1. Pengertian I’tikaf
I’tikaf artinya mendiami suatu tempat. Oleh karena itu, orang yang
menetap di masjid untuk melakukan ibadah disebut dengan mu’takif atau ‘akif
(orang yang beri’itikaf). (Al-Misbah
al-Munir (II/4240) dan Lisan al-Arab (IX/252))
2. Disyari’atkannya I’tikaf
Disunnahkan untuk beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Berdasarkan hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam beri’tikaf setiap
bulan Ramadhan sepuluh hari. Pada tahun dimana beliau wafat, beliau melakukan
I’tikaf selama dua puluh hari.
I’tikaf yang paling utama adalah pada akhir bulan Ramadhan, berdasarkan
hadits Aisyah, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam beri’tikaf
pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkannya. (Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim)
Disebutkan dalam hadits shahih, Nabi pernah beri’tikaf pada sepuluh
akhir bulan syawal akhir sebagai pengganti I’tikaf yang tidak beliau lakukan
pada bulan Ramadhan. (Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Apabila seseorang bernadzar untuk beri’tikaf satu hari atau lebih, maka
wajib baginya untuk menunaikan nadzarnya tersebut.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu, ia pernah berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam, wahai Rasulullah,
pada waktu jahiliyah dulu aku pernah bernadzar untuk beri’tikaf satu hari di
Masjidil Haram?” Nabi menjawab, “Laksanakanlah nadzarmu dan beri’tikaflah satu
malam!” (Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
3. Tidak Disyariatkan I’tikaf Kecuali di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
..وَلَا
تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ..
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber’itikaf dalam
masjid-masjid. “(al-Baqarah: 187)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para istri beliau
melakukan I’tikaf di masjid. Seandainya boleh i’tikaf di selain masjid, tentunya para istri beliau tidak
beri’tikaf di masjid, karena berat bagi mereka untuk berdiam dan tinggal dalam
masjid. Apabila i’tikaf boleh dilakukan
di selain masjid,
tentunya mereka telah beri’tikaf di rumah walaupun hanya sehari.
Jumhur ulama berpendapat bolehnya i’tikaf di semua masjid, berdasarkan keumuman ayat: fil masajid
(di masjid-masjid). Hanya saja ada perselisihan: apakah harus di masjid jami’
atau tidak?
Ada yang berpendapat, tidak boleh melakukan i’tikaf kecuali di tiga masjid: Masjidil Haram, masjid
Nabawi dan Masjidil Aqsha. Demikian pendapat Abu Hanifah dan Said bin Musayyab.
Yang rajih adalah madzhab jumhur ulama. Adapun riwayat dari Hudzaifah dengan
sanad yang marfu’:
لَا إِعْتِكَافَ إِلّا فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ
“Tidak ada i’tikaf kecuali di
masjid yang tiga” (Diriwayatkan oleh
al-Baihaqi)
Masih diperselisihkan apakah itu perkataan Hudzaifah sendiri ataukah
sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam?
4. Wanita Disyari’atkan untuk Beri’tikaf dengan Dua Syarat
Wanita juga disyari’atkan untuk beri’tikaf, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, Rasullah beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir. Kemudian Aisyah
meminta izin kepada beliau untuk ikut ber’itikaf, dan ternyata beliau
mengizinkannya. (HR. Bukhori:
2045)
Masih dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan
hingga Allah mewafatkannya. Kemudian i’tikaf dilanjutkan
oleh istri-istri beliau. (Shahih, diriwayatkan oleh
al-Bukhori dan Muslim).
Bagi seorang wanita harus memenuhi dua syarat, jika ia ingin beri’tikaf:
Pertama, mendapatkan izin dari suaminya; karena ia tidak boleh keluar dari
rumahnya kecuali dengan seizin suaminya. Telah disebutkan dalam hadits Aisyah,
ia meminta izin kepada Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam untuk i’tikaf. Demikian pula
halnya dengan Hafsah dan Zainab.
