Perbedaan Antara Al Qur'an dan Hadits Qudsi

Oktober 29, 2016
Definisi Al-Qur’an telah dikemukakan pada postingan sebelumnya. Untuk mengetahui perbedaan antara definisi Al-Qur’an, hadits qudsi dan hadits nabawi, maka di sisi akan disampaikan dua definisi hadits tersebut:

Hadits secara bahasa bermakna, “Dhiddu al-qadim” (lawan dari lama –atau baru–). Yang dimaksud dengan hadits secara umum adalah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia, baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengaran atau wahyu ketika dalam keadaan terjaga atapun tidur. Dalam pengertian ini, Al-Qur’an juga disebut hadits:
...وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثٗا ٨٧
“...Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (hadits)nya dari pada Allah.” (QS. An-Nisa: 87)
Demikian juga apa yang terjadi pada seseorang ketika tidurnya:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian takwil hadits-hadits (mimpi). (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf: 101)

Adapun secara istilah, hadits adalah apa saja yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan Nabi terhadap suatu perbuatan atau ucapan yang datang dari sahabatnya, red) atau sifat.
Jika kita mendengar kata hadits dalam perbincangan kita, maka yang dimaksud adalah hadits secar istilah.

Contoh hadits yang berupa perkataan (al-qaul), seperti sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى   ...
“Sesungguhnya sahnya amal itu, apabila disertai dengan niat. Dan, setiap (perbuatan) seseorang itu tergantung pada apa yang diniatkannya...” (HR. Al-Bukhari)

Contoh hadits yang berupa perbuatan (al-fi’l), ialah seperti yang beliau ajarkan kepada para sahabat tentang tata cara shalat, “Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari)
Juga mengenai tata cara ibadah haji. Beliau bersabda, “Ambillah dariku manasik hajimu.” (HR. Muslim, Ahmad dan Nasa’i)

Sedangkan contoh yang berupa persetujuan (taqrir) ialah seperti beliau menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan, dilakukan di hadapannya ataupun tidak. Misalnya, mengenai makan biawak yang dihidangkan kepadanya. Bentuk lain dari taqrirnya seperti; dalam sebuah riwayat, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, mengutus orang dalam suatu peperangan. Orang itu selalu membaca suatu bacaan dalam shalat yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad. Setelah pulang, mereka menyampaikan hal itu kepada Nabi. Lalu kata Nabi, “Tanyakan kepadanya mengapa dia berbuat demikian!” Mereka pun menanyakannya. Dan oran itu menjawab; Kalimat itu adalah sifat Allah dan kau suka membacanya. Maka jawab Nab, “Katakanlah kepadanya bahwa Allah pun menyukainya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Adapun contoh hadits yang berbentuk sifat (ash-shifah), seperti yang diriwayatkan “Bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam itu selalu bermuka cerah berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula berbicara kotor dan tidak suka mencela..”

Hadits Qudsi

Kita telah mengetahui makna hadits secara bahasa. Sekarang kita akan membicarakan tentang hadits qudsi. Kata qudsi dinisbatkan kepada kata quds (kesucian). Nisbah ini menunjukkan rasa ta’zhim (hormat akan kebesaran dan kesuciannya), oleh karena kata itu sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian secara bahasa. Maka kata taqdis berarti mensucikan Allah. Taqdis sama dengan tathhir; dan taqaddasa sama dengan tathahhara (suci, bersih). Seperti; kata-kata malaikat kepada Allah dalam suatu dialog yang dilukiskan Al-Qur’an:
... وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ ... ٣٠
“...Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau...” (QS. Al Baqarah: 30)

Hadits Qudsi secara istilah ialah suatu hadits yang oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, disandarkan kepada Allah. Maksudnya, Nabi meriwayatkan dalam posisi bahwa yang disampaikannya adalah kalam Allah. Jadi, Nabi itu adalah orang yang meriwayatkan kalam Allah, tetapi redaksi dan lafazhnya dari Nabi sendiri. Jika seseorang meriwayatkan satu hadits qudsi, dia berarti meriwayatkan dari Rasulullah yang dinisbatkan kepada Allah. Apabila ada orang yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah, berarti dia menyandarkannya kepada Allah. Maka, hendaknya orang itu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda sebagaimana yang dia riwayatkan dari Tuhannya ‘Azza wa Jalla.

Atau, bisa juga dia mengatakan, “Rasulullah mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya”, atau ia mengatakan:
“Rasulullah bersabda; Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman atau berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Contoh pertama: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, menganai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya ‘Azza wa Jalla: “Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafkah, baik di waktu malam ataupun siang hari...”

Contoh yang kedua, Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku sesuai apa yang menjadi dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku. Bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila dia menyebut-Ku di khalayak ramai, maka Aku pun menyebutnya di khalayak orang ramai yang lebih baik dari itu..”

Perbedaan Al Qur’an dengan Hadits Qudsi

Ada beberapa perbedaan antara Al-Qur’an dengan hadits qudsi. Dan, yang terpenting ialah:
1. Al-Qur’an Al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafazhnya, yang dengannya orang Arab ditantang tetapi mereka tidak mampu membuat yang seperti Al Qur’an itu, atau sepuluh surat yang serupa itu, atau bahkan satu surat sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Al Qur’an merupakan mukjizat abadi hingga Hari Kiamat. Sedangkan hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula berfungsi sebagai mukjizat.

2. Al-Qur’an Al-Karim hanya dinisbahkan kepada Allah semata. Istilah yang dipakai biasanya, “Allah Ta’ala berfirman.” Adapun hadits qudsi –seperti telah dijelaskan sebelumnya– terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah. Penyandaran hadits qudsi kepada Allah itu bersifat penisbatan insya’i (yang diadakan). Di sini juga menggunakan ungkapan, “Allah telah berfirman atau Allah berfirman.” Terkadang juga diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, tetapi penisbatannya bersifat ikhbar (pemberitaan), karena Nabi yang mengabarkan hadits itu dari Allah. Maka di sini dikatakan; Rasulullah mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.

3. Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak (qath’i ats-tsubut). Sedangkan hadits-hadits qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan (zhanni ats-tsubut). Adakalanya hadits qudsi itu shahih, terkadang hasan (baik) dan ada pula yang dha’if (lemah).

4. Al-Qur’an Al-Karim dari Allah, baik lafazh maupun maknanya. Itulah wayhu. Adapun hadits qudsi maknanya saja yang dari Allah, sedangkan lafazh (redaksi)nya dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Hadits qudsi wahyu dalam makna, bukan dalam lafazh. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadits, tidak mengapa meriwayatkan hadits qudsi dengan maknanya saja.

5. Membaca Al-Qur’an Al-Karim merupkan ibadah; karena itu ia dibaca di dalam shalat.
“Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Muzammil: 20)

Nilai ibadah membaca Al-Qur’an juga terdapat dalam hadits, “Barang siapa membaca satu huruf dari Qur’an, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim  itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi, dari Ibnu Mas’ud)

Untuk hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam shalat. Allah memberikan pahala hadits qudsi secara umum saja. Jadi membaca hadits qudsi tidak memperoleh pahala seperti membaca Al-Qur’an bahwa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

 Manfaat Minyak Zaitun Ruqyah (MIZAR)

Baca artikel penting berikut ini:



Artikel Terkait

Previous
Next Post »