Sebagian kaum Muslimin menganggap bahwa
para wali atau orang-orang sholih yang telah meninggal dunia dapat menyampaikan
permohonan orang yang masih hidup kepada Alloh subhanahu wa ta’ala
sehingga mereka banyak berbondong-bondong berziarah ke kuburan-kuburan
orang-orang yang mereka anggap sebagai wali Alloh untuk menyampaikan do’a
permohonannya. Orang-orang itu merasa dirinya adalah orang yang kotor, banyak dosa,
sedangkan para wali yang sudah meninggal adalah orang-orang sholih yang sangat
dekat dengan Alloh yang mungkin saja dapat menyampaikan do’a mereka kepada Alloh
sehingga terkabul. Mereka sering terkecoh oleh perumpamaan sesat bahwa, “Ibarat
mau menghadap presiden, maka orang biasa tidak bisa langsung ketemu presiden,
harus melalui ajudannya. Pun begitu juga jika orang-orang awam seperti kita
ingin berdo’a kepada Alloh, maka harus melalui orang-orang sholih sehingga do’a
kita dapat sampai kepada-Nya. Ketahuilah, sungguh perumpamaan ini adalah
perumpamaan yang batil, karena Alloh sendiri berfirman,ادْعٌونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ
(berdo’alah kepada-Ku,
niscaya akan Ku-perkenankan bagimu).
Untuk penjelasan lebih detail mengenai hal
ini, mari kita simak jawaban dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahulloh
terhadap pertanyaan berikut ini:
Pertanyaan:
Apakah hadits ini kualitasnya shohih
dan menunjukkan bolehnya bertawassul dengan jah (kehormatan) para wali?
Hadits dimaksud adalah: Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata,
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا
قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِّبِ، فَقَالَ:
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَاسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا،
وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِيْنَ. قَالَ:
فَيُسْقَوْنَ
“Bahwasanya Umar bin Al-Khoththob radhiyallohu ‘anhu,
bila kaum Muslimin ditimpa kekeringan, dia memohon turunnnya hujan melalui
perantara Al-Abbas bin Abdul Muththolib sembari berkata, ‘Ya Alloh,
sesungguhnya kami pernah bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau
turunkan hujan untuk kami, dan sesungguhnya kami (sekarang) bertawassul
kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’.” Lalu
dia (Anas rodhiyallohu ‘anhu) berkata, “Mereka pun akhirnya
diberi curah hujan tersebut.”
Jawaban:
Hadits yang dinyatakan oleh si penanya
kualitasnya adalah shohih, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori, akan tetapi siapa
saja yang mencermatinya, dia akan mendapatkan bahwa justru (hadits tersebut) merupakan
dalil atas tidak dibenarkannya bertawassul melalui jah (kehormatan) Nabi
shollallohu ‘alayhi wa salam atau melalui orang selain beliau. Hal ini
dikarenakan makna tawassul itu sendiri adalah إِتِّخَاذُ
وَسِيْلَةٍ (menjadikan
suatu sarana). Dan kata الوَسِيْلَةُ (sarana)
maknanya ‘sesuatu yang menyampaikan kepada apa yang dimaksud’. Wasilah yang
dimaksud di dalam hadits tersebut adalah kalimat dalam ucapan Umar di atas,
“…Sesungguhnya kami (sekarang) bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami,
maka turunkanlah hujan bagi kami.” Maksudnya di sini adalah bertawassul kepada
Alloh subhanahu wa ta’ala dengan do’a yang dilakukan oleh Nabi shollallohu
‘alayhi wa sallam sebagaimana yang dikatakan oleh seorang laki-laki,
يَا رَسُولَ اللهِ، هَلَكَتِ الأَمْوَالُ
وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللهَ يُغِيْثُنَا
“Wahai Rosulullah, harta kami telah musnah dan semua jalan pun
telah terputus (tidak ada cara lain yang dapat diupayakan, pent), maka
berdo’alah kepada Alloh agar menyelamatkan kami (dengan menurunkan hujan).”
Demikian pula, karena dalam hadits tersebut, Umar berkata kepada
al-Abbas, “Berdirilah wahai al-Abbas! Berdo’alah kepada Alloh”, maka dia pun
berdo’a. Bila benar ini adalah dalam rangka bertawassul melalui jah,
maka tentunya Umar akan bertawassul melalui jah Nabi shollallohu
‘alayhi wa sallam sebelum bertawassul melalui al-Abbas sebab jah Nabi
shollallohu ‘alayhi wa sallam tentunya lebih mulia di sisi Alloh
ketimbang jah al-Abbas dan orang selainnya. Juga, andaikata hadits
tersebut dalam rangka bertawassul melalui jah, tentunya yang lebih
pantas dilakukan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khoththob adalah bertawassul
melalui jah Nabi shollallohhu ‘alayhi wa sallam, bukan melalui jah
Al-Abbas bin ‘Abdul Muththolib.
Alhasil, bertawassul kepada Alloh subhanahu wa ta’ala melalui
do’a orang yang diharapkan terkabulnya do’a tersebut karena kesholihannya,
hukumnya tidak apa-apa. Para shahabat radhiyallohu ‘anhum sendiri
bertawassul kepada Alloh melalui do’a Nabi untuk mereka. Demikian pula dengan
Ummar radhiyallohu ‘anhu dia bertawassul melalui do’a Al-Abbas bin Abdul
Muththolib.
Jadi tidak apa-apa hukumnya bila Anda melihat seorang laki-laki yang
sholih yang diharapkan sekali terkabulnya (do’a) karena makanan, minuman,
pakaian serta tempat tinggalnya didapatnya dari cara yang halal dan karena dia
dikenal sebagai orang yang ahli ibadah dan takwa, (maka tidak apa-apa) Anda
memintanya agar berdo’a kepada Alloh untuk Anda sesuai dengan yang Anda
inginkan, asalkan hal itu tidak menimbulkan sikap ghurur (bangga diri
berlebihan sehingga menipu dirinya) ke dalam diri orang yang dimintai do’a
tersebut, sebab bila hal itu terjadi pada dirinya, maka ketika itu tidak boleh
Anda melakukan (yang seakan) membunuh dan membinasakannya melalui permintaan
tersebut karena sikap itu membahayakan dirinya.
Saya juga tegaskan, hal seperti ini adalah boleh hukumnya namun saya
tidak mendukungnya. Menurut saya, seseorang hendaknya meminta kepada Alloh subhanahu
wa ta’ala melalui dirinya sendiri tanpa menjadikan perantara Antara dirinya
dan Alloh sebab yang demikian lebih dapat diharapkan terkabulnya dan lebih
dekat kepada sikap khosyyah (rasa takut). Saya juga senang bila
seseorang meminta dido’akan oleh saudaranya yang diharapkan do’anya terkabul
tersebut agar meniatkan berbuat baik kepadanya (orang yang berdo’a) melalui hal
tersebut, bukan karena sekedar menyampaikan hajatnya belaka, sebab bila dia
memintanya kerena sekedar menyampaikan hajatnya, berarti dia sama dengan orang
yang meminta-minta diberi uang dan semacamnya yang dicela. Sedangkan bila dia
bermaksud dengan hal itu agar dapat memberikan manfaat bagi saudaranya, seperti
berbuat baik kepadanya di mana perbuatan baik seorang Muslim tentunya akan
diberi ganjaran pahala sebagaimana yang telah diketahuinya bersama, maka hal
itu adalah lebih utama dan lebih baik. Wallohu waliyy at-Taufiq.
~
Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh ~
EmoticonEmoticon