Faidah, Apabila suami telah mengizinkan istrinya untuk ber’itikaf, lantas
apakah setelah itu apakah ia bolah membatalkan i’tikaf istrinya?
Apabila i’tikaf yang dilakukan
istri adalah I’tikaf sunnah, maka suami bolah membatalkan i’tikaf istrinya. Sebab ketika Aisyah meminta izin kepada Nabi untuk beri’tikaf, dan diikuti oleh Hafsah
dan Zainab, beliau khawatir i’tikaf yang dilakukan
istri-istrinya tidak ikhlas karena Allah, tetapi ingin dekat dengan beliau
karena kecemburuan mereka pada beliau. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menyuruh mereka keluar
seraya bersabda:
آلْبِرُّ أَرَدْتِ؟ مَا أَنَا بِمُعْتَكِفٍ...
“Apakah kamu menginginkan kebaikan? Aku tidak I’tikaf…”
Jika i’tikafnya adalah i’tikaf wajib, seperti nadzar untuk i’tikaf, dan nadzarnya itu adalah nadzar
yang berturut-turut (nadzar untuk ’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan)
dan suaminya telah mengizinkannya, maka sang suami tidak boleh membatalkan i’tikaf istrinya. Tapi pabilan nadzar istri itu tidak harus
berturut-turut, maka suami boleh membatalkan i’tikaf istrinya dan ia
bisa melakukannya pada hari yang lain.
Kedua, selama i’tikaf yang dilakukan
tidak menimbulkan fitnah. Wanita boleh beri’tikaf selama tidak menimbulkan
fitnah. Jika i’tikaf yang
dilakukannya menyebabkan fitnah bagi dirinya dan bagi kaum laki-laki, maka
wanita tersebut dilarang beri’tikaf untuk menghindari fitnah yang bakal timbul.
Karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri melarang
istri-istrinya untuk beri’tikaf setelah itu, seperti yang tercantum dalam
hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha
di atas.
5. Apakah Puasa Merupakan Syarat I’tikaf
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini dalam dua pendapat:
Pertama, tidak sah i’tikaf kecuali dengan
puasa. Ini adalah madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dalam salah satu
riwayatnya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Abbas dan Ibnu
Umar. Argumen mereka adalah sebagai berikut:
1. Nabi beri’tikaf pada
bulan Ramadhan, dan tidak diketahui tentang disyariatkannya i’tikaf kecuali dengan puasa. Tidak ada satu riwayatpun
yang menyebutkan, Nabi dan para sahabat pernah i’tikaf dalam keadaan
tidak berpuasa.
2. I’tikaf dan puasa
disebutkan dalam satu ayat
3. Diriwayatkan dari
Aisyah , ia berkata, “Disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk tidak
menjenguk orang sakit, tidak menyaksikan jenazah, tidak menyentuh wanita dan
mencumbuinya, tidak keluar masjid kecuali untuk suatu keperluan penting, dan
tidak ada i’tikaf kecuali dengan
berpuasa serta tidak ada i’tikaf kecuali di
masjid jami’”. (Diriwayatkan oleh Abu
Daud (2473) para ulama berselisih pendapat tentang keshahihan lafal
“disunnahkan). Diriwayatkan juga
dari Aisyah secara marfu’, tapi sanadnya dhaif.
Kedua, puasa bukan syarat i’tikaf, tetapi
hanyalan disunnahkan. Ini adalah madzhab Syafi’i dan
Ahmad –dalam riwayat yang mahsyur darinya–. Ini juga pendapat yang diriwayatkan dari Ali dan
Abdullah bin Mas’ud. Argumen mereka adalah sebagai berikut:
1. Umar berkata kepada
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam , “Wahai Rasulullah,
pada waktu jahiliyah dulu aku pernah bernadzar untuk beri’tikaf satu hari di
Masjidil Haram?” Nabi menjawab, “Laksanakanlah nadzarmu dan beri’tikaflah satu
malam!”
