Tata Cara Shalat Witir Sesuai Sunnah
Witir
dengan tiga rakaat memang ada banyak variasinya di kalangan para ulama.
Setidaknya kita kenal ada tiga cara.
1. Cara Pertama
Shalat
witir dikerjakan dua rakaat terlebih dahulu lalu disudahi dengan salam,
kemudian dikerjakan satu rakaat lagi, sehingga menjadi tiga rakaat dengan dua
salam. Cara ini oleh para ulama sering disebut dengan istilah fashl
(dipisahkan).
Cara
ini adalah pendapat hampir semua mazhab kecuali mazhab Al-Hanafiyah. Bahkan
mazhab Al-Malikiyah memakruhkan shalat witir kecuali dengan tata cara seperti
ini, kecuali bila seseorang terpaksa karena dia menjadi makmum.
Dalil
atas cara seperti ini adalah hadits nabawi berikut ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّهُ قَال : كَانَ النَّبِيُّ
يَفْصِل بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمَةٍ
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi
wa sallam memisahkan antara rakaat yang genap dengan rakaat yang ganjil
dengan salam. (HR. Ahmad)
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ
كَانَ يُسَلِّمُ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ
Bahwa
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu mengucapkan salam di antara dua rakaat,
sehingga beliau memerintahkan beberapa kebutuhannya.
Asy-Syafi’iyah
menyebutkan bahwa ketika shalat witir dikerjakan dua rakaat terlebih dahulu
dengan salam, maka dari segi niatnya haruslah disebutkan sebagai niat shalat
sunnah dari witir (سنة الوتر) atau muqaddimah witir (مقدمة
الوتر).
2. Cara Kedua
Shalat
witir dikerjakan langsung tiga rakaat dengan satu salam, tanpa diselingi dengan
salam di rakaat kedua. Cara ini disebut dengan washl (bersambung).
Cara
ini didasarkan dari hadits berikut :
كَانَ وتِرُ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ إِلاَّ فِي آخِرِهَا
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah shalat witir dengan lima rakaat
tanpa duduk tahiyat kecuali di bagian akhir. (HR. Muslim)
Mazhab
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah membolehkan cara seperti ini, namun mazhab
Al-Malikiyah memakruhkannya.
3. Cara Ketiga
Shalat
witir dikerjakan langsung tiga rakaat dengan satu salam, tetapi di rakaat kedua
duduk sejenak untuk melakukan duduk tasyahhud awal dan membaca do’anya.
Cara
seperti ini nyaris mirip dengan shalat Maghrib, kecuali bedanya ketika di dalam
rakaat ketiga tetap disunnahkan untuk membaca ayat Al-Quran setelah membaca
surat Al-Fatihah.
Dasar
dari pendapat ini adalah perkataan Abu Al-‘Aliyah :
عَلَّمَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ أَنَّ الْوِتْرَ مِثْل صَلاَةِ الْمَغْرِبِ
فَهَذَا وِتْرُ اللَّيْل وَهَذَا وِتْرُ النَّهَارِ
Para
shahabat Nabi SAW mengajari kami bahwa shalat witir itu serupa dengan shalat
Maghrib. Yang ini (shalat witir) adalah shalat witir malam dan yang itu (shalat
Maghrib) adalah shalat witir siang.
Cara
shalat witir seperti ini adalah yang menjadi pendapat dari mazhab Al-Hanafiyah.
Pendapat
itu semua ada hadisnya, dan semua sifat-sifat yang digambarkan dalam hadits
witir bersifat تخيير (pilihan) dalam arti
boleh dipilih salah satunya karena perbedaan riwayat ini bersifat تنوع (beraneka ragam) bukan تضاد (berlawanan), seperti
yang dikatakan Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid:
وَالْحَقُّ فِي هَذَا : أَنَّ ظَاهِر
هَذِهِ الأَحَادِيثِ يَقْتَضِي التَّخْيِيرِ فِي صِفَةِ الْوِتْرِ مِنَ الْوَاحِدَةِ
إِلَى التِّسْعِ عَلَى مَا رُوِيَ ذَلِكَ مِنْ فِعْلِ رَسُولِ اللهِ - صَلَّى اللهُ
عَلَيهِ وَسَلَّم
Jadi
yang benar yang mana ?
