Adakah Perintah Berpuasa Khusus Pada Pertengahan Bulan Sya'ban (Nisfu Sya'ban)??

April 28, 2017

Pertanyaan:
Pertanyaan dari Alfa Rizky di Bandung: "Puasa Sya'ban hari apa saja dan berapa lama?"

Jawaban:
Kita dianjurkan untuk memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya'ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam. Mari kita simak pembahasan berikut ini:

Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam melaksanakan hampir satu bulan penuh. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“..Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berpuasa selama satu bulan penuh selain puasa pada bulan Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban”. (Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)

Adakah Perintah Berpuasa Khusus Pada Pertengahan Bulan Sya’ban (Nisfu Sya’ban)?
Mengkhususkan puasa pada pertengahan bulan Sya’ban (Nisfu Sya’ban) karena meyakini memiliki keutamaan tertentu, maka ini adalah perbuatan bid’ah –simak pembahasantentang bahaya bid’ah dan Bahaya Bid'ah–. Sebab tidak ada satu riwayat shahih pun dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang menyebutkan keutamaan Nisfu Sya’ban dan puasa pada hari itu.

Semua hadits yang menyebutkan tentang hal ini sangat lemah atau bahkan maudhu’ (palsu). Seperti hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallah ‘alayhi wa sallam bersabda;
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُوْمُوا نَهَارَهَا
“Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, maka hidupkan malamnya (dengan shalat malam) dan berpuasalah pada siang harinya.”[1]

Tidak Ada Satu Hadits Shahih pun Yang Melarang Berpuasa Setelah Lewat Pertengahan Bulan Sya’ban.
Para ulama berselisih pendapat tentang puasa sunnah setelah lewat pertengahan bulan Sya’ban. Sementara Syafi’iyah memakruhkannya, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَان فَلَا تَصُوْمُوا
“Apabila sudah pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.”[2]

Tetapi hadits ini dhaif –menurut pendapat yang rajih–. Hadits ini dinilai munkar oleh para imam hadits yang ucapan mereka diikuti dalam masalah ini. Tidak mengapa berpuasa sunnah setelah lewat pertengahan bulan Sya’ban.

Hal ini dikuatkan oleh hadits-hadits shahih, seperti hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu di atas, Rasulullah banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban.

Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَالِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang sudah rutin berpuasa maka hendaklah ia berpuasa pada hari itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, shahih).

Hadits ini bersisi larangan berpuasa satu atau dua hari saja di akhir bulan Sya’ban, karena dikhawatirkan terjadi penambahan terhadap bulan Ramadhan.

Kecuali puasa yang telah biasa dilakukan seseorang, maka tidak mengapa ia berpuasa pada hari tersebut. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut, kecuali pada bulan Sya’ban dan Ramadhan.”[3]

Kesimpulan:
- Dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.
- Dilarang berpuasa satu hari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan, kecuali bagi orang yang terbiasa melaksanakan puasa sunnah.
- Tidak boleh mengkhususkan puasa pada pertengahan bulan Sya’ban, yang sering disebut Nisfu Sya’ban. Karena tidak ada dalil yang shahih mengenai hal ini.
- Tidak mengapa puasa sunnah setelah lewat pertengahan bulan Sya’ban.

[Sumber: Kitab Shahih Fiqih Sunnah karya Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim]






[1] Hadits Dha’if sekali, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1157)
[2] Hadits munkar diriwayatkan oleh Abu Dawud (2337), at-Tirmidzi (738), an-Nasa’i dalam al-Kubra (2911), Ibnu Majah (1611), dan Ahmad (II/442). Hadits ini dinilai munkar oleh Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad, Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah dan lain-lain. Hadits ini telah saya bicarakan dalam ta’liq (komentar) yang aku tulis atas buku Syarah al-Baiquniyah karya Ibnu ‘Utsaimin (hal. 22-23). Namun hadits ini dishahihkan oleh al-Allamah Al-Albani rahimahullah.
[3] Shahih diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (726), an-Nasa’i (IV/150), Ibnu Majah (1648) dan Ahmad (VI/293)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »