1.
Membuat sutrah (pembatas) ketika shalat.
Ketika hendak shalat, kita dianjurkan membuat pembatas untuk
menghalangi siapa saja yang hendak lewat di depan kita dan membatasi pandangan
kita agar tidak melihat apa saja yang ada di luar pembatas tersebut. Ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam,
إِذَا
صَلَّي أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّي إِلَي سُتْرَةِ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، لَايَقْطَعُ
الشَيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ
“Apa bila seorang di
antara kalian hendak shalat, maka menghadaplah ke pembatas dan mendekat
darinya, agar setan tidak memutuskan shalanya.” (HR. Abu Daud, Nasa’I dan Hakim)
Pembatas
ini bisa berupa tembok, tiang, tongkat yang dipancangkan atau semisalnya.
Paling tidak, pembatas tersebut berupa kayu sandaran pada tempat duduk di atas unta.
Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam,
إِذَا
وَضَعَأَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُأَخَّرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ،
وَلَا يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَالِكَ
“Jika seorang di antara
kalian telah meletakkan (pembatas) di depannya seperti kayu sandaran pada
tempat duduk di atas unta, maka shalatlah. Dan, jangan menghiraukan apa pun yang
melintas di luar pembatas itu.” (HR.
Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud)
Jika
telah membuat pembatas, maka jangan biarkan siapapun lewat di depan kita selama
sedang mengerjakan shalat. Rasululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda:
إِذَا
كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّبَيْنَ يَدَيْهِ،
وَلْيَدْرَأْهُ مَااسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَي فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ
شَيْطَانٌ
“Jika seorang di antara
kalian sedang shalat, maka jangan biarkan seorang pun lewat di depannya. Dia
harus mencegahnya sedapat mungkin, tapi jika tetap memaksa, maka lawanlah dia,
karena dia adalah setan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kita
dilarang lewat di depan orang yang shalat karena dua alasan:
Pertama, Kerena lewat di depan orang yang sedang shalat akan membuat kita
berdosa. Rasululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
لَوْ
يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ
يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya orang yang
lewat di depan orang yang sedang shalat tahu dosa yang akan ditanggungnya, maka
berdiri selama empat puluh adalah lebih baik baginya daripada lewat di
depannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kedua, Wanita yang lewat di depan lelaki yang sedang shalat akan
membatalkan shalatnya. Ini merupakan pendapat sebagian shahabat dan ulama-ulama
setelahnya berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda,
يَقْطَعُ
الصَّلَاةَ المَرْأَةُ، وَالحِمَارُ، وَالْكَبُ، وَيَقِيْ ذَلِكَ مِثْلُ
مَؤَخَّرَةِ الرَّحْلِ
“Wanita, keledai dan
anjing dapat membatalkan shalat (jika lewat di depan orang yang sedang
mengerjakannya). Tapi hal itu dapat dicegah (bila dibuat pembatas) dengan benda
seperti kayu sandaran pada kendaraan.” (HR. Muslim)
Keterangan tambahan:
1. Apabila anak perempuan yang belum haid lewat di depan orang yang
shalat, maka dia tidak membatalkan shalat, karena usianya belum dewasa. Qatadah
menyatakan, “Seorang wanita tidak membatalkan shalat wanita lain (apabila lewat
di depannya).” Lalu ia ditanya, “Apakah anak perempuan yang belum haid
membatalkan shalat (bila lewat di depan orang yang sedang mengerjakannya)?”
Qatadah menjawab, “Tidak” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad shahih)
2. Wanita yang lewat di sebelah kanan atau kiri lelaki yang sedang
shalat tidak membatalkan shalatnya.
3. Jika ada wanita yang berdiri di sebelah lelaki yang sedang shalat,
maka shalatnya tidak batal. ‘Aisya radhiyallahu ‘anha menuturkan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam
mengerjakan shalat malam, aku berdiri di sebelahnya. Saat itu aku sedang haid
dan memakai kain yang sebagiannya mengenai beliau.” (HR. Muslim, Abu Daud, Ibnu
Majah dan Nasa’i)
Jika kita sedang shalat berjama’ah, maka tidak masalah lewat di
tengah-tengah shaf, karena pembatas imam berlaku bagi pembatas makmum. Ibnu
Abbas menyatakan, “Aku tiba (di Mina) dengan mengendarai keledai, kala itu aku
telah mencapai usia baligh, tepat ketika Rasululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam sedang mengimami para shahabat di Mina. Aku lewat di depan mereka
lalu turun dari keledai dan membiarkannya mencari makan, lalu aku sendiri masuk
ke dalam shaf dan tidak ada seorang pun yang menegurku.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Semoga bermanfaat..
Sumber: Shahih Fiqih Sunnah
Artikel Terkait:
2 komentar
Write komentarSyukron jazakalloh khoir atas ilmunya yg sangat bermanfaat kita tunggu kiriman artikel yg lain
Replyafwan, wa iyyakum pak wagiman pawiro.. insya Allah...
ReplyEmoticonEmoticon