Silsilah Tarbiyah HASMI "Terpecah Yang Benar Hanya Satu"

Maret 09, 2017
Buku Silsilah Tarbiyyah HASMI
BAB I
YANG BENAR HANYALAH ISLAM
Untuk beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan untuk mencapai keridoan-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala hanya menurunkan satu agama kepada hamba-hamba-Nya, sejak awal penciptaan manusia hingga hari kiamat kelak, yaitu agama Islam. Seluruh nabi, dari Nabi Adam ‘alayhissalam sampai Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam, hanya membawa dan mendakwahkan agama Islam. Itulah sirotulmustaqim.
    
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ ...١٩
“Sesungguhnya agama (yang diridoi) di sisi Alloh hanyalah Islam.”  (QS. ali ‘Imron [3]: 19)
Inti agama Islam adalah “berserah diri secara total kepada Alloh Subhanahu wa Ta’alamengesakan-Nya, mengagungkan-Nya dan mencintai-Nya dengan mengikuti wahyu dan syariat-Nya”. Hakikat sesuatu yang diajarkan oleh Islam tidak akan pernah berubah, sejak Nabi Adam ‘alayhissalam sampai Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam dan hingga hari kiamat. Adapun syariat yang diturunkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yaitu cara beribadah, tempat dan kadar peribadatan serta peraturan kemasyarakatan, bahkan hukum halal dan haram, masih bisa berbeda antara satu rosul dengan yang lainnya. Oleh karena itu, walaupun berbeda dalam syariat di beberapa bagian detail atau rinciannya (mayoritas syari’at global sama saja), namun aqidah para nabi dan ajaran mereka adalah sama, yaitu Islam.           

Nabi Musa ‘alayhissalam adalah nabi Islam, beragama Islam dan mendakwahkan Islam serta para pengikutnya adalah orang-orang Islam, bukan orang-orang Yahudi.

Sedangkan agama Yahudi adalah agama batil yang dianut oleh orang-orang yang menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa ‘alayhissalam.
    
وَقَالَ مُوسَىٰ يَٰقَوۡمِ إِن كُنتُمۡ ءَامَنتُم بِٱللَّهِ فَعَلَيۡهِ تَوَكَّلُوٓاْ إِن كُنتُم مُّسۡلِمِينَ ٨٤
“Musa Berkata: ‘Wahai kaum, jika kalian beriman kepada Alloh, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kalian benar-benar orang-orang Islam (muslimin).” (QS. Yunus [10]: 84)   

Demikian pula halnya dengan Nabi Isa ‘alayhissalam dan para pengikutnya yang setia, mereka adalah kaum muslimin sedangkan para penyelisihnya yang dinamakan umat Kristiani dengan agama mereka (Kristen), mereka adalah kaum musyrikin.
                                                                                        

۞فَلَمَّآ أَحَسَّ عِيسَىٰ مِنۡهُمُ ٱلۡكُفۡرَ قَالَ مَنۡ أَنصَارِيٓ إِلَى ٱللَّهِۖ قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَٱشۡهَدۡ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ ٥٢
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail), ia berkata: ‘Siapakah yang siap menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Alloh?’, para hawariyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Alloh, kami beriman kepada Alloh; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam.” (QS. ali ‘Imron [3]: 52)
                                                                                        
وَإِذۡ أَوۡحَيۡتُ إِلَى ٱلۡحَوَارِيِّ‍ۧنَ أَنۡ ءَامِنُواْ بِي وَبِرَسُولِي قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَٱشۡهَدۡ بِأَنَّنَا مُسۡلِمُونَ ١١١
“Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: ‘Berimanlah kalian kepada-Ku dan kepada rosul-Ku’. Mereka menjawab: ‘Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rosul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam (muslimun).” (QS. al-Ma’idah [5]: 111)      

Pada waktu yang sama, Alloh Subhanahu wa Ta’ala menolak semua agama selain Islam, walaupun bertujuan atau ditujukan untuk mendapatkan keridoan-Nya.
    
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥
“Barangsiapa menganut agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. ali-‘Imron [3]: 85)           

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
“…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku ridoi Islam itu jadi agama kalian….” (QS. al-Ma’idah [5]: 3)


BAB II
TERPECAH… YANG BENAR HANYALAH SATU

Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Robb (Tuhan) yang benar, dan Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Tetapi pada zaman kita sekarang ini, kita dapati “banyak Islam”. Berdasarkan prinsip asasi bahwa Islam yang benar hanyalah satu, maka di antara yang banyak itu, hanya satu Islam yang benar-benar Islam dan murni.     

Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan bahwa jalan-Nya hanyalah satu sirot, dan bukan subul (banyak jalan).

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٥٣
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah sirotulmustaqim (jalan-Ku yang lurus), maka ikutilah jalan ini, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalannya. Demikianlah wasiat Alloh kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. al-An’am [6]: 153)                           

Selain Islam yang benar lagi murni, maka tidak akan dapat menyampaikan kepada keridoan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Semakin bertambah kekurangmurnian Islam pada diri seseorang, maka semakin bertambah terancam pula tujuannya dalam mendapatkan keridoan Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang mutlak. Semakin bertambah ketidakmurnian keislaman seseorang, maka semakin bertambah pula kejauhannya dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ini semua terjadi ketika kekurangmurnian keislaman seseorang masih dalam lingkaran umum Islam. Tetapi ketika ketidakmurnian terus melebar, hal ini bisa mengantarkan seseorang kepada kekafiran.

