MACAM-MACAM CARA TURUNNYA WAHYU DARI ALLAH

November 13, 2016
Pada postingan yang lalu, kami telah menayangkan pembahasan tentang arti wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Alhamdulillah, postingan kali ini kita lanjutkan tentang macam-macam cara turunnya wahyu dari Allah. Selamat membaca.


Cara Wahyu Allah Turun Kepada Malaikat

1. Dalam Al-Qur’an Al-Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada Malaikat-Nya,
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا ...
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya..." (QS. Al-Baqarah: 30)

Juga tentang wahyu Allah kepada mereka, “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada malaikat; Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anfal: 12)

Ada juga nash tentang para malaikat yang mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya, “Demi malaikat-malaikat yang membagi-bagikan urusan dunia.” (QS. Adz-Dzariyat: 4), “Dan demi malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia.” (QS. An-Nazi’at: 5).

Ayat-ayat di atas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan perbicaraan yang difahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadits dari Nuwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah shallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan. Dia berbicara melalui wahyu, maka langitpun bergetar dengan getaran –atau dia menyatakan dengan goncangan– yang dahsyat karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika penghuni langit mendengarnya, mereka pingsan dan jatuh. Lalu bersujud kepada Allah. Yang pertama kali mengangkat kepala di antara mereka itu adalah Jibril, lalu Allah menyampaikan wahyunya kepada Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali dia melalui satu langit, para malaikatnya bertanya kepada Jibril: “Apak yang telah difirmankan oleh Tuhan kita, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Dia mengatakan yang hak dan Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ath-Thabrani).

Hadits ini menjelasakan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, yang didengar oleh para malaikat. Pengaruh wahyu itu sangat dahsyat. Pada zhahirnya –di dalam perjalanan Jibril untuk menyampaikan wahyu, haidts di atas menunjukkan turunnya wahyu khusus mengenai Al-Qur’an, akan tetapi hadits tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok persoalan itu terdapat di dalam hadits shahih, “Apabila Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat mengepak-ngepakkan sayapnya karena pengaruh firman-Nya, bagaikan mata rantai di atas batu yang licin.”

2. Jelas bahwa Al Qur’an telah dituliskan di lauhul mahfuzh, berdasarkan firman Allah, “Bahkan ia adalah Al-Qur’an yang mulia yang tersimpan di lauhul mahfuzh.” (QS. Al-Buruj: 21-22)

Demikian juga Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus ke Baitul ‘Izzah yang berada di langit dunia pada malam lailatul qadar di bulan Ramadhan, “Sesungguhnya Kami menurunkannya –al-Qur’an– pada Lailatul qadar.” (QS. Al Qadar: 1); “Sesungguhnya Kami menurunkannya –al-Qur’an– pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Ad-Dukhan: 3); “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Di dalam Sunnah terdapat hal yang menjelaskan turunnya Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa nuzul itu bukanlah turun ke dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam.

Dari Ibnu ‘Abbas dengan hadits mauquf, “Al Qur’an itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada Lalilatul qadar. Setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun. Lalu Ibnu ‘Abbas membaca ayat, “Tidaklah orang-orang kafir datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik peneyelesaiannya.” (QS. Al-Furqan: 33) “Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan berangsur-angsur agar kamu membacanya secara perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa: 106). (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan An-Nasa’i)

Dalam satu riwayat disebutkan, “Telah dipisahkan Al-Qur’an dari adz-Dzikr, lalu diletakkan di Baitul ‘Izzah  di langit dunia; kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi Shallallahu ‘Alayihi wa Sallam.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah).

Oleh sebab itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:

a. Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafazhnya yang khusus.
b. Jibril menghafalnya dari Lauh Al-Mahfuzh.
c. Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedangkan lafazhnya dari Jibril, atau Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Pendapat pertama yang benar. Pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadits Nuwas bin Sam’an di atas.

