Disunnahkan bagi kita untuk memberikan kabar gembira
kepada saudara-saudara kita. Masukkanlah rasa gembira kepada saudara-saudara mereka. Jika kita melihat saudara kita dalam kesulitan, maka katakan kepadanya, “Bergembiralah
dengan akan datangnya jalan keluar, karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam bersabda,
وَعْلَمْ أَنَّ
النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ
الْعُسْرِ يُسْرًا
“Ketahuilah olehmu bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, jalan
keluar itu bersama kesulitan, dan sesungguhnya bersama kesulitan itu ada
kemudahan.” (HR. Ahmad)
Jika
kita melihat saudara kita tertimpa musibah, maka katakan kepadanya; “Bergembiralah
dengan jalan keluar yang sudah dekat.”
Jika
kita melihat saudara kita dalam kesulitan, maka katakan kepadanya; “Kemudahan
sudah sangat dekat”. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
anhuma;
لَا يَغْلِبَ
عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
“Sama sekali dua kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.”
Dalam
surat al Insyirah, Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنَّ
مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا ٥ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا ٦
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)
Pada
ayat di atas, kesulitan disebutkan dua kali dan kemudahan juga disebutkan dua
kali. Akan tetapi pada hakikatnya kesulitan tidak disebutkan melainkan hanya
sekali saja, sedangkan kemudahan disebutkan dua kali. Kenapa?
Para
ulama berkata, “Jika suatu kata diulang-ulang dengan bentuk ma’rifah
(yang tentu) dengan adanya ال
maka hakikatnya adalah sekali. Sedangkan jika diulang-ulang dengan bentuk nakirah
(yang tak tentu), maka pada hakikatnya adalah dua kali.
Kesulitan
diulang dua kali, tetapi dengan ال sehingga
kesulitan yang kedua adalah yang pertama juga. Kemudahan disebutkan dua kali,
tetapi tanpa ال sehingga
kemudahan yang kedua bukan kemudahan yang pertama.
Oleh
sebab itu, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
لَا يَغْلِبَ
عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
“Sama sekali dua kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.”
Pahala Bagi Orang Yang Memberikan Kegembiraan Untuk
Saudaranya
Dari Ibnu
‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
, وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى
مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ
تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ
مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ
شَهْرًا
“Manusia
yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi
manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim
yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya
atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang
muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid
ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al
Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).
Lihatlah
saudaraku, bagaimana sampai membahagiakan orang lain dan melepaskan kesulitan
mereka lebih baik dari i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan lamanya.
Al Hasan Al
Bashri pernah mengutus sebagian muridnya untuk membantu orang lain yang sedang
dalam kesulitan. Beliau mengatakan pada murid-muridnya tersebut, “Hampirilah
Tsabit Al Banani, bawa dia bersama kalian.” Ketika Tsabit didatangi, ia
berkata, “Maaf, aku sedang i’tikaf.” Murid-muridnya lantas kembali mendatangi
Al Hasan Al Bashri, lantas mereka mengabarinya. Kemudian Al Hasan Al Bashri
mengatakan, “Wahai A’masy, tahukah engkau bahwa bila engkau berjalan menolong
saudaramu yang butuh pertolongan itu lebih baik daripada haji setelah haji?”
Lalu mereka
pun kembali pada Tsabit dan berkata seperti itu. Tsabit pun meninggalkan
i’tikaf dan mengikuti murid-murid Al Hasan Al Bashri untuk memberikan
pertolongan pada orang lain. [ Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 294.]
EmoticonEmoticon