Manakah
yang lebih rajih dari pendapat ini ?
Kok
ngga ditarjih?
Semua
pertanyaan di atas sering terdengar ketika memberikan penjelasan pendapat
masing-masing madzhab fiqih tentang suatu masalah yang memang tidak lepas dari
perbedaan pendapat. Yang bertanya seakan memaksa harus ada tarjiih dan tidak
puas dengan apa yang dijelaskan oleh para imam madzhab yang memang punya
kapasitas untuk itu.
Padahal
sebenarnya kalau pertanyaan sekedar mana yang rajih dan kuat, tentu jawabannya
yang benar adalah bahwa semua sudah rajih dan semua sudah kuat. Setidaknya,
menurut madzhab masing-masing, pendapat mereka sudah rajih dan sudah kuat.
Akan
tetapi jika pertanyaan berubah menjadi tuntutan untuk menjadi seorang murajjih
(pelaku tarjih) yang me-rajih-kan satu pendapat dan me-marjuh-kan pendapat
lain, tentu akan lain ceritanya.
Masalah
pertama adalah bahwa kita harus sadar diri, sebenarnya siapa sih kita ini?
Bukan
apa-apa, tetapi yang kita tahu bahwa tarjih tidak boleh dilakukan oleh orang
yang ilmunya pas-pasan. Sebab pada dasarnya proses tarjih tidak lain adalah
berupa pemindaian beberapa pendapat dan mengeluarkan pendapat yang terkuat di
antara lainnya, lalu mengamalkan pendapat yang telah dinilai tersebut. Yang
tidak rajih (kuat) berarti itu marjuuh (tidak kuat).
Masalahnya,
siapa lah kita ini dibandingkan dengan para fuqaha dan mujtahidin itu, sampai
berani-beraninya mengatakan pendapat imam madzhab itu tidak kuat?
Sejak
zaman Imam Al-Syafi’i sampai Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi, semua ulama paham dan
mengerti bahwa salah satu rukun tarjih adalah murajjih, dan murajjih ialah yang
mempunyai kapastisan malakah ilmiah yang
kuat dan mampu menentukan dengan keilmuannya mana yang unggul dan mana yang
tidak unggul. Dan itu semua ada pada diri seorang mujtahid, bukan muqallid.
Dan
pertanyaan sekarang ada ustadz-ustadz yang memaksakan pendapat dan menggangap
sholat witir 2 - 1 pendapat keliru dengan segala versi tarjih mereka? Apakah
mereka seorang mujtahid hanya karena ustadz tersebut kebetulan mudah diakses di
internet atau terkenal di salah satu cannel TV, lulusan Madinah, dan bergelar
Doktor pula, ataukah kenyataan mereka jauh dari syarat-syarat seorang mujtahid
atau minimal Fuqohaa (ahli fiqih)?
Mungkin
ada yang bertanya kemudian, jadi nantinya kalau perbedaan itu tidak ditarjih,
apakah itu jadinya membingungkan?
Sejatinya,
tidak adanya tarjih atau ada beberapa asatidz yang memang tidak mentarjih dan
hanya memaparkan perbedaan pendapat itu bukan bermaksud untuk membingungkan
apalagi membuat rancu.
Tapi
mereka semua sadar diri bahwa mereka bukanlah seorang mujathid yang layak
mentarjiih salah satu pendapat para imam madzhab yang derajat keilmuannya tentu
jauh lebih tinggi.
Mereka,
para asatidz itu hanya bertugas menyampaikan apa yang mereka dapat dari
kitab-kitab turats, dan mengkonversikan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa
yang bisa dipahami dan dimengerti oleh para pembaca.
Nah,
sekarang tinggal memilih dari pendapat-pendapat tersebut, pendapat mana yang
memang cocok dengan kita. Dan perlu dipahami lagi, sejatinya perbedaan yang ada
itu bukan sesuatu yang berbahaya, maka tidak perlu takut dan ragu untuk
mengambil salah satunya.
Dan
sesama muqallid hendaklah menghormati dan saling menghargai pilihan
masing-masing. Bukan memaksakan apalagi sampai menghina dan mengejek muqallid
lain yang memilih fatwa dari mujathid yang berbeda dari pilihannya.
EmoticonEmoticon