Umat ini akan terpecah menjadi banyak golongan. Dan memang sudah terpecah! Namun hanya satu yang benar, dan yang lain salah! Hanya satu yang akan selamat dari api neraka, sedangkan yang lain akan memasuki neraka terlebih dahulu!
(( لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ الله،ِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: اَلجَمَاعَةُ ))
“Sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan. Satu golongan di dalam surga dan 72 golongan di dalam neraka. Ditanyakan kepada beliau: ‘Siapakah mereka (yang satu golongan) itu wahai Rosululloh?’, maka beliau menjawab: ‘al-Jama’ah.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim dan al Lalika’i)

(( وَإِنَّ بَنِىْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ كَانَ عَلىَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي ))
“Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 kelompok keagamaan, dan umatku akan berpecah-belah menjadi 73 kelompok keagamaan. Seluruhnya berada di api neraka, kecuali satu kelompok. Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Siapakah satu kelompok itu wahai Rosululloh?’, maka beliau menjawab: ‘Mereka yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku.” (HR. Tirmidzi, Hakim dan al Lalika’i)

Dari penjelasan tersebut di atas, gugurlah teori Pluralisme di dasar Jahannam yang paling dalam!                                                                                            

Yang benar hanya satu!

Maka sangat wajiblah bagi kita untuk mempelajari yang satu tersebut dan menghindar dari yang lainnya!                                                                             

A. Arti Iftiroq (perpecahan).
Arti dari iftiroq atau perpecahan dalam konteks ini adalah meninggalkan garis lurus sirotulmustaqim dan mengikuti garis-garis sesat yang banyak dan bercabang-cabang.  

Dengan kata lain, iftiroq berarti memilih jalan-jalan lain (alternatif) dalam memahami dan menerapkan Islam, selain dari jalan Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka “menolak”, baik sengaja ataupun tidak manhaj ittiba’, yaitu jalan pengikutan kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam.        

B. Sebab-Sebab Penyimpangan.
Sebab utama dari perpecahan tersebut adalah karena hawa nafsu dan kejahilan (kebodohan) Pengikutan kepada hawa nafsu (terutama hawa nafsu berpendapat) dan kejahilan, telah menimbulkan sebab-sebab perpecahan lainnya yang banyak sekali.

C. Sejarah Awal Perpecahan.
Firoq dollah berarti golongan-golongan yang sesat, dalam arti salah memilih jalan dalam menempuh Islam. Kesesatan bisa berarti bid’ah dan juga bisa berarti kekafiran.

Tetapi dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kesesatan adalah bid’ah, yaitu salah memilih jalan dalam meniti Islam. Yang seharusnya mereka memilih jalan yang telah ditempuh oleh Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabatnya, yaitu jalan Sunnah, tetapi mereka malah memilih jalan lainnya yang tercampur padanya hal-hal yang bukan berasal dari Sunnah Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun mereka yang sudah keluar dari Islam, maka walaupun mereka adalah golongan-golongan sesat pada umumnya, tetapi mereka bukanlah orang-orang yang dimaksud dalam pembahasan ini. Seperti yang dikabarkan oleh Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam hadits-hadits yang lalu, bahwa firqoh dollah tersebut akan bermunculan sampai bilangannya mencapai 72 (tujuh puluh dua) golongan.     

Begitulah yang mulai terjadi pada masa-masa terakhir khulafa’urrosyidin (empat kholifah yang mendapat petunjuk). Walaupun bibit-bibit furqoh (perpecahan) dan firoq (kelompok-kelompok) sudah mulai bersemi sebelum kekhilafahan ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu,  akan tetapi munculnya golongan sesat pertama yang mengkristal sebagai sebuah kelompok, baru terjadi pada zaman kekhilafahan beliau. ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu diangkat menjadi kholifah setelah terbunuhnya kholifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu di tangan segerombolan ahlul fitnah pada tahun 35 H. Ketika itu terjadilah perselisihan pendapat tentang cara penyelesaian bagi kasus pembunuhan tersebut, antara ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu sebagai kholifah dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, yang pada waktu itu menjabat sebagai gubernur Syam (Syiria dan sekitarnya). Perselisihan tersebut bertambah runcing hingga terjadi peperangan di antara kedua pihak. Manhaj Ahlus Sunnah dalam hal perselisihan di antara para sahabat adalah tidak mencampuri apa-apa yang terjadi di antara mereka, bahkan kita harus mendoakan kebaikan bagi mereka semua.      

