Amal Jama’i Dalam Berda`wah
(Jama’iyyah Da`wah/ Organisasi
Dakwah)
Ada sebagian orang atau kelompok
yang alergi dengan amal jama’i (baca: organisasi). Mereka mengatakan bahwa oraganisasi
adalah bid’ah yang harus dijauhkan dari umat Islam. Bahkan mereka menuduh para
aktivis Islam yang tergabung dalam suatu organisasi Islam sebagai ahlul bid’ah.
Benarkah tuduhan mereka? Mari
kita simak pembahasannya berikut ini:
Untuk memperdalam kesadaran
akan pentingnya beramal Jama’i dalam berda`wah, mari kita
renungkan hal-hal di bawah ini:
1.
Kalau kita tinjau tujuan-tujuan da`wah dan sarana-sarana
yang kita perlukan untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut, jelaslah bahwa akal manusia yang sehat, tidak bisa
menerima sama sekali bahwa hal-hal tersebut bisa terwujudkan
tanpa amal jama’i, akal pun mengharuskan beramal jama’i.
Ketika akal mengharuskan sesuatu, kita harus mengikutinya selama syari’ah tidak melarangnya dan selama
syari’ah tidak menunjukkan jalan lain
selain yang diharuskan oleh akal.
Kita bukanlah aqlaniyyun
(kaum rasionalis) yang mengikuti akal walau pun bertentangan dengan syari’at. Kita bukanlah mereka
yang mencampakkan syari’at ketika ada
produk-produk akal yang bertentangan dengan syari’ah. Kita adalah Ahlus sunnah
wal jama’ah, pengikut Rosulullah Shallallohu `Alaihi
wa Sallam, Al-Qur’an, Hadits dan
Manhaj Salafus Soleh.
Ahlus sunnah berprinsip bahwa akal
yang bersih dan sehat sebagai sandaran
taklif tidak mungkin bertentangan
dengan syari’ah. Kalau ada produk akal yang bertentangan dengan syari’at,
itu adalah produk yang salah yang dikarenakan kekurang bersihan atau kekurangsehatan dari akal tertentu yang
membuat produk itu. Produk akal seperti ini pasti kita buang jauh-jauh. Di waktu yang sama kita pun berprinsip tidak ada agama bagi orang yang tidak
berakal atau tidak menggunakan akalnya.
Lapangan kerja akal dan batasan-batasannya
telah ditentukan oleh Islam. Selama syari’at
tidak melarangnya dan selama syari’ah tidak menentangnya produk akal adalah rambu-rambu terbaik untuk diikuti.
2. Amal jama’i
telah diterapkan oleh Rosululloh Shallallohu `Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya dalam
berda`wah. Mereka bergerak berda`wah di bawah komando
Rosulullah Shallallohu `Alaihi wa Sallam.
Rosulullohlah
yang mengirim mereka ke Habasyah, beliau pulalah yang mengangkat para naqib untuk Anshar dan mengirim
utusan-utusan da`wah yang banyak sekali,
baik sebelum maupun sesudah hijrah. Rosululloh Shallallohu `Alaihi wa
Sallam telah menda`wahkan para kabilah sambil meminta mereka untuk mengawal
da`wah dan masih banyak lagi praktek-praktek amal jama’i yang dikerjakan oleh
beliau.
3.
Da`wah adalah suatu amal kebajikan dan ketaqwaan bahkan
amal kebajikan yang terbesar, oleh karena
itu da`wah termasuk pada perintah yang terkandung di dalam ayat berikut:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا
تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ
شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
“Dan
tolong-menolonglah kalian dalam (Mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan janganlah
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.Dan bertaqwalah kalian
pada Alloh, sesungguhnya Alloh amat berat siksanya”. (QS. Al Maidah (5): 2)
Dalam rangka memaksimalkan
pelaksanaan perintah ta’awun ini, kita dapati ta’awwun yang terorganisir dan terpimpin adalah bentuk
yang terbaik. itulah yang dimaksud
dengan amal jama’i dalam berda`wah.[1]
4. Da`wah adalah
amal nushroh (membela agama Alloh Subhanahu wa Ta`ala) karena tujuan da`wah adalah
menegakkan hak-hak Alloh Subhanahu wa Ta`ala.