Menurut mereka, malam bukanlah waktunya untuk berpuasa, dan Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam membolehkan i’tikaf pada waktu
tersebut.
2. Dalam hadits Aisyah
yang telah disebutkan sebelumnya
–tentang I’tikafnya
istri Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam– beliau mengatakan, ketika beliau melihat kemah-kemah
istrinya, “Apakah kalian ingin mencari kebaikan?”Lantas beliau memerintahkan
untuk membongkar kemah-kemah tersebut, dan beliau tidak beri’tikaf pada bulan
Ramadhan tersebut, sehingga beliau mengganti i’tikafnya di awal
bulan Syawal.
Mereka mengatakan awal Syawal adalah hari raya
Idul Fitri yang dilarang berpuasa.
3. Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas dengan sanad marfu’:
لَيْسَ عَلَى الْمُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ
عَلَى نَفْسِهِ
“Orang yang beri’tikaf
tidak wajib berpuasa kecuali jika ia mengharuskannya pada dirinya sendiri.”
Hadits ini dhaif, dan yang benar adalah haditsnya mauquf.
4. I’tikaf adalah ibadah
yang bediri sendiri. Jadi, puasa bukanlah syarat i’tikaf, seperti
ibadah-ibadah lainnya.
5. I’tikaf adalah berdiam
di tempat tertentu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Jadi, puasa tidak
menjadi syarat i’tikaf, sebagaimana
halnya ribath (berjaga-jaga di front pertahanan).
Syaikh Abu Malik
Kamal bin As-Sayyid Salim (Penulis Kitab Shahih Fiqih Sunnah) berkata: Pendapat yang kuat
adalah pendapat yang menyatakan, puasa tidak menjadi syarat i’tikaf. Akan tetapi hanyalah dianjurkan. Wallahu
a’lam.
6. Waktu Minimal Untuk Beri’tikaf
Jumhur ulama, di
antaranya Abu
Hanifah dan Asy-Syafi’i, berpendapat, tiada
batasan waktu yang paling minimal untuk beri’tikaf. Menurut Malik (dalam satu riwayat), minimal satu hari satu
malam. Diriwayatkan dari Malik juga, paling minimal tiga hari. Dalam riwayat
yang lain dari Malik, minimal sepuluh hari.
Secara zhahirnya dapat diketahui, siapa yang meyakini, puasa sebagai
syarat i’tikaf, maka ia
berpendapat, tidak boleh beri’tikaf pada malam hari saja. Jadi, tidak boleh
kurang dari satu hari satu malam.
Syaikh Abu Malik
Kamal bin As-Sayyid Salim berkata: Pendapat yang paling kuat adalah, minimal satu
malam, berdasarkan hadits Umar ketika bernadzar untuk beri’tikaf, dan beliau
memerintahkannya untuk beri’tikaf selama satu malam, seperti telah disebutkan
dalam permasalahan sebelumnya. Adapun pendapat jumhur yang membolehkan i’tikaf kurang dari satu malam, walaupun hanya sesaat
pada siang hari atau malam hari, maka membutuhkan suatu dalil.
7. Kapan Seseorang Memulai dan Mengakhiri I’tikafnya
Barangsiapa yang bernadzar untuk beri’tikaf pada waktu tertentu, atau
ingin beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, maka disunnahkan
agar orang yang beri’tikaf memulainya setelah shalat fajar pada hari pertama
dimulainya i’tikaf tersebut (yakni
tanggal 21 Ramadhan). Demikianlah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Dalam hadits Aisyah disebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam beri’tikaf pada
sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, dan aku mendirikan kemah untuk beliau.
Lalu beliau shalat subuh, kemudian beliau memasukinya..” (HR.
Bukhari dan Muslim) Ini adalah pendapat al-Auza’i, al-Laits dan
ats-Tsauri.
