I.
Perkara-perkara yang Membatalkan Puasa dan Wjib mengqodhonya.
1) Makan
dan minum secara sengaja dan ingat sedang berpuasa.
Jika ia
makan dan minum karena lupa, maka ia sempurnakan puasanya dan tidak ada
kewajiban untuk mengqadho (menggantinya). Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasululloh shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْشَرِبَ فَلْيُتِمَّ
صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Barang
siapa lupa sementara ia sedang berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka
hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah-lah yang telah
memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tiada
bedanya baik puasa wajib maupun sunnah, berdasarkan keumuman dalil-dalilnya
menurut jumhur.
Bagaimana
jika seseorang makan, minum atau bersetubuh, karena menyangka matahari telah
terbenam atau fajar belum terbit, namun ternyata sebaliknya?
Dalam
masalah ini ada dua pendapat ulama:
Pertama, wajib mengqadhonya. Ini adalah
madzhab jumhur ulama, di antaranya empat Imam.
Kedua, tidak wajib mengqodhonya. Ini
adalah madzhab ishaq, satu riwayat dari Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm serta ia
menisbatkannya kepada jumhur salaf. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh
al-Muzani dari kalangan Syafi’iyyah.
Ini pula
pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan inilah pendapat
yang rajih berdasarkan dalil berikut ini:
وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ
وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمًا
“Dan
tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS.
Al-Ahzab: 5)
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ
"Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah” (QS. Al-Baqarah: 286)
Hadits Asma’
binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Kami berbuka pada masa
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam pada hari yang berawan, kemudian
matahari muncul kembali.” Ditanyakan kepada Hisyam (perawi yang meriwayatkan
dari ibunya, Fathimah, dari Asma’), “Apakah mereka diperintahkan untuk
mengqadhanya?” Ia menjawab, “Tidak perlu mengqadha.” Ma’mar berkata, “Aku
mendengar Hisyam mengatakan, ‘Aku tidak tahu apakah mereka mengqadha atau
tidak. (HR. Bukhari [1959])
Mereka tidak
diperintahkan untuk mengqadha. Seandainya mereka wajib mengqadhanya, tentu
sudah dinukil (hadits tentang hal itu). Karena tidak dinukil dari Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam, maka hukum asalnya adalah terlepas dari qadha, yaitu
tidak ada qadha.
Firman Allah:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ
مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
“Dan
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu
fajar.” (QS. Al-Baqarah:
187)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengaitkan menahan diri dari makan dan minum dengan terbitnya
fajar secara jelas, bukan sekadar munculnya fajar.
Orang yang
tidak tahu adalah ma’dzur (dimaafkan). Dalam hadits ‘Adi bin Hatim radhiyallahu
‘anhu, ia mengatakan, “Ketika turun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar’, aku sengaja
mengambil benang hitam dan benang putih, lalu aku letakkan di bawah bantalku.
Aku selalu melihatnya pada malam hari, namun belum jelas terlihat olehku.
Keesokan harinya,
aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam lalu menceritakan
hal itu kepada beliau. Mendengar hal itu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam
berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan terangnya
siang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak memerintahkan untuk
mengqadhanya, karena ia tidak tahu dan tidak bermaksud untuk menyelisihi
perintah Allah dan Rasul-Nya, bahkan ia menyangka bahwa ini adalah hukum Allah
dan Rasul-Nya, maka ia dimaafkan.
Ini adalah
pendapat yang paling benar, karena besesuaian dengan dalil. Namun harus
memperhatikan dua perkara berikut:
1. Siapa
yang berbuka sebelum terbenam matahari kemudian jelas olehnya, matahari belum
terbenam, maka ia wajib untuk menahan diri setelah mengetahuinya. Ia berbuka
karena alasan tertentu, kemudian ternyata jelas bahwa alasan itu tidak ada.
2. Hal ini
berlaku jika berat dugaannya matahari telah terbenam, atau fajar telah terbit.
