Khilafah
Utsmani pada abad keenam belas merupakan ikon kemajuan dunia dan sumber
inspirasi abad pertengahan di Eropa.
Jika kita
menapaki sejarah perjalanan khilafah Utsmani, maka yang akan kita dapatkan
adalah bahwa mereka membangun pemerintahan itu dengan bangunan keimanan yang
demikian kokoh kepada Allah, mereka membangun dengan semangat Islam yang
menyala-nyala. Mereka bangun negeri itu dengan harta dan air mata, dengan jihad
harta dan jiwa. Khilafah Utsmani dibangun di atas semangat untuk menegakkan
syari’ah, semangat untuk menegakkan kalimat Allah dan menghancurkan ankara
murka.
Para khalifah
Utsmani membangun khilafah Utsmani dengan kerja keras dan keringat, dengan
keberanian dan keajegan. Mereka membangun tiang-tiang negara dengan pondasi
keimanan yang demikian kokoh, dengan asas yang demikian rapi. Asas keimanan dan
keislaman yang tegar yang kemudian berbuah ihsan.
Maka tidak
heran berkat semangat juang yang tinggi, pikiran yang cerdas, keingan yang
kuat, Konstantinopel –yang merupakan kota idaman setiap bangsa dunia saat itu–
bertekuk lutut di bawah telapak kaki Sultan Muhammad Al-Fatih pada tanggal 29
Mei 1453. Kejatuhan Konstantinopel ini menurut Abul Hasan Ali Al-Hasani
An-Nadwi dalam bukunya Madza Khasira Al-‘Alam bin Inhithath Al-Muslimin telah
membangkitan semangat kaum muslimin. Kaum muslimin dunia menaruh harapan pada
bangsa Turki untuk mengembalikan kejayaan dan kewibawaan Islam di mata dunia.
Keberhasilan khilafah Utsmani dalam menaklukan kota Konstantinopel ini
menunjukkan akan betapa kuatnya pemerintahan Islam saat itu, dimana sebelumnya
usaha-usaha untuk menaklukkannya selalu mengalami kegagalan.
Keberhasilan
ini adalah berkat kemampuannya Sultan Muhammad Al-Fatih mengembangkan ruh
keimanannya, kemampuannya menjawab respon situasi dan tantangan serta
inisatif-inisitaifnya yang brilian. Sultan Muhammad Al-Fatih seperti ditulis
Druber memiliki kemampuan teknik perang yang sangat mumpuni dan pandai
menggunakan semua senjata. Untuk melakukan panaklukan kota Konstantinopel dia
mempersiapkan segalanya dengan persiapan yang demikian matang. Penaklukan kota
Konstantinopel itu tidak dilakukan dengan cara kebetulan. Persiapan untuk itu
telah dilakukan dengan sematang-matangnya. Dia menggunakan sarana termodern di
zamannya dan dengan kecerdikan yang tiada tara.
Semangat
berjuang ini dilukiskan dengan cantik oleh Lord Kinross pengarang buku The
Ottoman Centuries: The Rise and tha Fall of Turkish Empire, dengan mengutip
seorang pengembara bernama Bertrand de Broquiere, dia mengatakan, “Pasukan
Utsmani sangat cepat gerakannya, seratus pasukan Kristen akan jauh lebih gaduh
(kacau) dari sepuluh ribu pasukan Utsmani. Tatkala genderang perang telah
ditabuh, maka dengan segera mereka akan bergerak, mereka tidak akan pernah
berhenti melangkah hingga komando dikeluarkan. Mereka adalah pasukan yang
terlatih, dalam semalam mereka mampu melakukan tiga kali lipat perjalanan yang
dilakukan oleh musuh-musuhnya orang-orang Kristen.”
