Dengan
Apakah Puasa Ramadhan Menjadi Wajib (Penetapan Bulan)
Puasa
Ramadhan menjadi wajib dengan penetapan masuknya bulan, dan ini ditetapkan
dengan dua hal:
1.
Melihat hilal bulan Ramadhan
2.
Menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari
Mari
kita simak pembahasannya satu persatu berikut ini:
1.
Melihat hilal bulan Ramadhan
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَن شَهِدَ
مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ
“..Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu..” (QS. Al-Baqarah: 185)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا
وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jika kalian melihatnya, maka berpuasalah;
dan jika kalian melihatnya, maka berbukalah (yakni berharirayalah). Jika kalian
terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangannya (30 hari).” (HR.
Bukhari dan Muslim, shahih)
Diriwayatkan juga darinya, Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersdabda:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ
“Bulan itu ada dua puluh sembilan hari,
maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal. Bila kalian
terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh
hari.” (HR. Bukhari, shahih)
Mengetahui Hilal dengan Ru’yah, Bukan dengan
Hisab
Cara mengetahui hilal ialah dengan ru’yah
(melihatnya secara langsung), bukan dengan cara lainnya. Penetapan tempat
terbitnya hilal dengan hisab adalah tidak sah. Karena kita mengetahui secara
pasti dalam agama Islam, penetapan hilal puasa, haji, ‘iddah, ila’, atau
hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal, melalui informasi yang
disampaikan oleh ahli hisab adalah tidak dibolehkan.
Nash-nash yang bersumber dari Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam yang menjelaskan tentang hal ini cukup
banyak. Di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا
نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi,
tidak menulis dan tidak pula berhitung. Bulan itu begini dan begitu..” (HR.
Bukhari, Muslim dan lainnya. Shahih)
Yakni terkadang 29 hari dan terkadang 30
hari.
Kaum muslilmin telah
menyepakati perkara tersebut. Tidak diketahui adanya khilaf –pada prinsipnya–
baik dahulu maupun sekarang, kecuali berasal dari sebagian kalangan muta’akhirin
“yang mengaku sebagai ahli fiqih” setelah berlalunya abad ketiga tentang
bolehnya melakukan hisab sebatas untuk diri sendiri. Namun, ini suatu
keganjilan karena menyelisihi ijma’ yang sudah ada sebelumnya. (Majmu’ al-Fatawa
[25/113, 132, 146], Hisyiyah Ibnu Abidin [II/393], Al-Majmu’
[VI/279], dan Bidayah al-Mujtahid [I/423]).
2. Menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari
Karena bulan qamariah
tidak kurang dari dua puluh sembilan dan tidak lebih dari tiga puluh hari. Jika
tidak terlihat hilal, meskipun langit cerah, tidak ada mendung dan tidak ada
penghalang untuk ru’yah pada malam ketiga puluh Sya’ban, maka sempurnakanlah
Sya’ban tiga puluh hari dan mereka tidak berpuasa pada hari itu. Hukum meninggalkan
puasa pada hari itu bisa wajib dan bisa mustahab.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا
وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jika kalian melihatnya, maka berpuasalah;
dan jika kalian melihatnya, maka berbukalah (yakni berharirayalah). Jika kalian
terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangannya (30 hari).” (HR.
Bukhari dan Muslim, shahih)
**Sumber
materi: Kitab Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim
Artikel Terkait:
EmoticonEmoticon