BANGKIT & RUNTUHNYA KHILAFAH UTSMANIYAH

Januari 24, 2017
Khilafah Utsmani pada abad keenam belas merupakan ikon kemajuan dunia dan sumber inspirasi abad pertengahan di Eropa.

Jika kita menapaki sejarah perjalanan khilafah Utsmani, maka yang akan kita dapatkan adalah bahwa mereka membangun pemerintahan itu dengan bangunan keimanan yang demikian kokoh kepada Allah, mereka membangun dengan semangat Islam yang menyala-nyala. Mereka bangun negeri itu dengan harta dan air mata, dengan jihad harta dan jiwa. Khilafah Utsmani dibangun di atas semangat untuk menegakkan syari’ah, semangat untuk menegakkan kalimat Allah dan menghancurkan ankara murka.

Para khalifah Utsmani membangun khilafah Utsmani dengan kerja keras dan keringat, dengan keberanian dan keajegan. Mereka membangun tiang-tiang negara dengan pondasi keimanan yang demikian kokoh, dengan asas yang demikian rapi. Asas keimanan dan keislaman yang tegar yang kemudian berbuah ihsan.

Maka tidak heran berkat semangat juang yang tinggi, pikiran yang cerdas, keingan yang kuat, Konstantinopel –yang merupakan kota idaman setiap bangsa dunia saat itu– bertekuk lutut di bawah telapak kaki Sultan Muhammad Al-Fatih pada tanggal 29 Mei 1453. Kejatuhan Konstantinopel ini menurut Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi dalam bukunya Madza Khasira Al-‘Alam bin Inhithath Al-Muslimin telah membangkitan semangat kaum muslimin. Kaum muslimin dunia menaruh harapan pada bangsa Turki untuk mengembalikan kejayaan dan kewibawaan Islam di mata dunia. Keberhasilan khilafah Utsmani dalam menaklukan kota Konstantinopel ini menunjukkan akan betapa kuatnya pemerintahan Islam saat itu, dimana sebelumnya usaha-usaha untuk menaklukkannya selalu mengalami kegagalan.
 
Keberhasilan ini adalah berkat kemampuannya Sultan Muhammad Al-Fatih mengembangkan ruh keimanannya, kemampuannya menjawab respon situasi dan tantangan serta inisatif-inisitaifnya yang brilian. Sultan Muhammad Al-Fatih seperti ditulis Druber memiliki kemampuan teknik perang yang sangat mumpuni dan pandai menggunakan semua senjata. Untuk melakukan panaklukan kota Konstantinopel dia mempersiapkan segalanya dengan persiapan yang demikian matang. Penaklukan kota Konstantinopel itu tidak dilakukan dengan cara kebetulan. Persiapan untuk itu telah dilakukan dengan sematang-matangnya. Dia menggunakan sarana termodern di zamannya dan dengan kecerdikan yang tiada tara.

Semangat berjuang ini dilukiskan dengan cantik oleh Lord Kinross pengarang buku The Ottoman Centuries: The Rise and tha Fall of Turkish Empire, dengan mengutip seorang pengembara bernama Bertrand de Broquiere, dia mengatakan, “Pasukan Utsmani sangat cepat gerakannya, seratus pasukan Kristen akan jauh lebih gaduh (kacau) dari sepuluh ribu pasukan Utsmani. Tatkala genderang perang telah ditabuh, maka dengan segera mereka akan bergerak, mereka tidak akan pernah berhenti melangkah hingga komando dikeluarkan. Mereka adalah pasukan yang terlatih, dalam semalam mereka mampu melakukan tiga kali lipat perjalanan yang dilakukan oleh musuh-musuhnya orang-orang Kristen.”

Paul Kennedy dalam bukunya The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and Military Conflict from 1500 to 2000, mengatakan, “Emperium Utsmani, dia lebih dari sekadar mesin militer, dia telah menjadi penakluk elit yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, buadaya dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas dari yang dimiliki oleh Empirium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar. Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500 dunia, Islam telah jauh melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum muslimin selalu berada di depan.”

Pasukan Utsmani adalah pasukan yang sangat terlatih, disiplin, penuh semangat dan vitalitas, memiliki gerakan yang demikian cepat dan ketangkasan yang tiada tara. Keahlian mereka dalam keahlian perang, dan taktik yang mempesona serta tentara yang sangat terorganisir ini telah mengantarkan pemerintahan Utsman pada sebuah “empirium”.

Kaum muslimin Turki Utsmani, sebagaimana disebutkan oleh An-Nadwi, memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain saat itu. Sebagai bangsa nomadik dengan pola hidup sederhana, mereka memiliki moralitas yang tidak terkotori sehingga dengan gampang malangkah berjuang. Selain itu mereka juga meiliki persenjataan yang kuat sehingga mampu menguasai Afrika, Mesir, Arab Saudi, Iran, Asia Tengah dan sebagian Eropa, hingga ke Wina.