Paul Kennedy
dalam bukunya The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and
Military Conflict from 1500 to 2000, mengatakan, “Emperium Utsmani, dia
lebih dari sekadar mesin militer, dia telah menjadi penakluk elit yang telah
mampu membentuk satu kesatuan iman, buadaya dan bahasa pada sebuah area yang
lebih luas dari yang dimiliki oleh Empirium Romawi dan untuk jumlah penduduk
yang lebih besar. Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500 dunia, Islam telah
jauh melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian
luas, terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki
masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan
aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum muslimin selalu berada di
depan.”
Pasukan Utsmani
adalah pasukan yang sangat terlatih, disiplin, penuh semangat dan vitalitas,
memiliki gerakan yang demikian cepat dan ketangkasan yang tiada tara. Keahlian
mereka dalam keahlian perang, dan taktik yang mempesona serta tentara yang
sangat terorganisir ini telah mengantarkan pemerintahan Utsman pada sebuah
“empirium”.
Kaum muslimin
Turki Utsmani, sebagaimana disebutkan oleh An-Nadwi, memiliki berbagai
kelebihan yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain saat itu. Sebagai bangsa
nomadik dengan pola hidup sederhana, mereka memiliki moralitas yang tidak
terkotori sehingga dengan gampang malangkah berjuang. Selain itu mereka juga
meiliki persenjataan yang kuat sehingga mampu menguasai Afrika, Mesir, Arab
Saudi, Iran, Asia Tengah dan sebagian Eropa, hingga ke Wina.
Kejayaan Turki
ini merupakan refleksi dari keimanan mereka kepada Allah, kedekatan pada
ajaran-ajarannya, dan aplikasi syariatnya. Mereka telah mampu menjadikan Allah
sebagai tujuan, Al-Qur’an sebagai undangan-undang, Rasul sebagai panutan, jihad
sebagai jalan hidup dan mati syahid sebagai puncak cita. Dampaknya adalah
keadilan merata dimana-mana. Para ulama mampu menjalankan fungsinya. Mereka
menjadi pengendali moral yang kokoh, sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Aaq
Syamsuddin di masa pemerintahan Muhammad Al-Fatih.
Dari rahim
khilafah lahir banyak pejuang yang mampu menyebarkan Islam dan menancapkan
nilai-nilainya di berbagai belahan dunia. Beberapa sultan yang tegar setelah
Sultan Muhammad Al-Fatih lahir seperti Sultan Bayazid II. Sultan Salim I dan
Sultan Sulaiman Al-Qanuni, yang oleh Anthony Bridge disebut Suleiman the
Magnificient; The Scourage of Heaven.
Namun
keberhasilan kejayaan khilafah Utsmani ini tidak selamanya abadi dan langgeng.
Berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh para sultan di akhir pemerintahan
Utsmani telah mendorong pemerintahan Utsmani meluncur deras menuju jurang
kehancuran.
Adanya
sultan-sultan yang lemah dan tidak meiliki semngat dan vitalitas iman telah
menggiring pemerintahan Utsmani kehilangan kuku kekuasaan. Kehancuran morallah
yang menggiring percepatan kehancuran pemerintahan Utsmani ini.
Melemahnya
aspek internal pemerintah Ustmani merupakan faktor-faktor yang mengantarkannya
ke lubang kebangkrutan. Dan pada saat yang sama musuh-musuh Islam yang tidak
senang dengan mekarnya kekuasaan Utsmani telah pula membuat pemerintahan
Utsmani semakin compang-camping. Gabungan antara kelemahan internal dan
serangan eksternal sangat cukup kuat untuk membuat khilafah Utsmani terjungkal.
Ada beberapa
hal penting yang bisa kita sebutkan sebagai virus ganas yang membuat khilafah
Utsmani bangkrut. Faktor keimanan yang menjadi pendorong maju dan tegaknya
khilafah Utsmani, pada masa akhir masa pemerintahan Utsmani mengalami
kelumpuhan pada tingkat yang tidak bisa dibayangkan. Loyalitas pada Islam
mengendur sehingga mengambil orientasi atau ajaran yang sebenarnya bertolak
belakang dengan Islam. Akidah umat tidak lagi menjadi driving force yang
mampu menjadi turbin yang menggerakkan umat untuk maju.
