Pada postingan yang lalu, kami telah menayangkan pembahasan tentang arti wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Alhamdulillah, postingan kali ini kita lanjutkan tentang macam-macam cara turunnya wahyu dari Allah. Selamat membaca.
Cara Wahyu
Allah Turun Kepada Malaikat
1. Dalam
Al-Qur’an Al-Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada Malaikat-Nya,
وَإِذۡ
قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ
قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا ...
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan di dalamnya..." (QS. Al-Baqarah: 30)
Juga
tentang wahyu Allah kepada mereka, “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan
kepada malaikat; Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian
orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anfal: 12)
Ada juga
nash tentang para malaikat yang mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya, “Demi
malaikat-malaikat yang membagi-bagikan urusan dunia.” (QS. Adz-Dzariyat:
4), “Dan demi malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia.” (QS.
An-Nazi’at: 5).
Ayat-ayat
di atas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat
tanpa perantaraan dan dengan perbicaraan yang difahami oleh para malaikat itu.
Hal itu diperkuat oleh hadits dari Nuwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu
yang mengatakan bahwa Rasulullah shallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Apabila
Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan. Dia berbicara melalui
wahyu, maka langitpun bergetar dengan getaran –atau dia menyatakan dengan
goncangan– yang dahsyat karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika
penghuni langit mendengarnya, mereka pingsan dan jatuh. Lalu bersujud kepada
Allah. Yang pertama kali mengangkat kepala di antara mereka itu adalah Jibril,
lalu Allah menyampaikan wahyunya kepada Jibril menurut apa yang
dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali
dia melalui satu langit, para malaikatnya bertanya kepada Jibril: “Apak yang
telah difirmankan oleh Tuhan kita, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Dia
mengatakan yang hak dan Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” Para malaikat
itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril. Lalu Jibril
menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR.
Ath-Thabrani).
Hadits
ini menjelasakan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, yang didengar
oleh para malaikat. Pengaruh wahyu itu sangat dahsyat. Pada zhahirnya –di dalam
perjalanan Jibril untuk menyampaikan wahyu–, haidts di atas menunjukkan
turunnya wahyu khusus mengenai Al-Qur’an, akan tetapi hadits tersebut juga
menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok persoalan itu terdapat di
dalam hadits shahih, “Apabila Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka
para malaikat mengepak-ngepakkan sayapnya karena pengaruh firman-Nya, bagaikan
mata rantai di atas batu yang licin.”
2. Jelas
bahwa Al Qur’an telah dituliskan di lauhul mahfuzh, berdasarkan firman
Allah, “Bahkan ia adalah Al-Qur’an yang mulia yang tersimpan di
lauhul mahfuzh.” (QS. Al-Buruj: 21-22)
Demikian
juga Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus ke Baitul ‘Izzah yang berada di
langit dunia pada malam lailatul qadar di bulan Ramadhan, “Sesungguhnya
Kami menurunkannya –al-Qur’an– pada Lailatul qadar.” (QS. Al Qadar: 1); “Sesungguhnya
Kami menurunkannya –al-Qur’an– pada suatu malam yang diberkahi.” (QS.
Ad-Dukhan: 3); “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
Al-Qur’an.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Di dalam
Sunnah terdapat hal yang menjelaskan turunnya Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa
nuzul itu bukanlah turun ke dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa
Sallam.
Dari
Ibnu ‘Abbas dengan hadits mauquf, “Al Qur’an itu diturunkan sekaligus ke
langit dunia pada Lalilatul qadar. Setelah itu diturunkan selama dua
puluh tahun. Lalu Ibnu ‘Abbas membaca ayat, “Tidaklah orang-orang kafir
datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik peneyelesaiannya.” (QS.
Al-Furqan: 33) “Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan berangsur-angsur agar
kamu membacanya secara perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa: 106). (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan
An-Nasa’i)
Dalam
satu riwayat disebutkan, “Telah dipisahkan Al-Qur’an dari adz-Dzikr, lalu
diletakkan di Baitul ‘Izzah di
langit dunia; kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi Shallallahu ‘Alayihi
wa Sallam.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah).
Oleh
sebab itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang
berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
a.
Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafazhnya yang khusus.
b.
Jibril menghafalnya dari Lauh Al-Mahfuzh.
c. Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedangkan
lafazhnya dari Jibril, atau Muhammad Shallallahu
‘alayhi wa sallam.
Pendapat pertama yang benar. Pendapat itu yang
dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadits
Nuwas bin Sam’an di atas.
Penyandaran Al-Qur’an kepada Allah itu terdapat
dalam beberapa ayat,
وَإِنَّكَ
لَتُلَقَّى ٱلۡقُرۡءَانَ مِن لَّدُنۡ حَكِيمٍ عَلِيمٍ ٦
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quran dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Naml: 6)
“Dan
jika di antara kaum musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah
dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.” (QS.