Sementara empat imam dan sekelompok ulama berpendapat ia memulai i’tikafnya menjelang terbenam matahari (yakni tangga 20
Ramadhan). Mereka mentakwil hadits Aisyah, sebenarnya beliau sudah masuk ke
masjid di awal malam. Cuma, beliau menyendiri di dalam kemahnya setelah shalat
shubuh. Menurut mereka karena al’Asyr (sepuluh) adalah kata untuk
menyebut malam-malam terakhir bulan Ramadhan. Karenanya, i’tikaf harus dimulai sebelum masuk waktu malam.
Syaikh Abu Malik
Kamal bin As-Sayyid Salim berkata: Hadits ini mengharuskan salah satu dari dua perkara
berikut ini:
1. Bisa jadi i’tikaf telah dimulai pada malam hari –seperti yang mereka katakan–
lantas beliau
masuk kedalam kemahnya setelah shalat fajar. Pendapat seperti ini menyulitakan
bagi kalangan yang melarang keluar dari ibadah setelah memulainya.
2. Bisa jadi i’tikaf hanyalah dimulai setelah shalat fajar.
Menurutku, pendapat ini dikuatkan oleh hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, “Kami i’tikaf bersama Rasulullah pada sepuluh pertengahan
bulan Ramadhan, lalu kami keluar (dari tempat i’tikaf) pada tanggal
dua puluh pagi…” (Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari)
Dalam hadits di atas disebutkan, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam beri’tikaf pada
sepuluh pertengahan bulan Ramadhan, beliau keluar pada tanggal dua puluh pagi.
Berarti beliau memulai i’tikaf pada tanggal
sepuluh pagi (setelah fajar).
Dengan demikian, hadits Abu Sa’id selaras dengan hadits Aisyah. Wallahu
a’lam.
Adapun keluarnya, berdasarkan pendapat yang pertama, ia keluar setelah
fajar pada hari raya Idul Fitri untuk menuju ke tempat pelaksanaan shalat. Ini
dinilai sunnah oleh Malik. Sedangkan berdasarkan pendapat yang kedua, ia keluar
dari tempat i’tikafnya setelah
terbenam matahari pada terakhir bulan Ramadhan. Wallahu a’lam.
8. Perkara-perkara yang Membatalkan I’tikaf
I’tikaf menjadi batal karena salah satu dari perkara-perkara berikut:
a. Keluar dari tempat i’tikaf dengan tanpa udzur syar’i atau bukan untuk keperluan penting. Jadi, tidak boleh
keluar masjid kecuali untuk keperluan yang mendesak atau keperluan syar’i.
- Contoh keperluan yang
mendesak, seseorang keluar untuk mendapatkan makanan dan minuman, atau untuk
buang hajat. Hal semacam ini tidak ada yang dapat dilakukannya, kecuali ia
keluar masjid.
- Contoh keperluan syar’i, seseorang keluar untuk mandi junub atau untuk
berwudhu, yang tidak dapat dilakukannya kecuali di luar masjid.
Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa asllam pernah memasukan kepalanya ke kamarku –sedang beliau berada
dalam masjid– lantas aku menyisir
rambut beliau. Jika beliau sedang i’tikaf, beliau tidak
masuk ke dalam rumah kecuali
ada suatu keperluan yang mendesak.”
(Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Telah disinggung pernyataan Aisyah radhiyallahu
‘anha, “Disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang
sakit, tidak menyaksikan jenazah, tidak menyentuh wanita dan mencumbuinya, dan
tidak keluar dari masjid kecuali untuk suatu keperluan penting.”
Pernyataan Aisyah
radhiyallahu ‘anha tersebut dikuatkan
oleh hadits Umrah, ia berkata,”Aisyah tengah beri’tikaf. Saat ia pulang ke rumahnya karena suatu keperluan, ia melintasi seorang
yang sedang sakit, maka ia menanyakan tentang keadaanya sambil terus berjalan
tanpa berhenti di situ”.