Dalam suatu pertempuran antara pendukung ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu dan pendukung Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, terjadi suatu kesepakatan untuk berunding menyelesaikan masalah tersebut dengan damai. Maka diangkatlah dari setiap pihak seorang hakim untuk menerapkan hukum Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam menyelesaikan masalah yang pelik ini. Di sinilah munculnya firqoh sesat pertama yang keluar dari jalan Sunnah dan keluar dari Jama’ah kaum muslimin. Firqoh ini dinamakan Khowarij, yang berarti orang-orang yang keluar. Mereka keluar dari Sunnah dan Jama’ah, tidak lagi sebagai bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ketika mereka memahami masalah yang ada dari dalil al-Qur’an tentangnya bukan dengan manhaj Ahlus Sunnah. Mereka menyatakan bahwa dengan mengangkat seorang hakim, ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu telah memberi hak tasyri’ (membuat hukum) kepada makhluk, yang berarti suatu kesyirikan yang nyata. Maka mulailah mereka mengkafirkan ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat pendukungnya. Pada hakikatnya kedua hakim tersebut tidak diberi mandat untuk membuat suatu hukum, tetapi hanya diangkat untuk menghakimi kedua pihak dengan hukum Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sebenarnya masalah pengangkatan kedua hakim tersebut sangat sederhana dan dapat dipahami dengan mudah. Oleh karena itu, selain karena kebodohan yang nyata pada mayoritas mereka (kaum Khowarij pada waktu itu), disinyalir pula ada niat buruk dari sebagian pemimpin mereka yang menggerakkan keluarnya mereka dari jama’atul muslimin. Ketika mereka keluar dan berkumpul di suatu tempat yang dikenal dengan nama Haruro (dari tempat ini pula mereka dinamakan haruriyin), bertambah luaslah kesesatan mereka dengan adanya saling isi-mengisi kesesatan di antara mereka. Setelah melalui waktu yang cukup panjang dan dari kurun ke kurun, manhaj ini pun mulai berkembang dan mencakup hampir seluruh segi agama.
           
Di antara kesalahan yang termasyhur dari manhaj Khowarij adalah pengkafiran para pelaku dosa besar. Sebagai reaksi dari kesalahan ini (paham Khowarij), muncullah pemahaman yang menolak hubungan antara amal dan kekufuran. Manhaj ini dinamakan manhaj irja’ (penganutnya dinamakan Murji’, pluralnya adalah Murji’ah), mereka menyatakan bahwa iman seseorang tidak berkaitan dengan amal. Jadi bagaimanapun buruknya perbuatan seseorang, orang itu tidak akan menjadi kafir selama di dalam hatinya masih ada kepercayaan dan lisannya masih mengucapkan dua kalimat syahadat. Kedua kelompok tadi enggan mengikuti manhaj sahabat yang pada waktu itu banyak yang masih hidup, maka sesatlah mereka. 

Pada waktu bersamaan dengan munculnya Khowarij, benih-benih Syi’ah sebenarnya sudah ada. Bahkan penggagas firqoh Syi’ah, ‘Abdulloh bin Saba’ seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam, sudah bekerja di bawah tanah dengan gigih di masa khilafah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Yahudi inilah yang menjadi pemimpin gerakan pembunuhan terhadap ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu.  Firqoh Syi’ah yang dicetuskan oleh ‘Abdulloh bin Saba’ adalah firqoh sesat yang kesesatannya sampai pada taraf kesyirikan, yaitu dengan menuhankan ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan firqoh-firqoh Syi’ah yang pada akhirnya seakan-akan berkembang dengan merayap, pada mulanya hanya terbatas pada sikap mengutamakan ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu atas Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Hal ini bertentangan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan urutan afdoliyah (keutamaan) mereka sama persis seperti urutan kekilafahan mereka. ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu sendiri sebagai salah satu pelopor Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyetujui tentang lebih diutamakannya beliau atas Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahkan beliau akan menghukum cambuk orang-orang yang berpendirian demikian. Hingga batas pemahaman seperti ini, Syi’ah pada waktu itu hanya sebagai suatu kelompok politik yang mendukung kholifah ‘Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu dan anak-anak keturunannya. Arti kata Syi’ah sendiri adalah pendukung. Tetapi kesalahan pemahaman yang kelihatannya sepele ini kemudian mulai mengembang sampai pada kesesatan yang sangat mengerikan bahkan pada banyak kelompok-kelompok Syi’ah, ada yang sampai pada kekufuran yang nyata sekali.

Kemudian setelahnya, bermunculanlah firqoh-firqoh sesat lain yang menyandarkan manhaj mereka kepada produk-produk akal mereka dan filsafat Yunani serta menjauhkan diri dari manhaj sahabat yang mulia.

Di waktu yang sama, sahabat dan para pengikut mereka yang setia, yaitu tabi’in dan tabi’ut-tabi’in pun senantiasa gigih mendakwahkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak ada satu pun dari sahabat yang masuk ke dalam salah satu firqoh-firqoh tersebut. Istilah Ahlus Sunnah, pengikutan pada sunnah dan yang semisalnya, sebelum itu pun sudah menjadi istilah resmi di antara para penuntut ilmu. Tetapi tidak dimaksudkan sebagai firqoh tersendiri dalam tubuh kaum muslimin, sebab seluruh kaum muslimin pada waktu itu adalah Ahlus Sunnah. Tetapi ketika firqoh-firqoh yang meninggalkan manhaj Sunnah dan keluar dari Jama’ah mulai bermunculan, maka salafussoleh pun memakai nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai identitas resmi dan nama bagi firqotunnajiyah (golongan selamat), golongan yang senantiasa komitmen dalam mengikuti jejak Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabatnya.           

Sebab utama dari penyimpangan firoq dôllah pada waktu itu sebenarnya berakar pada dua hal, yaitu:
           
1.  Tidak mengikuti metode sahabat dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.           

2.  Berpedoman kepada sumber-sumber lain selain kepada al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah dalam mengambil hukum-hukum Islam, seperti bersandar kepada akal, mimpi, filsafat dan lain-lainnya.

Kedua sebab tersebut dilahirkan oleh hawa nafsu dan kejahilan (kebodohan), yang kemudian bercabang menjadi sebab-sebab yang banyak.