Penyandaran Al-Qur’an kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat,
وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى ٱلۡقُرۡءَانَ مِن لَّدُنۡ حَكِيمٍ عَلِيمٍ ٦
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quran dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Naml: 6)

“Dan jika di antara kaum musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.” (QS. At-Taubah: 6)

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata. Orang-orang yang tidak mengharap pertemuan dengan Kami berkata, ‘Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantikan ia,’ Katakanlah. ‘Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dari pihak diriku senidiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku...’” (QS. Yunus: 15)

Al-Qur’an adalah kalam Allah dengan lafazhnya, bukan kalam Jibril atau Muhammad.

Adapun pendapat kedua di atas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al-Qur’an di lauhul mahfuzh itu seperti hal-hal ghaib yang lain, termasuk Al-Qur’an.

Sedangkan, pendapat ketiga hampir sama dengan makna sunnah. Sebab, sunnah itu juga wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam secara makna. Lalu beliau mengungkapkan dengan redaksi beliau sendiri, “Dia (Muhamma) tidaklah berbicara mengikuti kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4)

Karenanya diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut makannya, sedangkan Al-Qur’an tidak.

Demikianlah, kita telah mendiskusikan tentang perbedaan Al-Qur’an dengan hadits qudsi dan hadits nabawi pada bab yang lalu (pada postingan yang lalu).

Di antara keistimewaan Al-Qur’an adalah:
1. Al-Qur’an adalah mukjizat
2. Kebenarannya mutlak.
3. Membacanya dianggap ibadah.
4. Wajib disampaikan dengan lafazhnya. Sedangkan hadits qudsi tidak demikian, sekalipun ada yang berpendapat lafazhnya juga diturunkan.

Hadits Nabawi ada dua macam. Pertama; Sebagai ijtihad Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Ini bukan wahyu. Adanya pengakuan wahyu –dengan cara membicarakannya– terhadap ijtihadnya, apabila ijtihad itu benar. Kedua; Maknanya saja yang diwahyukan, sedangkan lafazhnya dari Rasulullah sendiri. Oleh karena itu, ini dapat dinyatakan dengan maknanya saja. Hadits qudsi itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedangkan lafazhnya tidak. Ia termasuk dalam bagian yang kedua ini. Sedangkan menisbahkan hadits qudsi kepada Allah dalam periwayatannya karena adanya nash tentang itu, adapun hadits-hadits nabawi tidak.


Cara Penurunan Wahyu Kepada Para Rasul

Allah menurunkan wahyu kepada para Rasul-Nya dengan dua cara; Ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.

Yang pertama; melalui Jibril, malaikat pemabawa wahyu.

Yang kedua; Tanpa melalui perantaraan. Di antaranya ialah, mimpi yang benar dalam tidur.

a. Mimpi yang benar dalam tidur. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Sesunggguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kondisi semacam ini pada dasarnya sebagai persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Di dalam Al-Qur’an, banyak wahyu yang diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang berpendapat bahwa surat Al-Kautsar melalui mimpi, seperti disinyalir oleh satu hadits. Di dalam Shahih Muslim, dari Anas dia berkata, “Ketika Rasululah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada di antara kami di dalam masjid, tiba-tiba beliau mendengkur, lalu mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya; Apakah yang menyebabkan engkau tertawa, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Tadi telah turun kepadaku sebuah surat. Lalu ia membaca; Bismillahirrahmanirrahim, inna a’thainakal kautsar, fa shalli lirabbika wanhar, inna syani'aka huwal abtar.”

Mungkin keadaan mendengkur ini adalah keadaan yang beliau alami ketika wahyu turun.

Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail. “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan anak yang sangat sabar. Maka tatkala itu anak telah sampai pada umur senggup berusaha bersama-sama Ibrahim, lalu Ibrahim berkata: ‘Wahai nakku, sesungguhnya dalam mimpi aku melihat bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia menjawab, ‘Wahai bapak, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan Kami panggil dia; Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar satu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu pujian yang baik di kalangan orang-orang yang kemudian, yaitu “Kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibarhim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq seorang Nabi yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ash-Shaaffat: 101-102)