Jika dalam niat i’tikafnya seseorang mensyaratkan
keluar untuk keperluan tertentu, seperti mensyaratkan boleh keluar untuk
menyaksikan jenazah atau pekerjaan rutin di siang hari –seperti yang dilakukan
oleh sebagian pegawai– maka mayoritas fuqaha
berpendapat, syarat seperti ini tidak bermanfaat baginya. Jika ia melakukannya,
maka batal i’tikafnya.
Menurut Imam ats-Tsauri, asy-Syafi’I dan Ishaq –dan ini salah satu
riwayat dari Imam Ahmad– jika syarat ini
diniatkannya sebelum memulai i’tikafnya, maka i’tikafnya tidak batal dengan melaksanakannya, seperti
mengajukan syarat dalam haji.
b. Melakukan hubungan intim.
Para ulama sepakat, barangsiapa melakukan hubungan intim dengan istrinya pada
saat sedang beri’tikaf secara sengaja, maka i’tikafnya batal. Hal
ini berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala:
..وَلَا
تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ..
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam
masjid-masjid.” (al-Baqarah: 187)
Sebab hubungan intim dilarang secara khusus dalam ibadah, dan jika
melakukannya maka batal-lah ibadah tersebut.
Adapun bersentuhan tanpa persetubuhan, bila tidak dengan syahwat, maka
hal itu tidaklah mengapa. Seperti istri mencuci rambut suaminya, atau
mengambilkan sesuatu untuknya dan selainnya, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, “Nabi pernah memasukkan kepala ke kamarku
sedangkan beliau di masjid, lalu aku menyisir rambut beliau padahal pada saat
itu aku sedang haid.” (Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari 2029)
Apabila bersentuhan dengan syahwat, maka ini diharamkan, berdasarkan
ayat di atas. Jika sentuhan
tersebut dibarengi dengan syahwat hingga keluar spermanya, maka batallah i’tikafnya, dan tidak batal jika tidak keluar sperma.
Demikian pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat asy-Syafi’i.
Sebagian ulama berpendapat, kedua kasus di atas dapat membatalkan i’tikaf. Ini adalah pendapat Malik. Karena bersentuhan
adalah perkara yang diharamkan dan dapat merusak ibadah i’tikaf, sama seperti bersentuhan yang dibarengi dengan
syahwat hingga mengeluarkan sperma.
Ibnu Qudamah berkata, “Menurut kami, bercumbu bukanlah perkara yang
membatlkan puasa dan haji, maka tidak pula membatalkan i’tikaf, sebagaimana sentuhan yang dilakukan tanpa
syahwat.”
9. Apa saja yang Dibolehkan Bagi Orang yang Beri’tikaf
a. Keluar untuk suatu
keperluan mendesak. Seperti keluar untuk makan, minum atau untuk buang air,
jika semua itu tidak dapat dilakukan di dalam masjid, sebagaimana telah
disinggung.
b. Orang yang beri’tikaf
boleh melakukan perkara-perkara yang mubah. Seperti mengantarkan orang yang
mengunjunginya hingga ke
pintu masjid
atau berbincang-bincang dengan yang lainnya.
c, d. Istri boleh
mengunjungi dan berduaan dengan suaminya yang sedang beri’tikaf.
Ketiga poin tersebut dibolehkan, berdasarkan hadits Shafiyah, istri Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam, ia menjenguk Rasulullah yang sedang beri’tikaf di masjid pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Ia
berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian ia bangkit untuk
pulang. Rasulullah juga bangkit dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid yang
ada di dekat pintu Ummu Salamah….”(Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
e.
Mandi dan
berwudhu di masjid.
Dari seorang laki-laki pembantu Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam berkata, “Rasulullah pernah berwudhu ringan di
masjid.” Telah disinggung, Aisyah pernah mengeramasi dan menyisir rambut
Rasulullah.
f.