Kelemahan dalam
akidah ini juga merembet deras pada penyempitan makna ibadah sehingga menjadi
hanya sebatas ritual dan seremoni. Penyempitan makna ini telah membuat Islam
dikebiri pada hanya sebagai alat penghubungan antara hamba dan Allah dan bukan
antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan semesta.
Penyempitan makna ini membuat satu dampak yang tragis dimana umat Islam menjadi
makhluk-makhluk terbelakang dalam memberikan jalan keluar bagi problema sumpek
yang dihadapi manusia masa itu.
Ditambah lagi
dengan menyebarnya tindak kemusyrikan, bid’ah dan khurafat yang mewarnai
perjalanan akhir sejarah pemerintahan Utsmani yang bukan hanya menimpa kalangan
awam, namun juga ulama dan para intelektual.
Gerakan
teroganisir sufi yang menyimpang juga menjadi penyakit ganas yang telah
mengggerogoti potensi umat ini untuk maju dan berkembang. Gerakan sufisme yang
menekankan pada penyucian jiwa dan tak peduli pada dunia telah membuat khilafah
Utsmani kehilangan satu dari sayap kekuatannya. Mereka adalah sosok-sosok yang
bepura-pura senang kemiskinan, namun sebenarnya menjadi parasit rakyat dengan
menerima pemberian masyarakat yang mereka anggap sebagai “berkat” bagi pelaku
tarekat tersebut.
Gerakan
penyimpangan sufi ini telah membobol pertahanan kaum muslimin untuk melakukan
perlawanan terhadap semua serangan yang datang dari luar. Kebiasaan mereka
untuk hanya berdzikir dan hanya mendengarkan nyanyian-nyanyian telah menanamkan
kemalasan dan pembusukan ruh dan semangat juang di kalangan kaum muslimin.
Beberapa sekte
sempalan yang muncul pada masa itu telah juga ikut andil dalam merobohkan
tiang-tiang kegagahan khilafah Utsmani. Gerakan Syiah, Druz, Qadiyani dan Bahai
merupakan gerakan sempalan yang menjadi musuh dalam selimut. Mereka adalah
musuh-musuh pemerintahan Utsmani yang banyak bekerja sama dengan musuh-musuh
Islam.
Yang tak kalah
pentingnya adalah adanya anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, sehingga
siapa pun yang berbeda dengan para ulama terdahulu akan dianggap sebagai sebuah
pembangkangan bahkan tidak jarang dianggap sebagai kekafiran.
Penutupan pintu
ijtihad ini telah menjadi racun yang mematikan daya pikir kaum muslimin dan menjadikan
mereka sebagai bangsa yang selalu menoleh kepada kejayaan masa lalu tanpa tahu
apa yang harus dilakukan di masa depan. Sebuah bangsa yang dengan sengaja
memandulkan diri dan mengamputasi potensinya sendiri.
Menebarnya
kezhaliman yang dilakukan oleh pejabat negara juga menjadi faktor utama yang
membikin pemerintahan Utsmani kalang kabut. Kezhaliman ini telah menimbulkan
ketidak puasan dari masyarakat sehingga negara terus menerus berada dalam ketidakstabilan.
Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwa sesungguhnya Allah
akan menegakkan sebuah pemerintahan yang adil walaupun kafir dan akan
meruntuhkan pemerintahan yang zhalim walaupun muslim. Dunia ini akan lestari
dengan keadilan yang di dalamnya ada kekufuran, dan tidak akan lestari dengan
kezhaliman walaupun di dalamnya ada Islam.
Ketidakadilan
telah membuat pemerintahan Utsmani kehilangan misi utamanya dalam penegakan
nilai-nilai Islam yang memberikan rahmat dan kenikmatan bagi semesta alam.