Mimpi yang benar itu tidak hanya khusus bagi para Rasul saja. Mimpi yang semacam itu juga bisa terjadi pada kaum Mukminin, seklipun mimpi itu bukan wahyu. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
إِنْقَطَعَ الْوَحْيُ وَبَقِيَتِ الْمُبَشِّرَاتُ رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ
“Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita gembira tetap ada, yaitu mimpi orang mukmin.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Mimpi yang benar bagi para Nabi di waktu tidur itu merupakan dari sekian macam cara Allah “berkomunikasi” dengan hamba pilihan-Nya, “Allah tiada berbicara dengan seorang manusia pun, kecuali dengan parantaraan wahyu atau dari balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Dia sesungguhnya Mahatinggi dan Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura: 54)

b. Kalam Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Seperti yang terjadi pada Musa ‘alayhissalam, “Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami di waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhanku, tampakkanlah Diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu’.” (QS. Al-A’raf: 143)
وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا ١٦٤
...Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”  (QS. An-Nisa: 164)

Demikian pula menurut pendapat yang paling shahih, Allah juga pernah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam pada malam Isra dan Mi’raj.

Cara ini termasuk cara kedua dari apa yang disebutkan oleh ayat di atas, “aw min wara`i al-hijab.”  Dan di dalam Al-Qur’an wahyu macam ini tidak ada.


Penyampaian Wahyu Oleh Malaikat Kepada Rasul

Wahyu Allah kepada para Nabi-Nya itu ada kalanya adalah tanpa perantara, seperti apa yang telah kami sebutkan di atas, misalnya mimpi yang benar di waktu tidur dan kalam ilahi dari balik tabir dalam keadaan jaga yang disadari; dan ada kalanya melalui perantaraan malaikat wahyu. Masalah inilah yang hendak kami bicarakan dalam topik ini, karena Al-Qur’an diturunkan dengan wahyu macam ini.

Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul:

Pertama; Datang dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat mempengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaraktkan di dalam hadits,
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langi, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (HR. Al-Bukhari)

Dan mungkin pula suara malaikat itu sendiri para waktu Rasul baru mendengarnya untuk pertama kali.

Kedua; Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan daripada cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembiacara dengan pendengar. Beliau mendengarkan apa yang disampaikan pambawa wahyu itu dengan senang, dan merasa tenang seperti seseorang yang sedang berhadapan dengan saudaranya sendiri.

Keadaan Jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat keruhaniannya. Dan tidak pula berarti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa ia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan Rasulullah sebagai manusia. Yang pasti, keadaan pertama –tatkala wahyu turun seperti lonceng yang dahsyat– tidak membuatnya tenang, karena yang demikian menuntut ketinggian spiritual Rasulullah yang seimbang dengan tingkat keruhanian malaikat. Dan inilah yang paling berat. Kata Ibnu Khaldun, “Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang bersifat ruhani. Sedangkan dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat berubah dari ruhani semata menjadi manusia jasmani.”

Kedaunya itu tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Umul Mukminin, bahwa Al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah mengenai hal itu. Nabi menjawab, “Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang telah dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dikatakan.”

Al-Harits berkata, “Aku pernah melihat tatkala wahyu sedang turun kepada beliau pada suatu hari yang amat dingin. Lalu malaikat itu pergi, keringat mengucur dari dahi Rasulullah.” (HR. Al Bukhari)

Keduanya itu merupakan macam ketiga pembicaraan Ilahi yang diisyaratkan di dalam ayat,
۞وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآيِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولٗا فَيُوحِيَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُۚ إِنَّهُۥ عَلِيٌّ حَكِيمٞ ٥١
“Dan tidak ada seorang manusia pun yang Allah berbicara kepadanya, kecuali dengan perantaraan wahyu, atau dari balik tabir, atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehandaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi dan Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura: 51)

Tentang hembusan ke dalam hati, telah disebutkan di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, “Ruh kudus telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan jalan yang baik.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad shahih)

Hadits ini tidak menunjukkan turunnya wahyu secara tersendiri. Hal ini memungkinkan dapat dikembalikan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut di dalam hadits ‘Aisyah. Mungkin malaikat datang kepada beliau dalam keadaan yang menyerupai suara lonceng, lalu dihembuskannya wahyu kepadanya. Bisa jadi wahyu yang melalui hembusan itu adalah wahyu selain Al-Qur’an.[]

Sumber: Buku Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan

Materi terkait:
Makna Wahyu Dari Allah

Artikel Terkait

Previous
Next Post »