Tetapi jika ia ragu dan belum kuat dugaannya: jika ia makan dengan disertai
keraguan mengenai terbitnya fajar, maka puasanya dianggap sah, karena pada
asalnya masih terhitung malam hingga yakin benar atau kuat dugaannya, fajar
telah terbit.
Jika ia
makan dengan disertai keraguan mengenai terbenamnya matahari, maka tidak sah
puasanya, karena pada asalnya masih terhitung siang. Ia tidak boleh makan
disertai dengan keraguan, dan ia wajib mengqadhanya, selama tidak tahu, ia
makan sesudah terbenam matahari. Bila demikian keadaannya (tahu sudah
terbenam), maka tidak ada qadha. Wallahu a’lam.
2) Muntah dengan sengaja.
Di antara
yang membatalkan puasa adalah muntah dengan sengaja.
Jika ia
terdesak untuk muntah dan keluar dengan sendirinya, maka tidak ada qadha dan
tidak ada kafarat tanpa ada perbedaan pendapat.
Dasarnya
adalah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ
اسْتَقَاءَ عَمْدًافَلْيَقْضِ
“Barangsiapa
yang terdesak muntah, maka tidak ada qadha baginya, dan barangsiapa yang
muntah, maka hendaknya ia mengqadha.” (Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan selainnya.)
3) Haid
dan nifas.
Siapa saja
di antara wanita yang mengalami haid dan nifas, walaupun sesaat terakhir dari
siang hari, maka batallah puasanya dan harus mengqadha puasanya, berdasarkan
ijma’ ulama.
4)
Sengaja melakukan onani
Yaitu
sengaja mengeluarkan mani dengan tanpa persetubuhan. Seperti mengeluarkan mani
dengan tangan, bercumbu, atau sejenisnya dengan tujuan untuk mengeluarkannya
dengan syahwat.
Jika ia
menumpahkan maninya dengan sengaja dan ingat sedang berpuasa, maka puasanya
batal dan wajib mengqadha, menurut pendapat jumhur ulama.
Dengan dalil
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi tentang perihal
orang yang berpuasa, “Ia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena
Aku.” (shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Sementara
onani adalah syahwat, demikian juga keluarnya mani. Di antara perkara yang
menguatkan bahwa mani disebut sebagai syahwat, ialah sabda Nabi shallallahu ‘alayhi
wa sallam, “Dan dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian terdapat
sedakah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami
melampiaskan syahwatnya lalu mendapatkan pahala?” Nabi shallallahu ‘alayhi
wa sallam mengatakan, “Bagaiman pendapat kalian jika ia meletakkannya dalam
keharaman?” (shahih diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar)
Apa yang
diletakkan adalah mani, dan Rasululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam
menyebutnya sebagai syahwat.
Sedangkan
jika ia berkhayal atau memandang lalu keluar mani, dan ia tidak sengaja
berkhayal atau memandang kepada seorang wanita dan sejenisnya lalu keluar
maninya, maka tidak batal puasanya.
5)
Berniat membatalkan puasa
Jika
seseorang berniat dan bertekad kuat untuk membatalkan puasanya secara sengaja
dan ingat bahwa ia sedang berpuasa, maka batallah puasanya, meskipun tidak
makan dan tidak minum, karena “Setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang
diniatkannya”. Dan karena memulai ibadah puasa tidaklah terlaksana kecuali
dengan niat berpuasa, demikian pula keluar dari puasa tidaklah terlaksana
kecuali dengan niat.
Alasan
lainnya, karena niat adalah syarat puasa, sementara ia telah menggantinya
dengan kebalikannya. Jika syarat tidak terpenuhi maka ibadah tidak sah.
6) Keluar
dari Islam
Kami tidak
mengetahui ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai batalnya puasa
orang yang murtad dari Islam pada saat berpuasa. Ia harus mengqadhanya, jika ia
kembali masuk Islam, baik ia masuk Islam pada hari itu juga atau setelah hari
itu.
