Dalam Satu Kesulitan Ada Dua Kemudahan

April 29, 2017

Disunnahkan bagi kita untuk memberikan kabar gembira kepada saudara-saudara kita. Masukkanlah rasa gembira kepada saudara-saudara mereka. Jika kita melihat saudara kita dalam kesulitan, maka katakan kepadanya, “Bergembiralah dengan akan datangnya jalan keluar, karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
وَعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Ketahuilah olehmu bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, jalan keluar itu bersama kesulitan, dan sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (HR. Ahmad)

Jika kita melihat saudara kita tertimpa musibah, maka katakan kepadanya; “Bergembiralah dengan jalan keluar yang sudah dekat.”

Jika kita melihat saudara kita dalam kesulitan, maka katakan kepadanya; “Kemudahan sudah sangat dekat”. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma;
لَا يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
“Sama sekali dua kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.”

Dalam surat al Insyirah, Allah Ta’ala berfirman:
 فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا ٥ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا ٦
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)

Pada ayat di atas, kesulitan disebutkan dua kali dan kemudahan juga disebutkan dua kali. Akan tetapi pada hakikatnya kesulitan tidak disebutkan melainkan hanya sekali saja, sedangkan kemudahan disebutkan dua kali. Kenapa?

Para ulama berkata, “Jika suatu kata diulang-ulang dengan bentuk ma’rifah (yang tentu) dengan adanya ال maka hakikatnya adalah sekali. Sedangkan jika diulang-ulang dengan bentuk nakirah (yang tak tentu), maka pada hakikatnya adalah dua kali.

Kesulitan diulang dua kali, tetapi dengan ال sehingga kesulitan yang kedua adalah yang pertama juga. Kemudahan disebutkan dua kali, tetapi tanpa ال sehingga kemudahan yang kedua bukan kemudahan yang pertama.

Oleh sebab itu, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
لَا يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
“Sama sekali dua kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.”

Pahala Bagi Orang Yang Memberikan Kegembiraan Untuk Saudaranya

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).

Lihatlah saudaraku, bagaimana sampai membahagiakan orang lain dan melepaskan kesulitan mereka lebih baik dari i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan lamanya.

Al Hasan Al Bashri pernah mengutus sebagian muridnya untuk membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan. Beliau mengatakan pada murid-muridnya tersebut, “Hampirilah Tsabit Al Banani, bawa dia bersama kalian.” Ketika Tsabit didatangi, ia berkata, “Maaf, aku sedang i’tikaf.” Murid-muridnya lantas kembali mendatangi Al Hasan Al Bashri, lantas mereka mengabarinya. Kemudian Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai A’masy, tahukah engkau bahwa bila engkau berjalan menolong saudaramu yang butuh pertolongan itu lebih baik daripada haji setelah haji?”

Lalu mereka pun kembali pada Tsabit dan berkata seperti itu. Tsabit pun meninggalkan i’tikaf dan mengikuti murid-murid Al Hasan Al Bashri untuk memberikan pertolongan pada orang lain. [ Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 294.]



Artikel Terkait

Previous
Next Post »