Islam melarang ummatnya untuk membuat dan atau mengerjakan bid'ah. Bid'ah yang dimaksud adalah dalam masalah agama. Hal ini berdasarkan hadits-haidts Nabi shollallohu 'alayhi wa sallam berikut ini:
Imam
Ahmad rhimahulloh meriwayatkan hadis dalam musnadnya dari jalur Irbad
bin Sariyah rodhiyallohu ‘anhu bahwa
Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِالْخُلَفَاءِالرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، وَعَضُّواعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍبِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍضَلَالَةٌ
“Hendaklah
kalian berpegang teguh terhadap sunahku dan sunah Khulafaurrosyidin yang
mendapatkan petunjuk. Gigitlah iadengan gigi geraham (genggamlah dengan kuat).
Hendaklah kalian menghindari perkara baru yang diada-adakan karena semua
perkara yang baru diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
رَوَى اْلبُخَارِيُّ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ.
Imam
Bukhori rohimahulloh meriwayatkan hadis dari Aisyah rodhiyallohu ‘anha
bahwa Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam agama kami yang tidak ada
perintahnya maka ia tertolak.”
رَوَى مُسْلِمٌ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ».
Imam
Muslim rohimahulloh meriwayatkan hadits dari Aisyah rodhiyallohu ‘anha
bahwa Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa melakukan amalan yang tidak ada perintahnya dalam agama kami maka
amalan itu tertolak.”
Hadits-hadits
tersebut di atas sangat jelas menunjukkan akan larangan bid'ah dalam Agama.
Namun, ada sebagian kaum Muslimin yang "menolak" kandungan
hadits-hadits shohih di atas dengan ta'wil (penafsiran yang keliru) sehingga
muncul pemahaman adanya bid'ah hasanah (bid'ah yang baik). Mereka memberikan
syubhat-syubhat kepada kaum Muslimin agar kaum Muslimin mengikuti bid'ahnya dan
menjadi pendukungnya. Berikut adalah syubhat-syubhat yang sering kita jumpai
dan sekaligus bantahannya:
I. Syubhat: Makna kullu dalam hadis tidak
bermakna seluruh tapi bermakna sebagian.
Pendapat yang
mengatakan bahwa kata (كُلُّ) dalam hadis tidak bermakna keseluruhan karena
dalam bahasa Arab terkadang bermakna sebagian. Pendapat ini keliru disebabkan
beberapa hal, di antaranya:
1.
Lafal كُلُّ yang bermakna seluruh
merupakan lafal umum yang kuat. Lafal umum harus tetap berlaku sesuai
keumumannya hingga ada dalil yang mengkhususkannya. Ini merupakan kaidah ushul
fikih yang sudah diterima oleh semua. Sedangkan, dalam masalah bid’ah ini tidak
dalil yang memalingkan keumuman lafal kullu yang bermakna keseluruhan
tersebut.
2.
Para pengusung makna kullu untuk sebagian selalu mendatangkan
dalil dengan ayat QS. az-Zumar ayat 62, QS. al-Ahqof ayat 25, dan QS. an-Namal
ayat 23. Bahwa lafal kullu tidak bermakna keseluruhan. Karenanya tidak
semua kullu bermakna untuk keumuman. Pandangan ini juga tidak tepat,
sebab ayat-ayat tersebut telah dikhususkan dengan dalil-dalil. Sedangkan Kullu
dalam hadis yang menyatakan tentang bid’ah tidak ada dalil yang
mengkhususkannya. Baik dalil al-Qur’an atau as-Sunnah, akal, maupun al-Hiss,
yaitu kenyataan yang terjadi.
3. Penatapan adanya ibadah-ibadah yang dianggap baik yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam dan sahabatnya
bertentangan dengan makna kesempurnaan ajaran Islam dan bertentangan pula
dengan makna bahwa Rosululloh telah menyampaikan seluruh ajaran Islam. Padahal
jelas QS. al-Maidah ayat 3 dan 67 menegaskan bahwa Islam telah sempurna dan
Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam telah menyampaikan seluruh
ajaran Islam serta tidak ada satu pun ibadah yang belum disampaikan.
II. Syubhat: Para ulama, di antaranya Imam asy-Syafi’i
rohimahulloh mengatakan adanya bid’ah hasanah.
Perkataan Imam asy-Syafi’i rohimahulloh tentang dua kategori
bid’ah diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdulloh al-Asbahani rohimahulloh dalam
kitab Hilyatul Auliya, yaitu sebagai berikut:
البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ
وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا
خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ.
“Bid’ah itu ada dua: bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Jika sesuai dengan sunnah maka itu terpuji dan jika bertentangan dengan sunah maka itu yang tercela.”
Jika
diperhatikan dengan seksama perkataan Imam asy-Syafi’I, maka perkataan ini sama
sekali tidak mengindikasikan adanya bid’ah hasanah yang dikategorikan oleh
sebagian pengikutnya di zaman sekarang. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal:
1.
Berdasarkan QS. al-Hujurot ayat 1 dan QS.
al-Ahzab ayat 36 tidak dibenarkan mengedapankan perkataan seseorang dengan
sabda Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam. Dalam hadits-hadis
yang telah disebutkan sangat jelas menunjukkan bahwa Nabi shollallohu ‘alayhi
wa sallam mengatakan semua bid’ah adalah sesat. Sehingga ketetapan ini
tidak bisa dipalingkan maknanya melainkan dengan nash dari al-Qur’an atau
hadits.
2.
Kata-kata bid’ah yang
digunakan oleh Imam asy-Syafi’i rohimahulloh tidak bermakna bid’ah
secara syar’i. Beliau menggunakan kata bid’ah dalam konteks bahasa saja. Karenanya,
dalam kitab Hilyatul Auliya disebutkan bahwa Imam asy-Syafi’i rohimahulloh
berdalil dengan perkataan Umar bin Khottob rodhiyallohu ‘anhu. Sedangkan
kata bid’ah yang diucapkan Umar rodhiyallohu ‘anhu dalam rangka
mengungkapkan tentang shalat tarawih secara berjama’ah yang diadakan kembali di
zaman beliau. Sholat tarawih secara berjama’ah bukan bid’ah secara hukum syar’i
karena Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam pernah mengerjakannya.
Sedangkan bid’ah yang dimaksud dalam pembahasan syariat Islam adalah amal
ibadah yang tidak dikerjakan oleh Nabi dan sahabatnya. Sehingga, kata-kata
bid’ah yang diucapkan oleh sahabat Umar rodhiyallohu ‘anhu dan Imam
asy-Syafi’i rohimahulloh hanya penggunaan bahasa. Penggunaan kata bid’ah
secara bahasa pun digunakan dalam al-Qur’an surat al-Ahqof ayat 9:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Wahai Muhammad!
Katakanlah aku bukanlah seorang rosul yang baru….” (QS. al-Ahqof [46]:
9)
3.
Imam asy-Syafi’i rohimahulloh
menjadikan kesesuaian dengan sunah sebagai standar sesuatu itu tercela atau
bukan. Maka apakah yang diklaim sebagai bid’ah hasanah seperti peringatan
maulid, isro mi’roj, dan tahlilan itu ada sunahnya? Sama sekali tidak ada. Maka
itu termasuk kategori tercela. Sehingga. Imam asy-Syafi’i rohimahulloh sama
sekali tidak bermaksud memfatwakan bolehnya melakukan perbuatan-perbuatan
bid’ah sebagaimana yang disalahartikan oleh sebagian pengikutnya. Terlebih,
Imam asy-Syafi’i rohimahulloh termasuk imam yang sangat berpegang teguh
terhadap sunah dan melarang menyelisihi sunah. Beliau rohimahulloh
pernah berkata:
إِذَا
وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي بخلاف رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُولُوا
بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا مَا قُلْتُ
“Jika kalian mendapati di
dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunah Rosululloh maka berkatalah
kalian dengan sunah tersebut dan tinggalkanlah apa yang ku katakan.”(Hilyatul
Auliya)
Baca Juga Pembahasan berikut ini:
EmoticonEmoticon