Hal ini
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ
"Jika
kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu” (Az-Zumar: 65)
Karena puasa
adalah ibadah dan syaratnya adalah niat. Dan niatnya menjadi batal karena
kemurtadannya.
II.
Perkara yang membatalkan puasa dan mewajibkan mengqadha dan membayar kafarat
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah a, ia mengatakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan berkata, ‘Aku
binasa.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang sedang menimpamu?’ Ia menjawab, ‘Aku telah menyetubuhi istriku
padahal aku sedang berpuasa.’
Beliau
bertanya, ‘Apakah engkau punya budak untuk engkau bebaskan?’ Ia menjawab,
‘Tidak.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engaku sanggup berpuasa selama dua bulan
berturut-turut?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau bisa
memberi makan enam puluh orang fakir miskin?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Maka Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam, diam.
Ketika kami
dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba beliau diberi hadiah sekeranjang kurma.
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bertanya, “Dimanakah laki-laki yang
bertanya tadi?” Maka orang itu menjawab, ‘Saya.’ Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam berkata, ‘Ambillah ini dan sedekahkanlah.’
Laki-laki
itu berkata, ‘Kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah
tidak ada di antara dua kampung ini (di antara dua ujung kota Madinah) keluarga
yang lebih miskin daripada keluarga kami.’
Mendengar
hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tertawa hingga tampak
gigi-gigi taringnya, kemudian beliau berkata, ‘Berikanlah sebagai makanan untuk
keluargamu.’ (Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari [1936] dan Muslim [1111])
Jumhur ulama
berpendapat, orang yang melakukan persetubuhan pada siang hari bulan Ramadhan
secara sengaja dan sadar, yaitu dengan bertemunya dua alat kelamin atau
masuknya dzakar pada salah satu dari dua jalan (kemaluan atau anus yang
diharamkan), maka batallah puasanya dan harus mengqadhanya serta membayar
kafarat, baik keluar maninya ataupun tidak pada saat persetubuhan.
Apakah
kafarat berulang dengan berulangnya persetubuhan?
a)
Barangsiapa bersetubuh pada siang hari bulan Ramadhan, kemudian ia membayar
kafarat, lalu ia bersetubuh lagi pada hari yang lain di bulan Ramadhan, maka
wajib membayar kafarat lagi, berdasarkan ijma’.
b)
Barangsiapa bersetubuh dalam satu hari berkali-kali, maka tidak ada kafarat
baginya kecuali satu kafarat saja, berdasarkan ijma’.
c)
Barangsiapa bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan, kemudian tidak membayar
kafarat, lalu ia bersetubuh lagi pada hari yang lain pada bulan Ramadhan, maka
dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Wajib
membayar kafarat pada setiap hari di mana ia bersetubuh. Karena setiap hari itu
terhitung ibadah yang berdiri sendiri. Jika wajib menunaikan kafarat karena
telah merusak puasa, maka ini tidak boleh dicampuradukkan dengan hari yang
lainnya. Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi’i dan sejumlah ulama.
2. Wajib
membayar kafarat satu kali saja selama belum membayar kafarat atas jima’ yang
pertama. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan para shahaabatnya, al-Auza’i, dan
az-Zuhri. Mereka menyamakan dengan hukum had. Tapi pendapat pertamalah yang
lebih rajih. Wallahu a’lam
Ikuti artikel penting terkait:
1. Keagungan Ibadah Puasa Ramadhan
2. Persiapkan Diri Anda Sebelum Ramadhan Tiba
3. Menyambut Bulan Ramadhan
3. Lailatul Qadar
4. Dua Kegembiraan Bagi Orang Yang Berpuasa
5, Hikmah Diwajibkannya Puasa
6. Pentingnya Mempelajari Tatacara Puasa
7. Perkara-perkara Yang Membatalkan Puasa
1 komentar:
Write komentarTinggalkan saran Anda di sini..!!
ReplyEmoticonEmoticon