BAB III
FIRQOTUNNAJIYAH
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
A. Firqotunnajiyah.

Arti dari firqotunnajiyah adalah golongan yang selamat. Maksudnya adalah golongan yang tidak memasuki neraka sebelum memasuki surga. Hal ini telah dikabarkan oleh Rosululloh radhiyallahu ‘anhu dalam hadits-haditsnya. Dalam hadits-hadits tersebut telah dijelaskan sifat-sifat global dari golongan tersebut, di antaranya:

“Mereka yang mengikuti jejakku dan para sahabatku.”

Yang dimaksud dengan kalimat ini adalah “mereka yang mengikuti ajaran-ajaranku dan para sahabatku dalam memahami dan melaksana-kan Islam (dengan kata lain mengikuti sunnah)

B. Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah nama dari firqotunnajiyah (golongan selamat). Karena itu arti nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun sama dengan definisi firqotunnajiyah, yaitu mereka yang mengikuti jejak dan ajaran-ajaran Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam serta para sahabatnya dalam memahami Islam dan menerapkannya.

Mereka juga sangat berpegang pada manhaj para imam dari tiga generasi setelah Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam yang mana ilmu dan pengarahan-pengarahan mereka sebagai generasi terbaik dalam sejarah dunia, sangat dibutuhkan dalam meniti jejak Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabatnya.    

Sedangkan ahlul bid’ah adalah mereka yang berpegang kepada satu atau lebih dari prinsip-prinsip bid’ah, baik dalam sumber agama atau metode pemahamannya atau pemahamannya itu sendiri, atau orang-orang yang berlumuran bid’ah dalam kehidupan keagamaan sehari-harinya, walau tidak mengerti sedikitpun tentang prisip-prinsip bid’ah.          

Dari sini kita dapat memahami bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah seluruh kaum muslimin yang bukan ahlul bid’ah, walaupun kejahilannya cukup berat.  

Ahlus Sunnah adalah golongan inti (utama) dan mayoritas dari kaum muslimin, dan bukanlah suatu organisasi tertentu.
           
Jadi pemahaman bahwa NU (Nahdhatul Ulama) adalah Ahlus Sunnah sedangkan Muhammadiyah, atau Persis, atau lainnya bukan Ahlus Sunnah, adalah pemahaman yang salah lagi keliru. Setiap organisasi harus diukur berdasarkan manhajnya, apakah manhaj ittiba’ atau bukan? Demikian juga personal-personalnya, masing-masing diukur berdasarkan manhaj keagamaannya.      

Kalau ada organisasi yang ternyata menganut manhaj bid’ah, seperti mentabanni (mengadopsi/menerima) tarekat-tarekat bid’ah, maka belum tentu seluruh personalnya sebagai ahlul bid’ah. Walaupun organisasi tersebut dikategorikan sebagai organisasi bid’ah sekalipun, tetapi dalam banyak kasus, kita dapati hanya segelintir pemimpinnya saja yang ahlul bid’ah, sedangkan mayoritas anggotanya masih Ahlus Sunnah, meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang jahil (bodoh).   

C. Arti Kata “Sunnah” dan “Jama’ah”. 
1.  Sunnah:
Sunnah memiliki beberapa arti. Makna “kata” dari sunnah adalah jalan atau cara. Salah satu arti dari istilah sunnah adalah:            

“Amal perbuatan yang bila dikerjakan, maka pelakunya akan mendapatkan pahala dan bila ditinggalkan, tidak mendapat dosa.                
Dalam konteks ini yang dimaksud sunnah adalah “jalan, serta cara dan substansi dari pemahaman dan penerapan Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang Islam.”           

2.  Jama’ah:
Jama’ah dalam bahasa ‘Arab bisa berarti kaum yang bersatu, yaitu berdiri dalam satu landasan, dan juga bisa berarti persatuan itu sendiri.

Dalam konteks ini yang dimaksud jama’ah adalah “jama’ah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dan juga kebersatuan mereka (di atas kebenaran)”.   

D. Nama Umat Ini.
  Umat ini dinamakan “muslimun” dan personalnya bernama “muslim”. Ini adalah nama satu-satunya untuk umat ini dalam menggambarkan kepribadian mereka secara syar’i dan untuk membedakan umat ini dengan umat-umat kafir.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah langsung menamakan umat ini dengan dengan nama tersebut.
           
...هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا ... ٧٨
“Dia (Alloh) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini….” (QS. al-Hajj [22]: 78)

Kita tidak mempunyai mandat untuk menyandang nama lain untuk “menggantikan” nama ini.

E. Asal Usul Nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Munculnya kedua kalimat Sunnah dan Jama’ah dalam hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang keselamatan, dipahami oleh para sahabat bahwa keduanya (Sunnah dan Jama’ah) adalah pilar-pilar keselamatan.     

