Perkara-perkara yang Membatalkan Puasa

Juni 24, 2013

       
I. Perkara-perkara yang Membatalkan Puasa dan Wjib mengqodhonya.

1) Makan dan minum secara sengaja dan ingat sedang berpuasa.
Jika ia makan dan minum karena lupa, maka ia sempurnakan puasanya dan tidak ada kewajiban untuk mengqadho (menggantinya). Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasululloh shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Barang siapa lupa sementara ia sedang berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tiada bedanya baik puasa wajib maupun sunnah, berdasarkan keumuman dalil-dalilnya menurut jumhur.

Bagaimana jika seseorang makan, minum atau bersetubuh, karena menyangka matahari telah terbenam atau fajar belum terbit, namun ternyata sebaliknya?

Dalam masalah ini ada dua pendapat ulama:
Pertama, wajib mengqadhonya. Ini adalah madzhab jumhur ulama, di antaranya empat Imam.

Kedua, tidak wajib mengqodhonya. Ini adalah madzhab ishaq, satu riwayat dari Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm serta ia menisbatkannya kepada jumhur salaf. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Muzani dari kalangan Syafi’iyyah.

Ini pula pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan inilah pendapat yang rajih berdasarkan dalil berikut ini:
وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمًا
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 5)

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ
"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah” (QS. Al-Baqarah: 286)

Hadits Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Kami berbuka pada masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam pada hari yang berawan, kemudian matahari muncul kembali.” Ditanyakan kepada Hisyam (perawi yang meriwayatkan dari ibunya, Fathimah, dari Asma’), “Apakah mereka diperintahkan untuk mengqadhanya?” Ia menjawab, “Tidak perlu mengqadha.” Ma’mar berkata, “Aku mendengar Hisyam mengatakan, ‘Aku tidak tahu apakah mereka mengqadha atau tidak. (HR. Bukhari [1959])

Mereka tidak diperintahkan untuk mengqadha. Seandainya mereka wajib mengqadhanya, tentu sudah dinukil (hadits tentang hal itu). Karena tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka hukum asalnya adalah terlepas dari qadha, yaitu tidak ada qadha.

Firman Allah:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
“Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan menahan diri dari makan dan minum dengan terbitnya fajar secara jelas, bukan sekadar munculnya fajar.

Orang yang tidak tahu adalah ma’dzur (dimaafkan). Dalam hadits ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Ketika turun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar’, aku sengaja mengambil benang hitam dan benang putih, lalu aku letakkan di bawah bantalku. Aku selalu melihatnya pada malam hari, namun belum jelas terlihat olehku.

Keesokan harinya, aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam lalu menceritakan hal itu kepada beliau. Mendengar hal itu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan terangnya siang.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak memerintahkan untuk mengqadhanya, karena ia tidak tahu dan tidak bermaksud untuk menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, bahkan ia menyangka bahwa ini adalah hukum Allah dan Rasul-Nya, maka ia dimaafkan.

Ini adalah pendapat yang paling benar, karena besesuaian dengan dalil. Namun harus memperhatikan dua perkara berikut:
1. Siapa yang berbuka sebelum terbenam matahari kemudian jelas olehnya, matahari belum terbenam, maka ia wajib untuk menahan diri setelah mengetahuinya. Ia berbuka karena alasan tertentu, kemudian ternyata jelas bahwa alasan itu tidak ada.
2. Hal ini berlaku jika berat dugaannya matahari telah terbenam, atau fajar telah terbit. Tetapi jika ia ragu dan belum kuat dugaannya: jika ia makan dengan disertai keraguan mengenai terbitnya fajar, maka puasanya dianggap sah, karena pada asalnya masih terhitung malam hingga yakin benar atau kuat dugaannya, fajar telah terbit.

Jika ia makan dengan disertai keraguan mengenai terbenamnya matahari, maka tidak sah puasanya, karena pada asalnya masih terhitung siang. Ia tidak boleh makan disertai dengan keraguan, dan ia wajib mengqadhanya, selama tidak tahu, ia makan sesudah terbenam matahari. Bila demikian keadaannya (tahu sudah terbenam), maka tidak ada qadha. Wallahu a’lam.

2)   Muntah dengan sengaja.
Di antara yang membatalkan puasa adalah muntah dengan sengaja.

Jika ia terdesak untuk muntah dan keluar dengan sendirinya, maka tidak ada qadha dan tidak ada kafarat tanpa ada perbedaan pendapat.

Dasarnya adalah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًافَلْيَقْضِ
“Barangsiapa yang terdesak muntah, maka tidak ada qadha baginya, dan barangsiapa yang muntah, maka hendaknya ia mengqadha.” (Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan selainnya.)

3) Haid dan nifas.
Siapa saja di antara wanita yang mengalami haid dan nifas, walaupun sesaat terakhir dari siang hari, maka batallah puasanya dan harus mengqadha puasanya, berdasarkan ijma’ ulama.

4) Sengaja melakukan onani
Yaitu sengaja mengeluarkan mani dengan tanpa persetubuhan. Seperti mengeluarkan mani dengan tangan, bercumbu, atau sejenisnya dengan tujuan untuk mengeluarkannya dengan syahwat.

