Hukum Shalat Dua Hari Raya

Juli 24, 2014

Para ‘ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat ‘Idain (dua hari raya) dalam tiga pendapat:

Pendapat Pertama:
Hukumnya fardhu ‘ain. Ini madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad. Ini juga pendapat sebagian ulama Malikiyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam. Hujjah mereka adalah:

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar: 2)
Perintah di sini menunjukkan kewajiban.

2. Firman Allah Ta’ala,
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ…
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Perintah untuk bertakbir pada dua hari raya, sudah barangtentu merupakan perintah untuk mengerjakan shalat yang mencakup takbir wajib dan takbir tambahan.

3. Rutinitas Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya dan tidak pernah meninggalkannya sekalipun. Demikian pula rutinitas para khalifahnya dan kaum Muslimin sepeninggalnya.

4. Perintah kepada kaum Muslimin untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat, hingga kaum wanita, gadis-gadis yang berada dalam pingitan dan wanita-wanita yang sedang haid –namun Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kepada mereka agar menjauhi tempat shalat‒. Bahkan wanita yang tidak memiliki jilbab diperintahkan agar mengenakan jilbab saudaranya.

5. Shalat ‘Id merupakan syi’ar Islam yang paling nyata, dan hukumnya wajib sebagaimana shalat Jum’at. Oleh karena itu, wajib memerangi orang-orang yang menolak melakukannya secara keseluruhan.

6. Shalat ‘Id dapat menggugurkan shalat Jum’at, jika bertepatan pada hari yang sama, sebagaimana telah dijelaskan. Sesuatu yang tidak wajib tentu tidak dapat menggugurkan sesuatu yang wajib.

Pendapat Kedua:
Hukumnya fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban tersebut atas sebagian yang lainnya. Ini adalah madzhab Hanbaliyah dan sebagian Syafi’iyyah. Hujjah mereka adalah dalil-dalil yang digunakan oleh pihak pertama, tetapi mereka mengatakan shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, karena tidak disyari’atkan adzan padanya. Jadi, shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, seperti shalat jenazah. Namun, wajib khutbahnya dan wajib mendengarkannya seperti shalat Jum’at.

Pendapat Ketiga:
Hukumnya sunnah muakkadah, bukan wajib. Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi’i dan mayoritas sahabat-sahabatnya. Hujjah mereka sebagai berikut:

1. Perkataan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kepada seorang badui (A’rabi). Ketika beliau menyebut shalat lima waktu, ia bertanya, “Adakah kewajiban atasku selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau mengerjakan yang sunnah.” Dan hadits-hadits yang semakna dengannya.

2. Shalat ‘Id adalah shalat yang memiliki ruku’ dan sujud. Namun tidak disyari’atkan adzan untuknya. Ia tidak wajib berdasarkan syari’at, seperti halnya shalat Dhuha.

Pendapat yang rajih:
Adalah pendapat pertama, beradasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan. Adapun pendapat yang mengatakan shalat ‘Id hukumnya sunnah muakkad adalah pendapat yang sangat lemah. Adapun hadits lelaki Arab badui tersebut bukanlah hujjah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menyebutkan shalat lima waktu secara khusus untuk menegaskan kewajibannya secara berkelanjutan, dan pengulangannya setiap hari. Adapun kewajiban-kewajiban lainnya hukumnya wajib untuk waktu tertentu saja, seperti shalat jenazah, shalat nadzar dan selainnya.

Adapun yang mengatakan fardhu kifayah tidak kuat. Fardhu kifayah adalah untuk perkara-perkara yang mashlahatnya bisa diwakilkan kepada sebagian orang, seperti penguburan mayit dan menundukkan musuh. Sementara ‘Id tidak ada kemashlahatan tertentu yang bisa dilakukan oleh sebagian orang saja. Bahkan pada shalat ‘Id kaum Muslimin lebih disyari’atkan berkumpul dibandingkan hari Jum’at. Karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kaum wanita untuk menghadirinya, dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk menghadiri shalat Jum’at. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengidzinkan mereka untuk mendatangi shalat Jum’at, namun beliau bersabda, “Shalat kalian di rumah-rumah kalian (wahai kaum wanita) adalah lebih baik bagi kalian.” Wallahu a’lam.


[ Sumber: Kitab Shahih Fiqih Sunnah ]

Artikel Terkait:

Artikel Terkait

Previous
Next Post »