Apabila seseorang wanita yang sedang hamil merasa
khawatir, jika ia berpuasa akan membahayakan janin yang ada di dalam
kandungannya, atau wanita yang sedang menyusui khawatir jika ia berpuasa akan
membuat air susunya menjadi sedikit atau akan membuat air susunya terhenti dan
seterusnya, maka ia boleh untuk tidak berpuasa menurut kesepakatan para ulama,
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ
الصَّلَاةِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla
telah mengurangi setengah kewajiban shalat dari musafir, dan tidak mewajibkan
puasa bagi musafir, wanita yang sedang hamil, dan wanita yang sedang menyusui.”
(HR. Ahmad (IV/347)
Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan apa yang
diwajibkan kepadanya, jika tidak berpuasa, dalam lima pendapat:
Pertama,
wajib mengqadha puasanya dan memberi makan satu orang miskin dalam setiap
harinya.
Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad[1]. Menurut Syafi’iyah dan Hanbaliyah, jika
wanita tersebut tidak berpuasa hanya karena khawatir terhadap dirinya saja,
maka ia wajib mengqadha puasa.
Kedua, wajib mengqadha
puasa saja.
Ini adalah pendapat al-Auza’i, ats-Tsauri, Abu Hanifah
dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu Ubaid[2]. Mereka menilai, wanita
hamil dan menyusui sama hukumnya dengan orang musafir karena ketiganya
tercantum dalam hadits yang telah lalu, atau mereka mengqiyaskan wanita hamil
dan menyusui dengan orang sakit dan musafir.
Pendapat
ini dijawab, musafir hanyalah diwajibkan mengqadha bukan berdasarkan hadits
tersebut, tetapi berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Barangsiapa
yang sakit atau sedang bermusafir….” (QS. al-Baqarah: 185).
Adapun wanita hamil dan menyusui tidak ada dalil yang
mewajibkan mereka untuk mengqadha puasa. Kemudian kalau kita memperhatikan
hadits tersebut, kita mengetahui apabila musafir mengqashar sholat saat bepergian,
setelah kembali pulang, ia tidak diperintahkan untuk mengqadha rakaat-rakaat
yang telah diqasharnya itu. Konsekuensinya, ia juga harus mengatakan bahwa
wanita hamil dan menyusui tidak wajib mengqadha puasa yang telah
ditinggalkannya. (Jami’ Ahkam an-Nisa’: II/395).
Ketiga, Wajib
memberi makan (membayar fidyah), tanpa mengqadha.
Pendapat ini adalah kebalikan pendapat yang sebelumnya.
ini adaIah pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar . Ini juga madzhab Ishaq, dan
pendapat yang dipilih o!eh al-Allamah al-Albani.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas ía berkata, “Laki-laki
dan wanita yang sudah tua renta dan sanggup berpuasa diberi dispensasi untuk
tidak berpuasa, jika suka, dan memberi makan satu orang miskin dalam setiap
harinya, dan tidak wajib mengqadhanya.
Kemudian
hukum tersebut dimansukhkan dengan ayat ini, “Barangsiapa di antara kalian
yang menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa.” (al-Baqarah: 185).
Namun, ketentuan itu (dispensasi untuk tidak berpuasa)
tetap berlaku untuk laki-laki dan wanita yang sudah tua renta, jika tidak mampu
berpuasa. Demikian juga wanita hamil dan menyusui, jika khawatir (baik terhadap
diri maupun bayinya), dengan memberi makan satu orang miskin dalam setiap
harinya. (Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Jarud (381), dan al-Baihaqi
(IV/230). Lihat al-Irwa’(IV/18)).
Perkataan lbnu Abbas: tsabata (ditetapkan)
mengesankan, hukum ini bagi orang yang tidak mampu berpuasa tetap disyariatkan,
sebagaimana dahulu disyariatkan pula bagi orang yang mampu berpuasa. Kemudian
ini dihapuskan, dan yang lainnya tetap berlanjut. Semua yang masih disyariatkan
dan tetap berlanjut hanyalah dìketahui Ibnu Abbas dari Sunnah, dan bukan dari
al-Quran. (Disebutkan al-Albani dalam al-Irwa’ (4/ 24). Berdasarkan
hal itu, dan Ibnu Abbas, ayat ini ,mansukh, seperti ditegaskan oleh Ibnu
Hazm 6/264). Sebenarnya tidak ada kontradiksi antara ini dengan pemyataan lbnu
Abbas yang dishahihkan dalam riwayat al-Bukhari “bahwa ayat ini ,mansukh.”)
Dan yang menegaskan hal ini, lbnu Abbas menetapkan hukum
ini bagi wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui, apabila ia khawatir
(baik terhadap bayinya maupun dirinya). Jika dilihat dari redaksi hadits, jelas
sekali bahwa wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui tidak sama dengan
laki-laki dan wanita yang lanjut usia dalam hal ketidaksanggupan, bahkan
keduanya memiliki kesanggupan.
Oleh karena itu, Ibnu Abbas pernah menyuruh putrinya
yang sedang hamil agar tidak berpuasa, dan mengatakan, “Kamu ini sama
kedudukannya dengan orang lanjut usia yang tidak sanggup untuk berpuasa. Oleh
karena itu, janganlah berpuasa dan berikan makan (kepada orang miskin) setiap
hari sebanyak setengah sha’ gandum.” (Shahih, diriwayatkan oleh Abdurrazzaq
(7567), ad-Daruqutimi (II/206) dan ia menshahihkan hadits ini.)
Bagaimana mungkin Ibnu Abbas menetapkan hukum keduanya,
padahal dengan jelas dia mengatakan, ayat tersebut telah dimansukhkan?
Tidak diragukan lagi, tentu itu berasal dan Sunnah.
Diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata, “Putri Ibnu
Umar menjadi istri seorang pria dari
suku Quraisy, dan ia sedang hamil. Saat ia merasa kehausan karena menjalankan
puasa di bulan Ramadhan maka Umar menyuruhnya untuk tidak berpuasa dan memberi
makan saorang miskin dalam setiap harinya.” (Sanadnya shahih, dìriwayatkan
ad-Daruquthni (II/207). Lihat al-Irwa’(IV/20).)
Keempat, Wanita
hamil wajib mengqadha, sedangkan wanita menyusui wajib mengqadha dan membayar
fidhyah. Ini adalah pendapat Malik, dan satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah.
(Al-Muhalla (VI/165), Bidayah al-Mujtahid (I/446) dan al-Majmu’
(VI/273).)
Kelima, Tidak
wajib mengqadha dan tidak wajib pula membayar fidhyah ini adalah madzhab Ibnu
Hazm (Al-Muhalla: VI/263), ia mengatakan, “Jika puasa tidak di wajibkan,
maka mewajibkan qadha kepadanya berarti telah membuat syar’iat yang tidak
diperkenankan oleh Allah. Allah hanya mewajibkan qadha pada orang sakit,
musafir, wanita yang sedang haid dan nifas dan orang yang muntah dengan
sengaja.
Adapun mewajibkannya untuk memberi makan maka tidak
boleh seorang pun mewajibkan orang lain untuk membayarkan sesuatu yang tidak
ada dalil nashnya dan tidak ada pula ijma’ ulama mengenainya.”
Penulis berkata:
Pendapat yang paling rajih (jelas) adalah bahwa wanita
hamil dan wanita menyusui boleh tidak berpuasa tetapi harus memberi makan satu
orang miskin dalam setiap harinya, dan tidak perlu mengqadhanya. Ini pendapat
lbnu Abbas dan Ibnu Umar Tidak diketahui
ada sahabat Rasulullah yang menyelisihi pendapat ini.
Kemudian hadits lbnu Abbas ini hukumnya seperti hukum
hadits marfu’; karena hadits ini adalah hadits seorang sahabat tentang tafsir
yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat. Jadi, ini adalah hadits yang
bersanad, seperti yang diterangkan dalam ilmu Mushthalah Hadits. (Tadrib
ar-Rawi (I/192-193), dan ‘Ulum al-Hadits, Ibnu Shalah (hal. 24).). Wallahu
a’lam.
[[Sumber: Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim]]
Artikel Terkait:
EmoticonEmoticon