Jika ia menumpahkan maninya dengan sengaja dan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal dan wajib mengqadha, menurut pendapat jumhur ulama.

Dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi tentang perihal orang yang berpuasa, “Ia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena Aku.” (shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Sementara onani adalah syahwat, demikian juga keluarnya mani. Di antara perkara yang menguatkan bahwa mani disebut sebagai syahwat, ialah sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, “Dan dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian terdapat sedakah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya lalu mendapatkan pahala?” Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan, “Bagaiman pendapat kalian jika ia meletakkannya dalam keharaman?” (shahih diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar)

Apa yang diletakkan adalah mani, dan Rasululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam menyebutnya sebagai syahwat.

Sedangkan jika ia berkhayal atau memandang lalu keluar mani, dan ia tidak sengaja berkhayal atau memandang kepada seorang wanita dan sejenisnya lalu keluar maninya, maka tidak batal puasanya.

5) Berniat membatalkan puasa
Jika seseorang berniat dan bertekad kuat untuk membatalkan puasanya secara sengaja dan ingat bahwa ia sedang berpuasa, maka batallah puasanya, meskipun tidak makan dan tidak minum, karena “Setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya”. Dan karena memulai ibadah puasa tidaklah terlaksana kecuali dengan niat berpuasa, demikian pula keluar dari puasa tidaklah terlaksana kecuali dengan niat.

Alasan lainnya, karena niat adalah syarat puasa, sementara ia telah menggantinya dengan kebalikannya. Jika syarat tidak terpenuhi maka ibadah tidak sah.

6) Keluar dari Islam
Kami tidak mengetahui ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai batalnya puasa orang yang murtad dari Islam pada saat berpuasa. Ia harus mengqadhanya, jika ia kembali masuk Islam, baik ia masuk Islam pada hari itu juga atau setelah hari itu.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu” (Az-Zumar: 65)

Karena puasa adalah ibadah dan syaratnya adalah niat. Dan niatnya menjadi batal karena kemurtadannya.


II. Perkara yang membatalkan puasa dan mewajibkan mengqadha dan membayar kafarat

Diriwayatkan dari Abu Hurairah a, ia mengatakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan berkata, ‘Aku binasa.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang sedang menimpamu?’ Ia  menjawab, ‘Aku telah menyetubuhi istriku padahal aku sedang berpuasa.’

Beliau bertanya, ‘Apakah engkau punya budak untuk engkau bebaskan?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engaku sanggup berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau bisa memberi makan enam puluh orang fakir miskin?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Maka Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, diam.

Ketika kami dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba beliau diberi hadiah sekeranjang kurma. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bertanya, “Dimanakah laki-laki yang bertanya tadi?” Maka orang itu menjawab, ‘Saya.’ Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berkata, ‘Ambillah ini dan sedekahkanlah.’

Laki-laki itu berkata, ‘Kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah tidak ada di antara dua kampung ini (di antara dua ujung kota Madinah) keluarga yang lebih miskin daripada keluarga kami.’

Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tertawa hingga tampak gigi-gigi taringnya, kemudian beliau berkata, ‘Berikanlah sebagai makanan untuk keluargamu.’ (Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari [1936] dan Muslim [1111])

Jumhur ulama berpendapat, orang yang melakukan persetubuhan pada siang hari bulan Ramadhan secara sengaja dan sadar, yaitu dengan bertemunya dua alat kelamin atau masuknya dzakar pada salah satu dari dua jalan (kemaluan atau anus yang diharamkan), maka batallah puasanya dan harus mengqadhanya serta membayar kafarat, baik keluar maninya ataupun tidak pada saat persetubuhan.

Apakah kafarat berulang dengan berulangnya persetubuhan?
a) Barangsiapa bersetubuh pada siang hari bulan Ramadhan, kemudian ia membayar kafarat, lalu ia bersetubuh lagi pada hari yang lain di bulan Ramadhan, maka wajib membayar kafarat lagi, berdasarkan ijma’.
b) Barangsiapa bersetubuh dalam satu hari berkali-kali, maka tidak ada kafarat baginya kecuali satu kafarat saja, berdasarkan ijma’.
c) Barangsiapa bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan, kemudian tidak membayar kafarat, lalu ia bersetubuh lagi pada hari yang lain pada bulan Ramadhan, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

1. Wajib membayar kafarat pada setiap hari di mana ia bersetubuh. Karena setiap hari itu terhitung ibadah yang berdiri sendiri. Jika wajib menunaikan kafarat karena telah merusak puasa, maka ini tidak boleh dicampuradukkan dengan hari yang lainnya. Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi’i dan sejumlah ulama.


2. Wajib membayar kafarat satu kali saja selama belum membayar kafarat atas jima’ yang pertama. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan para shahaabatnya, al-Auza’i, dan az-Zuhri. Mereka menyamakan dengan hukum had. Tapi pendapat pertamalah yang lebih rajih. Wallahu a’lam

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
HASMI-ku
AUTHOR
29 Juni 2014 pukul 03.00 delete

Tinggalkan saran Anda di sini..!!

Reply
avatar