Tulisan kali
ini menyajikan pembahasan tentang syarat-syarat imam atau pemimpin dalam Islam.
Dalam hal ini saya berbicara sebagai orang Islam yang meyakini bahwa hanya
dengan Islamlah ketata negaraan akan menjadi baik. Karena Islam adalah agama rahmatan
lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Untuk
menjadi pemimpin dalam Islam, seseorang perlu memiliki persyaratan-persyaratan
tertentu. Di antara syarat-syarat tersebut ada yang menjadi syarat wajib, ada
pula yang bersifat pelengkap. Berikut ini adalah syarat-syarat yang harus
dipenuhi sebagai seorang imam/ pemimpin:
1). Islam
2). Baligh
3). Berakal
4). Status
merdeka
5).
Laki-laki
6). Berilmu
7). Adil
8). Memiliki
kecakapan diri
9). Memiliki
kecakapan fisik
10). Tidak
berambisi mendapatkan imamah
11).
Keturunan Quraisy.
Pada
kesempatan ini saya hanya akan menyajikan syarat yang paling pertama, yaitu
Islam. Syarat ini wajib dipenuhi dalam setiap kepemimpinan, baik berskala kecil
maupun besar. Apalagi dalam ranah kepemimpinan tertinggi. Dalil-dalil untuk
syarat ini banyak sekali, di antaranya:
1. Firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)
Maksudnya,
(Allah tidak akan memberi jalan orang
kafir) menguasai orang-orang mukmin di dunia (Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, Ibnu Katsir (III/388)). Seperti diketahui, kekuasaan tertinggi merupakan jalan terbesar dan terkuat
untuk menguasai pihak lain.
2. Termasuk
di antara ayat-ayat yang melarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin,
seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani
sebagai teman setia(mu), mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa
di antara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk
golongan mereka.” (QS. Al Maidah: 51)
“Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai
pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang
jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?” (QS. An-Nisa: 144)
“Janganlah
orang-orang yang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan
orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan
memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari
sesuatu yang kamu takuti dari mereka.” (QS. Ali ‘lmran: 28)
Dan masih
banyak ayat-ayat lain yang melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai
pemimpin. Mengangkat mereka sebagai pemimpin termasuk dalam kategori larangan.
Untuk itu, mengangkat orang kafir untuk menangani urusan kaum Muslimin hukumnya
tidak boleh.
3. Termasuk
dalil tentang syarat Islam, yang harus dipenuhi pemimpin adalah firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
“Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa:
59)
Dr. Mahmud
Al Khalidi menuturkan, kata ulil amri selalu disebut berasal dari
kalangan kaum Muslimin. Seperti diketahui, orang kafir tidak wajib ditaati
dalam hal apa saja. Bahkan orang kafir wajib diperangi bedasarkan nash Al
Qur’an sampai ia masuk Islam atau membayar jizyah secara patuh dalam kondisi
tunduk jika memang ia termasuk kalangan yang pantas membayar jizyah.
4.
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ لَانَسْتَعِينَ بِمُشْرِكِينَ
“Kami tidak
meminta bantuan orang musyrik.” (HR. Ibnu Majah)
Riwayat lain
menyebutkan:
ارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِيْنَ
بِمُشْرِكِيْنَ
“Pulanglah! Aku tidak akan meminta
bantuan orang musyrik.” (HR. Muslim, Abu
Dawud, Ahmad dan lainnya)
Kalimat ini
beliau tujukan kepada seseorang yang mengikuti beliau hendak berperang bersama
beliau dalam Perang Badar, dan ia masih musyrik. Apabila meminta bantuan kepada
kafir dalam sebagian urusan saja dilarang, lantas bagaimana bisa orang kafir
diminta bantuan untuk mengatur dan memegang urusan kaum Muslimin!.
Perintah ini
diterapkan oleh Al Khulafa Ar-Rasyidin. Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu pernah menegur Abu Musa Al-Asy’ari karena memiliki sekretaris orang
Nasrani. Abdullah bin Ahmad berkata, ayahku bercerita kepada kami, Waki’
bercerita kepada kami, Israil bercerita kepada kami, dari Simak bin Harb, dari
Iyadh Al-Asy’ari, dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Aku berkata kepada Umar, ‘Aku memiliki sekretaris Nasrani’.
Umar
berkata, ‘Kenapa kamu ini? Apa-apaan kamu. Apa kamu tidak mendengar firman
Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu), mereka satu
sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka teman
setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim’. (QS. Al Maidah: 51) kenapa kamu tidak
mengangkat sekretaris muslim?’
Abu Musa berkata,
‘Wahai Amirul Mukminin! Aku memanfaatkan keahliannya dalam menulis. Sementara untuk
urusan agama, biarlah ia tetap memegang agamanya’. Umar pun berkata, ‘Aku tidak
akan memuliakan mereka karena Allah menghinakan mereka. Aku tidak akan
menghormati mereka karena Allah merendahkan mereka. Dan aku tidak akan
menjadikan mereka sebagai orang dekat karena Allah telah menjauhkan mereka’.” (Ahkam
Ahlizh Zhimmah, Ibnu Qayyim (I/201)
Umar radhiyallahu
‘anhu juga berkata, “Jangan memberikan kepercayaan kepada mereka karena
mereka telah mengkhianti Allah. Jangan menjadikan mereka orang-orang dekat
karena Allah telah menjauhkan mereka. Dan jangan memuliakan mereka karena Allah
telah menghinakan mereka.” (HR. Al-Baihaqi dan dishahihkan oelh Al-Bani. Baca; Irwa`ul Ghalil (VIII/255).
Langkah yang
sama juga ditempuh oleh para khalifah yang mendapat pujian baik di
tengah-tengah ummat, seperti Umar bin Abdul ‘Aziz, Al-Manshur, Ar-Rasyid, Al-Mahdi,
Al-Mutawakkil, Al-Muqtadir, dan khalifah-khalifah lain.
5. Ijma’
Kaum Muslimin
telah bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat orang-orang kafir untuk mengatur
urusan kaum Muslimin dan orang kafir tidak memiliki kekuasaan atas orang Muslim.
Banyak kalangan ahlul ‘ilmi menuturkan ijma’ ini, di antaranya Al-Mundzir. Ia mengatakan,
“Seluruh ahlul ilmi yang ilmunya dihafalkan sepakat bahwa orang kafir tidak
memiliki kuasa terhadap orang muslim secara mutlak.” (Ahkam Ahlizh Zhimmah,
Ibnu Qayyim (II/414).
Al-Qadhi
Iyadh mengatakan, “Ulama sepakat, imamah tidak berlaku untuk orang kafir. Apabila
imam yang diangkat murtad menjadi orang kafir, ia wajib dipecat.” Ia juga
mengatakan, “Demikian halnya jika si imam tidak menegakkan shalat dan tidak
mengajak untuk menegakkan shalat.” (Syarah An-Nawawy ‘Ala Shahih Muslim (XII/229).
Berdasarkan
hal tersebut, imamah tidak boleh dikukuhkan untuk orang kafir, baik kafir asli
maupun kafir murtad. Manhaj Islam tentu hanya dapat diterapkan oleh mereka yang
menganut loyalitas dan kepatuhan penuh terhadap Allah yang mensyaratkan manhaj
ini.
Muhammad Asad
menyatakan, “Kita tidak boleh menutup mata dari fakta yang ada. Kita tidak
dapat membayangkan, seorang non muslim mau berusaha mewujudkan tujuan-tujuan ideologi Islam meskipun ia
bersih, tulus, setia, cinta pada negerinya dan rela berkorban untuk tanah
airnya. Dan semua itu murni disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan. Kita tidak
bisa mengabaikan hal itu. Saya lebih condong pada pendapat yang menyatakan
bahwa tidak adil jika kita menuntut non muslim melakukan hal itu.”
Sumber utama
materi adalah Buku Konsep Kepemimpinan Dalam Islam karya Prof. Dr. Abdullah
Ad-Dumaiji.
Bogor, Jum’at,
14 Oktober 2016
Baca Juga Artikel Menarik Berikut:
1 komentar:
Write komentarKebosohan dan kedengkian ada di balik kekotoran nafsu Anda. Apakah Anies Baswedan memenuhi apa yang menjadi tuntutan kalian, setelah ia menjadi Gubernur DKI? Gunakan fikiran dalam memahami akitabullah Alquran. Kelandiran Anda sudah nampak. Anda tidak dalat membedakan terminoligi: IMAM, AULIYA dan ULILAMR'. Ingin bertabayun mengenai tiga istilahbtersebut? Ini No HP saya : 0812 1342 1617.
ReplyEmoticonEmoticon