Mendirikan
kemah di bagian belakang masjid
sebagai tempat untuk beri’tikaf. Aisyah pernah mendirikan kemah untuk tempat i’tikafnya Rasulullah –shahih
diriwayatkan oleh al-Bukhari-, dan itu ia lakukan sesuai perintah dari beliau.
Meletakkan tempat tidurnya di
dalam masjid. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, apabila Nabi beri’tikaf, disediakan
untuk beliau tempat tidur di belakang tiang taubah. Hal ini dapat
dipahami dari hadits Abu Sa’id yang di dalamnya tercantum, “Pada hari kedua
puluh pagi, kami memindahkan barang-barang kami..”(Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari).
g.
Orang yang
sedang beri’tikaf boleh meminang dan melangsungkan akad pernikahan. Sebab i’tikaf adalah ibadah yang tidak mengharamkan suatu
yang baik, sehingga tidak diharamkan melangsungkan pernikahan seperti halnya
puasa. Tetapi dengan syarat tidak melakukan hubungan intim, sebagaimana telah
disinggung.
h. Wanita yang sedang istihadhah boleh melakukan i’tikaf. Akan tetapi
mereka harus menjaga kebersihan masjid dengan menjaga kebersihan dirinya. Ia juga
boleh keluar untuk menjaga kebersihan dirinya, agar masjid tetap terjaga
kebersihannya.
Diriwayatkan dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Salah
seorang istri Rasulullah yang sedang istihadhah melakukan i’tikaf bersama beliau. Saat itu ia melihat ada cairan
merah dan kuning. Terkadang kami meletakan baskom di bawahnya, ketika ia sedang
shalat.
Apakah Wanita Haid Boleh Beri’tikaf
Boleh dan tidaknya wanita haid melakukan i’tikaf berkaitan
dengan dua masalah:
Pertama: apakah puasa
merupakan syarat i’tikaf?
Kedua: apakah wanita haid boleh masuk ke dalam masjid?
Bagi kalangan yang berpendapat, puasa merupakan syarat i’tikaf maka mereka tidak membolehkan wanita haid untuk
beri’tikaf karena tidak boleh berpuasa. Demikian pula kalangan yang berpendapat
bahwa wanita haid tidak boleh masuk masjid, tentu saja mereka tidak membolehkan
wanita haid melakukan i’tikaf.
Faidah: Jika wanita melakukan i’tikaf, maka hendaknya
ia membuat tabir yang dapat menutupi dirinya dari penglihatan orang lain. Sebab
ketika istri-istri Nabi melakukan i’tikaf, beliau
menyuruh agar dirikan kemah untuk mereka di dalam masjid. Karena masjid adalah
tempat yang dihadiri banyak kaum laki-laki. Oleh karena itu, yang terbaik bagi
kaum laki-laki dan wanita ialah masing-masing dari mereka tidak melihat lawan
jenisnya. Dan akan lebih baik lagi, apabila kaum wanita memiliki tempat khusus
di masjid.
10. Termasuk Adab dalam I’tikaf
Dianjurkan bagi orang yang sedang beri’tikaf agar mengisi waktunya untuk
ketaatan kepada Allah, seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir, istigfar,
berdo’a, mengucapkan
shalawat Nabi, membaca tafsir al-Qur’an, mempelajari hadits dan lain-lain.
Makruh hukumnya berbicara dan melakukan sesutu yang tidak ada faidahnya,
menjadikan tempat i’tikafnya sebagai
tempat pertemuan dan mengundang banyak pengunjung, atau bercanda dengan
orang-orang yang ada di majelisnya. I’tikaf seperti ini jauh berbeda dengan
I’tikaf yang dilakukan Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam.
[Sumber: Kitab Shahih Fiqih Sunnah]
Artikel Terkait: Lailatul Qadar "Malam Kemuliaan"
EmoticonEmoticon