Berikut ini adalah beberapa perkara yang dapat membatalkan wudhu dan seseorang wajib berwudhu ketika perkara-perkara tersebut terjadi pada dirinya. Di antara perkara-perkara tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Keluar Air Seni, Tinja atau Angin Dari Dua Jalan.
Adapun air seni dan kotoran, maka dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
… أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ … (٦)
“… atau kembali
dari tempat buang air (kakus)…” (QS.
Al-Maidah: 6)
Adapun angin yang keluar dari dubur, baik bersuara maupun tidak,
maka hal ini membatalkan wudhu menuruj ijma’, berdasarkan sabda Nabi shalallahu
‘alayhi wa sallam:
لَا تَقْبَلُ اللهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا
أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak
menerima shalat salah seorang dari kalian, jika dia sedang berhadats hingga ia
berwudhu.”
Seorang laki-laki dari Hadramaut berkata, “Apakah hadats itu, wahai
Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Kentut atau buang angin” (HR. Bukhari
dan Muslim)
2. Keluarnya
Mani, Wadi, dan Madzi
Keluarnya mani membatalkan wudhu
menurut ijma’ dan mewajibkan mandi. Semua perkara yang mewajibkan mandi membatalkan
wudhu menurut ijma’. Keluarnya madzi juga membatalkan wudhu, berdasarkan hadits
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan, “Aku adalah
seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan madzi, maka aku memerintahkan
seseorang untuk menanyakan kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam,
karena putrid beliau adalah istriku. Maka orang itu menanyakannya dan Nabi
menjawab:
تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ
“Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu’.” (HR. Bukhari dan Muslim, shahih)
Demikian pula dengan wadi, wajib
baginya mencuci kemaluannya dan berwudhu.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Mani, wadi, dan madzi. Mani itulah yang menyebabkan wajibnya
mandi. Adapun wadi dan madzi, Nabi bersabda, ‘Cucilah kemaluanmu –atau daerah
sekitarnya- lalu berwudhulah seperti wudhu untuk shalat’.” (HR. Al-Baihaqi
I/115, shahih)
3. Tidur
yang Lelap Hingga Tidak Sadarkan Diri
Di antara para ulama terdapat
perselisihan apakah tidur menyebabkan batalnya wudhu. Ada hadits-hadits yang
secara zhahir tidak mewajibkan wudhu karena tidur, sementara hadits-hadits
lainnya secara zhahir mewajibkan wudhu, karena sesungguhnya tidur adalah
hadats. Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua pendapat: madzhab yang
menempuh jalan kompromi dan madzahb tarjih. Madzhab tarjih ada dua kemungkinan,
Pertama, ia menggugurkan kewajiban wudhu karena tidur secara mutlak,
dengan alasan tidur bukan hadats. Kedua, ia mewajibkan wudhu secara
mutlak, dengan alasan tidur adalah hadats. Sebaliknya, barangsiapa memilih
madzhab yang menempuh jalan kompromi, ia berpendapat bahwa tidur bukanlah
hadats, melainkan hanya dugaan kuat adanya hadats. Mereka berselisih tentang
sifat tidur yang mewajibkan wudhu. Inilah tiga cara yang ditempuh ulama, dan
dari ketiganya bercabang menjadi delapan pendapat berikut ini:
1. Tidur
tidak membatalkan wudhu secara mutlak.
2. Tidur
membatalkan wudhu secara mutlak.
3. Tidur
lama membatalkan wudhu dan tidur sebentar tidak membatalkan wudhu.
4. Tidak
membatalkan wudhunya kecuali jika ia tidur bertelekan pada sesuatu atau
bersandar.
5. Tidak
membatalkan wudhu, kecuali tidur seperti orang yang ruku dan sujud.
6. Tidak
membatalkan wudhu kecuali tidur seperti orang yang sujud.
7. Tidur
pada saat sedang shalat tidak membatalkan wudhu sedangkan tidur di luar shalat
membatalkan wudhu.
8. Tidak
membatalkan wudhu jika ia tidur sambil duduk dengan mantap pada tempat
duduknya, baik itu di dalam shalat maupun di luar shalat, baik lama maupun
sebentar.
Pendapat yang rajih: Tidur yang lelap hingga tiada kesadaran lagi dan ia tidak mendengar
suara, jatuhnya sesuatu dari tangan, keluar air liurnya atau yang lainny, maka
itu membatalkan wudhu karena diduga kuat menyebabkan hadats. Tidak ada bedanya
dalam masalah ini baik tidur dalam keadaan berdiri, duduk, bersandar, ruku
maupun sujud. Jika pada pendapat pertama yang mereka maksud adalah tidur yang
seperti ini,maka kami sependapat dengan mereka. Jika tidak, maka tidur
sebentar, yaitu mengantuk di mana seorang masih merasakan sesuatu, seperti yang
disebutkan di atas, maka hal itu tidaklah membatalkan wudhu dalam semua kondisi
tidur, berdasarkan hadits tentang tidurnya para shahabat sehingga kepala mereka
tertunduk, dan hadits Ibnu Abbas tentag shalatnya bersamba Nabi shalallahu ‘alayhi
wa sallam. Dengan demikian, semua dalil yang ada dalam masalah ini dapat
dikompromikan. Alhamdulillah.
4. Hilangnya
Akal Disebabkan Mabuk, Pingsan atau Gila
Hal ini membatalkan wudhu menurut
ijma’[1],
karena hilangnya akal pada perkara-perkara ini lebih berat daripada tidur.
5. Menyentuh
Kemaluan Tanpa Alas, Baik dengan Syahwat maupun Tanpa Syahwat
Ada empat perbedaan pendapat di
antara para ulama dalam hal ini. Dua pendapat dengan tarjih dan dua pendapat
dengan jalan kompromi:
Pertama, Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah
madzhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Malik. Ini juga pendapat yang
diriwayatkan dari sejumlah shahabat.
Kedua, Menyentuh kemaluan mambatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah
pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm, dan riwayat dari mayoritas
shahabat. Hujjah mereka adalah:
-
Hadits Basrah binti Shafwa, Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda: “Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR.
Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban, shahih)
Ketiga, Membatalkan wudhu, jika menyentuh kemaluan dengan syahwat dan tidak
membatalkan wudhu, jika menyentuhnya dengan tanpa syahwat. Ini salah satu
riwayat dari Malik, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al-Albani
rahimahumullah.
Keempat, Berwudhu karena memegang kemaluan adalah perkara mustahab secara
mutlak dan bukan wajib. Ini adalah pendapat Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya,
pendapat Ibnu Timiyah rahimahullah. Sepertinya inilah pendapat yang
dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimaullah.
Penulis (Syikh
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim) berkata: Pendapat terakhir adalah pendapat yang paling kuat, jika hadits
Thalaq bin Ali Shahih. Namun hadits ini tidak dapat diterima secara bulat,
bahkan penadapat yang mendhaifkannya lebih diterima. Maka tinggallah pendapat
yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu secara mutlak,
baik itu dengan syahwat maupun dengan tanpa syahwat. Karena sesungguhnya
syahwat itu tidak ada batasnya, dan tidak ada dalil yang menunjukkan perincian
hal tersebut. Wallahu a’lam.
**Diringkas
dari Kitab Shahih Fiqih Sunnah, karya Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid
Salim.
EmoticonEmoticon