Di antara hadits-hadits tersebut misalnya:
 (( عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي ))
“Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaurrosyidin sepeninggalku....” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi)

(( فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي ))
“Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukanlah dari golonganku!” (HR. Bukhori)
                                                                                      
(( تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ ))
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara, dengan keduanya kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitabulloh dan sunnahku....” (HR. Hakim)
                                                                                      
(( مَنْ فَارَقَ اْلجَمَاعَةَ وَخَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ فَمَاتَ فَمِيْتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ ))
“Barangsiapa yang meninggalkan jama’ah dan memberontak dari ketaatan lalu mati, maka cara matinya adalah mati jahilliyah.” (HR. Muslim)
                                                                                      
(( وَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى اْلجَمَاعَةِ ))
“Berpegang teguhlah kalian kepada jama’ah, karena sesungguhnya tangan Alloh di atas jama’ah.” (HR. Tirmidzi)                                           

(( وَإِنَّ هَذِهِ اْلِملَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي اْلجَنَّةِ، وَهِيَ اْلجَمَاعَةُ  ))
“Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam neraka dan satu golongan di dalam surga, yaitu al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dan lainnya. al-Hafiz menggolongkannya sebagai hadits hasan)
                                                                                      
(( عَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ اْلوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ اثْنَيْنِ أَبْعَدُ ))
“Ikutilah jama’ah dan jangan berpecah-belah! Sesungguhnya setan bersama yang sendirian dan dia lebih jauh dari yang berdua!” 
(HR. Tirmidzi dan Ahmad)    

Ketika terjadi perpecahan pada awal perjalanan umat ini, terlihat jelas bahwa pembelotan terjadi karena para pembelot melepaskan tali “sunnah” dan “jama’ah”.       

Karena para pembelot “belum bisa” dikeluarkan dari nama Islam atau muslimun, maka salafussoleh telah berijtihad dengan menamakan golongan yang mengikuti Islam yang murni dengan nama “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” sering disingkat dengan “Ahlus Sunnah” saja, dan golongan pembelot dinamakan “ahlul bid’ah”. 

Nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah nama yang dipakai ketika berhadapan dengan golongan-golongan pembelot di dalam Islam dan tidak sekali-kali dipakai untuk menghadapi kaum kuffar. Itulah sebabnya di zaman Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, nama ini tidak dipakai, karena di masa mereka tidak didapatkan golongan-golongan pembelot. Yang terjadi di masa mereka adalah “gelombang kemurtadan” di beberapa wilayah dari Jazirah ‘Arab dan kaum yang murtad itu sudah keluar dari Islam sehingga tidak dinamakan “muslim” lagi.
           
Dalam penggunaan umum, nama “Ahlus Sunnah” sering dipakai sebagai lawan dari “Syi’ah”. Ini berarti, dalam penggunaan umum firqoh-firqoh bid’ah selain Syi’ah masih mengakui nama Ahlus Sunnah sebagai nama mereka. Hal ini dikarenakan kebid’ahan Syi’ah yang jauh lebih buruk dan lebih sesat dari firqoh-firqoh tersebut dan bukan sekali-kali bahwa firqoh-firqoh bid’ah tersebut berjalan di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah!   

Nama Ahlus Sunnah benar-benar sudah dikenal sejak zaman salafussoleh dan juga telah digunakan secara resmi oleh mereka. Kita akan lebih meyakini hal tersebut Insya Alloh, setelah menyimak hal-hal berikut:
           
1.    Ketika menafsirkan QS. ali ‘Imron ayat 106:

يَوۡمَ تَبۡيَضُّ وُجُوهٞ وَتَسۡوَدُّ وُجُوهٞۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ٱسۡوَدَّتۡ وُجُوهُهُمۡ أَكَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡ فَذُوقُواْ ٱلۡعَذَابَ بِمَا كُنتُمۡ تَكۡفُرُونَ ١٠٦
“Pada hari yang di waktu itu ada wajah-wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah-wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kalian kafir sesudah kalian beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiran kalian itu!”, maka Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:   
(( تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلِ السُّنَّةِ، وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلِ اْلبِدَعِ ))
“Ketika memutih wajah-wajah Ahlus Sunnah dan menghitam wajah-wajah ahlul bid’ah”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata:
“Memandang wajah seseorang dari Ahlus Sunnah, yang mendak-wahkan sunnah dan melarang bid’ah adalah suatu ibadah!”

Hasan Basri rahimahullah berkata:
“Wahai Ahlus Sunnah, berlemah-lembutlah (dengan sesama), karena kalian paling sedikit jumlah dan bilangannya!”

Ayub Sikhtiyani rahimahullah berkata:
“Adalah suatu kebahagiaan bagi seorang pemuda dan seorang ‘Ajam (Non ‘Arab), ketika Alloh memberinya taufik untuk dibina oleh seorang ‘alim dari Ahlus Sunnah”
                                                                                  
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:
“Sebelum terjadi fitnah (bid’ah), masalah isnad (atau sanad) tidak pernah dipertanyakan. Setelah terjadi fitnah, mulailah dipertanyakan. Jika sanad (hadits) dari Ahlus Sunnah, maka diambillah riwayatnya. Namun jika sanadnya dari ahlul bid’ah, maka ditolak riwayatnya.

Abu Hatim rahimahullah dan Abu Zur’ah rahimahullah berkata:
“Kami mengikuti Sunnah dan Jama’ah.”

Dari sini kita melihat dengan jelas bahwa para salafussoleh telah menggunakan istilah “Ahlus Sunnah”.                                                                     

F. Ahlus Sunnah Dalam Realita.

Pada umumnya semua kaum muslimin adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kecuali mereka yang berpegang teguh pada bid’ah pada salah satu dasar penting dalam Islam, atau mayoritas kehidupan keagamaan mereka berlumuran bid’ah. Sedangkan orang Islam yang terkadang jatuh ke dalam suatu bid’ah, atau mereka salah kira sehingga mengira suatu bid’ah adalah sunnah, maka orang-orang yang demikian bukanlah ahlul bid’ah. Dalam hal yang berhubungan dengan bid’ah dan sunnah, umat ini dalam realitanya terbagi menjadi beberapa tingkatan:
1.      Alim Sunnah (yang mengerti dan memahami benar tentang Sunnah).
2.      Penuntut ilmu Sunnah.                                    
3.      Jahil (bodoh) Sunnah, tetapi tidak jatuh kepada bid’ah.
Macam ini sedikit sekali, karena kebanyakan jahil Sunnah mudah terjatuh kepada bid’ah. Walaupun tidak terjatuh, tetapi posisinya kritis sekali.     
4.      Jahil sunnah yang terkadang jatuh kepada bid’ah.          
Keempat macam golongan di atas adalah bagian dari Ahlus Sunnah, bukan dari ahlul bid’ah.
5.      Jahil Sunnah yang tergenang dan berenang dalam kubangan bid’ah.
Macam ini sudah termasuk ahlul bid’ah.       
6.      Ahlul bid’ah yang berilmu dan berbuat bid’ah pada dasar-dasar penting Islam, karena salah pengertian atau taqlid.                                       
7.      Ahlul bid’ah Zindiq, yaitu orang-orang yang sengaja berjalan di atas bid’ah dengan tujuan untuk mempermainkan agama.
Macam seperti ini adalah golongan munafik yang sudah keluar dari Islam. Sayangnya macam seperti ini banyak yang menjadi pemimpin bagi kaum muslimin.


BAB IV
DASAR-DASAR
MANHAJ AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Dalam meniti sirotul mustaqim Ahlussunnah Wal Jama’ah berpegang teguh pada rambu-rambu sirotul mustaqim berikut dan menjadikannya sebagai dasar-dasar manhaj mereka:

A.   Tauhidulloh (Mengesakan Alloh Subhanahu wa Ta’ala).
         1. Arti Tauhid.
Tauhid adalah mengesakan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyah-Nya, yaitu dalam perbuatan-perbuatan ketuhanan-Nya, dan dengan mengesakan dan memuliakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta mengesakan Alloh Subhanahu wa Ta’ala pada hak-hak-Nya sebagai Ilah (Tuhan) untuk seluruh alam.
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)
           
2. Lawan tauhid adalah syirik.
Yaitu menyekutukan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyah-Nya atau dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta hak-hak ke-Ilahan-Nya, atau menyekutukan pada salah satu atau sebagiannya.
                                                                                  
...إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ ٧٢
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Alloh, maka pasti Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan atasnya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zôlim itu seorang penolong pun.” (QS. al-Ma’idah [5]: 72)
                                                                                           
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa’ [4]: 48)                                                                         

                                                                                      
B.   Ittiba’.
1.  Arti ittba’.
Ittiba’ berarti “pengikutan”. Ittiba’ yang dimaksud sebagai dasar agama Islam adalah pengikutan kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam memahami Islam dan menerapkannya. Karena Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri hanya komitmen terhadap pengikutan kepada wahyu Ilahi, maka pada hakikatnya ittiba’ adalah mengikuti wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

2.  Ittiba’ pengawal kemurnian.
Tidak akan mungkin kita dapat menjaga kemurnian Islam kecuali dengan tetap konsisten (sangat tegas) kepada ittiba’. Meninggalkan ittiba’ secara keseluruhan berarti keluar dari Islam. Sedangkan meninggalkan sebagian dasar dari ittiba’, berarti masuk ke dalam lingkaran bid’ah, bahkan bisa mengeluarkan seseorang dari Islam.


C.   Sumber yang benar dalam hukum dan pemahaman.
Salah satu dasar manhaj Ahlus Sunnah yang sangat penting adalah menimba pemahaman Islam atau hidâyah dari sumber yang benar. Satu-satunya sumber yang mutlak benar dalam Islam adalah wahyu Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang berbentuk al-Qur’an dan al-Hadits (as-Sunnah), yang harus dirujukkan (disandarkan pemahamannya) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya.
           
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul-Nya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala (al-Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
                                                                                      
D.   Metode Pemahaman yang benar.
Ahlus Sunnah berpegang teguh kepada pemahaman dan metode pemahaman para sahabat, karena mereka adalah umat yang telah mendapat “serfitikat kebenaran” dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala melalui banyak ayat-ayat al-Qur’an. Demikian pula jika mereka telah berijma’ terhadap suatu masalah, maka ijma’ mereka adalah hukum yang wajib diikuti dan tidak boleh memilih pilihan lain selain pilihan mereka.

Selain memberikan “serfitikat kebenaran” tersebut, Alloh Subhanahu wa Ta’ala pun telah mengancam orang-orang yang menyelisihi mereka. Untuk lebih jelasnya, marilah kita renungkan hal-hal berikut:
           
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا 
“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami leluasakan dia di kesesatannya yang telah dijalaninya itu, dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa’ [4]: 115)
                                                                                      
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١١٠
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Alloh. (QS. ali-‘Imron [3]: 110)
                                                                                      
۞لَّقَدۡ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ يُبَايِعُونَكَ تَحۡتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيۡهِمۡ وَأَثَٰبَهُمۡ فَتۡحٗا قَرِيبٗا ١٨
“Sesungguhnya Alloh telah rido terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. al-Fath [48]: 18)
                                                                                      
فَإِنۡ ءَامَنُواْ بِمِثۡلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهۡتَدَواْۖ وَّإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا هُمۡ فِي شِقَاقٖۖ فَسَيَكۡفِيكَهُمُ ٱللَّهُۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ 
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam penentangan (kesesatan). Maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqoroh [2]: 137)
                                                                                      

BAB V
FIRQOH-FIRQOH SESAT UTAMA

A. Syi’ah
Syiah pada mulanya merupakan kata bahasa yang berarti pengikut dan pendukung setia seseorang. Mereka pada asalnya adalah para pengikut dan pendukung Ali radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan orang-orang yang meyakini Ali sebagai Tuhan, atau Ali akan kembali di akhir zaman, atau Ali bersifat ma`sum dikenal sebagai kelompok sabaiyyah.

Akan tetapi bersamaan dengan berlalunya waktu, justru keyakinan Sabaiyyah inilah yang menjadi prinsip-prinsip dan keyakinan Syi`ah. Bahkan, di zaman ini prinsip-prinsip dan keyakinan Syi`ah telah bertambah sesatnya sampai-sampai menjadi agama baru yang bukan lagi Islam.

      1. Penyimpangan Syi`ah dalam Sumber.
Syi`ah telah mengganti sumber ajaran Islam. Al-Qur`an dan Sunnah Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam (yang telah dijaga secara akurat oleh para sohabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan ulama-ulama Islam) digantikan oleh al-Qur`an dan Ahlul Bait (walaupun pengakuan riwayat ahlul bait pun jelas-jelas penuh riwayat dusta atau sama sekali bukan dari ahlu bait). Bahkan, Syi`ah mengklaim bahwa al-Qur`an yang sekarang berada di tangan kaum muslimin, bukanlah al-Qur`an yang sesungguhnya atau tidak lengkap. Al-Qur`an yang lengkap diturunkan kepada Fathimah atau yang diajarkan turun-temurun kepada ahlul bait.

2. Penyimpangan Syi`ah dalam Tauhid.
Keyakinan-keyakinan Syiah telah dipenuhi oleh beragam kesyirikan. Syiriknya keyakinan Syi`ah dapat dilihat dari keyakinan mereka bahwa Alloh itu bersifat bada` (Dia tau tentang segala sesuatu setelah sebelumnya tidak tahu), mencaci maki para Sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam, bahkan menuduh dengan sangat keji bahwa para sohabat telah kufur setelah beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam wafat. Bagitu juga keyakinan ‘ismah (kema’suman) para imam mereka telah dipenuhi oleh keyakinan syirik, Imam bisa mengetahui yang goib, memiliki hak penataan alam semesta sesuai kehendak mereka, penentu dikabulnya do’a, penentu hidayah bagi manusia, perantara antara manusia dengan Alloh,  dan lain-lain. Begitu juga pengakuan cinta kepada ahlul bait dipenuhi dengan berbagai kedustaan dan kepalsuan. Padahal, mereka sama sekali bukan pecinta ahlul bait, karena merekalah sesungguhnya yang membunuh Husein radhiyallahu ‘anhu dengan penuh jiwa pengkhianatan.
3. Penyimpangan Syi`ah dalam Ittiba`.
Demikian pula dengan ajaran-ajaran bid`ah yang sama sekali tidak diajarkan Islam. Hari `asyuro yang dipenuhi dengan menyakiti tubuh, merobek-robek pakaian dan berbagai sikap ratapan yang kesemuanya merupakan ajaran-ajaran jahiliyyah. Kawin mut`ah yang merupakan zina terselubung telah menjadi bagian dari ajaran bid`ah buruk Syiah. Sholat yang harus mengahadap tanah karbala, adzan yang ditambah dengan kalimat “as solatu ala khoirul amal” dan masih banyak lagi ajaran sesatnya. Ajaran-ajaran inilah yang saat ini menjadi agama Syi`ah itsna `asyariyah (Syi`ah 12 imam) atau Syi`ah rofidoh, Syi`ah Iran yang mempelopori gerakan revolusi Iran dengan tokohnya Khomaeni.

B. Khowarij
Khowarij pada mulanya adalah orang-orang yang keluar dari sunnah dan jama`ah (para sohabat) saat terjadi peristiwa tahkim yang dilaksanakan untuk menentukan hukum Alloh demi perdamaian antara dua kelompok ummat yang berperang pada zaman Sohabat. Yaitu kelompok Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu dan kelompok Mu`awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu. Kedua belah pihak sepakat untuk membentuk lajnah (panitia)penerapan hukum Alloh atas perdamaian yang mereka inginkan. Kaum Khowarij mengatakan bahwa dengan mengangkat seorang hakim (anggota panitia dari pihak Ali rda), maka Ali bin Abi Tholib telah memberi hak membuat hukum (hak tasyri`) kepada makhluk yang berarti suatu kesyirikan yang nyata. Inilah yang membuat mereka keluar dari sikap para sohabat, sehingga mereka mengkafirkan Ali bin Abi Tholib dan para sohabat pendukungnya.  Memang benar, bahwa memberikan seseorang hak untuk membuat hukum di luar koridor hukum Alloh adalah suatu kesyirikan dan kekufuran yang nyata. Akan tetapi, yang dilakukan oleh Ali radhiyallahu ‘anhu bukanlah demikian. Yang beliau radhiyallahu ‘anhu lakukan adalah mengangkat seorang hakim yang bertugas memutuskan masalah yang terjadi dengan hukum Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Jadi bukan sama sekali menyingkirkan hukum Alloh dan menggantinya dengan hukum yang lainnya.