Alloh Subhanahu wa Ta`ala
berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُوٓاْ أَنصَارَ ٱللَّهِ
كَمَا قَالَ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ لِلۡحَوَارِيِّۧنَ مَنۡ أَنصَارِيٓ إِلَى ٱللَّهِۖ
قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِۖ فََٔامَنَت طَّآئِفَةٞ مِّنۢ
بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَكَفَرَت طَّآئِفَةٞۖ فَأَيَّدۡنَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
عَلَىٰ عَدُوِّهِمۡ فَأَصۡبَحُواْ ظَٰهِرِينَ ١٤
“Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kalian penolong-penolong (agama) Alloh sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata
kepada para pengikut-pengikutnya yang
setia: ”Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (Untuk menegakkan Agama) Alloh? Pengikut-pengikut
yang setia itu berkata: ”Kamilah
penolong-penolong agama Alloh!”. Lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir maka kami
dukung orang-orang yang beriman atas
musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS. As Shaf (61): 14)
Pelaksanaan nushroh
akan mempunyai musuh yang menghadang. Bagaimana
kita harus menghadapi mereka tanpa amal jama’i sedangkan mereka bersatu dalam amal-amal jama’i?[2] Di ayat
yang berikut Alloh Subhanahu wa
Ta`ala telah memuji
hamba-hamba-Nya yang bersatu teguh dalam perjuangan dengan menggambarkan mereka
seolah-olah bangunan yang kokoh.
Alloh Subhanahu
wa Ta`ala berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِي
سَبِيلِهِۦ صَفّٗا كَأَنَّهُم بُنۡيَٰنٞ مَّرۡصُوصٞ ٤
“Sesungguhnya
Alloh menyukai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. As Shaf (61): 4)
5. Amal
Jama’i dalam berda`wah pun akan membentuk terwujudnya lingkungan kehidupan yang lebih
komitmen terhadap Islam. Manfaat lingkungan hidup seperti ini
sudah barang tentu jelas sekali bagi kehidupan keagamaan dan juga kebutuhan manusiawi, sehingga tidak lagi membutuhkan
penjelasan yang panjang lebar.
Demikian pentingnya sunniyyah da`wah dan jama’iyyahnya
sehingga keduanya seakan-akan bayangan dari
“sunnah wal jama’ah” itu sendiri. Hal yang serupa kita dapati hampir di
semua peribadatan utama dalam Islam yaitu menerapkannya secara sunnah dan
secara berjama’ah, seperti pada sholat lima waktu, sholat jum’at, puasa, haji
dan jihad fisabilillah.
Syubhat Amal Jama’i (Organisasi Islam)
Ketika para pelaku da`wah masih belum mengerti besarnya tujuan da`wah dan besarnya
tantangan da`wah yang ada dari pihak musuh-musuh
Islam, maka dengan sendirinya mereka tidak akan menyadari betapa
pentingnya amal jama’i yang kuat.
Ketidak sadaran mereka tentang syumuliyyah (kesempurnaan) tujuan da`wah jelas sekali terlihat dari cara mereka menangani operasionil
dakwah mereka sendiri. Usaha-usaha mereka tidak mengarah kepada penyusunan
barisan pembela da`wah sama sekali, di waktu
musuh-musuh Islam terus menerus menyusun barisan untuk memusuhi Islam.
Mereka seakan tidak menyadari bahwa musuh-musuh sunnah berada di sekeliling
mereka serta mereka seakan-akan berada dalam suatu sistem masyarakat Islami.
Jawaban Syubhat Kejahilan
Perihal ini kita sebut sebagai syubhat, karena kita
tidak dapati kata-kata lain yang lebih dekat kepada hal-hal yang akan kita paparkan
berikut ini:
a)
Menjauhi
amal jama’i karena “Mengira” bahwa arti dari “hizbiyyah“[3]
yang banyak dikecam para ulama adalah amal jama’i. Perkiraan seperti ini tidak
bisa ditafsirkan selain syubhat atau kejahilan. Arti hizbiyyah
yang dicela para ulama adalah pemihakan pada suatu pihak bukan karena
kebenaran pihak tersebut, tetapi karena dorongan-dorongan hawa nafsu dan
kecondongan jiwa manusiawi.
Jadi jelas sekali amal jama’i bukanlah hizbiyyah, amal jama’i
adalah bentuk dari suatu amal sedang hizbiyyah
adalah suatu sikap.
b) Sekelompok
dari para pemuda dan da’i mengerti arti dari hizbiyyah yang sebenanya,
tetapi mereka beranggapan bahwa hizbiyyah adalah suatu hal yang pasti
terjadi dalam amal jama’i, oleh karena itu mereka menjauhi amal jama’i dengan
harapan bisa selamat dari hizbiyyah. Mari kita coba bersama menguji
pemikiran mereka.
Kepastian akan timbulnya hizbiyyah pada amal
jama’i memerlukan adanya dalil syar’i atau
hissi. Pada kenyataannya tidak ada di antara mereka yang sanggup
mengemukakan dalil syar’i dalam hal ini. Sedangkan dalil hissi yaitu dalil dari
kenyataan tidak ada pembuktian kepastian timbulnya hizbiyyah pada setiap amal
jama’i.
Hizbiyyah adalah suatu hal
pengikutan hawa nafsu dalam berpihak, hal ini bisa saja terjadi pada amal
jama’i, pada kehidupan bermarga dan berkeluarga, bermasyarakat, bernegara,
bermazhab, berkawan atau bersaudara dan lain-lainnya.
Tidak seharusnya kita
meninggalkan semua tata kehidupan tersebut karena takut terkena hizbiyyah.
Hizbiyyah adalah suatu kesalahan dan kesalahan adalah sekutu manusia. Setiap
manusia akan salah. Tidak berarti demi menjauhi kesalahan kita harus berhenti
menjadi manusia.
Di dalam setiap peribadatan bisa timbul riya’.
Meninggalkan suatu peribadatan karena takut riya adalah suatu kesalahan yang
fatal, seperti misalnya meninggalkan sholat
jama’ah karena takut riya.[4]
Meninggalkan hizbiyyah adalah taklif dari Alloh Subhanahu wa Ta`ala
dan Alloh Subhanahu wa Ta`ala tidak membebankan manusia lebih dari
kemampuannya.
Hizbiyyah bisa saja terjadi pada
amal jama’i dan pada selain amal jama’i.
Tugas kita adalah harus terus mengikis kesalahan-kesalahan kita baik
hizbiyyah ataupun yang lainnya, bukan malah menambah kesalahan dengan
meninggalkan amal jama’i.
Meninggalkan suatu amal sholeh
karena takut atau kuatir terkena fitnah adalah
perbuatan orang jahil atau munafiq. Hal ini terjadi pada zaman Rosululloh Shallallohu
`Alaihi wa Sallam ketika beliau mengajak seorang pemuka masyarakat yang
ternyata munafik untuk berjihad melawan Rum. Maka munafik itu pun menolak dengan alasan takut terfitnah oleh
kecantikan gadis-gadis Rum. Penolakan ini disebut oleh Alloh Subhanahu wa
Ta`ala sebagai “jatuh ke dalam fitnah”, sebagaimana firman-Nya:
وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ ٱئۡذَن لِّي وَلَا تَفۡتِنِّيٓۚ
أَلَا فِي ٱلۡفِتۡنَةِ سَقَطُواْۗ وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةُۢ بِٱلۡكَٰفِرِينَ
٤٩
“Di antara mereka ada
yang berkata: ”Berilah saya izin (untuk tidak pergi berperang) dan janganlah
kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah bahwa mereka telah
terjerumus dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi
orang-orang kafir”. (QS. At Taubah(9):
49)
Ada pula yang mengakui pentingnya amal jama’i tetapi
mereka mengatakan aqidah harus didahulukan sebelum hakimiyah dan tanzhim
(organisasi). Perkataan seperti ini biasanya dilontarkan tanpa pemikiran yang matang. Hakimiyah adalah bagian
yang besar sekali dari aqidah. Sedangkan tanzhim
atau jama’iyyahnya da`wah adalah sarana dan bukan aqidah yang keduanya
tidak berada dalam satu jalur sampai bisa dan harus dikedepankan atau
dikebelakangkan. Untuk menyiarkan Aqidah itulah dibentuk tanzhim.
Di antara yang berpandangan
negatif terhadap amal jama’i bersandarkan pada khabar-khabar
yang belum pasti, bahwa ada sebagian ulama yang
tidak menyetujuinya atau sebagian besar ulama tidak melakukanya bahkan terkadang (dan ini kebanyakan) hanya
bersandarkan pada fatwa-fatwa beberapa da’i (yang secara tidak sadar
mereka anggap sebagai ulama-ulama besar).
Kita adalah Ahlus sunnah wal jama’ah bukan Ahlul
bid’ah! dari itu sumber agama kita adalah Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma’ sahabat bukan
lain-lainnya. Siapa saja, ulama mana saja yang berfatwa demikian? Berapa
orang mereka? apa di dunia Islam cuma mereka saja yang ada sehingga fatwa
mereka menjadi ijma’ dan hujjah? lagi
pula pada kenyataannya tidak ada ulama
yang berfatwa demikian secara
umum sama sekali. Kalau pun ada, hanya terbatas pada buku-buku beberapa penulis
(yang kita belum tahu tentang tingkat ilmunya) yang menyatakan pendapat mereka bahwa di negeri tertentu (tempat tinggal si
penulis) tidaklah syar’i membentuk jama’ah tanpa izin imam mereka. Alasan si penulis adalah karena imam di negeri
itu adalah imam syar’i yang menerapkan syari’ah.
Apakah pendapat seperti ini
hujjah atas setiap umat dan di semua tempat? Demikiankah manhaj Ahlus sunnah ? Kalau pun ada ijtihad seorang alim yang
mementahkan syar’iyyah amal jama’i, apakah ijtihad seorang alim saja bisa kita
jadikan sumber untuk agama atas setiap umat?
Masalah agama adalah masalah
yang tegas dan bukan permainan. Barangsiapa yang ingin menentang
sesuatu secara syar’i, harus mengemukakan dalilnya, betapa pun tinggi ilmunya, kecuali
Rosululloh Shallallohu `alaihi wa sallam.
FATWA AL-IMAM AL-MUHADDITS MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAH
Beliau berkata: “Jum’iyyah mana saja yang dibangun di atas pondasi Islam yang benar yang hukum-hukumnya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari apa yang diamalkan oleh para ulama salafus saleh. Jum’iyyah mana saja yang tegak diatas pondasi ini maka tidak ada celah untuk mengingkarinya dan menuduhnya dengan tuduhan hizbiyyah, sebab semua itu termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala:
“Dan tolong menolonglah di atas kebaikan dan taqwa dan jangan kalian tolong menolong di atas dosa dan permusuhan.” (QS. Al Maidah: 2)
Saling tolong menolong merupakan perkara yang diinginkan secara syar’i, dan berbeda sarana-sarananya dari satu zaman ke zaman yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, dari sebuah negeri ke negeri yang lain. Oleh karena itu, menuduh satu jum’iyyah yang tegak di atas asas ini dengan hizbiyyah, atau dengan bid’ah, maka tidak ada celah untuk mengatakan hal ini karena menyelisihi apa yang telah ditetapkan para ulama dengan membedakan antara bid’ah yang secara umum bersifat sesat dengan sunnah hasanah. Sunnah hasanah adalah satu metode yang baru yang ditemukan untuk dijadikan wasilah menuju kepada sesuatu yang diinginkan dan disyari’atkan secara nash. Maka jum’iyyah-jum’iyyah yang ada di zaman ini tidak berbeda dari sisi sarana-sarana yang ada dari berbagai sarana yang baru muncul pada masa kini untuk memudahkan kaum muslimin menuju kepada berbagai tujuan yang disyari’atkan.
Tidaklah kita sekarang ini di majelis ini dengan menggunakan berbagai alat perekam yang beraneka ragam dan bentuknya, melainkan dari sisi ini. Sarana-sarana adalah sesuatu yang baru, jika digunakan terhadap sesuatu yang menghasilkan sebuah tujuan dan keinginan yang bersifat syar’i, maka ini merupakan sarana yang disyari’atkan, dan jika tidak maka tidak boleh. Demikian pula sarana transportasi yang banyak, dan berbeda-beda pada hari ini, dengan berbagai jenis mobil dan pesawat, dan yang semisalnya.
Ini juga merupakan sarana, yang jika digunakan untuk menghasilkan tujuan-tujuan yang syar’i maka itu disyari’atkan, dan jika tidak maka tidak (disyari ’atkan).
[Dari kaset Silsilah Al-Huda wan-Nuur, no. 590. Lihat pula risalah: Hukmul Ulama’ fil Indhimam li Jum’iyyatil Hikmah wal Ihsan wal Birr wat-Taqwa, wa Jum’iyyati Ihyaa’ at-Turats Ummu Haa’ulaa’, karya Hasan bin Qasim Ar-Raimi, hal. 5-6
Beliau berkata: “Jum’iyyah mana saja yang dibangun di atas pondasi Islam yang benar yang hukum-hukumnya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari apa yang diamalkan oleh para ulama salafus saleh. Jum’iyyah mana saja yang tegak diatas pondasi ini maka tidak ada celah untuk mengingkarinya dan menuduhnya dengan tuduhan hizbiyyah, sebab semua itu termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala:
“Dan tolong menolonglah di atas kebaikan dan taqwa dan jangan kalian tolong menolong di atas dosa dan permusuhan.” (QS. Al Maidah: 2)
Saling tolong menolong merupakan perkara yang diinginkan secara syar’i, dan berbeda sarana-sarananya dari satu zaman ke zaman yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, dari sebuah negeri ke negeri yang lain. Oleh karena itu, menuduh satu jum’iyyah yang tegak di atas asas ini dengan hizbiyyah, atau dengan bid’ah, maka tidak ada celah untuk mengatakan hal ini karena menyelisihi apa yang telah ditetapkan para ulama dengan membedakan antara bid’ah yang secara umum bersifat sesat dengan sunnah hasanah. Sunnah hasanah adalah satu metode yang baru yang ditemukan untuk dijadikan wasilah menuju kepada sesuatu yang diinginkan dan disyari’atkan secara nash. Maka jum’iyyah-jum’iyyah yang ada di zaman ini tidak berbeda dari sisi sarana-sarana yang ada dari berbagai sarana yang baru muncul pada masa kini untuk memudahkan kaum muslimin menuju kepada berbagai tujuan yang disyari’atkan.
Tidaklah kita sekarang ini di majelis ini dengan menggunakan berbagai alat perekam yang beraneka ragam dan bentuknya, melainkan dari sisi ini. Sarana-sarana adalah sesuatu yang baru, jika digunakan terhadap sesuatu yang menghasilkan sebuah tujuan dan keinginan yang bersifat syar’i, maka ini merupakan sarana yang disyari’atkan, dan jika tidak maka tidak boleh. Demikian pula sarana transportasi yang banyak, dan berbeda-beda pada hari ini, dengan berbagai jenis mobil dan pesawat, dan yang semisalnya.
Ini juga merupakan sarana, yang jika digunakan untuk menghasilkan tujuan-tujuan yang syar’i maka itu disyari’atkan, dan jika tidak maka tidak (disyari ’atkan).
[Dari kaset Silsilah Al-Huda wan-Nuur, no. 590. Lihat pula risalah: Hukmul Ulama’ fil Indhimam li Jum’iyyatil Hikmah wal Ihsan wal Birr wat-Taqwa, wa Jum’iyyati Ihyaa’ at-Turats Ummu Haa’ulaa’, karya Hasan bin Qasim Ar-Raimi, hal. 5-6
Beberapa Hadits Yang Menunjukkan
Perintah Berjama’ah
Nabi bersabda :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika tiga orang keluar di dalam perjalanan,
hendaklah mereka mengangkat amir salah seorang di antara mereka”. (Hr. Abu Daud
dari hadits Abu Sa`ied dan Abu Hurairah).
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Al Musnad dari Abdulloh bin `Amr bahwa Nabi bersabda ;
لَا يحل لِثلاثة بِفَلاةٍ من الأرض إلا أَمَّرُوا عليهم أحدُهُم
“Tidak halal bagi 3 orang yang berada di
sebuah lokasi tertentu kecuali wajib bagi mereka mengangkat amir dari salah
seorang di antara mereka”.
Beliau mewajibkan mengangkat amir di antara salah satu orang dalam satu perkumpulan yang sedikit lagi temporal dalam suatu perjalanan sebagai peringatan akan pentingnya hal tersebut untuk seluruh bentuk komunal.”
Kandungan hadits yang diberi penjelasan oleh
Syeikhul Islam ini malah lebih tegas tentang kewajiban adanya satu jama`ah yang
dipimpin oleh seorang amir (yang notabene hanya dalam satu perjalanan), walaupun saat itu terdapat jama`atul
muslimin yang dipimpin oleh Rosululloh. Jadi keberadaan sebuah jama`ah di
kalangan jama`tul muslimin tidak serta merta menjadikan jama`ah itu keluar atau
pecah dari jama`atul muslimin itu sendiri.
[1]
Baca tafsir ayat tersebut dalam “Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam
Al Mannan” : 182
[2]
Baca QS. 9 : 36 . Ibnu
`Athiyyah ketika menjelaskan ayat ini mengatakan :
“Sebagaimana upaya mereka memerangi kita dengan bersatu, maka
seperti itulah kefardhuan kita bersatu dalam memerangi mereka”. (Al
Jami` Li Ahkam Al Qur`an, Al Qurthubi : 8/136)
[3] حزبية “Hizbiyyah” berasal dari kata حزب
dan ي
nisbah (yang artinya adalah الصلة / hubungan dan القرابة / kedekatan). Berarti Hizbiyyah adalah
hubungan dan kedekatan pada hizb, sedangkan hizb adalah الجماعة
فيها غلظة organisasi atau jama`ah yang memiliki
kekuatan. Di dalam Al Qur`an Hizb digolongkan menjadi dua kelompok : yaitu
hizbulloh (organisasi atau jama`ah yang berjuang di jalan Alloh) dan Hizbusy
Syaithon (organisasi atau jama`ah yang berjuang di jalan syaithon). Jadi Hizbiyyah
memiliki dua keadaan apakah kedekatan dan hubungan kepada Hizbulloh atau
kedekatan dan hubungan kepada hizbusy syaithon. Jadi kedua keadaan itu memiliki
hukum yang berbeda, jika hizbiyyah kepada hizbulloh, tentu hukumnya bisa
berarti wajib. Sedangkan jika hizbiyyah kepada hizbusy syaithon, maka pasti
hukumnya haram atau kufri. (Baca Kitab Al Mu’jam al Wasith. Dan kitab Fi
Ma Kuntum Hizballoh Aw Hizbasy Syaithon, Abdul Hadi Al MisHRi)
[4]
Imam Ahmad Al Maqdisi berkata :
وَكَذَلِكَ
إِذَا تَرَكَ الْعَمَلَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يُقَالَ إِنَّهُ مُرَاءٍ فَلاَ
يَنْبَغِيْ ذَلِكَ لأَنَّهُ مِنْ مَكَائِدِ الشَّيْطَانْ
“Jika
dia meninggalkan amal karena takut dikatakan riya, maka hal itu tidaklah layak
dia tinggalkan, karena itu (meninggalkan amal karena takut dikatakan riya’)
bagian dari tipu daya syaithon”. (Mukhatshor Minhaj Al Qoshidin : 245)
EmoticonEmoticon