan.”
Sebenarnya, dasar
argumentasi pandangan yang melarang wanita haid membaca al-Qur’an adalah disamakannya wanita dengan
orang yang dalam keadaan junub. Karena keduanya diwajibkan mandi janabah. Berkaitan
dengan hal ini terdapat riwayat dari Ali bin Abi Thalib:
“Sesungguhnya
Rasulallah S.A.W. mengajarkan mereka al-Qur’an, tidak ada yang menghalanginya
dari al-Qur’an selain janabah.”
Sebagian ulama
lain berpendapat bahwa wanita haid dibolehkan membaca al-Qur’an. Ini merupakan
pendapat mazhab Maliki, salah satu pendapat Imam Ahmad, Imam asy-Syaukani dan
pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ahmad bin Abdul Halim al-Harroni
sebagaimana dalam kitab Majmu al-Fatawa.
Syekhul Islam
Ahmad bin Abdul Halim berkata, “Sudah diketahui bahwa para wanita di zaman
Rasulallah S.A.W. dahulu pun mengalami haid dan mereka tidak dilarang dari
membaca al-Qur’an. Hal ini sebagaimana mereka tidak dilarang dari dzikir dan do’a. Bahkan, para wanita
diperintahkan untuk ikut serta datang ke tempat pelaksanaan shalat ied dan
mereka bertakbir sebagaimana kaum muslimin bertakbir.”
Adapun dasar
argumentasi para ulama yang berpandangan bolehnya membaca al-Qur’an bagi wanita
haid adalah sebagai berikut:
1. Tidak
ada dalil yang kuat dan jelas yang menunjukkan haramnya membaca al-Qur’an bagi
wanita haid. Sehingga dikembalikan ke hukum asal, yaitu perintah membaca al-Qur’an
secara mutlak.
2. Dilarangnya
seorang wanita haid dari membaca al-Qur’an menyebabkan hilangnya kesempatan
meraih pahala yang besar. Padahal Allah S.W.T. dan Rasul-Nya memerintahkan
untuk membaca dan memuji pelakunya. Selama tidak ada dalil yang akurat akan pelarangan
ini maka dibolehkan membaca al-Qur’an.
3. Meng-qiyas-kan
antara wanita haid dengan orang junub adalah dua hal yang berbeda. Sebab orang
junub mempunyai pilihan untuk segera mandi menghilangkan hadatsnya. Sedangkan
haid tidak ada pilihan sampai ia suci.
Adapun cara
berdalil yang digunakan oleh yang melarang memiliki kelemahan yang menunjukkan
tidak bisanya dalil tersebut dijadikan argumen dalam masalah ini.
Dalil pertama, riwayat Ibnu Umar dalam
sunan at-Tirmidzi merupakan hadits lemah, karena berasal dari riwayat Ismail
bin Ayasy dari orang-orang Hijaz. Riwayat dia dari mereka dianggap lemah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ini merupakan hadits lemah berdasarkan
kesepakatan para pakar hadits.”
Dalil kedua, Makna al-Mutoharun
dalam QS. Al-Waqi’ah ayat 79 bukan bermakna orang-orang yang suci dari hadats.
Maksud al-Mutohtahun menurut
mayoritas ahli tafsir adalah Malaikat sebagaimana pendapat sahabat Ibnu Abbas,
Anas, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, ad-Dhahak, Jabir bin Zaid, as-Suddi,
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan lain-lain. Sehingga dijadikannya ayat
tersebut sebagai dalil dilarangnya wanita haid membaca al-Qur’an kurang tepat.
Dalil ketiga, Para pakar hadits berselisih pendapat akan keabsahan
dalil riwayat Ali bin Abi Thalib di atas. Ada yang menshahihkan seperti Imam
Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, dan lain-lain. Tapi ahli hadits
lain juga banyak yang men-dhaifkan hadits tersebut seperti Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal,
al-Bukahri, al-Baihaqi, al-Mundziri, an-Nawawi, Syu’bah, dan lain-lain.
Alasannya sebagaimana diungkapkan Imam Syafi’i bahwa Abdullah bin Salamah,
salah satu perawi jalur riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah karena
ketika meriwayatkan hadits tersebut usianya telah tua dan hafalannya berubah.
Dari pemaparan di
atas, maka jelas bahwa pandangan yang melarang wanita haid membaca al-Qur’an
tidaklah terlalu kuat. Pendapat lain dalam masalah ini adalah dibolehkannya
membaca al-Qur’an bagi wanita haid tapi diusahakan tidak sampai menyentuh
mushaf secara langsung. Bisa menggunakan penghalang kain dan lain-lain yang
semisal. Terlebih jika ia merasa khawatir lupa akan hafalannya. Hal ini
berdasarkan hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ
حَزْمٍ
أَنَّ فِي
الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِعَمْرِ
و بْنِ حَزْمٍ
أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
Abdullah ibn Abi
Bakr ibn Hazm meriwayatkan bahwa di dalam kitab yang ditulis oleh Rasulallah
S.A.W. kepada Amr ibn Hazm disebutkan bahwa tidak ada yang menyentuh al-Qur’an
melainkan orang yang suci.” (HR. Malik dan Daruqutni)
Al-Hafiz Ibnu
Hajar menjelaskan bahwa hadits tersebut telah dishahihkan oleh sejumlah tokoh
ulama yang terkenal. Imam as-Syafii mengatakan bahwa riwayat tersebut kuat
bersumber dari Rasulallah S.A.W.. Imam Ibnu Abdil Barr pun menjelaskan bahwa ini
surat yang terkenal di kalangan ahli sejarah dan sangat dikenal di kalangan
para ulama sehingga tidak membutuhkan sanad, karena lebih mirip sebagai riwayat
mutawatir yang diterima manusia dengan baik dan telah dikenal.
Syekh Abdul Aziz
bin Baz pernah menjelaskan sebagaimana tercantum dalam kitab Mamju’ al-Fatawa
Ibnu Baz bawa diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Qur’an
menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang
melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al-Qur’an tersebut tidak sampai
menyentuh mushaf Al-Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al-Qur’an, maka
seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya.
Demikian pula untuk menulis Al-Qur’an di kertas ketika dibutuhkan, maka
diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.
Imam Nawawi rahimahullah
dalam al-Majmu mengatakan bahwa jika kitab tafsir tersebut lebih banyak
kajian tafsirnya daripada ayat Al-Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir
semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat,
kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.
Baca juga artikel seputar Al Qur'an berikut:
EmoticonEmoticon