Hak-hak Suami Istri

Mei 04, 2017

A. Hak-hak Suami Terhadap Istri

Landasan pokok hak-hak ini adalah firman Allah Subahanu wa Ta’ala :
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa: 34)

Hak suami terhadap istri sangatlah besar, sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam;
حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ، أَنْ لَوْ كَانَ بِهِ قَرْحَةٌ فَلَسَحَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ 
“Hak suami terhadap istrinya adalah seandainya mempunyai luka lalu sang istri menjilatinya, maka ia belum menunaikan haknya.” (HR. Ahmad [XVI/227, no. 247])

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْتَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, tentu aku telah perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi)

Ketaatan istri kepada suaminya termasuk faktor yang menyebabkannya masuk Surga. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda;
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: أُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ
“Bila seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, memelihara kemaluannya dan mematuhi suaminya, maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.’” (HR. Ibnu Hibban)

Jika demikian halnya, maka sudah sepatutnya wanita yang beriman mengetahui hak-hak suaminya terhadap dirinya, di antaranya:

1. Mematuhi apa yang ia perintahkan kepadanya
Diriwayatkan dari Husain bin Muhshin radhiyallahu ‘anhu, dari bibinya, ia berkata:
“Aku menemui Rasulullah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bertanya, ‘Apa engkau sudah bersuami?’ Aku jawab, ‘Ya’. Nabi bertanya lagi, ‘Bagaimana sikapmu terhadapnya?’ Aku tidak meninggalkannya kecuali apa yang aku tidak mampu memenuhinya.’ Beliau berkata lagi:
فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ، فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apa pun sikapmu terhadapnya, maka sesungguhnya ia adalah (penyebab) surga dan nerakamu.” (HR. An-Nasa’i, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ahmad)

Ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ditanya tentang sebaik-baik wanita, beliau menjawab:
الَّتِي تُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَتَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ ، وَتَجْفَظُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“(Yaitu) wanita yang mematuhi (suami)nya bila ia menyuruhnya, menyenangkannya bila ia memandangnya, dan memeliharanya berkenaan dengan (kehormatan) dirinya dan harta suaminya.” (HR. Nasa’i)

Catatan:
Ketaatan istri terhadap suaminya tidak bersifat mutlak, tapi disyaratkan selama ketaatan itu tidak mengandung maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jadi, jika suami menyuruhnya untuk melakukan satu kemaksiatan, semisal menyuruhnya untuk menanggalkan hijabnya, meninggalkan shalat, menggaulinya pada saat haid atau pada bagian duburnya, maka istri tidak boleh mematuhinya. Karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:
لَا طَاعَةَ فِيْ مِعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan (terhadap Allah), karena ketaatan itu hanyalah pada kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Tetap tinggal di dalam rumah dan tidak keluar kecuali darinya kecuali dengan seizinnya.
Allah Subhanhu wa Ta’ala berfirman:
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ ... ٣٣
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah..” (QS. Al-Ahzab: 33)

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Tidak dihalalkan seorang istri keluar dari rumahnya kecuali dengan seizin suaminya.. Jika ia keluar dari rumah suaminya tanpa seizinnya, maka ia telah durhaka (nusyuz), bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berhak mendapatkan siksa.” (Majmu’ al-Fatawa [32/281])

3. Mematuhinya, bila ia mengajaknya ke tempat tidur.
Ketaatan kepada suami merupakan kewajiban yang paling besar. Sebaliknya, kemaksiatan kepadanya termasuk kemaksiatan yang paling besar pula.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu ia menolak, maka malaikat melaknatnya hingga pagi hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Makna zhahir hadits ini menunjukkan, penkhususan laknat itu, jika (penolakan itu) terjadi pada malam hari, berdasarkan sabada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ‘hingga pagi hari’.” Namun pengkhususan laknat pada pagi hari hanya untuk menegaskan ancaman. Bukan berarti istri boleh menolak pada siang harinya. Tapi dikhususkannya penyebutan pada malam hari sebab pada waktu itu perbuatan ini sering terjadi.” (Nail al-Authar, asy-Syaukani [6/630])

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلَّا كَانَ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَ عَنْهَا
 “Demi Allah, yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu ia menolak, kecuali yang di langit murka hingga suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim, no. 1436)

Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Jika suami mengajak istrinya untuk memenuhi hajatnya maka penuhilah ajakannya sekalipun ia sedang berada di dapur.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, At-Tirmidzi, At-Thabarni, an-Nasa’i dan Ibnu Hibban)


B. Hak-hak Istri Terhadap Suami

Di antara hak-hak istri terhadap suami adalah sebagai berikut:
1. Mempergauli istri secara ma’ruf.
Maksudnya bersikap baik, tidak menyakiti, tidak menunda-nunda haknya padahal mampu memenuhinya, serta menampakkan kegembiraan dan keceriaan.

Landasan mengenai hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (QS. An-Nisa: 19)

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap kelaurganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban, hadits shahih)

2. Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal yang patut
Dari Muawiyyah al-Qusyairi, ia menuturkan, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمُهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَاتَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِيْ الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan bila engkau makan, memberinya pakaian bila engkau berpakaian, tidak memukul pada wajah, tidak menjelek-jelekkannya, dan tidak mengucilkannya kecuali di dalam rumahnya.’” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa’i)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »