Bulan Romadon
adalah kesempatan emas untuk mendulang pahala dan menuai ampunan Alloh Subhanahu
wa Ta’ala. Bulan penuh keberkahan yang hanya sekali dalam setahun
mengunjungi kita. Inilah saatnya orang-orang yang merindukan surga berpacu
dalam amal sholeh. Inilah pula saatnya orang-orang yang banyak berdosa
bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan mengganti
lembaran-lembaran hidupnya yang kelam dengan lembaran-lembaran baru yang putih
dan bersih.
Agar kita
berhasil meraih kebaikan yang melimpah di bulan ini, maka hendaknya kita
menghindari beberapa kesalahan yang kerap dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin
terkait dengan amalan-amalan di bulan Romadon.
Berikut ini
kami paparkan penjelasan seputar kesalahan-kesalahan yang sering terjadi pada
bulan Romadon. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat dalam
penjelasan ini. Amin..
1. Mengkhususkan
ziarah kubur menjelang Romadon.
Tidaklah
tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Romadon adalah waktu utama untuk
menziarahi kubur orang tua atau kerabat (dikenal dengan “nyadran” atau “nyekar”).
Kita boleh
setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena
mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah
kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Romadon adalah waktu
utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan, karena sama
sekali tidak ada dasarnya dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
2. Mengerjakan
puasa tetapi meninggalkan sholat.
Ini
merupakan kesalahan yang besar. Sebab sholat adalah tiang agama dan rukun Islam
yang paling agung setelah syahadat. Jauh lebih ringan meninggalkan puasa
daripada meninggalkan sholat.
Oleh karena
itu, sungguh keliru jika seseorang berpuasa tetapi meninggalkan sholat. Bahkan
orang yang meninggalkan sholat puasanya tidak sah dan tidak diterima, karena
orang yang meninggalkan sholat hukumnya kafir dan murtad. Hal ini berdasarkan
firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala :
فَإِن تَابُواْ
وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِۗ
“Jika
mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudara kalian seagama..” (QS. at-Taubah [9]: 11)
Ini adalah
pendapat kebanyakan sahabat, walaupun bukan ijma’ (kesepakatan bulat) mereka.
‘Abdulloh bin Syaqiq -seorang tabi’in
yang mulia- berkata: “Bahwasanya para sahabat Nabi Muhammad sollallohu ‘alayhi
wa sallam tidak menganggap suatu amalan yang apabila ditinggalkan menjadi
kafir kecuali solat.”
Sebagaimana
telah dimaklumi bahwa orang kafir tidak diterima semua amal ibadahnya. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya seorang yang meninggalkan sholat menjadikan Romadon
sebagai momen yang tepat untuk bertaubat dan melaksanakan sholat secara
kontinyu baik di bulan Romadon maupun di bulan-bulan lainnya.
3. Tidak
rajin mengerjakan sholat kecuali di Bulan Romadon.
Sebagian
orang ada juga yang hanya aktif dan bersemangat melaksanakan solat selama di
bulan Romadon saja. Di luar Romadon mereka menyia-nyiakan solat. Ini jelas
merupakan kesalahan paling fatal dan dosa besar. Rosululloh sollallohu ‘alayhi
wa sallam bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ
الصَّلاَةِ
“(Batas)
antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.”
(HR. Muslim)
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian
antara kami (kaum Muslimin) dan mereka (orang-orang munafik) adalah sholat.
Barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh ia telah kafir.” (HR. at-Tirmidzi,
an-Nasa’i dan Ibnu Majah)
4. Lalai
dari tujuan utama puasa dan hikmah-hikmahnya.
Puasa
memiliki maksud dan tujuan yang tinggi, di antaranya adalah apa yang disebutkan
Alloh dalam firman-Nya:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS.
al-Baqarah [2]: 183)
Tujuan puasa
adalah agar seseorang meraih ketakwaan, bukan hanya sekedar menahan diri dari
makan dan minum, karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh puasa yang seperti ini,
sebagaimana sabda Nabi :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ
لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa
tidak meninggalkan perkataan keji dan dusta, serta melakukannya, maka Alloh
tidak butuh dengan puasanya.” (HR. Bukhori)
Bahkan puasa
yang benar dapat mencegah seseorang dari perbuatan maksiat, sebagaimana sabda
Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ...
“Puasa
adalah perisai, maka janganlah seorang yang berpuasa itu berkata keji dan
berbuat jahil….” (HR. Bukhori dan Muslim)
Terkadang
kita melihat sebagian orang berpuasa, tetapi tidak meninggalkan perbuatan dan
perkataan haram, seperti permusuhan, hasad, dengki, ghībah dan namīmah
(menggunjing dan mengadu domba), serta perkataan keji dan kotor lainnya.
5. Tidak
mempelajari hukum-hukum puasa, adab-adabnya, syarat-syarat dan pembatalnya.
Untuk
mengetahui tentang hukum-hukum yang terkait dengan puasa tidaklah sulit. Bisa
dengan menghadiri majlis-majlis ta’lim, atau membaca buku atau bertanya kepada
orang yang mengerti tentang masalah puasa.
Orang yang
meninggalkan semua ini, maka ia berpuasa dalam keadaan jahil (bodoh), sehingga
boleh jadi ia melakukan perbuatan yang
membatalkan puasanya sedangkan ia tidak mengetahuinya. Padahal Alloh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
..فَسَۡٔلُوٓاْ
أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kalian tidak
mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43)
Nabi sollallohu
‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
melakukan amalan yang tidak didasari perintah kami, maka amalan tersebut
tertolak.” (HR. Muslim)
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut
ilmu adalah kewajban bagi setiap Muslim.” (HR. al-Baihaqi)
6. Berlebih-lebihan
dalam makan dan minum sehingga merasa berat untuk beribadah.
Sebagian
salafus sholeh mengatakan bahwa barangsiapa yang banyak makan, minum dan tidur,
niscaya ia luput dari berbagai macam kebaikan. Nabi sollallohu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
مَا مَلأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسَبِ
ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ فَاعِلاً فَثُلُثُ
لِطَعَامِهِ، وَثُلُثُ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidak ada
tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia kecuali perutnya, karena
sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Kalaupun
ia ingin makan, hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya,
sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR. Ahmad,
an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dishahihkan al-Albani)
Sebagian
salaf berkata, “Alloh Subhanahu wa Ta’ala menghimpun seluruh sebab-sebab
kesehatan pada separuh ayat, yaitu firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا
يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ٣١
“Makan
dan minumlah kalian, akan tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. al-A’raf [7]: 31)
Barangsiapa
berlebih-lebihan dalam makan dan minum, ia telah lalai dari salah satu hikmah
puasa, yaitu menghindarkan tubuh dari pengaruh makanan dan minuman berlebih
yang bisa memberatkan tubuh.
Ingatlah
bahwa jika lambung penuh, maka pikiran akan mati, kebijaksanaan yang dimiliki
akan hilang dan anggota tubuh tidak mampu lagi untuk mengerjakan ibadah. Jika
terlalu banyak makan saat berbuka, maka malam hari kita akan penuh dengan
tidur. Sebagaimana jika terlalu banyak makan sahur, maka siang hari kita akan
penuh dengan rasa malas.
7. Meninggalkan
makan sahur.
Ada sebagian
orang yang meninggalkan makan sahur. Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan
sunnah. Dari Abu Sa’id al-Khudri rodiyallohu ‘anhu ia berkata bahwa,
“Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
السُّحُورُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ، فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ
يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ
يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
“Makan sahur
itu seluruhnya berkah. Maka janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya
dengan seteguk air, karena sesungguhnya Alloh dan para malaikat-Nya bershalawat
kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
8. Mengawalkan
waktu sahur dan mengakhirkan berbuka puasa.
Ini
menyelisihi petunjuk Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam, dimana beliau
selalu mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Beliau sollallohu ‘alayhi
wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفُطُوْرُ
“Manusia
senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhori dan
Muslim)
Beliau sollallohu
a’alayhi wa sallam mengabarkan bahwa mengakhirkan berbuka adalah tradisi
kaum Yahudi. Ketika menyemangati kaum Muslimin untuk menyegerakan berbuka,
beliau sollallohu a’alayhi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ الْيَهُوْدَ يُؤَخِّرُوْنَ
“Sesungguhnya
orang-orang Yahudi selalu mengakhirkan (berbuka puasa).” (HR. Ibnu Majah dan
Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih)
Adapun
mengakhirkan sahur adalah sunnah, sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit rodiyallohu
‘anhu, ia berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِىِّ
ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ اْلأَذَانِ
وَالسَّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami sahur
bersama Nabi , kemudian beliau bangkit
menuju sholat. Aku bertanya, ‘Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur?’. Maka
beliau menjawab, ‘Kira-kira lima puluh ayat.” (HR. Bukhori)
9. Tidak
berusaha memahami dan mentadabburi al-Qur’an.
Banyak di
antara kaum Muslimin membaca al-Qur’an tapi tidak berusaha memahami apa yang
mereka baca. Bahkan, ketika terlintas hukum-hukum syar’i, dalil-dalil
Qur’aniyyah, nasehat-nasehat yang agung dan perumpamaan-perumpamaan yang jelas,
ia tidak mengetahui apa yang melintasinya, tidak pula mengetahui makna kitab
Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang turun kepadanya.
Padahal
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ
ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٩
“Ini
adalah kitab (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah agar
mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat
petunjuk.” (QS. Shad
[38]: 29)
Alloh Subhanahu
wa Ta’ala mencela orang-orang yang berpaling dari mentadabburi al-Qur’an
dalam firman-Nya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ
أَقۡفَالُهَآ ٢٤
“Maka,
apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24)
Alloh Subhanahu
wa Ta’ala mengabarkan bahwa hal ini merupakan sifat kebanyakan orang
Yahudi. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Di antara
mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab, kecuali dongengan bohong
belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS. al-Baqarah [2]: 78)
Abu Ja’far
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Maksud firman-Nya “mereka tidak mengetahui
al-Kitab” adalah tidak mengetahui apa-apa yang ada di dalam kitab yang
diturunkan oleh Alloh, dan tidak mengetahui apa-apa yang Alloh tetapkan berupa
batasan, hukum dan kewajiban sehingga keadaan mereka seperti halnya para
binatang”.
Abu Abdil
Rohman as-Sulami rohimahulloh berkata, “Orang-orang yang membacakan
al-Qur’an kepada kami telah memberitakan bahwa apabila mereka mempelajari
sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sampai mengetahui kandungan ilmu di dalamnya lalu mengamalkannya”. Beliau
berkata, “Dengan begitu kami mempelajari al-Qur’an, ilmu dan juga
mengamalkannya”.
10. Tidak
membiasakan anak-anak kecil berpuasa.
Mereka tidak
menganjurkan anak-anaknya berpuasa dengan berdalih mereka masih kecil, masih
belum mampu berpuasa. Perbuatan ini menyelisihi salafus sholeh dari kalangan
para sahabat dan setelahnya.
Imam Bukhori
dan Muslim meriwayatkan dari ar-Rabi’ binti Mu’awidz rodiyallohu ‘anha berkata:
فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ
لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ
أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ، حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ
“Kami
berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan
mereka mainan dari bulu. Maka, apabila mereka menangis karena lapar, kami
berikan mainan itu kepadanya, sampai tiba waktu berbuka.” (HR. Bukhori dan
Muslim)
Sedangkan
dalam riwayat Muslim:
فَإِذَا سَأَلُوْا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ
تُلْهِيْهِمْ حَتَّى يُتِمُّوْا صَوْمَهُمْ
“Apabila
mereka meminta makan, kami berikan mainan yang dapat menyibukkannya sehingga
mereka dapat menyempurnakan puasanya.” (HR. Muslim)
Maksudnya,
mereka membiasakan anak-anaknya berpuasa dan melipur anak-anaknya dengan mainan
dari bulu. Mereka melakukan hal itu sebagai upaya melatih anak-anak mereka
untuk berpuasa. Anak kecil tidak disyaratkan berpuasa sehari penuh karena belum
wajib. Akan tetapi, hendaknya orang tua membiasakan mereka untuk berpuasa
sesuai kemampuannya.
11. Melafazhkan
niat puasa.
Ini tidak
memiliki asal dari sunnah yang suci, bahkan termasuk bid’ah yang diada-adakan.
Niat merupakan salah satu syarat sahnya ibadah, sebagaimana sabda Nabi sollallohu
‘alayhi wa sallam:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya
amal perbuatan itu hanya tergantung pada niat.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Akan tetapi,
niat itu tempatnya di hati sehingga cukup seseorang itu bangun untuk makan
sahur, atau bertekad untuk berpuasa sebelum tidur, atau yang semisalnya (tanpa
perlu melafazkan niat di lisan).
12. Membangunkan
“Sahur ... Sahur” sehingga mengganggu orang lain.
Sebenarnya
Islam sudah memiliki tata cara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan
dan minum, yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan Shubuh. Sedangkan adzan
kedua ketika adzan Shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan
minum.
Inilah cara
untuk memberitahukan pada kaum Muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan
minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika
membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur...sahur...”, baik melalui
speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu.
Cara
membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi sollallohu
‘alayhih wa sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari
umat ini.
Jadi,
hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama
untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk
menunjukkan diharamkannya makan dan minum.
Ibnu Mas’ud rodiyallohu
‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah petunjuk Rosul, janganlah
kalian membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian”.
13. Pensyariatan
waktu imsāk (berhenti makan 10 menit sebelum waktu Shubuh).
Yang
dimaksud di sini adalah berhenti dari makan, minum dan segala pembatal puasa.
Kapankah sebetulnya kita diwajibkan berhenti dari itu semua? Ketika adzan tanda
masuknya Shubuh ataukah sebelumnya, yakni sepuluh menit sebelum masuknya
Shubuh?
Syaikh
Nashiruddin al-Albani rohimahulloh mengatakan: “Masalah ini, ketika
banyak orang meyakini bahwa makan di malam hari mulai haram sejak adzan pertama
(yakni sebelum masuknya waktu Shubuh), adzan ini mereka sebut dengan adzan
imsāk, tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan dalam satu madzhabpun
dari madzhab para imam yang empat.
Mereka semua
justru sepakat bahwa adzan untuk imsāk (menahan dari pembatal puasa) adalah
adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu Shubuh. Dengan adzan
inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan
puasa.
Adapun adzan
pertama yang kemudian disebut adzan imsāk, pengistilahan semacam ini
bertentangan dengan dalil al-Qur’an dan Hadits. Adapun al-Qur’an, maka Robb
kita berfirman:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ
مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
“..Makan
dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar..” (QS. al-Baqarah [2]: 187)
Ini
merupakan nash yang tegas di mana Alloh Subhanahu wa Ta’ala membolehkan
bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur.
Artinya,
Robb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang
secara syar’i dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar
shādiq (yakni masuknya waktu Shubuh). Demikian Robb kita menerangkan.
Nabi sollallohu
‘alayhi wa sallam menegaskan makna ayat ini dengan mengatakan:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ
بِلَيْلٍ
“Janganlah
kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits
lain disebutkan:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ
لِيَقُوْمَ النَّائِمُ وَيَتَسَحَّرُ الْمَتَسَحِّرُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Janganlah
kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan orang
yang sedang tidur dan agar bersahur orang yang hendak sahur. Maka makan dan
minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan (kedua)….”
Ibnu Hajar rohimahulloh
(salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) juga mengingkari perbuatan semacam
ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Maka
jelaslah bahwa waktu imsāk (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak
terbitnya fajar shādiq –yaitu ketika adzan Shubuh dikumandangkan, bukan 10
menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Alloh Subhanahu
wa Ta’ala dan Rosul-Nya .
14. Dzikir
secara berjama’ah baik dalam sholat tarawih maupun sholat lima waktu.
Syaikh Abdul
‘Aziz bin Baz rohimahulloh tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah solat
berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah.
Akan tetapi yang benar adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa
dipimpin oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah
sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.”
15. Mengucapkan
“ash Sholātul Jāmi’ah” atau shallū sholāh at-tarāwih.
Banyak kita
dapati di masjid-masjid seorang mengumandangkan kata-kata: shallū shalāh
at-tarāwih rahimakumulloh... (Sholat tarawihlah kalian semoga kalian
dirahmati oleh Alloh...) untuk menyeru jama’ah dalam sholat Tarawih.
Hal ini
tidak pernah dicontohkan oleh Rasululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam dan
para salafush sholeh sesudahnya. Tidak juga dianjurkan oleh para imam yang
empat seperti Imam Syafi’i rohimahulloh dan imam-imam yang lainnya. Hal
ini adalah suatu perkara yang diada-adakan setelah berlalunya masa salafush
sholeh.
16. Bubar
terlebih dahulu sebelum imam selesai sholat taraih dan witir.
Nabi sollallohu
‘alayhi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ
لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Sesungguhnya
siapa yang solat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala
qiyamul lail satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan al-Albani)
Jika imam
melaksanakan sholat tarawih ditambah sholat witir, makmum pun sebaiknya ikut
menyelesaikannya bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
17. Mengadakan
perayaan Nuzulul Qur’an.
Perayaan
Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi , juga tidak pernah dicontohkan oleh para
sahabatnya. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan:
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya
amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk
melakukannya.”
Inilah
perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai
bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan
segera melakukannya. (Lihat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, pada tafsir surat
al-Ahqaf ayat 11)
18. Tidak
berniat puasa ketika di malam hari .
Juga
termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum Muslimin bahwa berniat untuk
berpuasa Romadon hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam
tuntunan syariat bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari
sampai terbitnya fajar.
Ini
berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah
yang memiliki hukum marfū’ (seperti ucapan Nabi ) dengan sanad yang shahih,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ، فَلاَ صِيَامَ
لَهُ
“Siapa yang
tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya.” (HR.
an-Nasa’i, ad-Darimi dan al-Baihaqi, dishahihkan al-Albani)
Kata al-lail
(malam) dalam bahasa Arab berarti waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari
sampai terbitnya fajar.
19.
Menganggap bahwa puasa orang yang junub tidak sah bila bangun setelah terbitnya
fajar dan belum mandi.
Yang
dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah orang yang junub secara umum,
mencakup junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri, juga
perempuan yang telah suci dari haidh atau nifas.
Apabila
mereka bangun setelah terbitnya fajar, maka tetap boleh untuk berpuasa dan
puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah rodiyallohu
‘anha:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ
“Rosululloh sollallohu
‘alayhi wa sallam memasuki waktu Shubuh dalam keadaan junub karena jima’
bukan karena mimpi, kemudian beliau tidak buka dan tidak pula mengqadha’
(mengganti) puasanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
20. Menganggap
bahwa bersuntik membatalkan puasa.
Bersuntik
bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang
terlarang selama suntikan itu tidak menggantikan sifat makanan dan minuman
seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, atau infus. Dibolehkannya hal ini
karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan
puasa.
21.
Merasa ragu untuk mencicipi makanan.
Boleh
mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan
kemudian mengeluarkannya.
Hal ini
berdasarkan perkataan ‘Abdulloh bin ‘Abbas rodiyallohu
‘anhuma yang mempunyai hukum marfū’ (sampai kepada Nabi ), yang lafazhnya:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ
يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah
mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli)
sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa.”
(HR. Bukhori dan Ibnu Abi Syaibah)
Berkata Imam
Ahmad rohimahulloh, “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan,
tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya, maka
tidak ada masalah baginya.”
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, “Adapun kalau ia merasakan
makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan
menggerakkannya, maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang
kumur-kumur dan menghirup air.”
22. Meninggalkan
berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung ketika berwudhu.
Berkumur-kumur
dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyariatkan
pada setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan
yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan.
Tapi perlu
diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat
tidak dilakukan secara berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam
tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqīth bin Saburah rodiyallahu ‘anhu bahwa
Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah
engkau dalam menghirup air (ke dalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam
keadaan berpuasa.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad
shahih)
23.
Menganggap bahwa mandi dan berenang atau menyelam dalam air membatalkan puasa.
Anggapan
tersebut salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau
menyelam itu membatalkan puasa sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk ke
dalam tenggorokannya.
Berkata Imam
Ahmad rohimahulloh, “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan
selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan.”
Berkata
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin , “Tidak apa-apa
orang yang berpuasa menceburkan dirinya ke dalam air untuk berenang karena hal
tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya
(menyelam dan berenang) adalah halal sampai adanya dalil yang menunjukkan
makruh atau haramnya. Dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya serta tidak
pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian Ulama menganggap hal tersebut
makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia
tidak menyadari.”
Ini juga
merupakan pendapat Ibnu Hazm rohimahulloh, Ibnu Taimiyyah rohimahulloh
dan lain-lainnya.
24. Menganggap
bahwa menelan ludah membatalkan puasa.
Boleh
menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh,
seperti mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya.
Berkata Ibnu
Hazm rohimahulloh, “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada
perbedaan pendapat (di kalangan ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut
tidaklah membatalkan puasa. Wa billahit taufiq.”
Berkata Imam
an-Nawawi rohimahulloh, “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa
menurut kesepakatan (para ulama).”
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh, “Dan apa-apa yang terkumpul
di mulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan
puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan
keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya
….”
Adapun dahak
tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu
apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.
25. Menganggap
bahwa mencium bau-bauan yang harum membatalkan puasa.
Mencium
bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau
makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, “Dan mencium bau-bauan yang
wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa.”
26. Mengakhirkan
adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian.
Di antara
kesalahan yang lain adalah mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan
kehati-hatian atau ihtiyāth. Sebagian mereka ada juga yang membunyikan meriam
atau sirine untuk memberitahukan masuknya waktu sholat, sahur, atau berbuka.
al-Imam asy-Syathibi dalam kitabnya
al-I’tishām menganggap hal ini sebagai
bid’ah.
27. Melakukan
hal-hal yang membangkitkan syahwat.
Seorang yang
mengeluarkan mani tanpa jima’, baik karena onani ataupun hal-hal lain yang
memancing syahwatnya seperti menonton atau membaca, maka puasanya pada hari itu
batal dan diwajibkan atasnya untuk mengqadhanya (mengganti puasa yang batal
tersebut) pada hari lain setelah Romadon.
Syaikh
Muhammad Sholih al-‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan, bahwa apabila
seseorang bermimpi sehingga megeluarkan mani pada saat berpuasa maka tidak ada
sanksi baginya, karena mani yang keluar bukan atas keinginannya, bahkan
keluarnya mani tersebut tanpa ia sadari, sedangkan bagi yang sengaja
mengeluarkan mani dengan onani, maka sesungguhnya ia berdosa besar kepada Alloh
Subhanahu wa Ta’ala, sehingga hal itu menyebabkan puasanya batal dan
wajib baginya untuk mengqadho dan bertaubat dengan benar.”
28. Banyak
tidur dan melakukan perbuatan yang sia-sia.
Ada di
antara kaum Muslimin yang menjadikan bulan suci ini sebagai bulan untuk tidur
dan bermalas-malasan atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan sia-sia seperti
main catur, kartu domino, nonton TV, bermain Game, mendengar musik dan
semacamnya, dengan dalih untuk menghilangkan kejenuhan sambil mengisi waktu
luang menunggu waktu berbuka puasa, padahal akan jauh lebih bermanfaat apabila
ia mengisi waktu lowong tersebut dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan
kajian-kajian Islam atau membaca buku-buku agama.
Orang yang
banyak melakukan tidur di bulan Romadon melandaskan perbuatannya dengan sebuah
hadits dha’if yaitu:
“Tidurnya
orang yang berpuasa adalah ibadah.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dari Ibnu Umar rodiyallohu ‘anhuma dan
al-Baihaqi dari ‘Abdullah bin Abi Aufa. Hadits ini adalah dha’if. al-Hafizh
al-‘Iraqi juga mendha’ifkan hadits ini
dalam takhrij beliau terhadap kitab Ihyā’ Ulūmuddīn karya al-Ghazali .
29. Membaca
doa berbuka puasa tidak pada tempatnya.
Rosululoh sollallohu
‘alayhi wa sallam apabila berbuka puasa beliau membaca doa berikut:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Telah
hilang rasa dahaga, telah basah urat-urat, dan pahalanya tetap insya Alloh.”
(HR. Abu Dawud)
Kebanyakan
dari kaum Muslimin membaca doa tadi sebelum mencicipi makanan atau minuman
padahal lafazh doa tersebut menunjukkan fi’īl mādhī (kata kerja lampau), hingga
tidak mungkin dikatakan telah hilang dahaga apabila belum makan atau minum.
Adapun
bacaan yang dibaca sebelum berbuka puasa adalah basmalah yaitu “Bismillah”, hal
ini berdasarkan keumuman hadits Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam:
“Apabila
salah seorang dari kalian makan makanan, maka ucapkanlah ‘Bismillah’.” (HR.
at-Tirmidzi)
30. Begadang
untuk sesuatu yang tidak terpuji.
Banyak orang
yang begadang pada malam-malam Romadon dengan melakukan sesuatu yang tidak
terpuji, bermain-main, ngobrol, jalan-jalan atau duduk-duduk di jembatan atau
trotoar jalan. Pada tengah malam mereka baru pulang dan langsung sahur kemudian
tidur.
Karena
kelelahan, mereka tidak bisa bangun untuk sholat Shubuh berjamaah pada
waktunya. Ada banyak kesalahan dan kerugian dari perbuatan semacam ini yaitu
begadang dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Padahal Nabi membenci tidur sebelum ‘Isya dan
bercengkerama (ngobrol) setelahnya kecuali dalam hal kebaikan.
31. Meninggalkan
sholat tarawih.
Padahal
telah dijanjikan bagi orang yang menjalankannya -karena iman dan mengharap
pahala dari Alloh- ampunan akan dosa-dosanya yang telah lalu. Orang yang
meninggalkan sholat tarawih berarti meremehkan adanya pahala yang agung dan
balasan yang besar ini.
Ironinya,
banyak umat Islam yang meninggalkan sholat taraweh. Barangkali ada yang ikut
sholat sebentar lalu tidak melanjutkannya hingga selesai. Atau rajin
melakukannya pada awal-awal bulan Romadon dan malas ketika sudah akhir bulan.
Alasan mereka, sholat taraweh hanyalah sunnah belaka.
Benar,
tetapi ia adalah sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan) yang dilakukan oleh
Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam, Khulafa’ur Rasyidin dan para
tabi’in yang mengikuti petunjuk mereka.
Ia adalah
salah satu bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
dan salah satu sebab bagi ampunan dan kecintaan Alloh kepada hamba-Nya.
Orang yang
meninggalkannya berarti tidak mendapatkan bagian daripadanya sama sekali. Kita
berlindung kepada Alloh dari yang demikian. Bahkan mungkin orang yang melakukan
sholat taraweh itu bertepatan dengan turunnya Lailatul Qadar, sehingga ia
mendapatkan keberuntungan dengan ampunan dan pahala yang amat besar.
32. Sholat
tarawih dengan tergesa-gesa dan tidak tuma’nīnah (tenang).
Pada
pelaksanaan sholat tarawih di masjid-masjid sering kita saksikan imam sholat
melakukan sholat tarawih dengan tergesa-gesa, terlalu cepat dalam melaksanakan
shalat, tidak menyempurnakan sujud, ruku’, dan bacaan sholat lainnya.
Padahal
Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Seburuk-buruk pencuri
adalah pencuri di dalam sholat, di mana ia tidak menyempurnakan ruku, sujud,
dan kekhusyu’annya.” (HR. Ahmad)
Dan juga
sabda beliau , ‘Tidak sah sholat
seseorang yang tulang punggungnya tidak lurus ketika melakukan ruku’ dan
sujud.’ (HR. an-Nasa’i dan at-Tirmidzi)
33. Berpuasa
dengan niat supaya sehat.
Niat ini
merusak keabsahan puasa. Karena, puasa tidak dilakukan, kecuali dengan
mengharap ridha Alloh. Adapun berdalih dengan sabda Nabi, ‘Berpuasalah kalian
maka kalian akan sehat’, maka hadits ini adalah hadits lemah.
34. Tidak
melaksanakan sholat Maghrib dengan berjama’ah lantaran berbuka puasa.
Hal ini
banyak kita saksikan di masjid-masjid yang pada waktu Maghrib di bulan Romadon
sunyi disebabkan banyak orang lebih mengutamakan berbuka puasa di rumah di
bandingkan melaksanakan sholat maghrib berjamaah di masjid. Padahal Rosululloh
pernah berkeinginan kuat untuk membakar rumah-rumah orang yang sholat di
rumahnya.
35.
Mengakhir-akhirkan sholat Zhuhur dan ‘Ashar dari waktunya lantaran tidur yang
berlebihan.
Alloh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman, artinya:
“Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai
terhadap shalatnya.’ (QS. al-Ma’un [107]:
4-5)
Termasuk
orang-orang yang lalai terhadap sholatnya adalah mereka yang menunda-nunda
waktu sholat atau meninggalkan sholat berjama’ah tanpa udzur.
Tidur merupakan
salah satu karunia Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada
hamba-Nya. Ia adalah suatu kebutuhan manusiawi yang harus dipenuhi. Hanya saja,
jika ia melebihi batas yang wajar, maka ia bisa merusak hati.
Dalam bulan
puasa ini kita mengharapkan sesuatu yang sangat besar, bahkan lebih berharga
dari segala sesuatu, yaitu surga Alloh yang luasnya seluas langit dan bumi.
Oleh karena itu, hendaklah kita meninggalkan banyak tidur sehingga waktu yang
kita miliki tidak hilang dengan percuma.
36. Menjadi
hamba Romadon.
Sebagian
orang, bila datang bulan Romadon mereka bertaubat, sholat dan puasa. Sebagian
lagi amat bersemangat dan tekun membaca al-Qur’an di bulan Romadon bahkan
sampai mengkhatamkannya, ada juga yang banyak bersedekah dan bermurah hati
terhadap kaum fakir miskin.
Akan tetapi
ketika Romadon berlalu meninggalkannya ia mengabaikan semua amalan-amalan tersebut. Ia kembali malas memakmurkan
rumah-rumah Alloh dengan sholat
berjama’ah, segan membaca al-Qur’an, dan tidak lagi berpuasa sunnah. Bahkan
tidak sedikit yang kembali lagi meninggalkan sholat dan melakukan berbagai
perbuatan maksiat.
Alangkah
ruginya golongan orang-orang seperti ini, sebab mereka tidak mengenal Alloh
kecuali di bulan Romadon saja. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Robb
bulan-bulan pada sepanjang tahun adalah satu jua? Bahwa maksiat itu haram
hukumnya di setiap waktu? Bahwa Alloh
mengetahui perbuatan mereka di setiap saat dan tempat?
Hendaknya
mereka sadar bahwa kita semua adalah hamba Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
bukan hamba Romadon. Ingatlah, Robb yang kita sembah di bulan Romadon adalah
Robb yang sama di bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, janganlah kita
sekali-kali meninggalkan amalan tersebut di luar bulan Romadhan.
Hendaknya
kita bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan taubat nashūhah
(taubat yang sebenar-benarnya), meninggalkan maksiat serta bertekad kuat untuk
tidak mengulangi dosa-dosa setelah perginya Romadon.
Semoga
shalawat dan salam tercurah atas Nabi Muhammad sollallohu ‘alayhi wa sallam,
keluarga dan para sahabatnya.
EmoticonEmoticon