A. Definisi Akal
Akal (اَلْعَقْلُ)
berasal dari akar kata (عَقَلَ-يَعْقِلُ-عَقْلاً)
yang asalnya bermakna mencegah (اَلْمَنْعُ).
Akal memiliki makna yang lain, di antaranya:
(اَلْحَجْرُ) ... Pencegahan
(اَلنَّهْيُ) ... Larangan
(اَلدِّيَةُ) ... Tebusan
Sedangkan
menurut istilah, penggunaan akal mempunyai 4 makna yaitu:
1. (اَلْغَرِيْزَةُ
المُدْرِكَةُ) (insting/naluri yang mampu merasa), yaitu naluri yang dimiliki
manusia untuk mengetahui dan memikirkan sesuatu, sama seperti kekuatan melihat
pada mata dan kekuatan merasa pada lidah. Ia adalah obyek taklif
(pembebanan ibadah) yang dapat membedakan manusia dengan hewan.
2. (اَلْعُلُوْمُ
الضَّرُوْرِيَّةُ) (ilmu-ilmu pasti/eksakta), yaitu ilmu yang diketahui oleh
seluruh orang berakal, seperti pengetahuan tentang hal yang mungkin, yang
wajib, dan lain-lain.
3. (اَلْعُلُوْمُ
النَّظَرِيَّةُ) (ilmu-ilmu teoritis) yang diperoleh melalui penalaran dan pencarian data.
4. Kerja-kerja
berdasarkan ilmu.
Pengertian di
atas dapat dirangkum dalam 2 makna:
1. Aksioma-aksioma
rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
2. Kesiapan
bawaan yang bersifat instingtif dan kemampuan yang matang.
Akal adalah
insting yang diciptakan Alloh subhanahu wa ta’ala kemudian diberi muatan
pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan.
Alloh subhanahu
wa ta’ala berfirman:
۞وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِيٓ ءَادَمَ وَحَمَلۡنَٰهُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ ...
٧٠
“Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan.” (QS. Al-Isro’[17]: 70)
Karena itu, maka
tempat akal terletak dalam hati yang merupakan pusat penilaian bagi Alloh terhadap setiap gerak dan aktivitas manusia.
Alloh subhanahu
wa ta’ala berfirman:
... وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا ... ١٧٩
“..Mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Alloh).” (QS. Al-A’rof [7]: 179)
B. Kedudukan
Akal dalam Syari’at Islam.
Syari’at Islam
memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat
dilihat pada point-point berikut:
1. Alloh hanya menyampaikan kalam-Nya kepada
orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan
syari’at-Nya.
Alloh berfirman:
...وَذِكۡرَىٰ
لِأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٤٣
“...Dan
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Shood [38]: 43)
2. Akal
merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif
(beban kewajiban) dari Alloh subhanahu wa ta’ala. Hukum-hukum syari’at
tidak berlaku bagi mereka yang tidak dapat menerima taklif. Dan di antara yang
tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
Rosululloh shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda:
رُفِعَ اْلقَلَمُ
عَنْ ثَلَأثٍ, وَمِنْهَا: اْلجُنُوْنُ حَتَّى يُفِيْقَ
“Pena (catatan
pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, di antaranya; orang
gila sampai dia kembali sadar (berakal).” (HR. Ahmad: 6/100, AbuDawud: 472,
Nasa’i: 6/658, Ad-Darimi: 1/171, Ibnu Hibban: 1/178, Baihaqi: 6/84 dan
Al-Hakim: 2/59)
3. Alloh mencela orang yang tidak menggunakan
akalnya. Misalnya celaan Alloh terhadap
ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya.
Alloh subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَقَالُواْ
لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ ١٠
“Dan mereka
berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)
niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala,”
(QS. Al-Mulk [67]: 10)