Hukum Kurban.... Wajib atau Sunnah...??

September 24, 2014
Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya, apa sih hukum berkurban yang lebih tepat..? Sebagian kaum muslimin ada yang memahami bahwa kurban adalah hukumnya wajib bagi orang yang berkelapangan, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa kurban tidak wajib. Untuk lebih jelasnya mari kita simak pembahasan berikut ini.

            Para ulama berselisih pendapat tentang hukum kurban dalam dua pendapat:
Pertama, kurban adalah wajib bagi orang yang berkelapangan. Ini adalah pendapat Rabi’ah, al-Auza’i, Abu Hanifah, al-Laits dan sebagian ulama Malikiyah. Dalil mereka adalah sebagai berikut, di antaranya:
1.      Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
            Para ulama dalam menakwilkan ayat tersebut ada lima pendapat, pendapat yang  paling jelas bahwa maksudnya adalah shalat dan berkurban karena Allah.

2.      Hadits Jundab bin Sufyan radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabada:
Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat, maka hendaklah ia menggantinya dengan yang lain, dan barang siapa yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih.” (HR. Bukhari dan Muslim, shahih)
            Dijawab, maksudnya adalah menjelaskan sayarat syar’i berkurban. Ini sebagaimana sabda beliau kepada orang yang shalat dhuha secara rutin, misalnya, sebelum terbit matahari, “Jika matahari telah terbit, maka ulangilah shalatmu.” Sebagaimana disebutkan dalam al-Fath (X/6, 19)

3.      Hadits Al-Bara’, Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, aku menyembelih sebelum shalat, dan aku memiliki kambing jadz’ah yang lebih baik daripada musinnah, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Jadikanlah itu sebagai penggantinya, dan ini tidak dibolehkan bagi seorang pun setelahmu.”  (HR. Bukhari, shahih)
            Al-Khathabi menjawab dalil yang dipakai sebagai argument tentang wajibnya berkurban. Ia berkata, “Hal ini tidak menunjukkan seperti yang mereka katakana, karena hukum-hukum pokok (ushul) memperhatikan pengganti-penggantinya, baik perkara wajib maupun sunnah. Itu hanyalah sebagai anjuran, sebagaimana hukum asalnya juga anjuran. Dan maknanya, sudah sah bagimu jika engkau bermaksud berkurban, dan berniat mendapatkan pahala di dalamnya.” (Al-Ma’alim, II/199)

4.      Hadits Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu , Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Ada empat jenis yang tidak sah untuk berkurban: hewan yang jelas kebutaannya, dan…..”  (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nas’i, Ibnu Majah dan selain mereka)
            Mereka mengatakan, sabda Nabi, “Tidak sah,” adalah dalil wajibnya berkurban! Karena perkara tathawwu’ tidak dikatakan padanya, “Tidak sah.” Mereka mengatakan, terbebas dari cacat hanyalah dijaga berkenaan dengan perkara-perkara yang wajib. Adapun dalam perkara tathawwu’ boleh mendekatkan diri kepada Allah dengan hewan yang buta dan selainnya.
            Dijawab, kurban adalah ibadah yang disunnahkan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala menurut ketentuan yang disinyalir oleh syari’at. Ini adalah hukum yang ada ketentuan waktunya, dan tidak boleh menyimpang dari sunnah Nabi. Karena mustahil mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang dilarang lewat lisan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. (At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr. XX/167)

5.      Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang memiliki kelapangan dan belum berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (Dhaif, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan yang lainnya)
            Dan yang benar hadits ini adalah mauquf , sebagaimana dijelaskan para imam.

Kedua, berkurban adalah sunnah bukan wajib. Ini adalah madzhab jumhur: Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, al-Muzani, Ibnu Al-Mundzir, Dawud, Ibnu Hazm dan selainnya. Mereka berdalil dengan:


1.      Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِذَ دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika telah tiba hari ke sepuluh Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalia hendak berkurban, maka janglah ia memotong rambutnya atau sedikit dari bulunya.” (Shahih diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa’i, Ibnu Majjah dan Ahmad…)
Mereka berkata, sabadanya, “dan salah seorang dari kalian hendak berkurban,” adalah dalil bahwa kurban tidak wajib.

2.      Tidak ada riwayat shahih dari seorang sahabatpun yang mengatakan bahwa kurban adalah wajib. Al-Mawardi berkata, “Diriwayatkan dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang menyimpulkan satu ijma’ atas tidak wajibnya berkurban.” (Al-Hawi [IXX/85] dan lihat al-Muhalla [VII/358)

Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (dalam bukunya, “Shahih Fiqih Sunnah”, berkata: Di antaranya adalah:
·         Diriwayatkan dari Abu Sariyah, ia berkata, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan mereka tidak berkurban.” (Shahih diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan al-Baihaqi)
·         Diriwayatkan dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya aku tidak berkurban, padahal aku adalah orang yang berkelapangan, karena aku khawatir tetanggaku berpendapat hal itu wajib atasku.”  (Shahih diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan al-Baihaqi)

Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, berkata: Yang jelas bahwa dalil-dalil yang dikemukakan pihak yang mewajibkannya tidak kuat dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan kewajiban berkurban. Berdasarkan hal itu maka pendapat yang benar adalah penadapat para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan jumhur ulama (berkurban hukumnya tidak wajib).


Artikel Terkait

Previous
Next Post »