At-Taubah: 6)
“Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata. Orang-orang yang
tidak mengharap pertemuan dengan Kami berkata, ‘Datangkanlah Al-Qur’an yang
lain dari ini atau gantikan ia,’ Katakanlah. ‘Tidaklah patut bagiku untuk
menggantikannya dari pihak diriku senidiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku...’” (QS. Yunus: 15)
Al-Qur’an
adalah kalam Allah dengan lafazhnya, bukan kalam Jibril atau Muhammad.
Adapun
pendapat kedua di atas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al-Qur’an
di lauhul mahfuzh itu seperti hal-hal ghaib yang lain, termasuk Al-Qur’an.
Sedangkan,
pendapat ketiga hampir sama dengan makna sunnah. Sebab, sunnah itu juga wahyu
dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam
secara makna. Lalu beliau mengungkapkan dengan redaksi beliau sendiri, “Dia (Muhamma) tidaklah berbicara mengikuti
kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya.” (QS.
An-Najm: 3-4)
Karenanya diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut
makannya, sedangkan Al-Qur’an tidak.
Demikianlah, kita telah mendiskusikan tentang
perbedaan Al-Qur’an dengan hadits qudsi dan hadits nabawi pada bab yang lalu
(pada postingan yang lalu).
Di antara keistimewaan Al-Qur’an adalah:
1. Al-Qur’an adalah mukjizat
2. Kebenarannya mutlak.
3. Membacanya dianggap ibadah.
4. Wajib disampaikan dengan lafazhnya. Sedangkan
hadits qudsi tidak demikian, sekalipun ada yang berpendapat lafazhnya juga
diturunkan.
Hadits Nabawi ada dua macam. Pertama; Sebagai ijtihad
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Ini bukan wahyu. Adanya pengakuan wahyu –dengan
cara membicarakannya– terhadap ijtihadnya, apabila ijtihad itu benar. Kedua; Maknanya saja yang
diwahyukan, sedangkan lafazhnya dari Rasulullah sendiri. Oleh karena itu, ini
dapat dinyatakan dengan maknanya saja. Hadits qudsi itu menurut pendapat yang
kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedangkan lafazhnya tidak. Ia termasuk
dalam bagian yang kedua ini. Sedangkan menisbahkan hadits qudsi kepada Allah
dalam periwayatannya karena adanya nash tentang itu, adapun hadits-hadits
nabawi tidak.
Cara Penurunan Wahyu Kepada Para Rasul
Allah menurunkan wahyu kepada para Rasul-Nya dengan
dua cara; Ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.
Yang pertama; melalui Jibril,
malaikat pemabawa wahyu.
Yang kedua; Tanpa melalui
perantaraan. Di antaranya ialah, mimpi yang benar dalam tidur.
a. Mimpi yang benar dalam tidur. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Sesunggguhnya apa yang mula-mula terjadi
pada Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam adalah mimpi yang
benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang
bagaikan terangnya pagi hari.” (Muttafaqun ‘alaih)
Kondisi semacam ini pada dasarnya sebagai persiapan
bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Di dalam
Al-Qur’an, banyak wahyu yang diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar,
kecuali bagi orang yang berpendapat bahwa surat Al-Kautsar melalui mimpi,
seperti disinyalir oleh satu hadits. Di dalam Shahih
Muslim, dari Anas dia
berkata, “Ketika Rasululah shallallahu
‘alayhi wa sallam berada di antara
kami di dalam masjid, tiba-tiba beliau mendengkur, lalu mengangkat kepalanya
dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya; Apakah yang menyebabkan engkau
tertawa, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Tadi
telah turun kepadaku sebuah surat. Lalu ia membaca; Bismillahirrahmanirrahim,
inna a’thainakal kautsar, fa shalli lirabbika wanhar, inna syani'aka huwal
abtar.”
Mungkin keadaan mendengkur ini adalah keadaan yang
beliau alami ketika wahyu turun.
Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang
benar bagi para nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim
agar menyembelih anaknya, Ismail. “Maka Kami
beri dia kabar gembira dengan anak yang sangat sabar. Maka tatkala itu anak
telah sampai pada umur senggup berusaha bersama-sama Ibrahim, lalu Ibrahim
berkata: ‘Wahai nakku, sesungguhnya dalam mimpi aku melihat bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia menjawab, ‘Wahai
bapak, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan
mendapati aku termasuk orang-orang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri,
dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan
Kami panggil dia; Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu.’
Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya
ini benar-benar satu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu pujian yang baik di
kalangan orang-orang yang kemudian, yaitu “Kesejahteraan dilimpahkan kepada
Ibarhim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sungguh dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami
beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq seorang Nabi yang termasuk
orang-orang yang shalih.” (QS. Ash-Shaaffat:
101-102)
Mimpi yang benar itu tidak hanya khusus bagi para
Rasul saja. Mimpi yang semacam itu juga bisa terjadi pada kaum Mukminin,
seklipun mimpi itu bukan wahyu. Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda,
إِنْقَطَعَ الْوَحْيُ وَبَقِيَتِ الْمُبَشِّرَاتُ
رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ
“Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita
gembira tetap ada, yaitu mimpi orang mukmin.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Mimpi yang benar bagi para Nabi di waktu tidur itu
merupakan dari sekian macam cara Allah “berkomunikasi” dengan hamba
pilihan-Nya, “Allah
tiada berbicara dengan seorang manusia pun, kecuali dengan parantaraan wahyu
atau dari balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Dia sesungguhnya Mahatinggi
dan Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura: 54)
b. Kalam Ilahi dari balik tabir tanpa melalui
perantara. Seperti yang terjadi pada Musa ‘alayhissalam, “Dan
tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami di waktu yang telah Kami tentukan
dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhanku,
tampakkanlah Diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu’.” (QS. Al-A’raf: 143)
وَكَلَّمَ
ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا ١٦٤
“...Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung” (QS. An-Nisa: 164)
Demikian pula menurut pendapat yang paling shahih,
Allah juga pernah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam pada malam Isra dan Mi’raj.