Kezhaliman telah mengantarkan pemerintahan Utsmani pada kehancurannya yang
hakiki. Terseretnya para penguasa Utsmani dalam kehidupan bermewah-mewah,
berfoya-foya dan boros telah ikut pula memperkeruh suasana khilafah Utsmani.
Para sultan yang tidak lagi tahu nasib dan denyut kebutuhan rakyatnya akan
sulit diharapkan mampu menyelesaikan persoalan mereka. Orientasi kekuasaan dan
bukan pengabdian untuk agama telah menggeser falsafah kehidupan mereka.
Sehingga wajar saja jika pemerintahan Utsmani di akhir masa pemerintahannya
terjerat hutang pada negeri-negeri Eropa.
Selain yang
disebutkan di atas peran orang-orang Yahudi dalam membuat khilafah Utsmani hancur
sangatlah besar. Dan mulai masuknya Freemasonry, sekularisasi khilafah,
pembentukan antek-antek yang setia melaksanakan titah Yahudi dan selainnya
adalah bom-bom waktu yang ditanam di dalam pemerintahan Utsmani yang setiap
saat bisa diledakkan jika waktunya telah memungkinkan.
Akibat dan
semua ini melomponglah masa akhir pemerintahan Utsmani dan sosok pemimpin
rabbani yang mampu dengan jernih melihat masalah dengan mata hati. Kebanyakan
sultan telah berhati keruh dan terjangkiti penyakit pembaratan yang demikian
akut. Ketidakhadiran pemimpin rabbani ini telah menjadikan khilafah Utsmani
mengalami kemacetan gerak.
Walaupun ada
usaha untuk bangkit dari Sultan Abdul Hamid ll yang dengan gencar membenahi
kesalahan masa lalu pemerintahannya, namun usahanya banyak terhalang tembok
tebal akibat adanya akumulasi penyakit ganas yang diderita The Sick
Man itu. Usaha untuk membentuk Pan-Islamisme walaupun ditanggapi dengan
gempita namun tidak mampu menjelma dalam alam nyata. Khilafah Utsmani yang
mengalami penyakit kronis ini seakan ditakdirkan untuk mati akibat konflikasi
penyakit yang dideritanya.
Kehancuran
Turki kemudian ditandai dengan naiknya boneka Kamal Ataturk ke puncak kekuasaan
Turki pada tahuh 1924. Naiknya Ataturk ke puncak kekuasaan Turki telah menjadi
lonceng kematian bagi lahirnya kembali payung umat Islam yang bernama khilafah yang
mampu melakukan pembelaan terhadap kaum muslimin di manapun mereka berada.
Kehancuran
khilafah Utsmani telah membuat umat Islam kehilangan taji kekuasaan di mata dunia.
Umat Islam yang dulu demikian jaya dan menjadi imam peradaban kini harus
menjadi anak yatim yang selalu diperlakukan dengan tidak adil. Kaum muslimin
yang kehilangan payung khilafah kini menjadi manusia-manusia paling miskin
harkat dan derajatnya. Hati mereka berkeping, pikiran mereka terpecah oleh
adanya sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan nasionalisme di mana Islam
bukan lagi sebagai perekat utama bagi kehidupan mereka. Kaum muslimin menjadi
bangsa yang berkeping-keping dalam bangsa-bangsa kecil yang tidak memiliki
bobot apa-apa di mata kekuatan dunia. Umat yang berjumlah lebih dari satu
milyar tiga ratus Iebih manusia itu laksana buih yang gampang terseret arus
kemana-mana. Kaum muslimin kini menjadi bangsa buih setelah payung mereka hancur
akibat ulah umat Islam sendiri.
Sumber: Buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.
Karya: Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi.
Terbitan Pustaka Al-Kautsar.
Karya: Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi.
Terbitan Pustaka Al-Kautsar.
EmoticonEmoticon