Menurut Khowarij, semua dosa besar dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Mereka dengan sangat mudah mengkafirkan orang-orang (secara langsung personalnya) yang mereka anggap murtad tanpa melihat syarat-syarat dan halangan-halangannya. Karena semua itu, mereka terkenal lebih sering memerangi ummat Islam sendiri dibanding memerangi orang-orang kafir. Hal ihwal mereka telah dikhabarkan Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam sebelum beliau wafat. Sikap guluw (melampaui batas-batas syari`ah) inilah yang telah menjadikan faham khowarij menjadi faham yang sangat ekstrim, tanpa rahmah. Seperti firqoh-firqoh sesat lainnya, dasar penyimpangan mereka adalah karena penyelisihan terhadap sunnah Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para Sohabatnya dalam memahami hukum-hukum Islam.

C. Sufiyah
Pada mulanya, kelahiran tasawwuf sama sekali tidak bercampur dengan aqidah umat Islam yang masih murni mengikuti para salafus solih. Tasawwuf hanya mengajarkan parktek-praktek zuhud (hidup sederhana), keketatan ibadah dan sikap akhlak (suluk) yang terkadang melampaui batas-batas syari`ah. Dengan demikian telah memasuki daerah kebid’ahan.

Akan tetapi semakin hari, ajaran Tasawwuf dipenuhi dengan barbagai keyakinan yang bercampur aduk, ada paganisme, Yahudi, Kristen, hindu, budha, Majusi, dan firoq-firoq dollah yang banyak sekali.

1. Penyimpangan Sufiyah dalam Sumber.
Sumber agama Islam, yaitu al-Qur`an dan Sunnah telah ditambah-tambah dengan  berbagai sumber-sumber lain, bahkan sumber-sumber lain inilah yang lebih mendominasi al-Qur`an dan Sunnah itu sendiri. Mimpi, kasyaf (penerawangan alam gaib) dan hadis-hadis palsu dan munkar justru telah menjadi sumber utama bagi para penganut tasawwuf.

2. Penyimpangan Sufiyah dalam Tauhid.
Aqidah tasawwuf telah banyak dicampuri oleh ajaran-ajaran syirik. Keyakinan mereka tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam juga banyak yang melampaui batas syari`at. Mereka berkeyakinan bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam diciptakan sebelum adanya alam semesta, bahkan semua alam semesta diciptakan dari cahayanya dan untuknya. Prinsip-prinsip kewalian yang dipenuhi dengan sihir, bahkan ada yang sampai kepada prinsip wihdatul wujud (manunggaling kawulo lan gusti) yang mengajarkan penyatuan Dzat Alloh dengan seluruh alam semesta yang dalam hal ini menyatu dengan sang wali. Wali yang tidak pernah berbuat salah, kalaupun secara kasat mata salah tapi hakikatnya sama sekali tidak salah, setelah mati mereka masih hidup sehingga bisa mendengar keluhan dan rintihan pengikutnya, mereka memiliki banyak karomah sampai ada yang bisa terbang, bisa ada di dua tempat berbeda dalam waktu bersamaan, dipercaya atau bahkan mengklaim memiliki kemampuan mengetahui sesuatu yang gaib dan keyakinan-keyakinan syirik lainnya.

Kuburan-kuburan dan tempat-tempat keramat penuh dengan legenda-legenda kesucian dan kekaromahan penghuninya juga telah menjadi ajaran bid`ah yang sangat jelas. Sehingga situasi kuburan dan tempat-tempat keramat dipenuhi oleh orang-orang yang berziarah untuk mencari berkah atau meminta berbagai kebutuhan dalam kehidupan yang ini merupakan kesyirikan yang jelas sekali.

3. Penyimpangan Sufiyah dalam Ittiba`.
Begitu juga ajaran-ajaran ta`abbud dan suluk mereka telah banyak sekali dipenuhi oleh berbagai tata aturan bid`ah. Sholawat bid`ah yang berbagai ragam sesuai dengan tarekatnya, cara solat yang dipenuhi dengan sikap semedi yang bebeda-beda, sikap dzikir yang memiliki tata aturan yang bermacam-macam yang sama sekali tidak diajarkan oleh Rasululloh saw. Begitu pula dalam tata olah bathin yang sama sekali tidak merujuk kepada manusia yang paling bertaqwa, yaitu Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam. Amalan-amalan yang harus dipenuhi oleh para penganut tasawwuf untuk membersihkan jiwa telah dipenuhi berbagai bid`ah yang justru menjadi racun qolbu. Sampai-sampai untuk mengejar penyucian jiwa, mereka diwajibkan meninggalkan menuntut ilmu-ilmu syar`i  yang diajarkan dalam al-Qur`an dan Sunnah. Lalu, ilmu yang mereka dapat dari hasil dzikir dan riyadhoh itulah yang akan melahirkan cahaya ilmu ladunni (diklaim sebagai ilmu yang langsung datang dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala melalui bisikan jiwa).


Artikel Terkait

Previous
Next Post »