Cara ini termasuk cara kedua dari apa yang
disebutkan oleh ayat di atas, “aw min
wara`i al-hijab.” Dan di dalam Al-Qur’an wahyu macam ini tidak
ada.
Penyampaian Wahyu Oleh Malaikat Kepada Rasul
Wahyu Allah kepada para Nabi-Nya itu ada kalanya
adalah tanpa perantara, seperti apa yang telah kami sebutkan di atas, misalnya
mimpi yang benar di waktu tidur dan kalam ilahi dari balik tabir dalam keadaan
jaga yang disadari; dan ada kalanya melalui perantaraan malaikat wahyu. Masalah
inilah yang hendak kami bicarakan dalam topik ini, karena Al-Qur’an diturunkan
dengan wahyu macam ini.
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada
Rasul:
Pertama; Datang dengan suatu
suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat mempengaruhi
kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara
ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada
Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan
kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti
kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaraktkan di dalam hadits,
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan di
langi, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada
firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (HR. Al-Bukhari)
Dan mungkin pula suara malaikat itu sendiri para
waktu Rasul baru mendengarnya untuk pertama kali.
Kedua; Malaikat menjelma
kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan daripada
cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembiacara dengan pendengar. Beliau
mendengarkan apa yang disampaikan pambawa wahyu itu dengan senang, dan merasa
tenang seperti seseorang yang sedang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Keadaan Jibril menampakkan diri seperti seorang
laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat keruhaniannya. Dan tidak
pula berarti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang
dimaksudkan ialah bahwa ia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk
menyenangkan Rasulullah sebagai manusia. Yang pasti, keadaan pertama –tatkala wahyu
turun seperti lonceng yang dahsyat– tidak membuatnya tenang, karena yang
demikian menuntut ketinggian spiritual Rasulullah yang seimbang dengan tingkat
keruhanian malaikat. Dan inilah yang paling berat. Kata Ibnu Khaldun, “Dalam
keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang
bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang bersifat ruhani. Sedangkan
dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat berubah dari ruhani semata menjadi
manusia jasmani.”
Kedaunya itu tersebut dalam hadits yang
diriwayatkan dari ‘Aisyah Umul Mukminin, bahwa Al-Harits bin Hisyam bertanya
kepada Rasulullah mengenai hal itu. Nabi menjawab, “Kadang-kadang
ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat
bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang telah dikatakannya. Dan
terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia
berbicara kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dikatakan.”
Al-Harits berkata, “Aku pernah melihat tatkala wahyu
sedang turun kepada beliau pada suatu hari yang amat dingin. Lalu malaikat itu
pergi, keringat mengucur dari dahi Rasulullah.” (HR. Al Bukhari)
Keduanya itu merupakan macam ketiga pembicaraan
Ilahi yang diisyaratkan di dalam ayat,
۞وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا
أَوۡ مِن وَرَآيِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولٗا فَيُوحِيَ بِإِذۡنِهِۦ مَا
يَشَآءُۚ إِنَّهُۥ عَلِيٌّ حَكِيمٞ ٥١
“Dan tidak ada seorang manusia pun yang
Allah berbicara kepadanya, kecuali dengan perantaraan wahyu, atau dari balik
tabir, atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kehandaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi dan Maha
Bijaksana.” (QS. Asy-Syura: 51)
Tentang hembusan ke dalam hati, telah disebutkan di
dalam hadits Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam, “Ruh kudus telah menghembuskan ke dalam hatiku
bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan
ajalnya. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan jalan yang
baik.” (HR. Abu Nu’aim
dalam Al-Hilyah dengan sanad shahih)
Hadits ini tidak menunjukkan turunnya wahyu secara
tersendiri. Hal ini memungkinkan dapat dikembalikan kepada salah satu dari dua
keadaan yang tersebut di dalam hadits ‘Aisyah. Mungkin malaikat datang kepada
beliau dalam keadaan yang menyerupai suara lonceng, lalu dihembuskannya wahyu
kepadanya. Bisa jadi wahyu yang melalui hembusan itu adalah wahyu selain Al-Qur’an.[]
Sumber: Buku Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, karya
Syaikh Manna’ Al-Qaththan
Materi terkait:
Makna Wahyu Dari Allah
Makna Wahyu Dari Allah
EmoticonEmoticon