Hadits nabawi ada dua macam:
1. Tauqifi. Yang bersifat tauqifi,
yaitu; kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia dijelaskan
kepada manusia dengan kata-kata darinya. Di sini, meskipun kandungannya
dinisbahkan kepada Allah, tetapi –dari sisi perkataan– lebih layak dinisbahkan
kepada Rasulullah, sebab kata-kata itu disandarkan kepada siapa yang
mengatakannya, walaupun terdapat makna yang diterimanya dari pihak lain.
2. Taufiqi. Bagian lain
adalah taufiqi. Yang bersifat taufiqi, yiatu; yang disimpulkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, menurut pemahamannya terhadap
Al Qur’an, karena fungsi Rasul menjelaskan, menerangkan Al-Qur’an, atau
mengambil istimbat dengan perenungan ijtihad. Dalam hal ini, wahyu akan
mendiamkannya bila benar. Dan bila terdapat kesalahan di dalamnya, maka wahyu
akan turun untuk membetulkannya. Yang pasti taufiqi ini bukan kalam
Allah.
Dari sini jelaslah bahwa hadits
nabawi dengan kedua bagiannya yang taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh
wahyu itu dapat dikatakan bersumber dari wahyu. Inilah esensi dari firman Allah
tentang Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam,
“Dia (Muhammad) tidak berbicara
menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang
diturunkan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4)
Hadits qudsi itu maknanya dari
Allah. Hadits ini disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam, dengan satu cara dari beberapa model pewahyuan, tetapi lafazhnya
dari Rasulullah. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbatkannya hadits qudsi kepada
Allah Ta’ala adalah penisbatan isinya (esensi, penj), bukan penisbatan
lafazhnya (redaksi, penj). Sebab seandainya lafazh hadits qudsi itu berasal
dari Allah, maka tentu tidak berbeda dengan Al-Qur’an; gaya bahasanya pun akan
menantang, juga yang membacanya dianggap ibadah.
Tentang hal ini muncul dua syubhat:
Pertama; Hadits nabawi ini
secara maknawi juga wahyu, lafazh pun dari Rasulullah, tetapi mengapa tidak
kita namakan juga sebagai hadits qudsi?
Jawabannya ialah; Kita memastikan
bahwa hadits qudsi itu maknanya diturunkan dari Allah, karena adanya nash syar’i
yang menisbatkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah; Allah Ta’ala
terlah berfirman (qaalallaah), atau Allah Ta’ala berfirman (yaquulullaah).
Itu sebabnya, kita namakan hadits itu hadits qudsi. Berbeda dengan
hadits-hadits nabawi, karena hadits nabawi itu tidak memuat nash seperti ini. Di
samping itu, boleh jadi masing-masing isinya disampaikan melalui wahyu (yakni
secara tauqifi), dan mungkin juga disimpulkan malalui ijtihad (yaitu
secara taufiqi). Dengan demikian, kita namakan semuanya dengan nabawi
sebagai nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan nama wahyu
tauqifi, tentulah hadits nabawi itu kita namakan pula hadits qudsi.
Kedua; Apabila lafazh hadits
qudsi itu dari Rasulullah, maka dengan alasan apakah hadits itu dinisbatkan
kepada Allah melalui kata-kata Nabi seperti, “Allah Ta’ala telah
berfirman” atau “Allah Ta’ala berfirman?”
Jawabannya; Hal seperti ini
biasanya terjadi dalam Bahasa Arab, yang mana suatu ucapan disandarkan
berdasarkan kandungannya, bukan lafazhnya. Misalnya: ketika kita menggubah satu
bait syair, kita mengatakan “si penyair berkata demikian.” Juga ketika kita
menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan “si fulan
berkata demikian.” Begitu juga Al-Qur’an menceritakan tentang Musa, Fir’aun dan
lainnya dengan lafazh yang bukan lafazh yang mereka ucapkan dan dengan gaya
bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi tetap saja disandarkan kepada
mereka.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa
(dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu. (yaitu) kaum Fir´aun. Mengapa mereka tidak
bertakwa? Berkata Musa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka
akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku
maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku
takut mereka akan membunuhku". Allah berfirman: "Jangan takut (mereka
tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa
ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan
(apa-apa yang mereka katakan). Maka datanglah kamu berdua kepada Fir´aun dan
katakanlah olehmu: "Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam. Lepaskanlah
Bani Israil (pergi) beserta kami". Fir´aun menjawab: "Bukankah kami
telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan
kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat
suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan
orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: "Aku telah
melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu
aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku
memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul.
Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah
memperbudak Bani Israil". Fir´aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam
itu? Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di
antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang)
mempercayai-Nya" (QS. Asy-Syu’araa:
10-24)
Perbedaan Antara Al Qur'an dan Hadits Qudsi
Nama-nama dan Sifat-sifat Al Qur'an
Definisi Al Qur'an
Hukum Wanita Haid Membaca Al Qur'an
EmoticonEmoticon