Aku Ingat Telah Berbuat Dosa di Sini

Januari 15, 2014
     
 Saudaraku, berapa banyak sudah dosa yang terlupakan, yang telah kita kerjakan, dan kita melupakannya? Orang mukmin yang jujur memandang dosa sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallohu ‘anhu, “Sesungguhnya orang mukmin memandang dosa-dosanya bagaikan gunung sementara ia berada di bawahnya dan khawatir kalau itu akan menjatuhinya. Sedangkan orang fajir memandang dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya maka ia berakata, ‘Ah, Cuma begini saja (mengusirnya).’ Lalu lalat tersebut terbang.”[1]

      Ini adalah hasil pengalaman tarbiyah dari siroh (perjalanan hidup) pendidik yang handal untuk memberikan gizi bagi hati yang teriris kepedihan dosa, kemudian diwarisi oleh orang-orang yang tumbuh dalam didikannya, lalu mereka mendidik generasi setelahnya. Ahmad bin Ismail menagatakan, “Waspadalah terhadap dosa-dosa kecil karena bintik-bintik kecil sangat berpengaruh pada pakaian yang bersih.” [2]
      Saudaraku, hati-hatilah terhadap diri Anda karena
dosa kecil mampu membunuh. Ibnul Jauzi mengatakan, “Jangan meremehkan dosa kecil! Karena rumput yang lemahpun bisa dipintal menjadi tali yang kuat untuk mencekik unta yang gemuk.” [3]

      Berapa banyak tempat yang sudah kita gunakan untuk berbuat dosa? Naifnya, kita melewatinya begitu saja tanpa mengambil pelajaran darinya atau hati tidak tergerak untuk menyesalinya.

       Generasi Tabi’in mendidik kita untuk tidak melupakan apa yang telah kita perbuat, dan agar kita tidak lalai. Abdul Wahid bin Zid mengatakan, “Aku pergi bersama Utbah al-Ghulam untuk suatu keperluan. Ketika kami berada di halaman rumah para jagal, aku melihat Utbah berkeringat deras sampai basah, padahal hari itu sangatlah dingin. Akupun bertanya kepadanya, ‘Utbah, engkau basah dengan keringat, padahal hari ini sangat dingin?’ Dia diam dan tidak berkata satu patah kata pun. Aku bertanya lagi, ‘Apa yang engkau rasakan?’ Aku terus bertanya kepadanya sampai dia menjawab, ‘Aku teringat dosa yang pernah aku kerjakan di tempat ini’.”

      Dosa demi dosa telah kita kerjakan, namun kita tetap merasa nikmat makan, minum, tidur, bangun, bermain, bergembira dan lupa dengan dosa yang telah kita kerjakan. Adapun para pendahulu kita, generasi tabi’in mempunyai pandangan lain. Hasan al-Bashri berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin kalau berbuat dosa, maka ia akan selalu bersedih hingga berhasil masuk surga.”[4]

       Bagitulah keadaan mereka. Pantaslah kalau mereka menjadi orang-orang yang paling ahli dalam beribadah. Aku melihat bahwa merekalah yang diisyaratkan oleh Said bin Jubair dengan telunjuknya. Sungguh merekalah yang beliau maksud tatkala dikatakan kepada beliau, “Siapakah orang yang paling ahli dalam beribadah?’ Beliau menjawab, “Orang yang pernah terjerembab ke dalam dosa, namun setiap kali dia ingat dosanya maka dia menganggap keacil ibadah yang telah dia kerjakan.”[5]

        Tatkala generasi tabi’in mengetahui dosa mereka dan benar-benar menghitungnya, maka mereka sangat khawatir kalau amal kebaikan mereka tidak diterima disebabkan dosa-dosa yang telah mereka hitung dan kenali dengan baik. Hasan al-Bashri berkata tentang mereka, “Aku berjumpa dengan suatu kaum yang sangat zuhud dengan apa yang dihalalkan Alloh kepada mereka, bahkan lebih zuhud daripada kezuhudan kalian terhadap apa yang diharamkan Alloh kepada kalian. Aku juga menjumpai suatu kaum yang sangat khawatir terhadap amal kabaikan mereka kalau tidak diterima, lebih dari kekhawatiran mereka terhadap kejelakan mereka.”[6]

      Saudaraku, engkau adalah penentu atas keselamatan atau kebinasaanmu sendiri. Setiap kali engkau menganggap besar dosa dalam hatimu maka dia kecil di sisi Alloh. Sebaliknya, setiap kali engkau meremehkannya maka dia sangatlah besar di sisi Alloh. Oleh karena itu, agungkanlah Alloh dalam hatimu maka dosamu akan terlihat besar di matamu agar engkau benar-benar menjadi seorang mukmin. Kalau tidak begitu, sungguh, engkau telah menuliskan dirimu dalam daftar orang-orang munafik.




[1] Shifatus Shafwh: 1/203
[2] Shifatus Shafwh: 2:704
[3] Shaidul Khatir, Ibnul Jauzi, hal 167
[4] Hilyatul Auliya’ : 2/158
[5] Hilyatul Auliya’ : 4/279
[6] Shifatus Shafwah: 3/227

Artikel Terkait

Previous
Next Post »