Perkara-perkara yang Membatalkan Wudhu

Januari 03, 2014
Berikut ini adalah beberapa perkara yang dapat membatalkan wudhu dan seseorang wajib berwudhu ketika perkara-perkara tersebut terjadi pada dirinya. Di antara perkara-perkara tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Keluar Air Seni, Tinja atau Angin Dari Dua Jalan.
Adapun air seni dan kotoran, maka dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ (٦)
“… atau kembali dari tempat buang air (kakus)…” (QS. Al-Maidah: 6)

Adapun angin yang keluar dari dubur, baik bersuara maupun tidak, maka hal ini membatalkan wudhu menuruj ijma’, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam:
لَا تَقْبَلُ اللهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian, jika dia sedang berhadats hingga ia berwudhu.”
Seorang laki-laki dari Hadramaut berkata, “Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Kentut atau buang angin” (HR. Bukhari dan Muslim)

2.      Keluarnya Mani, Wadi, dan Madzi
Keluarnya mani membatalkan wudhu menurut ijma’ dan mewajibkan mandi. Semua perkara yang mewajibkan mandi membatalkan wudhu menurut ijma’. Keluarnya madzi juga membatalkan wudhu, berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan, “Aku adalah seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan madzi, maka aku memerintahkan seseorang untuk menanyakan kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam, karena putrid beliau adalah istriku. Maka orang itu menanyakannya dan Nabi menjawab:
تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ
“Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu’.” (HR. Bukhari dan Muslim, shahih)
Demikian pula dengan wadi, wajib baginya mencuci kemaluannya dan berwudhu.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Mani, wadi, dan madzi. Mani itulah yang menyebabkan wajibnya mandi. Adapun wadi dan madzi, Nabi bersabda, ‘Cucilah kemaluanmu –atau daerah sekitarnya- lalu berwudhulah seperti wudhu untuk shalat’.” (HR. Al-Baihaqi I/115, shahih)

3.      Tidur yang Lelap Hingga Tidak Sadarkan Diri
Di antara para ulama terdapat perselisihan apakah tidur menyebabkan batalnya wudhu. Ada hadits-hadits yang secara zhahir tidak mewajibkan wudhu karena tidur, sementara hadits-hadits lainnya secara zhahir mewajibkan wudhu, karena sesungguhnya tidur adalah hadats. Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua pendapat: madzhab yang menempuh jalan kompromi dan madzahb tarjih. Madzhab tarjih ada dua kemungkinan, Pertama, ia menggugurkan kewajiban wudhu karena tidur secara mutlak, dengan alasan tidur bukan hadats. Kedua, ia mewajibkan wudhu secara mutlak, dengan alasan tidur adalah hadats. Sebaliknya, barangsiapa memilih madzhab yang menempuh jalan kompromi, ia berpendapat bahwa tidur bukanlah hadats, melainkan hanya dugaan kuat adanya hadats. Mereka berselisih tentang sifat tidur yang mewajibkan wudhu. Inilah tiga cara yang ditempuh ulama, dan dari ketiganya bercabang menjadi delapan pendapat berikut ini:
1.      Tidur tidak membatalkan wudhu secara mutlak.
2.      Tidur membatalkan wudhu secara mutlak.
3.      Tidur lama membatalkan wudhu dan tidur sebentar tidak membatalkan wudhu.
4.      Tidak membatalkan wudhunya kecuali jika ia tidur bertelekan pada sesuatu atau bersandar.
5.      Tidak membatalkan wudhu, kecuali tidur seperti orang yang ruku dan sujud.
6.      Tidak membatalkan wudhu kecuali tidur seperti orang yang sujud.
7.      Tidur pada saat sedang shalat tidak membatalkan wudhu sedangkan tidur di luar shalat membatalkan wudhu.
8.      Tidak membatalkan wudhu jika ia tidur sambil duduk dengan mantap pada tempat duduknya, baik itu di dalam shalat maupun di luar shalat, baik lama maupun sebentar.

Pendapat yang rajih: Tidur yang lelap hingga tiada kesadaran lagi dan ia tidak mendengar suara, jatuhnya sesuatu dari tangan, keluar air liurnya atau yang lainny, maka itu membatalkan wudhu karena diduga kuat menyebabkan hadats. Tidak ada bedanya dalam masalah ini baik tidur dalam keadaan berdiri, duduk, bersandar, ruku maupun sujud. Jika pada pendapat pertama yang mereka maksud adalah tidur yang seperti ini,maka kami sependapat dengan mereka. Jika tidak, maka tidur sebentar, yaitu mengantuk di mana seorang masih merasakan sesuatu, seperti yang disebutkan di atas, maka hal itu tidaklah membatalkan wudhu dalam semua kondisi tidur, berdasarkan hadits tentang tidurnya para shahabat sehingga kepala mereka tertunduk, dan hadits Ibnu Abbas tentag shalatnya bersamba Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam. Dengan demikian, semua dalil yang ada dalam masalah ini dapat dikompromikan. Alhamdulillah.

4.      Hilangnya Akal Disebabkan Mabuk, Pingsan atau Gila
Hal ini membatalkan wudhu menurut ijma’[1], karena hilangnya akal pada perkara-perkara ini lebih berat daripada tidur.

5.      Menyentuh Kemaluan Tanpa Alas, Baik dengan Syahwat maupun Tanpa Syahwat
Ada empat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini. Dua pendapat dengan tarjih dan dua pendapat dengan jalan kompromi:
Pertama, Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah madzhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Malik. Ini juga pendapat yang diriwayatkan dari sejumlah shahabat.
Kedua, Menyentuh kemaluan mambatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm, dan riwayat dari mayoritas shahabat.  Hujjah mereka adalah:
-          Hadits Basrah binti Shafwa, Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban, shahih)
Ketiga, Membatalkan wudhu, jika menyentuh kemaluan dengan syahwat dan tidak membatalkan wudhu, jika menyentuhnya dengan tanpa syahwat. Ini salah satu riwayat dari Malik, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al-Albani rahimahumullah.
Keempat, Berwudhu karena memegang kemaluan adalah perkara mustahab secara mutlak dan bukan wajib. Ini adalah pendapat Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya, pendapat Ibnu Timiyah rahimahullah. Sepertinya inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimaullah.
Penulis (Syikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim) berkata: Pendapat terakhir adalah pendapat yang paling kuat, jika hadits Thalaq bin Ali Shahih. Namun hadits ini tidak dapat diterima secara bulat, bahkan penadapat yang mendhaifkannya lebih diterima. Maka tinggallah pendapat yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu secara mutlak, baik itu dengan syahwat maupun dengan tanpa syahwat. Karena sesungguhnya syahwat itu tidak ada batasnya, dan tidak ada dalil yang menunjukkan perincian hal tersebut. Wallahu a’lam.

**Diringkas dari Kitab Shahih Fiqih Sunnah, karya Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.




[1] Al Ausat, Ibnu al-Mundzir (I/115)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »