Para ‘ulama berbeda pendapat
tentang hukum shalat ‘Idain (dua hari raya) dalam tiga pendapat:
Pendapat Pertama:
Hukumnya fardhu ‘ain. Ini madzhab
Abu Hanifah, salah satu pendapat Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad. Ini
juga pendapat sebagian ulama Malikiyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul
Islam. Hujjah mereka adalah:
1. Firman Allah subhanahu wa
ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu; dan berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar: 2)
Perintah di sini menunjukkan
kewajiban.
2. Firman Allah Ta’ala,
…الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ…
“Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
(QS. Al-Baqarah: 185)
Perintah untuk bertakbir pada dua
hari raya, sudah barangtentu merupakan perintah untuk mengerjakan shalat yang
mencakup takbir wajib dan takbir tambahan.
3. Rutinitas Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam yang selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya dan
tidak pernah meninggalkannya sekalipun. Demikian pula rutinitas para
khalifahnya dan kaum Muslimin sepeninggalnya.
4. Perintah kepada kaum Muslimin
untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat, hingga kaum wanita, gadis-gadis yang
berada dalam pingitan dan wanita-wanita yang sedang haid –namun Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam memerintahkan kepada mereka agar menjauhi tempat shalat‒.
Bahkan wanita yang tidak memiliki jilbab diperintahkan agar mengenakan jilbab
saudaranya.
5. Shalat ‘Id merupakan syi’ar
Islam yang paling nyata, dan hukumnya wajib sebagaimana shalat Jum’at. Oleh
karena itu, wajib memerangi orang-orang yang menolak melakukannya secara
keseluruhan.
6. Shalat ‘Id dapat menggugurkan
shalat Jum’at, jika bertepatan pada hari yang sama, sebagaimana telah
dijelaskan. Sesuatu yang tidak wajib tentu tidak dapat menggugurkan sesuatu
yang wajib.
Pendapat Kedua:
Hukumnya fardhu kifayah. Apabila
telah dikerjakan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban tersebut atas
sebagian yang lainnya. Ini adalah madzhab Hanbaliyah dan sebagian Syafi’iyyah.
Hujjah mereka adalah dalil-dalil yang digunakan oleh pihak pertama, tetapi
mereka mengatakan shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, karena tidak disyari’atkan
adzan padanya. Jadi, shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, seperti shalat jenazah.
Namun, wajib khutbahnya dan wajib mendengarkannya seperti shalat Jum’at.
Pendapat Ketiga:
Hukumnya sunnah muakkadah, bukan
wajib. Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi’i dan mayoritas sahabat-sahabatnya.
Hujjah mereka sebagai berikut:
1. Perkataan Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam kepada seorang badui (A’rabi). Ketika beliau menyebut
shalat lima waktu, ia bertanya, “Adakah kewajiban atasku selainnya?” Beliau
menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau mengerjakan yang sunnah.” Dan
hadits-hadits yang semakna dengannya.
2. Shalat ‘Id adalah shalat yang
memiliki ruku’ dan sujud. Namun tidak disyari’atkan adzan untuknya. Ia tidak
wajib berdasarkan syari’at, seperti halnya shalat Dhuha.
Pendapat yang rajih:
Adalah pendapat pertama,
beradasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan. Adapun pendapat yang mengatakan
shalat ‘Id hukumnya sunnah muakkad adalah pendapat yang sangat lemah. Adapun
hadits lelaki Arab badui tersebut bukanlah hujjah. Karena Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam menyebutkan shalat lima waktu secara khusus untuk
menegaskan kewajibannya secara berkelanjutan, dan pengulangannya setiap hari.
Adapun kewajiban-kewajiban lainnya hukumnya wajib untuk waktu tertentu saja,
seperti shalat jenazah, shalat nadzar dan selainnya.
Adapun yang mengatakan fardhu
kifayah tidak kuat. Fardhu kifayah adalah untuk perkara-perkara yang
mashlahatnya bisa diwakilkan kepada sebagian orang, seperti penguburan mayit
dan menundukkan musuh. Sementara ‘Id tidak ada kemashlahatan tertentu yang bisa
dilakukan oleh sebagian orang saja. Bahkan pada shalat ‘Id kaum Muslimin lebih
disyari’atkan berkumpul dibandingkan hari Jum’at. Karena Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam memerintahkan kaum wanita untuk menghadirinya, dan beliau
tidak memerintahkan mereka untuk menghadiri shalat Jum’at. Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam mengidzinkan mereka untuk mendatangi shalat Jum’at, namun
beliau bersabda, “Shalat kalian di rumah-rumah kalian (wahai kaum wanita)
adalah lebih baik bagi kalian.” Wallahu a’lam.
[ Sumber: Kitab Shahih Fiqih
Sunnah ]
Artikel Terkait:
EmoticonEmoticon