Kejayaan Turki ini merupakan refleksi dari keimanan mereka kepada Allah, kedekatan pada ajaran-ajarannya, dan aplikasi syariatnya. Mereka telah mampu menjadikan Allah sebagai tujuan, Al-Qur’an sebagai undangan-undang, Rasul sebagai panutan, jihad sebagai jalan hidup dan mati syahid sebagai puncak cita. Dampaknya adalah keadilan merata dimana-mana. Para ulama mampu menjalankan fungsinya. Mereka menjadi pengendali moral yang kokoh, sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Aaq Syamsuddin di masa pemerintahan Muhammad Al-Fatih.

Dari rahim khilafah lahir banyak pejuang yang mampu menyebarkan Islam dan menancapkan nilai-nilainya di berbagai belahan dunia. Beberapa sultan yang tegar setelah Sultan Muhammad Al-Fatih lahir seperti Sultan Bayazid II. Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, yang oleh Anthony Bridge disebut Suleiman the Magnificient; The Scourage of Heaven.

Namun keberhasilan kejayaan khilafah Utsmani ini tidak selamanya abadi dan langgeng. Berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh para sultan di akhir pemerintahan Utsmani telah mendorong pemerintahan Utsmani meluncur deras menuju jurang kehancuran.

Adanya sultan-sultan yang lemah dan tidak meiliki semngat dan vitalitas iman telah menggiring pemerintahan Utsmani kehilangan kuku kekuasaan. Kehancuran morallah yang menggiring percepatan kehancuran pemerintahan Utsmani ini.

Melemahnya aspek internal pemerintah Ustmani merupakan faktor-faktor yang mengantarkannya ke lubang kebangkrutan. Dan pada saat yang sama musuh-musuh Islam yang tidak senang dengan mekarnya kekuasaan Utsmani telah pula membuat pemerintahan Utsmani semakin compang-camping. Gabungan antara kelemahan internal dan serangan eksternal sangat cukup kuat untuk membuat khilafah Utsmani terjungkal.

Ada beberapa hal penting yang bisa kita sebutkan sebagai virus ganas yang membuat khilafah Utsmani bangkrut. Faktor keimanan yang menjadi pendorong maju dan tegaknya khilafah Utsmani, pada masa akhir masa pemerintahan Utsmani mengalami kelumpuhan pada tingkat yang tidak bisa dibayangkan. Loyalitas pada Islam mengendur sehingga mengambil orientasi atau ajaran yang sebenarnya bertolak belakang dengan Islam. Akidah umat tidak lagi menjadi driving force yang mampu menjadi turbin yang menggerakkan umat untuk maju.

Kelemahan dalam akidah ini juga merembet deras pada penyempitan makna ibadah sehingga menjadi hanya sebatas ritual dan seremoni. Penyempitan makna ini telah membuat Islam dikebiri pada hanya sebagai alat penghubungan antara hamba dan Allah dan bukan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan semesta. Penyempitan makna ini membuat satu dampak yang tragis dimana umat Islam menjadi makhluk-makhluk terbelakang dalam memberikan jalan keluar bagi problema sumpek yang dihadapi manusia masa itu.

Ditambah lagi dengan menyebarnya tindak kemusyrikan, bid’ah dan khurafat yang mewarnai perjalanan akhir sejarah pemerintahan Utsmani yang bukan hanya menimpa kalangan awam, namun juga ulama dan para intelektual.

Gerakan teroganisir sufi yang menyimpang juga menjadi penyakit ganas yang telah mengggerogoti potensi umat ini untuk maju dan berkembang. Gerakan sufisme yang menekankan pada penyucian jiwa dan tak peduli pada dunia telah membuat khilafah Utsmani kehilangan satu dari sayap kekuatannya. Mereka adalah sosok-sosok yang bepura-pura senang kemiskinan, namun sebenarnya menjadi parasit rakyat dengan menerima pemberian masyarakat yang mereka anggap sebagai “berkat” bagi pelaku tarekat tersebut.

Gerakan penyimpangan sufi ini telah membobol pertahanan kaum muslimin untuk melakukan perlawanan terhadap semua serangan yang datang dari luar. Kebiasaan mereka untuk hanya berdzikir dan hanya mendengarkan nyanyian-nyanyian telah menanamkan kemalasan dan pembusukan ruh dan semangat juang di kalangan kaum muslimin.

Beberapa sekte sempalan yang muncul pada masa itu telah juga ikut andil dalam merobohkan tiang-tiang kegagahan khilafah Utsmani. Gerakan Syiah, Druz, Qadiyani dan Bahai merupakan gerakan sempalan yang menjadi musuh dalam selimut. Mereka adalah musuh-musuh pemerintahan Utsmani yang banyak bekerja sama dengan musuh-musuh Islam.

Yang tak kalah pentingnya adalah adanya anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, sehingga siapa pun yang berbeda dengan para ulama terdahulu akan dianggap sebagai sebuah pembangkangan bahkan tidak jarang dianggap sebagai kekafiran.

Penutupan pintu ijtihad ini telah menjadi racun yang mematikan daya pikir kaum muslimin dan menjadikan mereka sebagai bangsa yang selalu menoleh kepada kejayaan masa lalu tanpa tahu apa yang harus dilakukan di masa depan. Sebuah bangsa yang dengan sengaja memandulkan diri dan mengamputasi potensinya sendiri.

Menebarnya kezhaliman yang dilakukan oleh pejabat negara juga menjadi faktor utama yang membikin pemerintahan Utsmani kalang kabut. Kezhaliman ini telah menimbulkan ketidak puasan dari masyarakat sehingga negara terus menerus berada dalam ketidakstabilan. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwa sesungguhnya Allah akan menegakkan sebuah pemerintahan yang adil walaupun kafir dan akan meruntuhkan pemerintahan yang zhalim walaupun muslim. Dunia ini akan lestari dengan keadilan yang di dalamnya ada kekufuran, dan tidak akan lestari dengan kezhaliman walaupun di dalamnya ada Islam.

Ketidakadilan telah membuat pemerintahan Utsmani kehilangan misi utamanya dalam penegakan nilai-nilai Islam yang memberikan rahmat dan kenikmatan bagi semesta alam. Kezhaliman telah mengantarkan pemerintahan Utsmani pada kehancurannya yang hakiki. Terseretnya para penguasa Utsmani dalam kehidupan bermewah-mewah, berfoya-foya dan boros telah ikut pula memperkeruh suasana khilafah Utsmani. Para sultan yang tidak lagi tahu nasib dan denyut kebutuhan rakyatnya akan sulit diharapkan mampu menyelesaikan persoalan mereka. Orientasi kekuasaan dan bukan pengabdian untuk agama telah menggeser falsafah kehidupan mereka. Sehingga wajar saja jika pemerintahan Utsmani di akhir masa pemerintahannya terjerat hutang pada negeri-negeri Eropa.

Selain yang disebutkan di atas peran orang-orang Yahudi dalam membuat khilafah Utsmani hancur sangatlah besar. Dan mulai masuknya Freemasonry, sekularisasi khilafah, pembentukan antek-antek yang setia melaksanakan titah Yahudi dan selainnya adalah bom-bom waktu yang ditanam di dalam pemerintahan Utsmani yang setiap saat bisa diledakkan jika waktunya telah memungkinkan.

Akibat dan semua ini melomponglah masa akhir pemerintahan Utsmani dan sosok pemimpin rabbani yang mampu dengan jernih melihat masalah dengan mata hati. Kebanyakan sultan telah berhati keruh dan terjangkiti penyakit pembaratan yang demikian akut. Ketidakhadiran pemimpin rabbani ini telah menjadikan khilafah Utsmani mengalami kemacetan gerak.

Walaupun ada usaha untuk bangkit dari Sultan Abdul Hamid ll yang dengan gencar membenahi kesalahan masa lalu pemerintahannya, namun usahanya banyak terhalang tembok tebal akibat adanya akumulasi penyakit ganas yang diderita The Sick Man itu. Usaha untuk membentuk Pan-Islamisme walaupun ditanggapi dengan gempita namun tidak mampu menjelma dalam alam nyata. Khilafah Utsmani yang mengalami penyakit kronis ini seakan ditakdirkan untuk mati akibat konflikasi penyakit yang dideritanya.

Kehancuran Turki kemudian ditandai dengan naiknya boneka Kamal Ataturk ke puncak kekuasaan Turki pada tahuh 1924. Naiknya Ataturk ke puncak kekuasaan Turki telah menjadi lonceng kematian bagi lahirnya kembali payung umat Islam yang bernama khilafah yang mampu melakukan pembelaan terhadap kaum muslimin di manapun mereka berada.


Kehancuran khilafah Utsmani telah membuat umat Islam kehilangan taji kekuasaan di mata dunia. Umat Islam yang dulu demikian jaya dan menjadi imam peradaban kini harus menjadi anak yatim yang selalu diperlakukan dengan tidak adil. Kaum muslimin yang kehilangan payung khilafah kini menjadi manusia-manusia paling miskin harkat dan derajatnya. Hati mereka berkeping, pikiran mereka terpecah oleh adanya sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan nasionalisme di mana Islam bukan lagi sebagai perekat utama bagi kehidupan mereka. Kaum muslimin menjadi bangsa yang berkeping-keping dalam bangsa-bangsa kecil yang tidak memiliki bobot apa-apa di mata kekuatan dunia. Umat yang berjumlah lebih dari satu milyar tiga ratus Iebih manusia itu laksana buih yang gampang terseret arus kemana-mana. Kaum muslimin kini menjadi bangsa buih setelah payung mereka hancur akibat ulah umat Islam sendiri.

Sumber: Buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.
Karya: Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi.
Terbitan Pustaka Al-Kautsar.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »