Terkadang
timbul pertanyaan dalam hati kita tentang hadist dho’if ini, bolehkan kita
beramal dengan sandaran hadits dho’if? Mari kita simak pembahasan berikut ini:
Tujuan Alloh menciptakan manusia adalah agar mereka
menyembah-Nya. Untuk menyampaikan manusia kepada jalan keridhoan Alloh, maka
Dia menurunkan satu-satunya agama yang diterima dan diridhoi di sisi-Nya, yaitu
Islam.
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di
akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron: 85)
Agama
ini memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh agama yang lain. Salah satunya adalah agama yang memiliki rangkaian
para perawi hadis hingga pada teks
hadis (sanad).
Pada agama manapun juga tidak akan pernah dijumpai ilmu
sanad. Inilah sebuah anugerah Alloh yang diberikan kepada umat Islam.
Ibnu
Mubarok rohimahulloh berkata;
الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ، وَلَوْ لاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَاشَاءَ
“Isnad adalah bagian dari agama. Jikalau tidak ada
isnad, niscaya siapapun akan berbicara sesuai kehendaknya.” (Riwayat Muslim di
dalam muqoddimahnya 1/12)
Sufyan ats-Tsauri rohimahulloh berkata:
الإِسْنَادُ سِلاَحُ المُؤْمِنُ، فَإِذَالَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلاَحٌ فَبِأَيِّ شَيْءٍ يُقَاتِلُ
“Isnad adalah senjatanya orang beriman, jika ia tidak
memegang senjata dengan apakah ia akan berperang?”
Dan,Yazid
bin Surai’ rohimahulloh berkata;
لِكُلِّ دِيْنٍ فُرْسَانٌ، وَفُرْسَانُ هَذَاالدِّيْنِ أَصْحَابُ الإِسْنَادِ
“Setiap agama
memiliki pasukan kaveleri sedangkan pasukan kaveleri agama ini adalah para pemilik
sanad.” (Ibnu Atsir, Jami’ Ushul Fii Ahadis Rosul 1/109)
Pada
ilmu hadis kedudukan isnad sangatlah penting. Dengan adanya isnad, maka akan diketahui
antara hadis yang shohih dan dho’if.
Hadis Dho’if
Barangkali kita sering menemukan dalam sebuah artikel
atau mendengar penceramah yang mengatakan bahwa hadis ini adalah dho’if
(lemah). Namun, sudahkah kita mengetahui, apakah definisi hadis dho’if itu?
Para ulama ahli hadis mendefinisikan bahwa
yang dimaksud hadis dho’if adalah hadis yang tidak memiliki kriteria untuk bisa
diterima (hadis shohih). Adapun syarat dan kriteria agar hadis itu bisa
diterima adalah sanadnya bersambung, perowinya dhobit (hafalannya
bagus), baik secara sempurna atau berkurang sedikit), para perawinya adil
(terpercaya), selamat dari syudud (menyelisihi hadis yang lebih shohih
darinya), selamat dari ‘iilat (sebuah cacat yang berpengaruh pada
keshohihan hadis).
Bagaimanakah Hukum
Mengamalkan Hadis Dhoif?
Hadis dho’if yang tersebar di sebagain kaum muslimin
cukup banyak. Hadis itupun beragam. Ada hadis dho’if tentang masalah ilmu dan amal, seperti “Carilah
ilmu walaupun ke negeri Cina.” Ada hadis dho’if tentang masalah aqidah, seperti
“Cinta tanah air adalah sebagaian dari iman”. Ada hadis dho’if tentang masalah puasa, seperti
“Berpuasalah niscaya engkau akan sehat.” Ada hadis dho’if tentang masalah haji
dan umroh, seperti, “Barangsiapa yang mengerjakan sholat di masjidku, tidak ada
satu sholatpun yang terlewatkan, maka akan ditulis bahwa dia terbebas dari api
neraka, selamat dari siksaan, dan terbebas dari kemunafikan”. Ada hadis dho’if
tentang muamalah, seperti; “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan
hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati
besok”. Dan berbagai hadis dho’if yang lain yang tersebar di masyarakat.
Setelah kita mengetahui akan adanya hadis dho’if, mungkin
kita akan bertanya-tanya tentang bagaimana hukum mengamalkan hadis dho’if itu?
Dr. Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib mengatakan ada tiga pendapat di kalangan ulama’ mengenai
penggunaan hadits dhoi’if, yaitu :
1). Hadits dho’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik
dalam fadhail maupun persoalan yang menyangkut tentang hukum syariah. Hal
tersebut dikabarkan oleh Ibnu Sayyidin-Naas dari Yahya bin Ma’in, dan pendapat
inilah yang dipilih oleh Ibnu Al-Arabi. Pendapat ini tampaknya merupakan
pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim, dan Ibnu Hazm Al-Andalusi.
2). Hadits dho’if
bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Dawud dan
Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits dhoif lebih kuat daripada ra’yu
(pendapat) perseorangan.
Ibnul-Qayyim berkata :
”Tidaklah yang
beliau (Imam Ahmad) maksudkan hadits dho’if yang bathil, yang munkar, serta
bukan riwayat yang mengandung perawi yang tertuduh, sekiranya dilarang
mengambil dan mengamalkannya; tetapi hadits dho’if menurut beliau adalah lawan
dari hadits shohih yang merupakan bagian dari hadits
hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shahih, hasan, dan dho’if; tetapi
menjadi shahih dan dho’if. Yang dho’if menurut beliau terdiri dari beberapa
tingkatan. Dan apabila dalam bab yang bersangkutan tidak ada atsar yang
menolaknya atau pendapat seorang shahabat atau ijma’ yang berbeda dengannya,
maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas (analogi)”
3). Hadits dho’if bisa digunakan dalam masalah
fadhoil, mawa’idz (nasihat), atau yang sejenis; bila memenuhi beberapa
syarat berikut:
a. Kedho’ifannya
tidak terlalu; sehingga tidak termasuk di dalamnya seorang pendusta atau yang
dituduh berdusta – yang melakukan penyendirian dan juga orang yang sering
melakukan kesalahan-.
b. Hadits dho’if
itu termasuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan.
c. Ketika
mengamalkan tidak meyakini bahwa hadits itu berstatus kuat, tetapi sekedar
berhati-hati.
Kemudian Dr. Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib kembali berkata, ”Tidak ragu lagi, pendapat pertama merupakan pendapat
yang paling selamat. Kita memiliki cukup banyak hadits-hadits shahih tentang
fadhail, targhib, dan tarhib, yang merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam.
Demikianlah pembahasan ringkas tentang
hadis dhoi’f. Mudah-mudahan Alloh senantiasa memberikan hidayah kepada kita
untuk mengamalkan kandungan hadis shohih dan meninggalkan hadis dho’if. Amin...
Baca juga artikel bermanfaat yang lainnya:
EmoticonEmoticon