Hukum Mengamalkan Hadis Dho’if

April 07, 2016


   Terkadang timbul pertanyaan dalam hati kita tentang hadist dho’if ini, bolehkan kita beramal dengan sandaran hadits dho’if? Mari kita simak pembahasan berikut ini:
 
   Tujuan Alloh menciptakan manusia adalah agar mereka menyembah-Nya. Untuk menyampaikan manusia kepada jalan keridhoan Alloh, maka Dia menurunkan satu-satunya agama yang diterima dan diridhoi di sisi-Nya, yaitu Islam.

   Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron: 85)
  
   Agama ini memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh agama yang lain. Salah satunya adalah agama yang memiliki rangkaian para perawi hadis hingga pada teks hadis (sanad). Pada agama manapun juga tidak akan pernah dijumpai ilmu sanad. Inilah sebuah anugerah Alloh yang diberikan kepada umat Islam.

   Ibnu Mubarok rohimahulloh berkata;
الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ، وَلَوْ لاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَاشَاءَ
“Isnad adalah bagian dari agama. Jikalau tidak ada isnad, niscaya siapapun akan berbicara sesuai kehendaknya.” (Riwayat Muslim di dalam muqoddimahnya 1/12)

   Sufyan ats-Tsauri rohimahulloh berkata:
الإِسْنَادُ سِلاَحُ المُؤْمِنُ، فَإِذَالَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلاَحٌ فَبِأَيِّ شَيْءٍ يُقَاتِلُ
“Isnad adalah senjatanya orang beriman, jika ia tidak memegang senjata dengan apakah ia akan berperang?”

   Dan,Yazid bin Surai’ rohimahulloh berkata;
لِكُلِّ دِيْنٍ فُرْسَانٌ، وَفُرْسَانُ هَذَاالدِّيْنِ أَصْحَابُ الإِسْنَادِ
“Setiap agama memiliki pasukan kaveleri sedangkan pasukan kaveleri agama ini adalah para pemilik sanad.” (Ibnu Atsir, Jami’ Ushul Fii Ahadis Rosul 1/109)

   Pada ilmu hadis kedudukan isnad sangatlah penting. Dengan adanya isnad, maka akan diketahui antara hadis yang shohih dan dho’if.

Hadis Dho’if

   Barangkali kita sering menemukan dalam sebuah artikel atau mendengar penceramah yang mengatakan bahwa hadis ini adalah dho’if (lemah). Namun, sudahkah kita mengetahui, apakah definisi hadis dho’if itu?

   Para ulama ahli hadis mendefinisikan bahwa yang dimaksud hadis dho’if adalah hadis yang tidak memiliki kriteria untuk bisa diterima (hadis shohih). Adapun syarat dan kriteria agar hadis itu bisa diterima adalah sanadnya bersambung, perowinya dhobit (hafalannya bagus), baik secara sempurna atau berkurang sedikit), para perawinya adil (terpercaya), selamat dari syudud (menyelisihi hadis yang lebih shohih darinya), selamat dari ‘iilat (sebuah cacat yang berpengaruh pada keshohihan hadis).
  
Bagaimanakah Hukum Mengamalkan Hadis Dhoif?

   Hadis dho’if yang tersebar di sebagain kaum muslimin cukup banyak. Hadis itupun beragam. Ada hadis dho’if  tentang masalah ilmu dan amal, seperti “Carilah ilmu walaupun ke negeri Cina.” Ada hadis dho’if tentang masalah aqidah, seperti “Cinta tanah air adalah sebagaian dari iman. Ada hadis dho’if tentang masalah puasa, seperti “Berpuasalah niscaya engkau akan sehat.” Ada hadis dho’if tentang masalah haji dan umroh, seperti, “Barangsiapa yang mengerjakan sholat di masjidku, tidak ada satu sholatpun yang terlewatkan, maka akan ditulis bahwa dia terbebas dari api neraka, selamat dari siksaan, dan terbebas dari kemunafikan”. Ada hadis dho’if tentang muamalah, seperti; “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”. Dan berbagai hadis dho’if yang lain yang tersebar di masyarakat.

   Setelah kita mengetahui akan adanya hadis dho’if, mungkin kita akan bertanya-tanya tentang bagaimana hukum mengamalkan hadis dho’if itu?

  Dr. Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib mengatakan ada tiga pendapat di kalangan ulama’ mengenai penggunaan hadits dhoi’if, yaitu :
1). Hadits dho’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik dalam fadhail maupun persoalan yang menyangkut tentang hukum syariah. Hal tersebut dikabarkan oleh Ibnu Sayyidin-Naas dari Yahya bin Ma’in, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Al-Arabi. Pendapat ini tampaknya merupakan pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim, dan Ibnu Hazm Al-Andalusi.
2).  Hadits dho’if bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Dawud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits dhoif lebih kuat daripada ra’yu (pendapat) perseorangan.
    Ibnul-Qayyim berkata :
”Tidaklah yang beliau (Imam Ahmad) maksudkan hadits dho’if yang bathil, yang munkar, serta bukan riwayat yang mengandung perawi yang tertuduh, sekiranya dilarang mengambil dan mengamalkannya; tetapi hadits dho’if menurut beliau adalah lawan dari hadits shohih yang merupakan bagian dari hadits hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shahih, hasan, dan dho’if; tetapi menjadi shahih dan dho’if. Yang dho’if menurut beliau terdiri dari beberapa tingkatan. Dan apabila dalam bab yang bersangkutan tidak ada atsar yang menolaknya atau pendapat seorang shahabat atau ijma’ yang berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas (analogi)”
3).  Hadits dho’if bisa digunakan dalam masalah fadhoil, mawa’idz (nasihat), atau yang sejenis; bila memenuhi beberapa syarat berikut:
a. Kedho’ifannya tidak terlalu; sehingga tidak termasuk di dalamnya seorang pendusta atau yang dituduh berdusta – yang melakukan penyendirian dan juga orang yang sering melakukan kesalahan-.
b. Hadits dho’if itu termasuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan.
c.  Ketika mengamalkan tidak meyakini bahwa hadits itu berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.

   Kemudian Dr. Muhammad Ajaj Al-Khathib kembali berkata, ”Tidak ragu lagi, pendapat pertama merupakan pendapat yang paling selamat. Kita memiliki cukup banyak hadits-hadits shahih tentang fadhail, targhib, dan tarhib, yang merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

    Demikianlah pembahasan ringkas tentang hadis dhoi’f. Mudah-mudahan Alloh senantiasa memberikan hidayah kepada kita untuk mengamalkan kandungan hadis shohih dan meninggalkan hadis dho’if. Amin...

Baca juga artikel bermanfaat yang lainnya:

Artikel Terkait

Previous
Next Post »